Zuhairi Misrawi
Ibarat sebuah tanaman, ekstremisme di republik ini telah menjelma sebagai tanaman yang tumbuh subur. Dalam hal ini, ekstremisme terkait dengan keyakinan (teologi). Sejarah membuktikan, usia keyakinan tersebut seumur usia agama itu sendiri. Jika pada zaman Nabi ada kelompok yang taat beribadah, tapi gemar melaksanakan aksi kekerasan seperti kalangan Khawarij, maka pada zaman modern ini muncul wahabisme yang juga menawarkan ketaatan agama di satu sisi, dan kekerasan di sisi lain.
Ibarat sebuah tanaman, ekstremisme di republik ini telah menjelma sebagai tanaman yang tumbuh subur. Dalam hal ini, ekstremisme terkait dengan keyakinan (teologi). Sejarah membuktikan, usia keyakinan tersebut seumur usia agama itu sendiri. Jika pada zaman Nabi ada kelompok yang taat beribadah, tapi gemar melaksanakan aksi kekerasan seperti kalangan Khawarij, maka pada zaman modern ini muncul wahabisme yang juga menawarkan ketaatan agama di satu sisi, dan kekerasan di sisi lain.
Ibarat sebuah tanaman, ekstremisme di republik ini telah menjelma sebagai tanaman yang tumbuh subur. Dalam hal ini, ekstremisme terkait dengan keyakinan (teologi). Sejarah membuktikan, usia keyakinan tersebut seumur usia agama itu sendiri. Jika pada zaman Nabi ada kelompok yang taat beribadah, tapi gemar melaksanakan aksi kekerasan seperti kalangan Khawarij, maka pada zaman modern ini muncul wahabisme yang juga menawarkan ketaatan agama di satu sisi, dan kekerasan di sisi lain.
Khaled Abou el Fadl dalam The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists menegaskan perihal relasi antara paham wahabisme dengan ekstremisme yang disponsori oleh jaringan terorisme internasional al-Qaeda dan Gerakan Taliban di Afghanistan. Pandangan ini menarik untuk eksplorasi, karena wahabisme sebagai sebuah paham tidak hanya berkembang di tanah kelahirannya, tetapi juga berkembangkan di negara-negara muslim, bahkan di Barat sekalipun. Tidak terkecuali paham tersebut mempunyai akar-akar yang kuat dalam paham keagamaan di Tanah Air. Di satu sisi ada yang berbentuk paham keagamaan yang bersifat massif, tetapi juga ada yang berbentuk gerakan yang dimanifestasikan dalam beberapa aksi terorisme belakangan ini.
Khaled Abou el Fadl dalam tesisnya menegaskan, Wahabisme merupakan paham yang menyuburkan lahirnya gerakan-gerakan yang mengusung ekstremisme, di samping faktor ketidakadilan global terhadap negara-negara muslim. Lalu pertanyaannya, apa sesungguhnya yang diyakini oleh kalangan wahabi tersebut?
Tulisan ini ingin memberikan highlight terhadap tesis tersebut untuk memberikan penjelasan seputar lanskap teologis dan historis dari paham wahabisme dan relasinya dengan gerakan-gerakan yang mengusung ekstremisme. Lebih dari itu, yang terpenting, yaitu melakukan langkah-langkah dalam penguatan hidup damai dan toleransi dengan meneguhkan kembali paradigma Islam Rahmatan lil ‘Alamin sebagai upaya merekonstruksi paradigma keislaman kontemporer, khususnya dalam konteks keindonesiaan.
Wahabisme
Wahabisme adalah paham dan gerakan yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pada abad ke-18. Paham tersebut mengembangkan puritanisme di satu sisi, dan ekstremisme di sisi lain. Kalangan wahabi memandang telah banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dari ajaran Islam yang murni dan lurus, sehingga diperlukan sebuah upaya dan gerakan kembali kepada al-Quran dan Sunnah.
Dalam poin ini sebenarnya tidak ada yang salah. Kembali kepada al-Quran dan sunnah merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap muslim. Sebab, al-Quran dan sunnah merupakan sumber primer dalam Islam. Tetapi, slogan tersebut menjadi masalah, karena dikomodifikasi sedemikian rupa untuk membentuk sebuah nalar keagamaan yang bersifat puritanistik-absolute. Hanya pandangan kalangan Wahabi saja yang benar, sedangkan pandangan orang lain dianggap salah, bahkan sesat dan kafir.
Kalangan wahabi melalui slogan tersebut menolak tasawuf, doktrin perantara (tawassul), rasionalisme dan segala pandangan yang berasal dari kalangan non-muslim. Dalam melakukan misinya, mereka menggunakan “palu bid’ah” untuk menilai seluruh praktek keagamaan yang dianggap menyimpang. Uniknya, kalangan Wahabi ini tidak hanya menganggap bid’ah orang-orang non-muslim, yang dalam kacamata modern adalah Barat, tetapi justru memperlakukan ulama-ulama muslim sebagai kalangan yang mereka anggap bid’ah. Di antara ulama terkemuka yang dianggap kafir oleh mereka adalah Imam Fakhruddin al-Razi, penulis kitab Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtîh al-Ghayb.
Sikap seperti ini sangat aneh, karena Imam al-Razi merupakan salah satu imam yang paling eksklopedis dalam bidang tafsir dan otoritas keagamaanya sudah tidak diragukan lagi. Imam al-Razi adalah ulama garda terdepan yang mana wawasan keagamaannya merangkum khazanah tafsir yang telah lahir pada masa sebelumnya. Di samping itu, ia menafsirkan al-Quran dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu, antara lain, sejarah, filsafat, kalam dan linguistik. Sebab itu, jika dibandingkan dengan karya pendiri wahabisme, yaitu Muhammad bin Abdul Wahhab, apa yang sudah dilakukan oleh Imam Fakhruddin al-Razi tidak akan terlampaui. Ibarat langit dan bumi..
