Cak Nun sedang menyampaikan materi
Ada kejadian menarik di kampul IAIN Sunan Ampel Surabaya tanggal 22 Oktober 2012 kemarin. Senat Mahasiswa Fakultas Ushuludin, bekerja sama dengan PMII Komisariat Fakultas Ushuluddin, mengadakan sebuah seminar bertajuk “Haruskah Syiah Ditolak?” Media online menuliskan jalannya kegiatan ini dengan berbagai versi dan tendensi. Mustamin al-Mandary melakukan analisa pemberitaan media-media tersebut berikut ini.
****
****
Panitia seminar “Haruskah Syiah Ditolak?” di IAIN Sunan Ampel Surabaya sebenarnya sudah mendapatkan tantangan dari awal. Seperti yang diberitakan Kompas (22/10), diskusi dengan tema serupa sudah direncanakan saat kasus Sampang sedang menghangat; dan karena alasan keamanan, rektorat sempat melarang. Bahkan, pihak kampus sebenarnya masih tetap melarang seminar ini dengan alasan yang sama. Sumber kami di Surabaya yang mengikuti acara menyampaikan bahwa auditorium IAIN yang sudah dipanjar oleh panitia bahkan tidak bisa digunakan menjelang acara. Dan berkat kemurahan hati dekan Fakultas Ushuluddin lah sehingga acara kemudian dipindahkan ke aula Fakultas Ushuluddin.
Informasi yang diperoleh dari panitia menyatakan bahwa pihak rektorat mendapatkan telepon dari wakil mentri agama, wakil gubernur Jawa Timur, Polda Jatim, PWNU dan MUI Jatim serta kelompok lainnya di Jawa Timur untuk membatalkan acara ini. Namun panitia yang sangat bersemangat dengan dukungan dekan Fakultas Ushuluddin akhirnya bisa mewujudkan kegiatan ini. Dan karena mewaspadai kemungkinan yang tidak diharapkan, Dekan Fakultas Ushuluddin, Ali Maksum, mewanti-wanti kepada panitia untuk membatasi peserta. Hal ini mungkin yang tidak terkoordinasi dengan baik sehingga acara berakhir dengan ending yang tidak seperti yang diharapkan. Atau bisa jadi sudah menjadi mitigation plan?
Larangan dari wakil mentri agama dan wakil gubernur Jawa Timur adalah sebuah tanda tanya besar. Selama ini, kita mengenal wakil mentri agama, Prof. Dr. Nazaruddin Umar, sebagai tokoh yang sangat toleran dan sangat menganjurkan persatuan dan persaudaraan Islam, khususnya antara Sunni dan Syiah. Beliau selalu mengedepankan dialog sehingga agak susah menerima jika beliau justru yang melarang dialog. Adapun sekiranya beliau melarang, larangan itu tentu tidak bisa diartikan sebagai pelarangan Syiah, tetapi lebih kepada “kesulitan yang belum terpecahkan” bagi pemerintah dalam membina kelompok yang sering melakukan kekerasan atas nama agama selama ini.
Demikian juga wakil gubernur Jawa Timur, Drs H. Syaifullah Yusuf. Ketika menemani Mentri Koperasi dan UKM di kampus Unitomo Surabaya (23/10) sebagaimana yang diberitakan Republika (24/20), beliau menyampaikan bahwa kelompok Syiah tidak boleh menghina kelompok lain; dan pada saat yang sama, kelompok non-Syiah juga harus menahan diri untuk tidak melarang Syiah, sebab Syiah juga bagian dari Islam. Bahkan beliau menegaskan bahwa SK tidak diperlukan untuk melarang Syiah, dan pergub Jatim no. 55/2012 sudah cukup untuk membina kegiatan keagamaan, bukan untuk melarang Syiah.
