Guru Besar Ilmu Tafsir pada Fakultas Ushuluddin & Filsafat UIN Alauddin Makassar/ Sekretaris Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Sulawesi Selatan
Prof. Muhammad Galib, sebagai seorang tokoh agama dan guru besar sekaligus unsur pimpinan di Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan, tentu masyarakat membutuhkan kejelasan dan ketegasannya dalam menilai pemahaman syiah yang merebak khususnya beberapa daerah di Indonesia dibawah motor IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya.
Prof. Muhammad Galib, sebagai seorang tokoh agama dan guru besar sekaligus unsur pimpinan di Majelis Ulama Indonesia Provinsi Sulawesi Selatan, tentu masyarakat membutuhkan kejelasan dan ketegasannya dalam menilai pemahaman syiah yang merebak khususnya beberapa daerah di Indonesia dibawah motor IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) dan organisasi-organisasi yang berafiliasi dengannya.
Dalam kesempatannya menjadi narasumber pada Pelatihan Da'i tingkat Kabupaten Sinjai tahun 2012 di Aula Wisma Hawai yang diselenggarakan Bagian Kesra Setdakab Sinjai pada tanggal 15-16 September 2012, penulis dapat mendengarkan langsung pernyataan Prof. Muhammad Galib mengenai pandangannya terhadap syiah. Pada kesempatan itu, penulis memanfaatkan sesi diskusi/tanya jawab untuk meminta ketegasannya mengenai syiah yang sesungguhnya.
Walaupun materi yang disampaikan pada acara tersebut adalah Problematika Dakwah Masa Kini dan Solusinya, namun pada sesi penyajian materi beliau banyak menyampaikan kekagumannya terhadap syiah. Prof. Muhammad Galib banyak menceritakan pengalaman lawatannya ke Iran pada tahun 2009. Beliau mengakui diundang oleh salah satu organisasi syiah di Qum. Dalam penuturannya, beliau sangat kagum dengan pelayanan orang-orang syiah disepanjang kunjungan itu, mulai dari pesawat eksekutif yang katanya seumur hidupnya untuk pertama kali itu ia tumpangi hingga sambutan yang diperlakukan padanya seperti pejabat besar. Beliau juga menceritakan tentang kemegahan perpustakaan syiah dan kekayaan serta kesederhanaan para ulama syiah yang memukau.
Pengisahan-pengisahan memesona itulah yang penulis jadikan pintu masuk untuk menanyakan pandangan sang Profesor tentang syiah. Dalam menjawab pertanyaan penulis, Prof. Muhammad Galib mengawali dengan menyampaikan rasa prihatinnya atas konflik antara sunni dengan syiah. Beliau kemudian melanjutkan dengan mengatakan bahwa MUI sesungguhnya pernah mengeluarkan fatwa tentang syiah, namun bukan fatwa sesat tapi fatwa agar mewaspadai karena ada perbedaan prinsip dari aspek politik. Beliau melanjutkan dengan mengatakan bahwa lahirnya sunni dan syiah adalah persoalan politik tentang siapa pengganti Nabi . Prof. Galib juga menyampaikan alasan-alasan syiah menolak Abu Bakar sebagai khalifah, diantaranya adanya keberatan dari keluarga Nabi seperti Fatimah, syiah juga menganggap bahwa telah ada wasiat Nabi mengangkat Ali sebagai penggantinya ketika kembali dari haji wada di Ghadir Qum, namun beliau tetap menyebut bahwa hadis itu diperdebatkan dikalangan sunni. Selain itu, beliau juga mengutip perkataan Abu Bakar “Hani’an laka yabna Abi Thalib! ashbahta wa amsaita maula kulli mu’minin wa mu’ininat” (Selamat bagimu, hai Ibnu Abu Thalib, engkau telah menjadi maula setiap mu’min dan mu’minat)”.
Selanjutnya beliau kembali memuji syiah dengan mengatakan, “saya secara pribadi melihat kemampuan ulama syiah sebenarnya jauh diatas dari kemampuan ulama sunni secara umum terutama yang saya lihat secara kasat mata. Seluruh buku-buku sunni terpelihara dengan sangat baik dan dikaji oleh ulama syiah, sementara di Saudi tidak ada kitab-kitab filsafat, tasawuf, apalagi syiah, jadi sangat terbatas.”
Professor mantan dekan Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin periode 2002-2006 ini akhirnya menjawab inti pertanyaan dengan mengatakan, “Kalau kita mengatakan mereka bukan Islam, mengapa mereka bisa masuk di Masjidil Haram?, padahal banyak sekali setiap tahun pergi haji dan umroh, bahkan orang Saudi sendiri ada yang syiah. Jadi itu yang saya secara pribadi tidak berani mengatakan diluar islam karena Al Qurannya sama dengan Al Quran kita, tidak ada bedanya, hanya penafsirannya yang banyak.”
