Prof DR Hamdan Juhannis, MA, saat di Iran
Persepsi tentang nikah mut'ah, bisa positif, bisa negatif atau bahkan sangat negatif. Seperti itu pandangan Prof DR Hamdan Juhannis, MA, Guru Besar Sosiologi UIN Alauddin Makassar. Sebelumnya, beliau mengenal tentang nikah mut'ah dari para pengkritik nikah mut'ah tersebut, dari yang mengharamkannya. Itulah yang membuat beliau penasaran ketika mengunjungi Iran, negara yang sering dituduh mengalami banyak masalah sosial akibat praktek nikah mut'ah. Bagaimana kondisi yang sebenarnya? Hasil penelusurannya di Iran dituliskan dalam catatan kedua beliau berikut ini, sudah pernah dimuat di harian Fajar 16 Februari 2012 [majulah-ijabi.org]
****
****
Nikah Mut’ah (kawin kontrak) dikenal dalam ajaran Syiah. Seperti apa konsep itu dipraktikkan di Iran?
Tiba di kota Qom, saya mencoba mengirim pesan pendek (SMS) ke Dr. Fuad Rumi bahwa saya sudah tiba di Iran. Kolumnis FAJAR ini menjawab sambil bercanda jangan sampai Anda melakukan nikah mut’ah. Tentu ini sebuah canda belaka dan tidak dimaksudkan untuk memberi bobot pemaknaan tentang hakikat nikah mut’ah itu.
Nikah Mut’ah adalah konsep pernikahan yang dikenal dalam ajaran Syiah. Sebuah konsep pernikahan dengan berjangka, atau ada yang menyebutnya sebagai kawin kontrak seperti pemahaman pada banyak orang. Setelah durasi kontraknya selesai, maka berakhirlah pernikahan itu. Secara umum itulah mungkin yang dipahami oleh banyak masyarakat tentang nikah jenis ini, bisa kurang, bisa juga lebih. Pemahaman itu kemudian membentuk sikap kita tentang praktek nikah Mut’ah itu.
Jadinya, persepsi itu bisa positif, bisa negatif atau bahkan sangat negatif. Persepsi itu dipengaruhi oleh yang memberi input terhadap timbulnya persepsi itu. Saya pribadi belum pernah membaca secara utuh tentang apa sesungguhnya nikah mut’ah itu. Informasi tentang nikah Mut’ah juga saya baca dari kalangan pengeritiknya. Di Indonesia, saya juga belum pernah bertemu dengan orang yang mengaku sudah mempraktikkan nikah Mut’ah.
Pengeritik ini biasanya berlatar belakang mazhab sunni yang tentu mengharamkan praktik nikah Mut’ah itu. Bahkan informasi secara lisan bisa lebih ekstrem lagi memojokkan sebuah konsep, terlebih kalau sudah disusupi interest ideologi dan basis argumennya tidak jelas dan bisa saja berwujud spekulasi.
Sesampai di Iran bersama rombongan, diskusi dengan teman-teman menyentuh aspek-aspek yang masuk dalam wilayah perdebatan antara sunni dan syiah. Dan nampaknya semakin hidup ketika menyentuh tentang issu nikah Mut’ah. Menariknya karena diselingi canda dari teman-teman, termasuk pertanyaan ”memangnya mau coba” dari seorang teman kepada yang lain yang dilihatnya sangat antusias. Lalu saya menimpali pertanyaan itu dengan menjawab bahwa bisa saja antusiasme itu lahir karena kita sedang berada pada masyarakat di mana konsep nikah Mut’ah itu diakui adanya.
Kita selama ini diberi informasi sepihak yang tentunya masih perlu diuji kebenarannya. Kita mengecek langsung kepada ahlinya tentang bagaimana konsep nikah Mut’ah itu mereka pahami. Lalu yang tak kalah pentingnya disinilah saatnya mencermati bagaimana konsep itu dipraktikkan pada masyarakat syiah.