Dalam hal ini harus diakui, bahwa tradisi intelektualisme di kalangan wahabi tidak begitu berkembang jika dibandingkan dengan kalangan Sunni, yang mana karya-karyanya sangat menekankan pada aspek dan aspek rasionalitas. Tapi ironisnya, sekali lagi, kalangan wahabi memberikan penilaian kafir terhadap ulama brilian seperti Imam Fakhruddin al-Razi.
Menurut Khaled, bahwa apa yang dilakukan kalangan wahabi mempunyai kemiripan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, terutama tatkala mereka mengutuk Maimondes atau orang-orang Katolik ketika mengeritik Thomas Aquinas. Bahkan menganggapnya sebagai kafir. Pandangan ini mengukuhkan tesis Karen Armstrong yang menyatakan, bahwa puritanisme yang melahirkan terorisme bukanlah hanya monopoli kalangan muslim saja, tetapi juga dapat ditemukan dalam khazanah agama-agama samawi lainnya, seperti Yahudi dan Kristen.
Kembali kepada pandangan kalangan wahabi, mereka menganggap bahwa untuk menemukan kembali “makna asli” dalam Islam perlu sebuah upaya untuk kembali ke periode awal Islam, sebagaimana dipraktekkan Nabi Muhammad SAW. Pandangan ini menimbulkan masalah, karena tidak seperti kalangan Sunni yang meniscayakan sebuah penelusuran intelektual terhadap khazanah klasik yang ditulis para ulama terdahulu dengan beragam pandangannya, kalangan wahabi tidak melakukan hal tersebut. Mereka membuat penalaran baru dengan merujuk pada pandangan Ibnu Taimiyah. Itupan tidak secara adil dan obyektif pandangan Ibnu Taimiyah, karena yang dikutip hanya pandangan yang dapat menjustifikasi paham mereka.
Kalangan wahabi sangat membenci kalangan non-muslim. Sebab itu, ia menghimbau agar kalangan muslim tidak berteman dan tidak mengikuti kebiasaan orang-orang non-muslim. Bagi mereka sudah jelas, bahwa orang-orang non-muslim adalah kafir. Tetapi yang lebih mengerikan lagi, tatkala menyebutkan orang-orang muslim yang dianggap murtad sesuai dengan pandangan kalangan wahabi adalah lebih buruk daripada orang-orang non-muslim sendiri. Belakangan, pandangan ini diamini oleh Sayyed Quthub, yang menganggap orang-orang Barat yang notabene sebagai non-muslim sebagai jahiliyah modern.
Pandangan ini sudah barang tentu akan menjadi penghambat serius terhadap upaya membangun toleransi dan pluralisme. Tidak hanya itu saja, pandangan ini bertentangan dengan ayat al-Quran yang berbunyi, Mereka tidaklah sama, di antara orang-orang Ahlul Kitab terdapat umat yang bangun di tengah malam membaca ayat-ayat Tuhan dan mereka bersujud kepada Tuhan. Mereka beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, mengajak pada kebajikan dan mencegah kemunkaran, serta berlomba-lomba dalam kebaikan, dan mereka adalah orang-orang yang shaleh (QS. Ali ‘Imran [3]: 113-114). Di dalam ayat lain disebutkan, Dan janganlah mendebat orang-orang Ahlul Kitab kecuali dengan cara yang lebih arif (QS. al-‘Ankabut [29]: 46). Bahkan dalam sejarah disebutkan, bahwa pendeta-pendeta Mekkah yang justru meneguhkan Muhammad SAW akan menjadi seorang Nabi dan utusan Tuhan. Di antara pendeta yang sering disebut di dalam sejarah, yaitu Buhaira dan Waraqah bin Naufal.
Dalam hal ini dapat dipahami, bahwa pandangan kalangan Wahabi bertolak belakang dengan pandangan kalangan Sunni yang merupakan pandangan mayoritas kalangan muslim. Mereka telah memperlakukan teks-teks keagamaan sesuai dengan paham dan ideologi mereka. Khaled Abou el Fadl memandang bahwa secara sosiologis ada kecocokan antara kultur masyarakat Arab badui yang keras dengan pandangan keagamaan mereka yang relatif kaku, keras dan rigid.
Kebencian mereka tidak hanya pada kalangan non-muslim, tetapi juga pada menganggap Dinasti Utsmaniyah sebagai pemerintahan yang kafir (al-dawlah al-kufriyyah). Barangsiapa mendukung mereka sama halnya berafiliasi dengan orang-orang non-muslim. Dalam hal ini jelas sekali, bahwa pandangan kalangan wahabi terkait dengan etnosentrisme Arab. Mereka menganggap Dinasti Ottoman tidak layak memimpin dunia Arab, karena tidak mempunyai latar kearaban.
Pandangan kalangan wahabi pada umumnya tidak hanya berhenti pada klaim kafir dan sesat. Mereka juga menganggap, bahwa siapa yang dianggapnya sesat dapat diberi sanksi pembunuhan sesuai dengan pandangan mereka. Salah satu rujukan yang digunakan oleh mereka, yaitu sikap politik Abu Bakar ash-Shiddiq yang membunuh orang-orang munafik.