Seminar ini sedianya menghadirkan empat pembicara, masing-masing Emha Ainun Nadjib (budayawan), Drs. K. Ng. Agus Sunyoto, M.Pd (Sejarawan NU / Dosen Universitas Brawijaya Malang), Prof. Dr. Syamsul Arifin (Tokoh Muhammadiyah / Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang), dan Dr. Umar Shahab, MA. Namun, Umar Shahab yang satu-satunya mewakili Syiah ini tidak jadi berbicara di seminar tersebut. Beliau sebenarnya sudah hadir tetapi kemudian meninggalkan acara. Menurut Umar Shahab, seperti informasi yang kami terima dari panitia, pihak rektorat melarang beliau hadir dan berbicara. Alasannya, Polda Jatim menginformasikan kepada rektorat bahwa ada ancaman dari kelompok al-Bayyinat yang akan mengerahkan massa dan membakar kampus IAIN Sunan Ampel jika beliau hadir di seminar tersebut. Semula ketua Dewan Syura ABI ini mengembalikan masalah kepada panitia seminar dengan menawarkan tiga opsi: kembali ke tempat acara dan berbicara, kembali ke tempat acara tetapi tidak berbicara, atau tidak kembali sama sekali. Namun karena alasan keamanan, panitia kemudian memilih opsi ketiga dan meminta beliau tidak kembali.
Pembicara pertama diisi oleh Cak Nun. Beberapa media online yang kerap memojokkan Syiah mengutip ceramah Cak Nun dengan penggalan tertentu untuk memberikan imej yang tertentu pula. Hidayatullah.com dan syiahindonesia.com rupanya mendapatkan berita dari sumber yang sama, sehingga konten berita dari dua media tersebut hampir semuanya sama dalam diksi dan susunan paragraf. Dalam hal isinya, keduanya senada dengan media lain seperti arrahmah.com. Menurut media-media ini, Cak Nun dianggap plin plan dan tak menjawab pertanyaan pokok seminar sehingga Cak Nun dianggap hanya membingungkan. Hidayatullah.com bahkan menganggap bahwa seminar ini hanyalah “jumpa fans” Cak Nun saja. Tentu saja media-media ini melakukan hal tersebut untuk mengaburkan esensi pesan Cak Nun dalam hubungan Sunni Syiah. Karena menurut Cak Nun, perbedaan Sunni Syiah juga mirip perbedaan antara NU dan Muhammadiyah. Bahkan dalam perumpamaan yang lebih lucu tetapi menarik, Cak Nun mengatakan bahwa perbedaan Sunni dan Syiah seperti perbedaan (makanan) pecel dan rawon (tempo.co 22/10)
Pembicara kedua dan ketiga, Agus Sunyoto dan Syamsul Arifin, sayangnya, juga mengukuhkan pandangan Cak Nun. Agus Sunyoto bahkan menegaskan kembali silsilah keilmuan di dalam tradisi Islam dimana imam-imam mazhab Sunni yang empat menimba ilmu kepada Imam Syiah. Pertanyaan retoris Agus Sunyoto sangat mengena,“Kalau Syiah sesat, bagaimana dengan ajaran keempat mazhab tersebut?’’ Sementara itu, Syamsul Arifin yang memang sedang melakukan penelitian sosial atas Syiah di Sampang menegaskan bahwa perbedaan antara Sunni dan Syiah hanyalah masalah sosial, bukan masalah agama (hidayatullah.com, 22/10). Tentu saja, semua pendapat ini memberikan bargaining yang kurang menguntungkan bagi peserta seminar yang anti Syiah.