Prof. Muhammad Galib melanjutkan dengan menjelaskan salah satu komplain sunni terhadap syiah, yaitu penghinaan sahabat Nabi ShallaLLohu 'alaihi wa Sallam. Menurut komunikasi yang dibangunnya dengan orang syiah, katanya syiah tidak menghina sahabat, hanya Muawiyah yang dikecam karena Muawiyah menjadi pemberontak pada khalifah yang sah, “Jadi syiah tidak menyebut sahabat, kita karena mendengar kebakaran jenggot mengatakan syiah itu menghina sahabat.”
Ditengah penjelasannya, orang yang menyelesaikan sarjananya di jurusan da'wah Fakultas Ushuluddin ini berharap agar ada dialog yang konstruktif, yang tenang, dan tidak emosional tentang dimana sebenarnya perbedaan antara sunni dengan syiah. Beliau juga tidak mempermasalahkan orang yang menganut syiah sembari kembali memuji Iran, “Kami tetap jadi sunni, silahkan anda jadi syiah tetapi kita tidak perlu bermusuhan karena dalam konteks internasional ini kan tinggal Iran yang tidak dikuasai Amerika.”
Kendati demikian, beliau tetap menyampaikan bahwa anak-anak dan saudara-saudara kita tidak harus masuk syiah. Namun beliau tetap mempersilakan syiah dan sunni berdampingan, “Biarlah syiah sunni ada tetapi dengan seluruh komponen organisasi dan aliran-aliran keislaman ini menjadi potensi.”
Prof. Muhammad Galib juga menyampaikan jawaban terhadap adanya orang yang mengecamnya setelah melakukan perjalanan ke Iran. Dalam pernyataan ini beliau kembali menegaskan pandangannya terhadap syiah, “Iya, satu kali, kan masa' usia saya yang 50 tahun pergi ke Iran satu minggu tiba-tiba jadi syiah. Saya pergi ke Saudi sudah beberapa kali dengan masa tinggalnya sampai lebih dari satu bulan dengan seluruh hidup saya tidak pernah baca buku-buku syiah, tiba-tiba saya disebut syiah kan tidak masuk akal itu, cara pengamalannya orang syiah juga saya tidak pernah amalkan, akidahnya juga, tapi ada tradisi-tradisi intelektualnya yang bagus, dan saya menganggap bahwa mereka tetap dalam Islam meskipun berbeda.
Guru besar ilmu tafsir ini melengkapi jawabannya dengan mengutip pernyataan ulama Irak dan Dubes Saudi Arabia. Sesuai penuturannya bahwa pada bulan romadhon salah seorang ulama Irak waktu berkunjung ke Sulawesi Selatan mengatakan “kita sama saja, sebenarnya musuh kita ini siapa?, musuh kita kan orang diluar islam yang mau mengadu domba supaya jangan pernah bersatu, lebih baik itu kita hadapai bersama”, pernyataan kutipan ini kemudian ditegaskan dengan kesepakatannya, “saya sependapat dengan itu”.
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa beberapa minggu sebelumnya seorang Dubes Saudi datang ke UIN. Menurutnya, Dubes tersebut ketika ditanya tentang syiah mengatakan, “Syiah dan sunni itu kan persoalan sejarah dan persoalan politik, persoalan kekuasaan, maka jangan saling memusuhi.”. Beliau lalu menyambung kutipannya dengan mengatakan “Saya pikir wah luar biasa ini, seorang yang punya pengaruh yang besar dan setingkat Dubes di Saudi bisa ngomong begitu”.
Demikianlah yang penulis dapat sampaikan. Tentu saja tidak semua pernyataan Prof. Muhammad Galib dapat dituangkan dalam tulisan ini, tapi apa yang tersaji ini sudah cukup merepresentasikan bagaimana syiah sesungguhnya dalam pandangan beliau.
Dengan tulisan ini, maka jelaslah bagaimana posisi Prof. Muhammad Galib dalam menilai syiah. Diantara uraian diatas dapat disimpulkan alasan dan kutipan yang dikemukakan untuk mendukung pendiriannya yaitu:
Semoga bermanfaat, Allohu A'lam bisshowab.
Sinjai, 1 Dzulqaidah 1433 H./17 September 2012 Miladiyah
Penulis adalah peserta Pelatihan Da'i Tingkat Kabupaten Sinjai Tahun 2012.