Dalam hal ini, kalangan wahabi telah melupakan sejarah Islam yang sangat kaya, terutama pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang lain, yang mana di dalamnya sangat menekankan unsur kasih-sayang dan toleransi. Nabi pernah berpesan kepada Siti Aisyah, Hendaklah kamu bersikap lemah-lembut dalam menyikapi berbagai urusan. Pesan tersebut dinyatakan Nabi terkait dengan orang Yahudi yang mengumpat Nabi, yang kemudian dibalas dengan umpatan serupa oleh Siti Aisyah.
Nabi ingin mengatakan, bahwa seorang muslim harus menjadi teladan yang baik bagi umat-umat yang lain, terutama dalam rangka menebarkan kasih-sayang dan etika publik yang luhur. Tetapi, kalangan wahabi memilih untuk mengutip berbagai petikan sejarah untuk mengabsahkan sikap politik mereka. Padahal sikap yang diambil oleh Abu Bakar ash-Shiddiq sekalipun dapat dipahami sebagai langkah darurat untuk mempersatukan kelompok-kelompok yang sedang mengabaikan tentang kepemimpinan tertinggi umat Islam (amîrul mu’minîn) dan posisinya sebagai pengganti Nabi (khaîfah al-nabî). Di samping itu, sikap Abu Bakar tersebut juga ditentang oleh sahabat Nabi yang lain, di antaranya Umar bin Khattab. Bahkan setelah menjadi khalifah, Umar merevisi berbagai kebijakan yang diambil oleh Abu Bakar.
Kalangan wahabi secara eksplisit telah menjadikan pandangan keagamaan yang puritan sebagai jalan untuk meneguhkan kepentingan politik di sisi lain, dan tindakan ekstrem di sisi lain. Di antara lawan-lawan politik lainnya, yaitu Iran. Sebab itu, pada tahun 80-an, banyak sekali orang-orang Iran yang dibantai. Begitu pula banyak sekali orang-orang sunni yang dibunuh di Mekkah dan Madinah. Tidak hanya itu saja, pandangan puritan tersebut telah menjadi hukum resmi kerajaan Arab Saudi. Setidaknya hingga tahun 80-an wahabisme telah mengeksekusi setidaknya 40.000 orang dan mengamputasi 350.000 orang dengan menggunakan klaim hukum Islam. Jumlah tersebut terus bertambah dari tahun ke tahun.
Pandangan dan sikap kalangan wahabi tentu menimbulkan kekhawatiran di banyak kalangan muslim. Di antara mereka yang menyampaikan kegelisahannya atas praktek kalangan wahabi, yaitu Komite Hijaz. Mereka adalah ulama-ulama Jawa yang merupakan cikal-bakal dari lahirnya Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Para ulama tersebut meminta agar kalangan sunni dapat melaksanakan ibadah haji sesuai dengan keyakinan mereka, dan pemerintah saudi tidak menghancurkan situs-situs keislaman bersejarah, di antaranya kuburan Nabi Muhammad SAW. Begitu pula Mesir menyampaikan keprihatinannya atas sikap keberagamaan kalangan wahabi, karena apa yang mereka lakukan tidak mempunyai referensi yang kuat dalam khazanah keislaman klasik.
Keprihatinan tersebut muncul karena wahabisme bukanlah mazhab. Kalangan wahabi menganggap dirinya sebagai satu-satu representasi Islam yang paling absah. Tentu saja, hal tersebut menimbulkan reaksi keras dari kalangan Sunni yang meniscaya sebuah keragaman pandangan dan kedalaman intelektualitas, terutama dalam rangka memahami teks-teks keagamaan guna memecahkan masalah-masalah yang muncul di tengan realitas keumatan.
Uniknya, menurut Khaled Abou el Fadl, bahwa Sulayman yang merupakan kakak Muhammad bin Abdul Wahhab, bahkan juga orang tuanya sendiri merasa gelisah dengan pandangan-pandangan yang dikembangkan oleh puteranya itu. Di masa mudanya, Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah seorang murid yang baik, dan bukan pula sebagai ahli di bidang hukum Islam. Bahkan, dalam belantika khazanah Islam, nama Muhammad bin Abdul Wahhab tidak pernah disebut-sebut sebagai salah satu ulama berpengaruh. Yang menjadikannya berpengaruh di Arab Saudi, karena pemikirannya mempunyai kecocokan dengan ideologi dan sikap kerajaan yang memerlukan sebuah pandangan keagamaan yang hitam-putih.
Pasca-naiknya harga minyak dunia, kerajaan Arab Saudi mulai menawarkan pandangannya ke berbagai penjuru dunia Islam melalui proyek pembangunan masjid dan pembekalan para juru dakwah. Mereka juga memberikan beasiswa kepada kalangan muda muslim untuk belajar di berbagai perguruan tinggi yang menganut pandangan wahabi.
Thomas L. Friedman dalam buku terbarunya Hot, Flat and Crowded menjelaskan dengan panjang lebar, bagaimana kalangan wahabi melakukan ekspansi pemikiran kepada dunia Islam. Yang mana mereka tidak hanya membangun masjid dan sekolah, tetapi juga mendanai sejumlah sinetron khususnya di Mesir. Dalam hal ini, Friedman ingin mengatakan, bahwa naiknya harga minyak dunia telah menyuburkan puritanisme. Maka dari itu, salah satu cara untuk meredam laju puritanisme adalah sebisa mungkin mulai dirancang upaya ketergantungan terhadap minyak dengan cara melakukan penghematan dan pencarian sumber energi alternatif.
