Prof. Dr. Imam Suprayogo
(Guru Besar dan Mantan Rektor UIN Maliki Malang)
Ada beberapa informasi beredar bahwa masyarakat ahlussunnah di Iran mengalami diskriminasi dari pemerintah dan masyarakat yang mayoritas pengikut mazhab ahlulbait. Benarkah demikian? Berikut penuturan salah seorang cendekiawan Islam yang pernah mengunjungi negara itu (majulah-IJABI)
(Guru Besar dan Mantan Rektor UIN Maliki Malang)
Ada beberapa informasi beredar bahwa masyarakat ahlussunnah di Iran mengalami diskriminasi dari pemerintah dan masyarakat yang mayoritas pengikut mazhab ahlulbait. Benarkah demikian? Berikut penuturan salah seorang cendekiawan Islam yang pernah mengunjungi negara itu (majulah-IJABI)
Selama di Iran, selain mengunjungi Khauzah Ilmiah, madrasah, dan juga perguruan tinggi yang bermadzah Syi’ab, saya juga diundang untuk bersillaturrahmi ke pesantren pengikut Madzhab Sunny. Memang dilihat dari madzhabnya, masyarakat Iran bertolak belakang dari masyarakat Islam di Indonesia. Mayoritas umat Islam di Iran adalah pengikut Syi’ah, namun ada juga sedikit yang mengikut madzhab sunny. Sebaliknya di Indonesia, mayoritas mengikuti madzhab Sunny, tetapi juga ada, sekalipun jumlahnya tidak banyak, yang mengikuti madzhab Syi’ah.
Lembaga pendidikan Islam berupa pesantren pengikut Sunny yang saya kunjungi dimaksud adalah Darul Ulum lita’limil Qur’an wa Sunnah, berada di Khurazan, yaitu arah timur dari kota Teheran, berjarak kira-kira 900 km, sehingga dapat ditempuh selama satu jam dengan pesawat terbang dan masih harus ditambah perjalanan dengan mobil sekitar satu setengah jam lagi. Tempat di mana pesantren ini berada, lebih mengesankan sebagai wilayah pedesaan. Kesan saya, keadaan lembaga pendidikan Islam di Khurazan ini terasa mirip dengan kebanyakan pesantren di Indonesia.
Di di wilayah Khurazan, nama Imam Al Ghazali sangat dikenal. Untuk menuju daerah Thus, di mana ulama besar pengarang Kitab Ihya’ Ulumuddin itu dilahirkan dan sekaligus juga tempat wafatnya, dari pesantren dimaksud tidak terlalu jauh. Menurut informasi yang disampaikan oleh pimpinan pesantren yang saya kunjungi, bahwa untuk sampai di makam Imam al Ghazali hanya memerlukan waktu beberapa menit saja. Namun oleh karena keterbatasan waktu, saya dan rombongan tidak mungkin berziarah di makam ulama besar yang sangat dihormati oleh umat Islam di Indonesia dimaksud.
Di daerah Khurazan tidak semua umat Islam menjadi penganut Sunny. Sebagaimana umat Islam di Iran pada umumnya, adalah mengikuti madzhab Syi’ah. Namun demikian, hubungan di antara umat Islam yang berbeda madzhab tersebut terjalin dengan baik. Tatkala mendengar kabar bahwa pondok pesantren Darul Ulum li Ta’limin Qur’an wa Sunnah kedatangan tamu dari Indonesia, maka ulama Syi’ah juga diundang dan hadir ke tempat itu untuk bersama-sama menyambut dan memberi penghormatan.
Pengasuh pesantren pengikut madzhab Sunny, sebagai tuan rumah juga menjelaskan bahwa, perbedaan madzhab di wilayah Khurazan tidak menjadikan umat Islam berpecah belah. Sekalipun berbeda madzhab, di antara mereka berhasil menjalin kerukunan dan saling menghormati. Pimpinan pesantren ini memberikan contoh kerukunan itu, ialah misalnya di dalam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad, saw. Menurut keyakinan madzhab Sunny, Nabi Muhammad lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sementara Madzhab Syi’ah meyakini bahwa, kelahiran itu jatuh pada tanggal 17 pada bulan yang sama.