Walaupun materi yang disampaikan pada acara tersebut adalah Problematika Dakwah Masa Kini dan Solusinya, namun pada sesi penyajian materi beliau banyak menyampaikan kekagumannya terhadap syiah. Prof. Muhammad Galib banyak menceritakan pengalaman lawatannya ke Iran pada tahun 2009. Beliau mengakui diundang oleh salah satu organisasi syiah di Qum. Dalam penuturannya, beliau sangat kagum dengan pelayanan orang-orang syiah disepanjang kunjungan itu, mulai dari pesawat eksekutif yang katanya seumur hidupnya untuk pertama kali itu ia tumpangi hingga sambutan yang diperlakukan padanya seperti pejabat besar. Beliau juga menceritakan tentang kemegahan perpustakaan syiah dan kekayaan serta kesederhanaan para ulama syiah yang memukau.
Pengisahan-pengisahan memesona itulah yang penulis jadikan pintu masuk untuk menanyakan pandangan sang Profesor tentang syiah. Dalam menjawab pertanyaan penulis, Prof. Muhammad Galib mengawali dengan menyampaikan rasa prihatinnya atas konflik antara sunni dengan syiah. Beliau kemudian melanjutkan dengan mengatakan bahwa MUI sesungguhnya pernah mengeluarkan fatwa tentang syiah, namun bukan fatwa sesat tapi fatwa agar mewaspadai karena ada perbedaan prinsip dari aspek politik. Beliau melanjutkan dengan mengatakan bahwa lahirnya sunni dan syiah adalah persoalan politik tentang siapa pengganti Nabi . Prof. Galib juga menyampaikan alasan-alasan syiah menolak Abu Bakar sebagai khalifah, diantaranya adanya keberatan dari keluarga Nabi seperti Fatimah, syiah juga menganggap bahwa telah ada wasiat Nabi mengangkat Ali sebagai penggantinya ketika kembali dari haji wada di Ghadir Qum, namun beliau tetap menyebut bahwa hadis itu diperdebatkan dikalangan sunni. Selain itu, beliau juga mengutip perkataan Abu Bakar “Hani’an laka yabna Abi Thalib! ashbahta wa amsaita maula kulli mu’minin wa mu’ininat” (Selamat bagimu, hai Ibnu Abu Thalib, engkau telah menjadi maula setiap mu’min dan mu’minat)”.
Selanjutnya beliau kembali memuji syiah dengan mengatakan, “saya secara pribadi melihat kemampuan ulama syiah sebenarnya jauh diatas dari kemampuan ulama sunni secara umum terutama yang saya lihat secara kasat mata. Seluruh buku-buku sunni terpelihara dengan sangat baik dan dikaji oleh ulama syiah, sementara di Saudi tidak ada kitab-kitab filsafat, tasawuf, apalagi syiah, jadi sangat terbatas.”
Professor mantan dekan Fakultas Ushuluddin UIN Alauddin periode 2002-2006 ini akhirnya menjawab inti pertanyaan dengan mengatakan, “Kalau kita mengatakan mereka bukan Islam, mengapa mereka bisa masuk di Masjidil Haram?, padahal banyak sekali setiap tahun pergi haji dan umroh, bahkan orang Saudi sendiri ada yang syiah. Jadi itu yang saya secara pribadi tidak berani mengatakan diluar islam karena Al Qurannya sama dengan Al Quran kita, tidak ada bedanya, hanya penafsirannya yang banyak.”
Prof. Muhammad Galib melanjutkan dengan menjelaskan salah satu komplain sunni terhadap syiah, yaitu penghinaan sahabat Nabi ShallaLLohu 'alaihi wa Sallam. Menurut komunikasi yang dibangunnya dengan orang syiah, katanya syiah tidak menghina sahabat, hanya Muawiyah yang dikecam karena Muawiyah menjadi pemberontak pada khalifah yang sah, “Jadi syiah tidak menyebut sahabat, kita karena mendengar kebakaran jenggot mengatakan syiah itu menghina sahabat.”
Ditengah penjelasannya, orang yang menyelesaikan sarjananya di jurusan da'wah Fakultas Ushuluddin ini berharap agar ada dialog yang konstruktif, yang tenang, dan tidak emosional tentang dimana sebenarnya perbedaan antara sunni dengan syiah. Beliau juga tidak mempermasalahkan orang yang menganut syiah sembari kembali memuji Iran, “Kami tetap jadi sunni, silahkan anda jadi syiah tetapi kita tidak perlu bermusuhan karena dalam konteks internasional ini kan tinggal Iran yang tidak dikuasai Amerika.”