Khaled Abou el-Fadl menambahkan, bahwa Arab Saudi mendirikan organisasi perwakilan seperti Liga Muslim Dunia (Râbithat al-‘Alam al-Islâmî), yang mana membagi-bagikan literatur kalangan wahabi, memberikan sumbangan, menyediakan dana untuk penerbitan, membangun sekolah dan masjid. Tidak terkecuali mereka memberikan santunan kepada para imam shalat dan juru dakwah. Hal tersebut terbukti telah membuat citra yang sangat baik terhadap wahabisme. Di antaranya mereka mengembangkan sayapnya di sejumlah dunia Islam dengan menggunakan bendera salafisme. Kedua paham tersebut mempunyai banyak persamaan dalam paham keagamaan mereka, walaupun di antara keduanya terdapat perbedaan.
Dengan demikian, wahabisme telah menjadi fenemona ideologi keagamaan yang sangat mondial. Belakangan setelah terjadi aksi terorisme di berbagai penjuru dunia, puncaknya setelah tragedi 11 September yang meluluhlantahkan menara WTC, beberapa negara Eropa, dunia Islam, bahkan Arab Saudi sendiri, muncullah sebuah kesadaran untuk meredam proliferasi paham wahabisme. Sebab paham ini diduga kuat berada di balik setiap aksi, penyesatan, pengafiran, bahkan kekerasan yang bernuansa agama.
Moderasi
Namun pertanyaannya, peran apa yang bisa dilakukan generasi muda muslim? Dalam hal ini harus diakui, bahwa peran yang diambil yaitu moderasi dan keseimbangan. Pilihan untuk mengedepankan pemikiran moderat didasarkan pada beberapa argumen sebagai berikut: Pertama, sikap moderat adalah sikap yang paling adil untuk menerjemahkan teks suci dalam kehidupan sehari-hari di satu sisi dan memahami realitas kekinian di sisi lain. Artinya, sikap moderat bukanlah sikap mengabaikan teks, melainkan menerima teks sebagai kebenaran mutlak, tetapi di samping itu harus mengakomodasi realitas kekinian. Ada kaidah yang cukup populer, al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.
Kedua, kalangan moderat senantiasa menolak kekerasan dan mengutamakan perdamaian. Sebab, lagi-lagi bila membaca al-Quran, kalimat yang pertama kali ditemukan yaitu bismillahirrahmanirrahim. Ini artinya, Islam adalah agama penebar kasih-sayang dan jauh dari ajaran kekerasan. Para ulama terdahulu telah menggarisbawi pentingnya pesan agar kemunkaran sekalipun harus dihadapi dengan cara-cara yang tidak munkar (al-nahyu ‘an al-munkar bi ghayr al-munkar).
Ketiga, kalangan moderat akan memahami umat agama lain sebagai makhluk Tuhan yang harus dilindungi dan dihormati. Keragaman adalah sunnatullah. Dalam sistem politik Islam klasik disebutkan, bahwa nonmuslim yang berada di bawah kekuasaan Muslim sebagai ahl al-dzimmah yaitu warga negara yang wajib dilindungi.
Keempat, kalangan moderat senantiasa mengutamakan demokrasi dan hak asasi manusia. Islam tidak hanya sesuai dengan demokrasi dan hak asasi manusia, melainkan mendorong agar demokrasi dijadikan sebagai sebuah alternatif. Di dalam al-Quran disebutkan agar setiap persoalan diselesaikan dengan menggunakan mekanisme konsultasi dan konsensus untuk mencapai mufakat (wa amruhum syura baynahum).
Kelima, kalangan moderat sangat menjunjung tinggi hak-hak perempuan, terutama dalam rangka memaksimalkan peran mereaka dalam ruang publik. Kalangan perempuan di hadapan Tuhan sama, sebagaimana kalangan laki-laki.
Pandangan tersebut sesungguhnya sesuai dengan filosofi kebangsaan, kultur, dan fakta keragaman agama, bahasa, dan suku di Tanah Air. Sejak awal kemerdekaan, 1945, para pendiri bangsa telah mengukuhkan pandangan moderat tersebut. Hanya saja, dalam perjalanan sejarahnya ada beberapa kelompok yang hendak meruntuhkan fundamen moderasi dalam lanskap keislaman di Tanah Air.
Faktanya, kalangan moderat adalah kalangan mayoritas. Buktinya, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia yang sejak awal menerima pluralitas, kebangsaan, dan dialog-dialog kultural. Dalam kurun waktu yang panjang, umat Islam berjuang untuk menerjemahkan nilai-nilai keislaman dalam konteks keindonesiaan. Pada ulama dan kiai dengan jiwa besar dan tanggungjawab menerima Pancasila sebagai common platform bagi keanekaragaman bangsa ini.
Maka dari itu, generasi muda muslim diharapkan dapat memperkokoh visi moderasi tersebut. Dengan tiga peran yang dapat dilakukan: Pertama, mengembangkan pemikiran keislaman yang bernuansa toleransi, bukan intoleransi. Dalam hal ini, diskursus Maqashid al-Syariah dapat menjadi titik tolak untuk mengembankan paham keagamaan yang toleran.
Kedua, mengembangkan gerakan berbasis ekonomi untuk pengentasan ekonomi. Secara sosiologis harus dipahami, bahwa munculnya gerakan yang mengusung ekstremisme dan terorisme di Tanah Air tidak semata-mata karena keyakinan, melainkan ada faktor-faktor ekonomi yang yang melatarbelakangi mereka.
Ketiga, mengembangkan perlunya kesadaran terhadap kebijakan publik. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi, kebijakan publik menjadi salah satu unsur terpenting dalam membangun masyarakat yang toleran dan moderat. Apalagi dalam era otonomi daerah, di mana daerh mempunyai kewenangan untuk menentukan kebijakan publik.