Maka tidak mengherankan jika saat pentolan pengkafiran Syiah, Ahmad bin Zein al-Kaff, berdiri dan menyampaikan penegasannya akan kesesatan Syiah, kelompok anti-Syiah yang datang dari luar kampus mendapatkan angin segar. Kegaduhan kemudian terjadi karena ketua yayasan al-Bayyinat ini terus memprovokasi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan retoris yang tujuannya memojokkan Syiah, "Kalian semua cinta Rasulullah? Cinta istrinya Rasulullah? Hati-hati kepada golongan tertentu yang menghina istri Rasulullah". Sepanjang pembicaraan beliau, terdengar tepuk tangan dari pendukungnya di kalangan peserta. Ketika beliau menunjuk pembicara, Syamsul Arifin, dan mengatakan, "Bapak dari Muhammadiyah, saya punya teman semua di Muhammadiyah, Muhammadiyah Jawa Timur, NU Jawa Timur, MUI Jawa Timur, semua sepakat bahwa golongan tersebut adalah sesat". Lalu Syamsul Arifin berdiri menginterupsi dan menegaskan bahwa kehadirannya saat itu tidak mewakili organisasi apapun selain mewakili diri sendiri sebagai seorang akademisi. Saat itulah ada yang meneriakkan “Ya Husain” dari belakang, membuat pendukung Zein bin Ahmad al-Kaff menjadi semakin gaduh. Mereka menganggap Ahmad Zein al-Kaff diganggu ketika sedang berbicara. Teriakan "Allahu Akbar" kemudian terdengar lalu disahuti pula dengan bacaan salawat. Dan saat suasana semakin gaduh, Cak Nun mengambil pengeras suara dan mengajak semua hadirin untuk membaca salawat dan surah al-Fatihah bersama-sama.
Sekali lagi, media yang sering memojokkan Syiah di atas menceritakan kegaduhan ini dengan cara masing-masing. Syiahindonesia.com bahkan terang-terangan menuduh bahwa kelompok Syiah tidak berkenan dengan pembicaraan Ahmad Zein al-Kaff di forum tersebut. Disebutkan pula bahwa kegaduhan disebabkan oleh massa Syiah dan kelompok liberal yang berang. Media ini juga mengutip KH. Muhyiddin Abdusshomad, Ketua PCNU Jember, sehari setelah acara ini yang mengatakan bahwa pertemuan tersebut hanya pertemuan politik yang bertujuan untuk menekan ulama agar Syiah diterima di Sampang. Sebaliknya, arrahmah.com terkesan menutup-nutupi penyebab kegaduhan. Media ini hanya menutup beritanya seolah-olah hanya terjadi keributan biasa dan kemudian acara dibubarkan dengan salawat Cak Nun.
Faktanya, seperti yang disampaikan oleh sumber yang mengikuti acara, seminar sebelumnya berjalan dengan tenang. Tepuk tangan dan tawa peserta adalah sesuatu yang wajar. Namun ketika Ahmad bin Zein al-Kaff berbicara, dan provokasi beliau terhadap Syiah yang sudah biasa beliau lakukan terjadi lagi, saat itulah para pendukungnya memanaskan suasana sehingga seminar harus dihentikan. Media dutaonline.com juga mengkonfirmasi situasi ini dengan mengatakan bahwa kegaduhan memang disebabkan oleh teriakan-teriakan peserta yang mendukung Ahmad bin Zein al-Kaff. Dan untungnya, bacaan salawat dan surah al-Fatihah yang dipimpin oleh Cak Nun di akhir acara bisa mendinginkan suasana.
Walaupun terdapat bias pemberitaan media yang memihak seperti yang disebutkan di atas, untungnya kita masih bisa mendapatkan berita yang relatif berimbang melalui media nasional serta media sosial dan jurnalisme warga (citizen journalism). Dengan perimbangan inilah kita bisa menganalisa informasi yang kita terima dari media-media bias tersebut. Bahkan dengan bantuan teknologi komunikasi saat ini, kita bisa melakukan verifikasi informasi dengan berusaha mendapatkannya dari sumber pertama dengan perspektif yang beragam. Dengan cara inilah kita akhirnya bisa menemukan informasi yang lebih rasional, bahwa kelompok anti Syiah lah, yang sepertinya memang sudah dimobilisasi dari luar, yang menjadi sumber keributan. Sederhana saja, kesimpulan ini sangat selaras dengan fakta yang sudah banyak bahwa dimana ada forum yang membicarakan Syiah, mereka akan berusaha menguasainya dan memaksakan pendapatnya.