Kendati demikian, beliau tetap menyampaikan bahwa anak-anak dan saudara-saudara kita tidak harus masuk syiah. Namun beliau tetap mempersilakan syiah dan sunni berdampingan, “Biarlah syiah sunni ada tetapi dengan seluruh komponen organisasi dan aliran-aliran keislaman ini menjadi potensi.”
Prof. Muhammad Galib juga menyampaikan jawaban terhadap adanya orang yang mengecamnya setelah melakukan perjalanan ke Iran. Dalam pernyataan ini beliau kembali menegaskan pandangannya terhadap syiah, “Iya, satu kali, kan masa' usia saya yang 50 tahun pergi ke Iran satu minggu tiba-tiba jadi syiah. Saya pergi ke Saudi sudah beberapa kali dengan masa tinggalnya sampai lebih dari satu bulan dengan seluruh hidup saya tidak pernah baca buku-buku syiah, tiba-tiba saya disebut syiah kan tidak masuk akal itu, cara pengamalannya orang syiah juga saya tidak pernah amalkan, akidahnya juga, tapi ada tradisi-tradisi intelektualnya yang bagus, dan saya menganggap bahwa mereka tetap dalam Islam meskipun berbeda.
Guru besar ilmu tafsir ini melengkapi jawabannya dengan mengutip pernyataan ulama Irak dan Dubes Saudi Arabia. Sesuai penuturannya bahwa pada bulan romadhon salah seorang ulama Irak waktu berkunjung ke Sulawesi Selatan mengatakan “kita sama saja, sebenarnya musuh kita ini siapa?, musuh kita kan orang diluar islam yang mau mengadu domba supaya jangan pernah bersatu, lebih baik itu kita hadapai bersama”, pernyataan kutipan ini kemudian ditegaskan dengan kesepakatannya, “saya sependapat dengan itu”.
Selanjutnya beliau mengatakan bahwa beberapa minggu sebelumnya seorang Dubes Saudi datang ke UIN. Menurutnya, Dubes tersebut ketika ditanya tentang syiah mengatakan, “Syiah dan sunni itu kan persoalan sejarah dan persoalan politik, persoalan kekuasaan, maka jangan saling memusuhi.”. Beliau lalu menyambung kutipannya dengan mengatakan “Saya pikir wah luar biasa ini, seorang yang punya pengaruh yang besar dan setingkat Dubes di Saudi bisa ngomong begitu”.
Demikianlah yang penulis dapat sampaikan. Tentu saja tidak semua pernyataan Prof. Muhammad Galib dapat dituangkan dalam tulisan ini, tapi apa yang tersaji ini sudah cukup merepresentasikan bagaimana syiah sesungguhnya dalam pandangan beliau.
Dengan tulisan ini, maka jelaslah bagaimana posisi Prof. Muhammad Galib dalam menilai syiah. Diantara uraian diatas dapat disimpulkan alasan dan kutipan yang dikemukakan untuk mendukung pendiriannya yaitu:
- Syiah tidak dapat disebut diluar islam karena mereka juga masuk ke Masjidil Haram setiap tahun dan Al Qurannya sama dengan Al Quuran sunni
- MUI tidak mengeluarkan fatwa sesat terhadap syiah, tetapi hanya fatwa untuk mewaspadai karena ada perbedaan pinsip dari aspek politik
- Syiah tidak menghina sahabat Nabi, tapi hanya Muawiyah yang dikecam
- Syiah dan sunni hanya persoalan sejarah, politik dan kekuasaan maka jangan saling memusuhi
- Alasan syiah menolak kekhalifahan Abu Bakar ditunjukkan dengan keberatannya keluarga Nabi seperti Fatimah dan adanya hadis yang diperdebatkan kaum sunni yaitu pengangkatan Ali oleh Nabi sebagai pemimpin di Ghadir Qum setelah pulang dari haji wada. Selain itu, adanya ucapan selamat yang disampaikan Abu Bakar kepada Ali setelah pengangkatannya oleh Nabi.
- Persoalan sunni dan syiah sebenarnya pekerjaan orang diluar islam yang ingin mengadu domba
- Kunjungannya ke Iran tidak dapat dijadikan alasan dirinya disebut syiah karena hanya sekali dan tidak pernah membaca buku-buku syiah serta tidak beramal dan berakidah sebagaimana orang syiah
Semoga bermanfaat, Allohu A'lam bisshowab.
Sinjai, 1 Dzulqaidah 1433 H./17 September 2012 Miladiyah
Penulis adalah peserta Pelatihan Da'i Tingkat Kabupaten Sinjai Tahun 2012.