Dalam sistem pendidikan Sapta Brata Jawa kuno, orang Jawa diharuskan mempelajari gamelan, menurut Baboning Serat Gendhing (buku induk gamelang) Darmosonya, Gamelan dan Gendhin dipelajari bukan untuk mendengar suaranya, melainkan justru agar manusia sanggup mendengarkan suara-suara yang tak didengar, gamelan mengajarkan manusia mendengarkan jerit tangis para mustad'afin, gamelan juga mengajarkan suara-suara langit yang disalokakan ma'shumin yang nyaris tak terdengar.
​Pengurus Daerah Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) Klaten, Jawa Tengah telah melaksanakan serangkaian kegiatan khidmat Ramadan yang dimulai pada hari Rabu malam tanggal 20 April 2022 atau di malam ke-19 Ramadan 1443 H.Dimulai dengan acara buka bersama antara PD IJABI Klaten, Sanggar Al Musthafa, Majelis Sholawat Janmo Lipat (JIMAT).Selain acara buka bersmama dimalam ke-19 Ramadan juga digelar acara penbagian paket makanan untuk sahur di sekitar Delanggu Klaten.
Malam ke-21 Ramadan acara dilanjutkan masih dengan acara buka bersama PD IJABI Klaten - AL Musthafa Ismoyo Delanggu Komunitas Budaya diantaranya :
Malam ke-21 Ramadan acara dilanjutkan masih dengan acara buka bersama PD IJABI Klaten - AL Musthafa Ismoyo Delanggu Komunitas Budaya diantaranya :
- Al Mustafa Ismoyo Delanggu (Mas Oky Cahyo)
- Sanggar Lintang Panjerino (Mas Doni)
- Sanggar Semoyo Endho (Mas Gun)
- Kantor Pengangguran Lokananta (Mas Agus Bakar)
- Forum Lintas Agama (Mbah Moyo)
- Forum pendamping Desa (Pak Tono)
- Sanggar Rempah (Mbah Ponimin)
Disela acara buka bersama para pecinta Ahlul Bait PD IJABI Klaten, PD IJABI Surakarta, Mas Oky Cahyo menyampaikan oleh-oleh dari ziarah Allahyarham KH. DR. Jalaludin Rahmat, yang berupa pesan dari Ustad Miftah.
Wejangan Ust. Miftah yang menekankan persatuan, cinta dan menebarkan kasih sayang itu seirama dengan postulat umun dari pondasi dasar strategi dakwah wali tanah jawa yang digaungkan Sunan Ampel yakni Angajawi, ia sebuah kaidah yang berangkat dari Mahdzab Cinta Rasulullah saw yang dilanjutkan begitu hebat oleh para ma'shumin, ia menempatkan siapapun yang tidak berwilayah kepada para ahlul bait sebagai yatim-yatim yang harus dikasih sayangi, mereka adalah putra-puatra Islam yang tercerai berai induknya, dan mesti ditenangkan dengan kasih sayang dipeluk dan dimesrai seraya dituntun kembali pada ibu kewilayahan.
Pesan Ustad Miftah Fauzi Rahmat, yang menekankan untuk memperbesar ruang ruang persamaan diantara mahdzab-mahdzab Islam, seolah Sunan Kalijogo hidup kembali dalam lisan Ustad Miftah Jebeng Sinom kaluwak tansyo "Golek banyu apikulan warih, golek geni adhedhamar, anglaras ilining banyu, angeli ning ora keli" wejangan mangkus nan tandas Sunan Kalijogo yang bermakna "mencari kesejatian hidup (banyu) dengan panduan air suci yang disucikan dan menyucikan (warih/Ahlul Bait) menjadi terang dengan pancaran suluh Ahlul Bait (adhedhamar), mengalir mengikuti aliran ahlul bait dengan hadir ditengah-tengah masyarakat tanpa larut dan tanpa membuat gaduh ditengahnya.
Baca Juga : IJABI Depok : Berbagi Buka "On The Road"
Wejangan Ust. Miftah yang menekankan persatuan, cinta dan menebarkan kasih sayang itu seirama dengan postulat umun dari pondasi dasar strategi dakwah wali tanah jawa yang digaungkan Sunan Ampel yakni Angajawi, ia sebuah kaidah yang berangkat dari Mahdzab Cinta Rasulullah saw yang dilanjutkan begitu hebat oleh para ma'shumin, ia menempatkan siapapun yang tidak berwilayah kepada para ahlul bait sebagai yatim-yatim yang harus dikasih sayangi, mereka adalah putra-puatra Islam yang tercerai berai induknya, dan mesti ditenangkan dengan kasih sayang dipeluk dan dimesrai seraya dituntun kembali pada ibu kewilayahan.
Pesan Ustad Miftah Fauzi Rahmat, yang menekankan untuk memperbesar ruang ruang persamaan diantara mahdzab-mahdzab Islam, seolah Sunan Kalijogo hidup kembali dalam lisan Ustad Miftah Jebeng Sinom kaluwak tansyo "Golek banyu apikulan warih, golek geni adhedhamar, anglaras ilining banyu, angeli ning ora keli" wejangan mangkus nan tandas Sunan Kalijogo yang bermakna "mencari kesejatian hidup (banyu) dengan panduan air suci yang disucikan dan menyucikan (warih/Ahlul Bait) menjadi terang dengan pancaran suluh Ahlul Bait (adhedhamar), mengalir mengikuti aliran ahlul bait dengan hadir ditengah-tengah masyarakat tanpa larut dan tanpa membuat gaduh ditengahnya.
Baca Juga : IJABI Depok : Berbagi Buka "On The Road"
​Wejangan persatuan Ustad Miftah menghidupkan kembali postulat mahdawiyah jawa yang di nyatakan Ronggowaristo dalam Serat Kalathidha "Wiku Mamuji Ngesti Nyawiji" yang tertimbun dalam puing sejarah. Ia bermakna Penatian Heru Cakra afs bersama para ulama yang senantiasa bermunajat kepada Allah, mengajarkan kesetiaan dengan membangun peradaban sesuai kapasitas sebagai sebentuk penantian dan menyerukan persatuan.
Dalam sistem pendidikan Sapta Brata Jawa kuno, orang Jawa diharuskan mempelajari gamelan, menurut Baboning Serat Gendhing (buku Induk Gamelan) Darmosonya, Gamelan dan Gendhin dipelajari bukan untuk mendengar suaranya, melainkan justru agar manusia sanggup mendengarkan suara-suara yang tak didengar, gamelan mengajarkan manusia mendengarkan jerit tangis para mustad'afin, gamelan juga mengajarkan suara-suara langit yang disalokakan ma'shumin yang nyaris tak terdengar.
Baca Juga : Berkhidmat Untuk Imam Mahdi as
Wejangan Ustad Miftah jika dilihat dengan rasa dalam Gendhing Jawi, ia bukan digamel (ditabuh) begitu saja tanpa irama dan birama, Dr Jalaludin Rahmat dalam gendhingan telah menabuh bonang ketujuh sebagai jejer yang memulai kembalinya ahlul bait ketanah jawi, lalu ustad Miftah melanjutkannya dalam nada ambah-ambahan atau bijakan suatu nada lagu untuk dilanjutkan ke nada berikut, nada ustad Miftah sama dengan nada yang digamel Imam Ali, digamel Sunan ampel sebagai ambah ambah yakni angajawi mahdzab cinta.
Pesan Ustd Miftah tersebut tidak sederhana karena ia merangkum perputaran peristiwa sejarah yang berulang dari Imam Ali, para ma'shumin, imam khomeini, dan Dr Jalal ia adalah angajawi mahdzab cinta