Kita bersyukur bahwa bias berita dari seminar “Haruskah Syiah Ditolak?” di IAIN Sunan Ampel Surabaya ini bisa diluruskan dengan memanfaatkan beberapa sumber informasi yang saling mengklarifikasi satu sama lain. Dengan demikian, kita tidak kehilangan esensi dan pesan penting dari seminar yang sangat bermanfaat ini. Dan untuk menjawab tema berupa pertanyaan yang diusung dalam seminar ini, mungkin pernyataan wakil gubernur Jawa Timur seperti yang dikutip di atas sudah cukup kita sampaikan: bahwa Syiah adalah bagian dari Islam!
Alhamdulillahi rabbil 'alamin.
Informasi yang diperoleh dari panitia menyatakan bahwa pihak rektorat mendapatkan telepon dari wakil mentri agama, wakil gubernur Jawa Timur, Polda Jatim, PWNU dan MUI Jatim serta kelompok lainnya di Jawa Timur untuk membatalkan acara ini. Namun panitia yang sangat bersemangat dengan dukungan dekan Fakultas Ushuluddin akhirnya bisa mewujudkan kegiatan ini. Dan karena mewaspadai kemungkinan yang tidak diharapkan, Dekan Fakultas Ushuluddin, Ali Maksum, mewanti-wanti kepada panitia untuk membatasi peserta. Hal ini mungkin yang tidak terkoordinasi dengan baik sehingga acara berakhir dengan ending yang tidak seperti yang diharapkan. Atau bisa jadi sudah menjadi mitigation plan?
Larangan dari wakil mentri agama dan wakil gubernur Jawa Timur adalah sebuah tanda tanya besar. Selama ini, kita mengenal wakil mentri agama, Prof. Dr. Nazaruddin Umar, sebagai tokoh yang sangat toleran dan sangat menganjurkan persatuan dan persaudaraan Islam, khususnya antara Sunni dan Syiah. Beliau selalu mengedepankan dialog sehingga agak susah menerima jika beliau justru yang melarang dialog. Adapun sekiranya beliau melarang, larangan itu tentu tidak bisa diartikan sebagai pelarangan Syiah, tetapi lebih kepada “kesulitan yang belum terpecahkan” bagi pemerintah dalam membina kelompok yang sering melakukan kekerasan atas nama agama selama ini.
Demikian juga wakil gubernur Jawa Timur, Drs H. Syaifullah Yusuf. Ketika menemani Mentri Koperasi dan UKM di kampus Unitomo Surabaya (23/10) sebagaimana yang diberitakan Republika (24/20), beliau menyampaikan bahwa kelompok Syiah tidak boleh menghina kelompok lain; dan pada saat yang sama, kelompok non-Syiah juga harus menahan diri untuk tidak melarang Syiah, sebab Syiah juga bagian dari Islam. Bahkan beliau menegaskan bahwa SK tidak diperlukan untuk melarang Syiah, dan pergub Jatim no. 55/2012 sudah cukup untuk membina kegiatan keagamaan, bukan untuk melarang Syiah.
Seminar ini sedianya menghadirkan empat pembicara, masing-masing Emha Ainun Nadjib (budayawan), Drs. K. Ng. Agus Sunyoto, M.Pd (Sejarawan NU / Dosen Universitas Brawijaya Malang), Prof. Dr. Syamsul Arifin (Tokoh Muhammadiyah / Guru Besar Universitas Muhammadiyah Malang), dan Dr. Umar Shahab, MA. Namun, Umar Shahab yang satu-satunya mewakili Syiah ini tidak jadi berbicara di seminar tersebut. Beliau sebenarnya sudah hadir tetapi kemudian meninggalkan acara. Menurut Umar Shahab, seperti informasi yang kami terima dari panitia, pihak rektorat melarang beliau hadir dan berbicara. Alasannya, Polda Jatim menginformasikan kepada rektorat bahwa ada ancaman dari kelompok al-Bayyinat yang akan mengerahkan massa dan membakar kampus IAIN Sunan Ampel jika beliau hadir di seminar tersebut. Semula ketua Dewan Syura ABI ini mengembalikan masalah kepada panitia seminar dengan menawarkan tiga opsi: kembali ke tempat acara dan berbicara, kembali ke tempat acara tetapi tidak berbicara, atau tidak kembali sama sekali. Namun karena alasan keamanan, panitia kemudian memilih opsi ketiga dan meminta beliau tidak kembali.
