Baso Mappadeceng
Menutup tahun 2013, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan menggelar Refleksi Akhir Tahun bertema "Aktualisasi Islam Sebagai Rahmatan lil 'Alamin dalam Konteks Keindonesiaan". Laporannya seperti berikut ini. [majulah-IJABI]
Menutup tahun 2013, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan menggelar Refleksi Akhir Tahun bertema "Aktualisasi Islam Sebagai Rahmatan lil 'Alamin dalam Konteks Keindonesiaan". Laporannya seperti berikut ini. [majulah-IJABI]
Bertempat di Studio Mini Harian Fajar, Graha Pena lantai 4, Makassar, MUI SulSel menghadirkan para pembicara yaitu DR (HC) AGH Sanusi Baco, LC (Ketua Umum MUI SulSel), KH Drs Nazaruddin Razak (Penasehat PW Muhammadiyah SulSel), DR Muhammad Ruslan (Wakil Ketua PW NU SulSel) dan Prof DR Abd Rahim Yunus, MA (Ketua FKUB SulSel).
AGH Sanusi Baco mengawali acara dengan mengemukakan 4 hidayah yang dianugerahkan Allah pada manusia. Saat lahir, manusia dikaruniai "hidayah fitrah". Manusia juga diberi "hidayah al-khawwas" yaitu panca indra dan akal pikiran.
Disamping itu manusia juga dianugerahi "hidayah ilmu". Puncak dari hidayah Tuhan yang merupakan hidayah tertinggi bagi manusia yaitu "hidayah agama", yang dengan jalan itu manusia mengenal hakikat kebenaran. Hidayah agama dalam diri manusia adalah keimanan. Tanpa iman tidak ada kekuatan dalam diri manusia yang bisa mendorong berbuat kebaikan atau mencegahnya dari kezaliman. Gurutta berpandangan, penyakit dunia saat ini hanya satu, yaitu "krisis iman", dan obatnya juga hanya satu, yaitu agama yang bersifat kerahmatan (rahmatan lil 'alamin). Berbagai tindakan kezaliman yang terjadi saat ini, dari korupsi, perzinahan, hingga kekerasan pada orang lain, bisa terjadi karena krisis iman.
Pada kesempatan kedua, Prof DR Abd Rahim Yunus mengemukakan pentingnya menghadirkan agama yang membawa pesan-pesan kedamaian ke tengah masyarakat. Agama tidak boleh menjadi pemicu konflik antar sesama umat manusia karena agama datang untuk menjadi perekat.
Seraya menyampaikan apresiasi dan terimakasihnya pada tokoh-tokoh agama, majelis-majelis agama, dan pimpinan ormas keagamaan, Prof Rahim menjelaskan keniscayaan historis untuk menjaga pluralitas bangsa dan tetap menjaga RI sebagai bangsa untuk semua warga negara, apapun agama atau mazhabnya, suku atau rasnya. Inilah yang membedakan Indonesi dibanding negara-negara lain seperti Malaysia atau Pakistan misalnya.
Malaysia didirikan oleh para Sultan dari etnis Melayu-Muslim, Pakistan didirikan oleh kelompok Muslim yg memisahkan diri dari India, sehingga kedua negara tersebut mengklaim negaranya berdasarkan ras atau agama tersebut. Berbeda dengan Indonesia yang didirikan dan diperjuangkan oleh rakyat Indonesia dari beragam etnis, agama, suku dan golongan. Keragaman (kebhinnekaan) adalah fakta sejarah Indonesia yang harus tetap kita pertahankan sebagai bangsa. Karena itu, sifat kerahmatan Islam adalah modal dasar memperkuat kesatuan bangsa.
Menyikapi fenomena kekerasan khususnya karena dalih keagamaan, Prof Rahim Yunus mengutip salah satu ayat Al-Quran, Surah Al-Maidah, ayat 32:
AGH Sanusi Baco mengawali acara dengan mengemukakan 4 hidayah yang dianugerahkan Allah pada manusia. Saat lahir, manusia dikaruniai "hidayah fitrah". Manusia juga diberi "hidayah al-khawwas" yaitu panca indra dan akal pikiran.
