
Zuhairi Misrawi
Di dalam buku biografi pemikiran yang sangat terkenal, al-Fihrist, karya Ibn al-Nadim, disebutkan bahwa Imam Syafii sangat mencintai Syiah (syadid al-tasyayyu’). Salah satu kecintaan Imam Syafii kepada Syiah ditunjukkan ketika fatwanya bertentangan dengan fatwa Imam Ali, maka Imam Syafii langsung mengubah fatwanya, dan memilih untuk mengikuti fatwa Imam Ali.
Di dalam buku biografi pemikiran yang sangat terkenal, al-Fihrist, karya Ibn al-Nadim, disebutkan bahwa Imam Syafii sangat mencintai Syiah (syadid al-tasyayyu’). Salah satu kecintaan Imam Syafii kepada Syiah ditunjukkan ketika fatwanya bertentangan dengan fatwa Imam Ali, maka Imam Syafii langsung mengubah fatwanya, dan memilih untuk mengikuti fatwa Imam Ali.
Di dalam buku biografi pemikiran yang sangat terkenal, al-Fihrist, karya Ibn al-Nadim, disebutkan bahwa Imam Syafii sangat mencintai Syiah (syadid al-tasyayyu’). Salah satu kecintaan Imam Syafii kepada Syiah ditunjukkan ketika fatwanya bertentangan dengan fatwa Imam Ali, maka Imam Syafii langsung mengubah fatwanya, dan memilih untuk mengikuti fatwa Imam Ali.
Kisah ini dituturkan oleh Kang Jalal, panggilan akrab cendekiawan muslim, Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah diskusi bulanan Forum Gusdurian, Jumat, 7 Februari di Jakarta. Bahkan, Kang Jalal mengutip ungkapan Imam Syafii yang lain, “Jika pengagum Imam Ali disebut sebagai Rafidhi, maka aku rela dipanggil sebagai Rafidhi”. Panggilan Rafidhi, sangat populer di kalangan Sunni, yang konotasinya cenderung negatif dan menyudutkan pengikut Syiah.
Saya sendiri langsung mengecek buku aslinya, al-Fihrist. Untuk ungkapan yang kedua, saya mesti bertanya kepada Kang Jalal perihal sumber aslinya.
Terus-terang, saya terperangah ketika mendapatkan sebuah fakta, bahwa Imam Syafii sebagai ulama fikih Sunni yang sangat terkemuka dan diikuti oleh para ulama Indonesia telah memberikan keteladanan yang sangat luar biasa dalam menyikapi penganut Syiah. Imam Syafii menegaskan, bahwa meskipun ia penganut Sunni, tapi kecintaannya pada Syiah sangat luar biasa, khususnya penghargaan yang setinggi-tingginya pada Imam Ali.
Saya kira, sikap toleran dan terbuka tersebut tidak hanya ditunjukkan oleh Imam Syafii, tetapi para ulama Sunni lainnya, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Di dalam sejarah hukum Islam disebutkan, bahwa Imam Zayd bin Ali, pendiri Syiah Zaydiyah belajar dari Imam Abu Hanifah. Sedangkan Imam Abu Hanifah belajar dari Imam Ja’far al-Shadiq, pemuka Syiah Isyna’asyriyah.
Jadi, jelas sekali bahwa ulama Sunni-Syiah di masa lalu mempunyai hubungan yang akrab di antara mereka. Mereka tidak hanya saling menghormati dan menghargai perbedaan, tetapi lebih dari itu saling belajar dan menimba ilmu pengetahuan di antara mereka. Mereka betul-betul memahami ungkapan Imam Ali yang sangat populer, “Kebenaran itu laksana harta karun mukmin yang berserakan di mana-mana, maka di manapun Anda menemukannya kebenaran itu milik Anda.”
Sunni dan Syiah hanyalah baju yang dipakai oleh setiap muslim untuk menunjukkan pilihan rujukan dalam memahami Islam. Sunni dan Syiah hanyalah cara untuk memahami khazanah Islam yang begitu luas dan kaya itu. Siapa yang lebih baik di antara keduanya? Jawabannya, hanya Tuhan yang Mahatahu (wallahu a’lam bi al-shawab).
Perbedaan antara Sunni dan Syiah yang muncul ke permukaan pada hakikatnya lebih disebabkan oleh faktor politis daripada faktor teologis keagamaan. Jika pun ada perbedaan teologis, hal tersebut sebenarnya tidak secara serta-merta membuat hubungan Sunni-Syiah berada dalam titik-nadir. Jangan di antara Sunni-Syiah, di dalam internal Sunni dan Syiah sendiri banyak pertentangan teologis di antara mereka.
Belakangan, muncul fatwa sesat terhadap Syiah dan gerakan yang meminta kalangan Sunni agar mewaspadai Syiah. Saya sendiri berpandangan, sikap ini sangat jauh dari keteladanan ulama Sunni, seperti Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah.
Seorang Sunni mestinya tidak memberikan cap sesat kepada Syiah, karena ulama Sunni di masa lalu sangat mencintai Syiah, dan mereka menghormati Imam Ali sebagaimana kalangan Syiah juga mengagungkan Imam Ali.