Pembicara pertama diisi oleh Cak Nun. Beberapa media online yang kerap memojokkan Syiah mengutip ceramah Cak Nun dengan penggalan tertentu untuk memberikan imej yang tertentu pula. Hidayatullah.com dan syiahindonesia.com rupanya mendapatkan berita dari sumber yang sama, sehingga konten berita dari dua media tersebut hampir semuanya sama dalam diksi dan susunan paragraf. Dalam hal isinya, keduanya senada dengan media lain seperti arrahmah.com. Menurut media-media ini, Cak Nun dianggap plin plan dan tak menjawab pertanyaan pokok seminar sehingga Cak Nun dianggap hanya membingungkan. Hidayatullah.com bahkan menganggap bahwa seminar ini hanyalah “jumpa fans” Cak Nun saja. Tentu saja media-media ini melakukan hal tersebut untuk mengaburkan esensi pesan Cak Nun dalam hubungan Sunni Syiah. Karena menurut Cak Nun, perbedaan Sunni Syiah juga mirip perbedaan antara NU dan Muhammadiyah. Bahkan dalam perumpamaan yang lebih lucu tetapi menarik, Cak Nun mengatakan bahwa perbedaan Sunni dan Syiah seperti perbedaan (makanan) pecel dan rawon (tempo.co 22/10)
Pembicara kedua dan ketiga, Agus Sunyoto dan Syamsul Arifin, sayangnya, juga mengukuhkan pandangan Cak Nun. Agus Sunyoto bahkan menegaskan kembali silsilah keilmuan di dalam tradisi Islam dimana imam-imam mazhab Sunni yang empat menimba ilmu kepada Imam Syiah. Pertanyaan retoris Agus Sunyoto sangat mengena,“Kalau Syiah sesat, bagaimana dengan ajaran keempat mazhab tersebut?’’ Sementara itu, Syamsul Arifin yang memang sedang melakukan penelitian sosial atas Syiah di Sampang menegaskan bahwa perbedaan antara Sunni dan Syiah hanyalah masalah sosial, bukan masalah agama (hidayatullah.com, 22/10). Tentu saja, semua pendapat ini memberikan bargaining yang kurang menguntungkan bagi peserta seminar yang anti Syiah.
Maka tidak mengherankan jika saat pentolan pengkafiran Syiah, Ahmad bin Zein al-Kaff, berdiri dan menyampaikan penegasannya akan kesesatan Syiah, kelompok anti-Syiah yang datang dari luar kampus mendapatkan angin segar. Kegaduhan kemudian terjadi karena ketua yayasan al-Bayyinat ini terus memprovokasi dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan retoris yang tujuannya memojokkan Syiah, "Kalian semua cinta Rasulullah? Cinta istrinya Rasulullah? Hati-hati kepada golongan tertentu yang menghina istri Rasulullah". Sepanjang pembicaraan beliau, terdengar tepuk tangan dari pendukungnya di kalangan peserta. Ketika beliau menunjuk pembicara, Syamsul Arifin, dan mengatakan, "Bapak dari Muhammadiyah, saya punya teman semua di Muhammadiyah, Muhammadiyah Jawa Timur, NU Jawa Timur, MUI Jawa Timur, semua sepakat bahwa golongan tersebut adalah sesat". Lalu Syamsul Arifin berdiri menginterupsi dan menegaskan bahwa kehadirannya saat itu tidak mewakili organisasi apapun selain mewakili diri sendiri sebagai seorang akademisi. Saat itulah ada yang meneriakkan “Ya Husain” dari belakang, membuat pendukung Zein bin Ahmad al-Kaff menjadi semakin gaduh. Mereka menganggap Ahmad Zein al-Kaff diganggu ketika sedang berbicara. Teriakan "Allahu Akbar" kemudian terdengar lalu disahuti pula dengan bacaan salawat. Dan saat suasana semakin gaduh, Cak Nun mengambil pengeras suara dan mengajak semua hadirin untuk membaca salawat dan surah al-Fatihah bersama-sama.