Perbedaan keyakinan tersebut tidak melahirkan masalah. Keduanya berhasil memahami dan juga menghormati. Ketika umat Islam bermadzhab Sunny memperingati hari kelahiran Nabi Muhammam pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, maka pengikut madzhab Syi’ah diundang dan juga datang. Demikian pula sebaliknya, ketika pengikut Madzhab Syi’ah memperingati hari kelahiran Rasulullah itu pada tanggal 17 pada bulan yang sama, maka pengikut Madzhab Sunny juga diundang dan hadir. Masing-masing mengetahui atas perbedaan itu, namun tidak menjadikan di antara mereka saling membenci dan apalagi memusuhi.
Pesantren Darul Ulum li Taklimil Qur’an wa Sunnah yang ada di Khurazan tersebut dipimpin oleh seorang ulama yang tampak kharismatik dan dibantu oleh beberapa asatidz. Sama dengan di Indonesia, pesantren yang berjarak sekitar 900 km arah timur dari kota Teheran itu juga terdiri atas masjid, ruang belajar, dan tempat menginap para santri. Dari pesantren ini juga tampak gambaran kesederhaannya, kemandirian para santri, dan juga kitab kuning yang dipelajari pada setiap hari.
Hal yang agaknya mungkin saja berbeda dari pesantren di Indonesia, ------sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh pengasuh pesantren Darul Ulum li Ta’limil Qur’an wa Sunnah ini, adalah bahwa sehari-hari jenis dan kualitas makanan bagi semua warga pesantren, baik pengasuh, asatidz, dan santrinya adalah sama. Tidak terkecuali, jamuan makan yang diberikan kepada tamu, ----termasuk kepada saya dan rombongan, menurut penuturan pengasuhnya, tidak berbeda dari makanan para santri. Nilai kebersamaan selalu diwujudkan di pesantren ini.
Pesantren bermadzhab Sunny yang berada di tengah-tengah mayoritas bermadzhab Syi’ah ternyata tidak merasa terganggu. Di antara mereka terbangun saling berkomuniukasi dan bahkan juga saling membantu. Informasi tentang kedatangan tamu dari Indonesia juga diperoleh dari Ulama’ Syi’ah yang mengundang. Kedatangan saya dan rombongan ke Pesantren pengikut Madzhab Sunny di Khurazan dimaksud, dijemput oleh pengasuhnya sendiri ke Kota Masyhad, tempat saya menginap, dan juga mengajak serta bPimpinan Lembaga Takrib bainal Madzahib yang bermadzhab Syi’ah. Melalui contoh ini, adanya perbedaan madzhab, ternyata tidak menghalangi pelaksanaan ajaran Islam yang mengharuskan agar di antara sesama selalu bersatu dan saling mengasihi. Wallahu a’lam
Sumber: dari situs UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dinyatakan dimuat tanggal 2 Oktober 2014. Kami akses tanggal 7 Oktober jam 1.40 siang.
Lembaga pendidikan Islam berupa pesantren pengikut Sunny yang saya kunjungi dimaksud adalah Darul Ulum lita’limil Qur’an wa Sunnah, berada di Khurazan, yaitu arah timur dari kota Teheran, berjarak kira-kira 900 km, sehingga dapat ditempuh selama satu jam dengan pesawat terbang dan masih harus ditambah perjalanan dengan mobil sekitar satu setengah jam lagi. Tempat di mana pesantren ini berada, lebih mengesankan sebagai wilayah pedesaan. Kesan saya, keadaan lembaga pendidikan Islam di Khurazan ini terasa mirip dengan kebanyakan pesantren di Indonesia.
Di di wilayah Khurazan, nama Imam Al Ghazali sangat dikenal. Untuk menuju daerah Thus, di mana ulama besar pengarang Kitab Ihya’ Ulumuddin itu dilahirkan dan sekaligus juga tempat wafatnya, dari pesantren dimaksud tidak terlalu jauh. Menurut informasi yang disampaikan oleh pimpinan pesantren yang saya kunjungi, bahwa untuk sampai di makam Imam al Ghazali hanya memerlukan waktu beberapa menit saja. Namun oleh karena keterbatasan waktu, saya dan rombongan tidak mungkin berziarah di makam ulama besar yang sangat dihormati oleh umat Islam di Indonesia dimaksud.