Maksud saya, seperti apa konsep normatif itu dipraktikkan secara empiris di tengah-tengah masyarakat di mana konsep itu dianggap legal adanya. Saatnya melakukan verifikasi empiris, apakah betul pandangan yang berkembang tentang praktik nikah Mut’ah itu lebih afdal dari praktik nikah biasa benar adanya.
Bersamaan dengan kedatangan rombongan kami di hotel tempat menginap kami, sedang ada resepsi pernikahan di ruang resepsi hotel tersebut. Saya lalu tertarik mencari tahu model resepsi pernikahan mereka. Saya lalu berdiskusi dengan salah seorang tamu yang bernama Haedar, yang nampaknya dari cara berpakaiannya dia seorang mullah. Dia bisa berbicara dengan Bahasa Arab dan Inggris yang lancar, yang membuka ruang lebar untuk berdiskusi karena penguasaan bahasanya yang bagus.
Dia menjelaskan model walimah di Iran, dimana laki-lakinya berkumpul secara terpisah dengan perempuan. Hotel nampaknya memang menyediakan tradisi makan dan resepsi seperti itu karena dari yang saya amati, ada dua ruang besar tempat makan yang persis sama luasnya, satu di lantai dasar dan satu di basement. Saat resepsi itu, laki-laki menggunakan ruangan di lantai dasar dan perempuannya di ruang bawah.
Lalu saya berbicara dengan salah seorang tamu setelah resepsinya bubaran, dan dari kesan saya, dia sangat ramah dan menunjukkan keinginan berkomunikasi. Dia menyapa saya dengan berbahasa Persia, lalu saya memintanya berbahasa Inggris. Untungnya dia bisa dengan terbata-bata. Sayang saya lupa tanya namanya. Saya memberanikan diri bertanya tentang tradisi menikah di Iran, termasuk sampai pada nikah Mut’ah. Saat saya tanya, orang ini ketawa terbahak-bahak dan bertanya balik apakah saya dari Muslim Sunni. Saya menangkap dari penjelasannya yang semoga saya tidak salah paham bahwa, banyak yang selalu bertanya tentang nikah Mut’ah karena terdorong dari persepsi miring tentang ajaran ini.
Dia menjelaskan bahwa konsep ini sepertinya dilakukan secara bebas dan seenak hati pada masyarakat Muslim Syiah.
Pertanyaan yang cukup menyentak dari orang ini adalah dalam ajaran Islam dikenal konsep poligami. Lalu apakah dengan serta merta umat Islam mempraktikkan poligami. Dia bertanya, apakah Anda dari Sunni yang menganggap sah poligami, lalu Anda bisa melihat begitu mudah orang mempraktikkannya. Demikian pula dengan konsep nikah Mut’ah pada masyarakat Syiah. Jawaban reflektif dia cukup menjadi bahan renungan bagi saya bagaimana sebuah ajaran dipengaruhi oleh faktor-faktor dan varian tradisi dalam masyarakat yang begitu kompleks dan bisa saja masyarakat lain menyederhanakan ajaran itu tanpa melihat pemaknaan ajaran itu ketika terbumikan di masyarakat mereka.
Jawaban orang Iran ini tentu saya anggap lebih orisinal ketimbang saya berada di sebuah ruang seminar, berdiskusi dengan seorang intelektual syiah, karena suasana seperti itu bisa membawa saya kepada pemahaman tentang kecenderungan orang untuk mengidealkan kutub ajaran yang mereka yakini. Terlebih lagi bicara tentang intelektualisme tak terlepas dari latar subjektivitas pandangan karena bukankah intelektualime itu adalah rahim peradaban dan peradaban itu tak jarang berdialektika melalui rivalitas.