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi generasi muda muslim semakin berat, karena perannya tidak hanya dalam wacana keagamaan saja, melainkan juga dalam ranah ekonomi dan politik kebijakan publik. Dan karenanya, setiap kalangan harus melengkapi seluruh kemampuan intelektual dalam ranah yang luas. Mudah-mudahan makalah yang singkat ini bermanfaat. Amien.
Catatan
Khaled Abou el Fadl dalam The Great Theft: Wrestling Islam from the Extremists menegaskan perihal relasi antara paham wahabisme dengan ekstremisme yang disponsori oleh jaringan terorisme internasional al-Qaeda dan Gerakan Taliban di Afghanistan. Pandangan ini menarik untuk eksplorasi, karena wahabisme sebagai sebuah paham tidak hanya berkembang di tanah kelahirannya, tetapi juga berkembangkan di negara-negara muslim, bahkan di Barat sekalipun. Tidak terkecuali paham tersebut mempunyai akar-akar yang kuat dalam paham keagamaan di Tanah Air. Di satu sisi ada yang berbentuk paham keagamaan yang bersifat massif, tetapi juga ada yang berbentuk gerakan yang dimanifestasikan dalam beberapa aksi terorisme belakangan ini.
Khaled Abou el Fadl dalam tesisnya menegaskan, Wahabisme merupakan paham yang menyuburkan lahirnya gerakan-gerakan yang mengusung ekstremisme, di samping faktor ketidakadilan global terhadap negara-negara muslim. Lalu pertanyaannya, apa sesungguhnya yang diyakini oleh kalangan wahabi tersebut?
Tulisan ini ingin memberikan highlight terhadap tesis tersebut untuk memberikan penjelasan seputar lanskap teologis dan historis dari paham wahabisme dan relasinya dengan gerakan-gerakan yang mengusung ekstremisme. Lebih dari itu, yang terpenting, yaitu melakukan langkah-langkah dalam penguatan hidup damai dan toleransi dengan meneguhkan kembali paradigma Islam Rahmatan lil ‘Alamin sebagai upaya merekonstruksi paradigma keislaman kontemporer, khususnya dalam konteks keindonesiaan.
Wahabisme
Wahabisme adalah paham dan gerakan yang didirikan oleh Muhammad bin Abdul Wahhab pada abad ke-18. Paham tersebut mengembangkan puritanisme di satu sisi, dan ekstremisme di sisi lain. Kalangan wahabi memandang telah banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan dari ajaran Islam yang murni dan lurus, sehingga diperlukan sebuah upaya dan gerakan kembali kepada al-Quran dan Sunnah.
Dalam poin ini sebenarnya tidak ada yang salah. Kembali kepada al-Quran dan sunnah merupakan sebuah keniscayaan bagi setiap muslim. Sebab, al-Quran dan sunnah merupakan sumber primer dalam Islam. Tetapi, slogan tersebut menjadi masalah, karena dikomodifikasi sedemikian rupa untuk membentuk sebuah nalar keagamaan yang bersifat puritanistik-absolute. Hanya pandangan kalangan Wahabi saja yang benar, sedangkan pandangan orang lain dianggap salah, bahkan sesat dan kafir.
Kalangan wahabi melalui slogan tersebut menolak tasawuf, doktrin perantara (tawassul), rasionalisme dan segala pandangan yang berasal dari kalangan non-muslim. Dalam melakukan misinya, mereka menggunakan “palu bid’ah” untuk menilai seluruh praktek keagamaan yang dianggap menyimpang. Uniknya, kalangan Wahabi ini tidak hanya menganggap bid’ah orang-orang non-muslim, yang dalam kacamata modern adalah Barat, tetapi justru memperlakukan ulama-ulama muslim sebagai kalangan yang mereka anggap bid’ah. Di antara ulama terkemuka yang dianggap kafir oleh mereka adalah Imam Fakhruddin al-Razi, penulis kitab Tafsîr al-Kabîr wa Mafâtîh al-Ghayb.
Sikap seperti ini sangat aneh, karena Imam al-Razi merupakan salah satu imam yang paling eksklopedis dalam bidang tafsir dan otoritas keagamaanya sudah tidak diragukan lagi. Imam al-Razi adalah ulama garda terdepan yang mana wawasan keagamaannya merangkum khazanah tafsir yang telah lahir pada masa sebelumnya. Di samping itu, ia menafsirkan al-Quran dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu, antara lain, sejarah, filsafat, kalam dan linguistik. Sebab itu, jika dibandingkan dengan karya pendiri wahabisme, yaitu Muhammad bin Abdul Wahhab, apa yang sudah dilakukan oleh Imam Fakhruddin al-Razi tidak akan terlampaui. Ibarat langit dan bumi..
Dalam hal ini harus diakui, bahwa tradisi intelektualisme di kalangan wahabi tidak begitu berkembang jika dibandingkan dengan kalangan Sunni, yang mana karya-karyanya sangat menekankan pada aspek dan aspek rasionalitas. Tapi ironisnya, sekali lagi, kalangan wahabi memberikan penilaian kafir terhadap ulama brilian seperti Imam Fakhruddin al-Razi.
Menurut Khaled, bahwa apa yang dilakukan kalangan wahabi mempunyai kemiripan dengan apa yang dilakukan oleh orang-orang Yahudi, terutama tatkala mereka mengutuk Maimondes atau orang-orang Katolik ketika mengeritik Thomas Aquinas. Bahkan menganggapnya sebagai kafir. Pandangan ini mengukuhkan tesis Karen Armstrong yang menyatakan, bahwa puritanisme yang melahirkan terorisme bukanlah hanya monopoli kalangan muslim saja, tetapi juga dapat ditemukan dalam khazanah agama-agama samawi lainnya, seperti Yahudi dan Kristen.