Sekali lagi, media yang sering memojokkan Syiah di atas menceritakan kegaduhan ini dengan cara masing-masing. Syiahindonesia.com bahkan terang-terangan menuduh bahwa kelompok Syiah tidak berkenan dengan pembicaraan Ahmad Zein al-Kaff di forum tersebut. Disebutkan pula bahwa kegaduhan disebabkan oleh massa Syiah dan kelompok liberal yang berang. Media ini juga mengutip KH. Muhyiddin Abdusshomad, Ketua PCNU Jember, sehari setelah acara ini yang mengatakan bahwa pertemuan tersebut hanya pertemuan politik yang bertujuan untuk menekan ulama agar Syiah diterima di Sampang. Sebaliknya, arrahmah.com terkesan menutup-nutupi penyebab kegaduhan. Media ini hanya menutup beritanya seolah-olah hanya terjadi keributan biasa dan kemudian acara dibubarkan dengan salawat Cak Nun.
Faktanya, seperti yang disampaikan oleh sumber yang mengikuti acara, seminar sebelumnya berjalan dengan tenang. Tepuk tangan dan tawa peserta adalah sesuatu yang wajar. Namun ketika Ahmad bin Zein al-Kaff berbicara, dan provokasi beliau terhadap Syiah yang sudah biasa beliau lakukan terjadi lagi, saat itulah para pendukungnya memanaskan suasana sehingga seminar harus dihentikan. Media dutaonline.com juga mengkonfirmasi situasi ini dengan mengatakan bahwa kegaduhan memang disebabkan oleh teriakan-teriakan peserta yang mendukung Ahmad bin Zein al-Kaff. Dan untungnya, bacaan salawat dan surah al-Fatihah yang dipimpin oleh Cak Nun di akhir acara bisa mendinginkan suasana.
Walaupun terdapat bias pemberitaan media yang memihak seperti yang disebutkan di atas, untungnya kita masih bisa mendapatkan berita yang relatif berimbang melalui media nasional serta media sosial dan jurnalisme warga (citizen journalism). Dengan perimbangan inilah kita bisa menganalisa informasi yang kita terima dari media-media bias tersebut. Bahkan dengan bantuan teknologi komunikasi saat ini, kita bisa melakukan verifikasi informasi dengan berusaha mendapatkannya dari sumber pertama dengan perspektif yang beragam. Dengan cara inilah kita akhirnya bisa menemukan informasi yang lebih rasional, bahwa kelompok anti Syiah lah, yang sepertinya memang sudah dimobilisasi dari luar, yang menjadi sumber keributan. Sederhana saja, kesimpulan ini sangat selaras dengan fakta yang sudah banyak bahwa dimana ada forum yang membicarakan Syiah, mereka akan berusaha menguasainya dan memaksakan pendapatnya.
Kita bersyukur bahwa bias berita dari seminar “Haruskah Syiah Ditolak?” di IAIN Sunan Ampel Surabaya ini bisa diluruskan dengan memanfaatkan beberapa sumber informasi yang saling mengklarifikasi satu sama lain. Dengan demikian, kita tidak kehilangan esensi dan pesan penting dari seminar yang sangat bermanfaat ini. Dan untuk menjawab tema berupa pertanyaan yang diusung dalam seminar ini, mungkin pernyataan wakil gubernur Jawa Timur seperti yang dikutip di atas sudah cukup kita sampaikan: bahwa Syiah adalah bagian dari Islam!
Alhamdulillahi rabbil 'alamin.