Disamping itu manusia juga dianugerahi "hidayah ilmu". Puncak dari hidayah Tuhan yang merupakan hidayah tertinggi bagi manusia yaitu "hidayah agama", yang dengan jalan itu manusia mengenal hakikat kebenaran. Hidayah agama dalam diri manusia adalah keimanan. Tanpa iman tidak ada kekuatan dalam diri manusia yang bisa mendorong berbuat kebaikan atau mencegahnya dari kezaliman. Gurutta berpandangan, penyakit dunia saat ini hanya satu, yaitu "krisis iman", dan obatnya juga hanya satu, yaitu agama yang bersifat kerahmatan (rahmatan lil 'alamin). Berbagai tindakan kezaliman yang terjadi saat ini, dari korupsi, perzinahan, hingga kekerasan pada orang lain, bisa terjadi karena krisis iman.
Pada kesempatan kedua, Prof DR Abd Rahim Yunus mengemukakan pentingnya menghadirkan agama yang membawa pesan-pesan kedamaian ke tengah masyarakat. Agama tidak boleh menjadi pemicu konflik antar sesama umat manusia karena agama datang untuk menjadi perekat.
Seraya menyampaikan apresiasi dan terimakasihnya pada tokoh-tokoh agama, majelis-majelis agama, dan pimpinan ormas keagamaan, Prof Rahim menjelaskan keniscayaan historis untuk menjaga pluralitas bangsa dan tetap menjaga RI sebagai bangsa untuk semua warga negara, apapun agama atau mazhabnya, suku atau rasnya. Inilah yang membedakan Indonesi dibanding negara-negara lain seperti Malaysia atau Pakistan misalnya.
Malaysia didirikan oleh para Sultan dari etnis Melayu-Muslim, Pakistan didirikan oleh kelompok Muslim yg memisahkan diri dari India, sehingga kedua negara tersebut mengklaim negaranya berdasarkan ras atau agama tersebut. Berbeda dengan Indonesia yang didirikan dan diperjuangkan oleh rakyat Indonesia dari beragam etnis, agama, suku dan golongan. Keragaman (kebhinnekaan) adalah fakta sejarah Indonesia yang harus tetap kita pertahankan sebagai bangsa. Karena itu, sifat kerahmatan Islam adalah modal dasar memperkuat kesatuan bangsa.
Menyikapi fenomena kekerasan khususnya karena dalih keagamaan, Prof Rahim Yunus mengutip salah satu ayat Al-Quran, Surah Al-Maidah, ayat 32:
"Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. Dan sesungguhnya telah datang kepada mereka rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi." (QS Al-Maidah:32)
Karena itu negara menjamin hak setiap warga negaranya untuk melaksanakan keyakinannya, dan untuk itu dibuatlah berbagai aturan perundang-undangan untuk menjamin hak-hak tersebut dan tetap menjaga kerukunan antar umat beragama."
MUI Tak Fatwakan Kesesatan Mazhab Syiah
Prof Rahim Yunus juga menegaskan pentingnya menjaga posisi MUI sebagai "payung" bagi semua umat Islam yang harus mengayomi semua kelompok dalam Islam, Muhammadiyah, NU, IJABI (Syiah) dan semua kelompok dalam Islam.
Pada bagian ketiga, KH Drs Nasaruddin Razak menyampaikan keresahannya atas fenomena kekerasan di kalangan kaum muda, seperti demo anarkis dan tawuran mahasiswa, hingga geng motor yang sudah sangat mengkhawatirkan. Beliau mengajak semua pihak untuk mencari solusi atas krisis iman di kalangan kaum muda.
Sesi refleksi diakhiri oleh Dr Muhammad Ruslan yang mengawali penjelasannya dengan pernyataan, "Islam adalah agama rahmat. Orang yang tidak bisa merasakan Rahmat-Nya dan kerahmatan Islam, tidak akan bisa mengaktualisasikan kerahmatan Islam ke seluruh alam."
Dalam aktualisasi ajaran Islam akan ada perbedaan dalam penafsiran. Perbedaan penafsiran dalam memahami Islam adalah hal yang wajar. Memahami agama hanya secara tekstual bisa menimbulkan perselisihan. Dibutuhkan pemahaman dan kajian yang lebih mendalam atas teks agama untuk menemukan dan merasakan kerahmatan Islam. Dan, penguasaan bahasa Arab adalah salah satu syarat penting.