Kembali kepada pandangan kalangan wahabi, mereka menganggap bahwa untuk menemukan kembali “makna asli” dalam Islam perlu sebuah upaya untuk kembali ke periode awal Islam, sebagaimana dipraktekkan Nabi Muhammad SAW. Pandangan ini menimbulkan masalah, karena tidak seperti kalangan Sunni yang meniscayakan sebuah penelusuran intelektual terhadap khazanah klasik yang ditulis para ulama terdahulu dengan beragam pandangannya, kalangan wahabi tidak melakukan hal tersebut. Mereka membuat penalaran baru dengan merujuk pada pandangan Ibnu Taimiyah. Itupan tidak secara adil dan obyektif pandangan Ibnu Taimiyah, karena yang dikutip hanya pandangan yang dapat menjustifikasi paham mereka.
Kalangan wahabi sangat membenci kalangan non-muslim. Sebab itu, ia menghimbau agar kalangan muslim tidak berteman dan tidak mengikuti kebiasaan orang-orang non-muslim. Bagi mereka sudah jelas, bahwa orang-orang non-muslim adalah kafir. Tetapi yang lebih mengerikan lagi, tatkala menyebutkan orang-orang muslim yang dianggap murtad sesuai dengan pandangan kalangan wahabi adalah lebih buruk daripada orang-orang non-muslim sendiri. Belakangan, pandangan ini diamini oleh Sayyed Quthub, yang menganggap orang-orang Barat yang notabene sebagai non-muslim sebagai jahiliyah modern.
Pandangan ini sudah barang tentu akan menjadi penghambat serius terhadap upaya membangun toleransi dan pluralisme. Tidak hanya itu saja, pandangan ini bertentangan dengan ayat al-Quran yang berbunyi, Mereka tidaklah sama, di antara orang-orang Ahlul Kitab terdapat umat yang bangun di tengah malam membaca ayat-ayat Tuhan dan mereka bersujud kepada Tuhan. Mereka beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, mengajak pada kebajikan dan mencegah kemunkaran, serta berlomba-lomba dalam kebaikan, dan mereka adalah orang-orang yang shaleh (QS. Ali ‘Imran [3]: 113-114). Di dalam ayat lain disebutkan, Dan janganlah mendebat orang-orang Ahlul Kitab kecuali dengan cara yang lebih arif (QS. al-‘Ankabut [29]: 46). Bahkan dalam sejarah disebutkan, bahwa pendeta-pendeta Mekkah yang justru meneguhkan Muhammad SAW akan menjadi seorang Nabi dan utusan Tuhan. Di antara pendeta yang sering disebut di dalam sejarah, yaitu Buhaira dan Waraqah bin Naufal.
Dalam hal ini dapat dipahami, bahwa pandangan kalangan Wahabi bertolak belakang dengan pandangan kalangan Sunni yang merupakan pandangan mayoritas kalangan muslim. Mereka telah memperlakukan teks-teks keagamaan sesuai dengan paham dan ideologi mereka. Khaled Abou el Fadl memandang bahwa secara sosiologis ada kecocokan antara kultur masyarakat Arab badui yang keras dengan pandangan keagamaan mereka yang relatif kaku, keras dan rigid.
Kebencian mereka tidak hanya pada kalangan non-muslim, tetapi juga pada menganggap Dinasti Utsmaniyah sebagai pemerintahan yang kafir (al-dawlah al-kufriyyah). Barangsiapa mendukung mereka sama halnya berafiliasi dengan orang-orang non-muslim. Dalam hal ini jelas sekali, bahwa pandangan kalangan wahabi terkait dengan etnosentrisme Arab. Mereka menganggap Dinasti Ottoman tidak layak memimpin dunia Arab, karena tidak mempunyai latar kearaban.
Pandangan kalangan wahabi pada umumnya tidak hanya berhenti pada klaim kafir dan sesat. Mereka juga menganggap, bahwa siapa yang dianggapnya sesat dapat diberi sanksi pembunuhan sesuai dengan pandangan mereka. Salah satu rujukan yang digunakan oleh mereka, yaitu sikap politik Abu Bakar ash-Shiddiq yang membunuh orang-orang munafik.
Dalam hal ini, kalangan wahabi telah melupakan sejarah Islam yang sangat kaya, terutama pada masa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya yang lain, yang mana di dalamnya sangat menekankan unsur kasih-sayang dan toleransi. Nabi pernah berpesan kepada Siti Aisyah, Hendaklah kamu bersikap lemah-lembut dalam menyikapi berbagai urusan. Pesan tersebut dinyatakan Nabi terkait dengan orang Yahudi yang mengumpat Nabi, yang kemudian dibalas dengan umpatan serupa oleh Siti Aisyah.
Nabi ingin mengatakan, bahwa seorang muslim harus menjadi teladan yang baik bagi umat-umat yang lain, terutama dalam rangka menebarkan kasih-sayang dan etika publik yang luhur. Tetapi, kalangan wahabi memilih untuk mengutip berbagai petikan sejarah untuk mengabsahkan sikap politik mereka. Padahal sikap yang diambil oleh Abu Bakar ash-Shiddiq sekalipun dapat dipahami sebagai langkah darurat untuk mempersatukan kelompok-kelompok yang sedang mengabaikan tentang kepemimpinan tertinggi umat Islam (amîrul mu’minîn) dan posisinya sebagai pengganti Nabi (khaîfah al-nabî). Di samping itu, sikap Abu Bakar tersebut juga ditentang oleh sahabat Nabi yang lain, di antaranya Umar bin Khattab. Bahkan setelah menjadi khalifah, Umar merevisi berbagai kebijakan yang diambil oleh Abu Bakar.