Menurut saya, kecintaan kepada Imam Ali merupakan titik-temu antara Sunni dan Syiah. Karena itu, Kang Jalal benar tatkala menyatakan bahwa Syiah adalah NU plus. Begitu pula Gus Dur yang menyatakan, bahwa NU adalah Syiah minus Imamah. Imam Ali merupakan jembatan emas untuk merajut persaudaraan antara Sunni dan Syiah.
Sumber: http://inspirasi.co/forum/post/3630/titik-temu_sunni-syiah#.uvmlrr8qd5g.twitter
Kisah ini dituturkan oleh Kang Jalal, panggilan akrab cendekiawan muslim, Jalaluddin Rakhmat dalam sebuah diskusi bulanan Forum Gusdurian, Jumat, 7 Februari di Jakarta. Bahkan, Kang Jalal mengutip ungkapan Imam Syafii yang lain, “Jika pengagum Imam Ali disebut sebagai Rafidhi, maka aku rela dipanggil sebagai Rafidhi”. Panggilan Rafidhi, sangat populer di kalangan Sunni, yang konotasinya cenderung negatif dan menyudutkan pengikut Syiah.
Saya sendiri langsung mengecek buku aslinya, al-Fihrist. Untuk ungkapan yang kedua, saya mesti bertanya kepada Kang Jalal perihal sumber aslinya.
Terus-terang, saya terperangah ketika mendapatkan sebuah fakta, bahwa Imam Syafii sebagai ulama fikih Sunni yang sangat terkemuka dan diikuti oleh para ulama Indonesia telah memberikan keteladanan yang sangat luar biasa dalam menyikapi penganut Syiah. Imam Syafii menegaskan, bahwa meskipun ia penganut Sunni, tapi kecintaannya pada Syiah sangat luar biasa, khususnya penghargaan yang setinggi-tingginya pada Imam Ali.
Saya kira, sikap toleran dan terbuka tersebut tidak hanya ditunjukkan oleh Imam Syafii, tetapi para ulama Sunni lainnya, seperti Imam Abu Hanifah dan Imam Malik. Di dalam sejarah hukum Islam disebutkan, bahwa Imam Zayd bin Ali, pendiri Syiah Zaydiyah belajar dari Imam Abu Hanifah. Sedangkan Imam Abu Hanifah belajar dari Imam Ja’far al-Shadiq, pemuka Syiah Isyna’asyriyah.
Jadi, jelas sekali bahwa ulama Sunni-Syiah di masa lalu mempunyai hubungan yang akrab di antara mereka. Mereka tidak hanya saling menghormati dan menghargai perbedaan, tetapi lebih dari itu saling belajar dan menimba ilmu pengetahuan di antara mereka. Mereka betul-betul memahami ungkapan Imam Ali yang sangat populer, “Kebenaran itu laksana harta karun mukmin yang berserakan di mana-mana, maka di manapun Anda menemukannya kebenaran itu milik Anda.”
Sunni dan Syiah hanyalah baju yang dipakai oleh setiap muslim untuk menunjukkan pilihan rujukan dalam memahami Islam. Sunni dan Syiah hanyalah cara untuk memahami khazanah Islam yang begitu luas dan kaya itu. Siapa yang lebih baik di antara keduanya? Jawabannya, hanya Tuhan yang Mahatahu (wallahu a’lam bi al-shawab).
Perbedaan antara Sunni dan Syiah yang muncul ke permukaan pada hakikatnya lebih disebabkan oleh faktor politis daripada faktor teologis keagamaan. Jika pun ada perbedaan teologis, hal tersebut sebenarnya tidak secara serta-merta membuat hubungan Sunni-Syiah berada dalam titik-nadir. Jangan di antara Sunni-Syiah, di dalam internal Sunni dan Syiah sendiri banyak pertentangan teologis di antara mereka.
Belakangan, muncul fatwa sesat terhadap Syiah dan gerakan yang meminta kalangan Sunni agar mewaspadai Syiah. Saya sendiri berpandangan, sikap ini sangat jauh dari keteladanan ulama Sunni, seperti Imam Syafii dan Imam Abu Hanifah.
Seorang Sunni mestinya tidak memberikan cap sesat kepada Syiah, karena ulama Sunni di masa lalu sangat mencintai Syiah, dan mereka menghormati Imam Ali sebagaimana kalangan Syiah juga mengagungkan Imam Ali.
Menurut saya, kecintaan kepada Imam Ali merupakan titik-temu antara Sunni dan Syiah. Karena itu, Kang Jalal benar tatkala menyatakan bahwa Syiah adalah NU plus. Begitu pula Gus Dur yang menyatakan, bahwa NU adalah Syiah minus Imamah. Imam Ali merupakan jembatan emas untuk merajut persaudaraan antara Sunni dan Syiah.
Sumber: http://inspirasi.co/forum/post/3630/titik-temu_sunni-syiah#.uvmlrr8qd5g.twitter