Di daerah Khurazan tidak semua umat Islam menjadi penganut Sunny. Sebagaimana umat Islam di Iran pada umumnya, adalah mengikuti madzhab Syi’ah. Namun demikian, hubungan di antara umat Islam yang berbeda madzhab tersebut terjalin dengan baik. Tatkala mendengar kabar bahwa pondok pesantren Darul Ulum li Ta’limin Qur’an wa Sunnah kedatangan tamu dari Indonesia, maka ulama Syi’ah juga diundang dan hadir ke tempat itu untuk bersama-sama menyambut dan memberi penghormatan.
Pengasuh pesantren pengikut madzhab Sunny, sebagai tuan rumah juga menjelaskan bahwa, perbedaan madzhab di wilayah Khurazan tidak menjadikan umat Islam berpecah belah. Sekalipun berbeda madzhab, di antara mereka berhasil menjalin kerukunan dan saling menghormati. Pimpinan pesantren ini memberikan contoh kerukunan itu, ialah misalnya di dalam memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad, saw. Menurut keyakinan madzhab Sunny, Nabi Muhammad lahir pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, sementara Madzhab Syi’ah meyakini bahwa, kelahiran itu jatuh pada tanggal 17 pada bulan yang sama.
Perbedaan keyakinan tersebut tidak melahirkan masalah. Keduanya berhasil memahami dan juga menghormati. Ketika umat Islam bermadzhab Sunny memperingati hari kelahiran Nabi Muhammam pada tanggal 12 Rabi’ul Awwal, maka pengikut madzhab Syi’ah diundang dan juga datang. Demikian pula sebaliknya, ketika pengikut Madzhab Syi’ah memperingati hari kelahiran Rasulullah itu pada tanggal 17 pada bulan yang sama, maka pengikut Madzhab Sunny juga diundang dan hadir. Masing-masing mengetahui atas perbedaan itu, namun tidak menjadikan di antara mereka saling membenci dan apalagi memusuhi.
Pesantren Darul Ulum li Taklimil Qur’an wa Sunnah yang ada di Khurazan tersebut dipimpin oleh seorang ulama yang tampak kharismatik dan dibantu oleh beberapa asatidz. Sama dengan di Indonesia, pesantren yang berjarak sekitar 900 km arah timur dari kota Teheran itu juga terdiri atas masjid, ruang belajar, dan tempat menginap para santri. Dari pesantren ini juga tampak gambaran kesederhaannya, kemandirian para santri, dan juga kitab kuning yang dipelajari pada setiap hari.
Hal yang agaknya mungkin saja berbeda dari pesantren di Indonesia, ------sesuai dengan apa yang dijelaskan oleh pengasuh pesantren Darul Ulum li Ta’limil Qur’an wa Sunnah ini, adalah bahwa sehari-hari jenis dan kualitas makanan bagi semua warga pesantren, baik pengasuh, asatidz, dan santrinya adalah sama. Tidak terkecuali, jamuan makan yang diberikan kepada tamu, ----termasuk kepada saya dan rombongan, menurut penuturan pengasuhnya, tidak berbeda dari makanan para santri. Nilai kebersamaan selalu diwujudkan di pesantren ini.
Pesantren bermadzhab Sunny yang berada di tengah-tengah mayoritas bermadzhab Syi’ah ternyata tidak merasa terganggu. Di antara mereka terbangun saling berkomuniukasi dan bahkan juga saling membantu. Informasi tentang kedatangan tamu dari Indonesia juga diperoleh dari Ulama’ Syi’ah yang mengundang. Kedatangan saya dan rombongan ke Pesantren pengikut Madzhab Sunny di Khurazan dimaksud, dijemput oleh pengasuhnya sendiri ke Kota Masyhad, tempat saya menginap, dan juga mengajak serta bPimpinan Lembaga Takrib bainal Madzahib yang bermadzhab Syi’ah. Melalui contoh ini, adanya perbedaan madzhab, ternyata tidak menghalangi pelaksanaan ajaran Islam yang mengharuskan agar di antara sesama selalu bersatu dan saling mengasihi. Wallahu a’lam
Sumber: dari situs UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, dinyatakan dimuat tanggal 2 Oktober 2014. Kami akses tanggal 7 Oktober jam 1.40 siang.