Kalangan wahabi secara eksplisit telah menjadikan pandangan keagamaan yang puritan sebagai jalan untuk meneguhkan kepentingan politik di sisi lain, dan tindakan ekstrem di sisi lain. Di antara lawan-lawan politik lainnya, yaitu Iran. Sebab itu, pada tahun 80-an, banyak sekali orang-orang Iran yang dibantai. Begitu pula banyak sekali orang-orang sunni yang dibunuh di Mekkah dan Madinah. Tidak hanya itu saja, pandangan puritan tersebut telah menjadi hukum resmi kerajaan Arab Saudi. Setidaknya hingga tahun 80-an wahabisme telah mengeksekusi setidaknya 40.000 orang dan mengamputasi 350.000 orang dengan menggunakan klaim hukum Islam. Jumlah tersebut terus bertambah dari tahun ke tahun.
Pandangan dan sikap kalangan wahabi tentu menimbulkan kekhawatiran di banyak kalangan muslim. Di antara mereka yang menyampaikan kegelisahannya atas praktek kalangan wahabi, yaitu Komite Hijaz. Mereka adalah ulama-ulama Jawa yang merupakan cikal-bakal dari lahirnya Nahdlatul Ulama pada tahun 1926. Para ulama tersebut meminta agar kalangan sunni dapat melaksanakan ibadah haji sesuai dengan keyakinan mereka, dan pemerintah saudi tidak menghancurkan situs-situs keislaman bersejarah, di antaranya kuburan Nabi Muhammad SAW. Begitu pula Mesir menyampaikan keprihatinannya atas sikap keberagamaan kalangan wahabi, karena apa yang mereka lakukan tidak mempunyai referensi yang kuat dalam khazanah keislaman klasik.
Keprihatinan tersebut muncul karena wahabisme bukanlah mazhab. Kalangan wahabi menganggap dirinya sebagai satu-satu representasi Islam yang paling absah. Tentu saja, hal tersebut menimbulkan reaksi keras dari kalangan Sunni yang meniscaya sebuah keragaman pandangan dan kedalaman intelektualitas, terutama dalam rangka memahami teks-teks keagamaan guna memecahkan masalah-masalah yang muncul di tengan realitas keumatan.
Uniknya, menurut Khaled Abou el Fadl, bahwa Sulayman yang merupakan kakak Muhammad bin Abdul Wahhab, bahkan juga orang tuanya sendiri merasa gelisah dengan pandangan-pandangan yang dikembangkan oleh puteranya itu. Di masa mudanya, Muhammad bin Abdul Wahhab bukanlah seorang murid yang baik, dan bukan pula sebagai ahli di bidang hukum Islam. Bahkan, dalam belantika khazanah Islam, nama Muhammad bin Abdul Wahhab tidak pernah disebut-sebut sebagai salah satu ulama berpengaruh. Yang menjadikannya berpengaruh di Arab Saudi, karena pemikirannya mempunyai kecocokan dengan ideologi dan sikap kerajaan yang memerlukan sebuah pandangan keagamaan yang hitam-putih.
Pasca-naiknya harga minyak dunia, kerajaan Arab Saudi mulai menawarkan pandangannya ke berbagai penjuru dunia Islam melalui proyek pembangunan masjid dan pembekalan para juru dakwah. Mereka juga memberikan beasiswa kepada kalangan muda muslim untuk belajar di berbagai perguruan tinggi yang menganut pandangan wahabi.
Thomas L. Friedman dalam buku terbarunya Hot, Flat and Crowded menjelaskan dengan panjang lebar, bagaimana kalangan wahabi melakukan ekspansi pemikiran kepada dunia Islam. Yang mana mereka tidak hanya membangun masjid dan sekolah, tetapi juga mendanai sejumlah sinetron khususnya di Mesir. Dalam hal ini, Friedman ingin mengatakan, bahwa naiknya harga minyak dunia telah menyuburkan puritanisme. Maka dari itu, salah satu cara untuk meredam laju puritanisme adalah sebisa mungkin mulai dirancang upaya ketergantungan terhadap minyak dengan cara melakukan penghematan dan pencarian sumber energi alternatif.
Khaled Abou el-Fadl menambahkan, bahwa Arab Saudi mendirikan organisasi perwakilan seperti Liga Muslim Dunia (Râbithat al-‘Alam al-Islâmî), yang mana membagi-bagikan literatur kalangan wahabi, memberikan sumbangan, menyediakan dana untuk penerbitan, membangun sekolah dan masjid. Tidak terkecuali mereka memberikan santunan kepada para imam shalat dan juru dakwah. Hal tersebut terbukti telah membuat citra yang sangat baik terhadap wahabisme. Di antaranya mereka mengembangkan sayapnya di sejumlah dunia Islam dengan menggunakan bendera salafisme. Kedua paham tersebut mempunyai banyak persamaan dalam paham keagamaan mereka, walaupun di antara keduanya terdapat perbedaan.
Dengan demikian, wahabisme telah menjadi fenemona ideologi keagamaan yang sangat mondial. Belakangan setelah terjadi aksi terorisme di berbagai penjuru dunia, puncaknya setelah tragedi 11 September yang meluluhlantahkan menara WTC, beberapa negara Eropa, dunia Islam, bahkan Arab Saudi sendiri, muncullah sebuah kesadaran untuk meredam proliferasi paham wahabisme. Sebab paham ini diduga kuat berada di balik setiap aksi, penyesatan, pengafiran, bahkan kekerasan yang bernuansa agama.