Mengutip sufi Syaqiq Al-Balkhiy, Dr Ruslan menyebut beberapa ciri orang yang tidak dapat merasakan Islam sebagai rahmat, di antaranya; orang yang beramal tanpa ilmu, orang yang tidak mengamalkan ilmu yang diketahui, dan orang yang tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu dan tidak mau belajar.
Dalam sesi tanya jawab, ada yang mempertanyakan tentang fatwa sesatnya Syiah oleh MUI. Pertanyaan tersebut hanya ditanggapi oleh Prof Dr Abd Rahim Yunus yang juga Wakil Ketua MUI SulSel. Beliau menegaskan sekali lagi bahwa MUI belum pernah mengeluarkan fatwa tentang sesatnya Syiah. Fatwa yang pernah dikeluarkan MUI beberapa tahun lalu hanya menyebutkan perlunya mewaspadai ajaran Syiah. Fatwa tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial politik saat itu di masa Orde Baru. Beliau menegaskan kembali bahwa di atas fatwa MUI ada fatwa Ulama sedunia yaitu Risalah Amman.
Karena itu negara menjamin hak setiap warga negaranya untuk melaksanakan keyakinannya, dan untuk itu dibuatlah berbagai aturan perundang-undangan untuk menjamin hak-hak tersebut dan tetap menjaga kerukunan antar umat beragama."
MUI Tak Fatwakan Kesesatan Mazhab Syiah
Prof Rahim Yunus juga menegaskan pentingnya menjaga posisi MUI sebagai "payung" bagi semua umat Islam yang harus mengayomi semua kelompok dalam Islam, Muhammadiyah, NU, IJABI (Syiah) dan semua kelompok dalam Islam.
Pada bagian ketiga, KH Drs Nasaruddin Razak menyampaikan keresahannya atas fenomena kekerasan di kalangan kaum muda, seperti demo anarkis dan tawuran mahasiswa, hingga geng motor yang sudah sangat mengkhawatirkan. Beliau mengajak semua pihak untuk mencari solusi atas krisis iman di kalangan kaum muda.
Sesi refleksi diakhiri oleh Dr Muhammad Ruslan yang mengawali penjelasannya dengan pernyataan, "Islam adalah agama rahmat. Orang yang tidak bisa merasakan Rahmat-Nya dan kerahmatan Islam, tidak akan bisa mengaktualisasikan kerahmatan Islam ke seluruh alam."
Dalam aktualisasi ajaran Islam akan ada perbedaan dalam penafsiran. Perbedaan penafsiran dalam memahami Islam adalah hal yang wajar. Memahami agama hanya secara tekstual bisa menimbulkan perselisihan. Dibutuhkan pemahaman dan kajian yang lebih mendalam atas teks agama untuk menemukan dan merasakan kerahmatan Islam. Dan, penguasaan bahasa Arab adalah salah satu syarat penting.
Mengutip sufi Syaqiq Al-Balkhiy, Dr Ruslan menyebut beberapa ciri orang yang tidak dapat merasakan Islam sebagai rahmat, di antaranya; orang yang beramal tanpa ilmu, orang yang tidak mengamalkan ilmu yang diketahui, dan orang yang tidak menyadari bahwa dirinya tidak tahu dan tidak mau belajar.
Dalam sesi tanya jawab, ada yang mempertanyakan tentang fatwa sesatnya Syiah oleh MUI. Pertanyaan tersebut hanya ditanggapi oleh Prof Dr Abd Rahim Yunus yang juga Wakil Ketua MUI SulSel. Beliau menegaskan sekali lagi bahwa MUI belum pernah mengeluarkan fatwa tentang sesatnya Syiah. Fatwa yang pernah dikeluarkan MUI beberapa tahun lalu hanya menyebutkan perlunya mewaspadai ajaran Syiah. Fatwa tersebut tidak terlepas dari kondisi sosial politik saat itu di masa Orde Baru. Beliau menegaskan kembali bahwa di atas fatwa MUI ada fatwa Ulama sedunia yaitu Risalah Amman.