Moderasi
Namun pertanyaannya, peran apa yang bisa dilakukan generasi muda muslim? Dalam hal ini harus diakui, bahwa peran yang diambil yaitu moderasi dan keseimbangan. Pilihan untuk mengedepankan pemikiran moderat didasarkan pada beberapa argumen sebagai berikut: Pertama, sikap moderat adalah sikap yang paling adil untuk menerjemahkan teks suci dalam kehidupan sehari-hari di satu sisi dan memahami realitas kekinian di sisi lain. Artinya, sikap moderat bukanlah sikap mengabaikan teks, melainkan menerima teks sebagai kebenaran mutlak, tetapi di samping itu harus mengakomodasi realitas kekinian. Ada kaidah yang cukup populer, al-muhafadzah ‘ala al-qadim al-shalih wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah.
Kedua, kalangan moderat senantiasa menolak kekerasan dan mengutamakan perdamaian. Sebab, lagi-lagi bila membaca al-Quran, kalimat yang pertama kali ditemukan yaitu bismillahirrahmanirrahim. Ini artinya, Islam adalah agama penebar kasih-sayang dan jauh dari ajaran kekerasan. Para ulama terdahulu telah menggarisbawi pentingnya pesan agar kemunkaran sekalipun harus dihadapi dengan cara-cara yang tidak munkar (al-nahyu ‘an al-munkar bi ghayr al-munkar).
Ketiga, kalangan moderat akan memahami umat agama lain sebagai makhluk Tuhan yang harus dilindungi dan dihormati. Keragaman adalah sunnatullah. Dalam sistem politik Islam klasik disebutkan, bahwa nonmuslim yang berada di bawah kekuasaan Muslim sebagai ahl al-dzimmah yaitu warga negara yang wajib dilindungi.
Keempat, kalangan moderat senantiasa mengutamakan demokrasi dan hak asasi manusia. Islam tidak hanya sesuai dengan demokrasi dan hak asasi manusia, melainkan mendorong agar demokrasi dijadikan sebagai sebuah alternatif. Di dalam al-Quran disebutkan agar setiap persoalan diselesaikan dengan menggunakan mekanisme konsultasi dan konsensus untuk mencapai mufakat (wa amruhum syura baynahum).
Kelima, kalangan moderat sangat menjunjung tinggi hak-hak perempuan, terutama dalam rangka memaksimalkan peran mereaka dalam ruang publik. Kalangan perempuan di hadapan Tuhan sama, sebagaimana kalangan laki-laki.
Pandangan tersebut sesungguhnya sesuai dengan filosofi kebangsaan, kultur, dan fakta keragaman agama, bahasa, dan suku di Tanah Air. Sejak awal kemerdekaan, 1945, para pendiri bangsa telah mengukuhkan pandangan moderat tersebut. Hanya saja, dalam perjalanan sejarahnya ada beberapa kelompok yang hendak meruntuhkan fundamen moderasi dalam lanskap keislaman di Tanah Air.
Faktanya, kalangan moderat adalah kalangan mayoritas. Buktinya, Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah merupakan organisasi Islam terbesar di Indonesia yang sejak awal menerima pluralitas, kebangsaan, dan dialog-dialog kultural. Dalam kurun waktu yang panjang, umat Islam berjuang untuk menerjemahkan nilai-nilai keislaman dalam konteks keindonesiaan. Pada ulama dan kiai dengan jiwa besar dan tanggungjawab menerima Pancasila sebagai common platform bagi keanekaragaman bangsa ini.
Maka dari itu, generasi muda muslim diharapkan dapat memperkokoh visi moderasi tersebut. Dengan tiga peran yang dapat dilakukan: Pertama, mengembangkan pemikiran keislaman yang bernuansa toleransi, bukan intoleransi. Dalam hal ini, diskursus Maqashid al-Syariah dapat menjadi titik tolak untuk mengembankan paham keagamaan yang toleran.
Kedua, mengembangkan gerakan berbasis ekonomi untuk pengentasan ekonomi. Secara sosiologis harus dipahami, bahwa munculnya gerakan yang mengusung ekstremisme dan terorisme di Tanah Air tidak semata-mata karena keyakinan, melainkan ada faktor-faktor ekonomi yang yang melatarbelakangi mereka.
Ketiga, mengembangkan perlunya kesadaran terhadap kebijakan publik. Dalam masyarakat yang menjunjung tinggi demokrasi, kebijakan publik menjadi salah satu unsur terpenting dalam membangun masyarakat yang toleran dan moderat. Apalagi dalam era otonomi daerah, di mana daerh mempunyai kewenangan untuk menentukan kebijakan publik.
Dengan demikian, tantangan yang dihadapi generasi muda muslim semakin berat, karena perannya tidak hanya dalam wacana keagamaan saja, melainkan juga dalam ranah ekonomi dan politik kebijakan publik. Dan karenanya, setiap kalangan harus melengkapi seluruh kemampuan intelektual dalam ranah yang luas. Mudah-mudahan makalah yang singkat ini bermanfaat. Amien.
Catatan
- Tulisan ini adalah makalah yang disampaikan oleh Zuhairi Misrawi dalam acara seminar "Islam Agama Dialogis dan Cinta Damai" di hotel Benakutai, Balikpapan 20 Januari 2013. Tulisan ini dimuat atas izin penulis yang diberikan kepada saudara Mustamin al-Mandary di hari pelaksanaan seminar tersebut.
- Zuhairi Misrawi adalah Intelektual Muda Nahdlatul Ulama lulusan Universitas al-Azhar Kairo dan Ketua Moderate Muslim Society (MMS). Beliau adalah penulis buku Alquran Kitab Toleransi, Pustaka Oasis (2010) serta beberapa buku lainnya.