Siapa tahu beberapa hari ke depan, saya bisa bertemu dengan orang yang mempraktikkan nikah Mut’ah dan darinya bisa mendengar jastifikasi mengapa mempraktikkan nikah Mut’ah itu dan dalam situasi apa nikah Mut’ah itu bisa dilakukan. Semua ini bukan untuk membuat ruang nikah Mut’ah lebih terbuka, yang tentunya istri tersayang saya di rumah pasti kurang suka mendengarnya, tetapi sebagai salah satu jendela penting untuk saling memahami dalam bermazhab tanpa praduga miring dan tak berdasar.
Tiba di kota Qom, saya mencoba mengirim pesan pendek (SMS) ke Dr. Fuad Rumi bahwa saya sudah tiba di Iran. Kolumnis FAJAR ini menjawab sambil bercanda jangan sampai Anda melakukan nikah mut’ah. Tentu ini sebuah canda belaka dan tidak dimaksudkan untuk memberi bobot pemaknaan tentang hakikat nikah mut’ah itu.
Nikah Mut’ah adalah konsep pernikahan yang dikenal dalam ajaran Syiah. Sebuah konsep pernikahan dengan berjangka, atau ada yang menyebutnya sebagai kawin kontrak seperti pemahaman pada banyak orang. Setelah durasi kontraknya selesai, maka berakhirlah pernikahan itu. Secara umum itulah mungkin yang dipahami oleh banyak masyarakat tentang nikah jenis ini, bisa kurang, bisa juga lebih. Pemahaman itu kemudian membentuk sikap kita tentang praktek nikah Mut’ah itu.
Jadinya, persepsi itu bisa positif, bisa negatif atau bahkan sangat negatif. Persepsi itu dipengaruhi oleh yang memberi input terhadap timbulnya persepsi itu. Saya pribadi belum pernah membaca secara utuh tentang apa sesungguhnya nikah mut’ah itu. Informasi tentang nikah Mut’ah juga saya baca dari kalangan pengeritiknya. Di Indonesia, saya juga belum pernah bertemu dengan orang yang mengaku sudah mempraktikkan nikah Mut’ah.
Pengeritik ini biasanya berlatar belakang mazhab sunni yang tentu mengharamkan praktik nikah Mut’ah itu. Bahkan informasi secara lisan bisa lebih ekstrem lagi memojokkan sebuah konsep, terlebih kalau sudah disusupi interest ideologi dan basis argumennya tidak jelas dan bisa saja berwujud spekulasi.
Sesampai di Iran bersama rombongan, diskusi dengan teman-teman menyentuh aspek-aspek yang masuk dalam wilayah perdebatan antara sunni dan syiah. Dan nampaknya semakin hidup ketika menyentuh tentang issu nikah Mut’ah. Menariknya karena diselingi canda dari teman-teman, termasuk pertanyaan ”memangnya mau coba” dari seorang teman kepada yang lain yang dilihatnya sangat antusias. Lalu saya menimpali pertanyaan itu dengan menjawab bahwa bisa saja antusiasme itu lahir karena kita sedang berada pada masyarakat di mana konsep nikah Mut’ah itu diakui adanya.
Kita selama ini diberi informasi sepihak yang tentunya masih perlu diuji kebenarannya. Kita mengecek langsung kepada ahlinya tentang bagaimana konsep nikah Mut’ah itu mereka pahami. Lalu yang tak kalah pentingnya disinilah saatnya mencermati bagaimana konsep itu dipraktikkan pada masyarakat syiah.
Maksud saya, seperti apa konsep normatif itu dipraktikkan secara empiris di tengah-tengah masyarakat di mana konsep itu dianggap legal adanya. Saatnya melakukan verifikasi empiris, apakah betul pandangan yang berkembang tentang praktik nikah Mut’ah itu lebih afdal dari praktik nikah biasa benar adanya.
Bersamaan dengan kedatangan rombongan kami di hotel tempat menginap kami, sedang ada resepsi pernikahan di ruang resepsi hotel tersebut. Saya lalu tertarik mencari tahu model resepsi pernikahan mereka. Saya lalu berdiskusi dengan salah seorang tamu yang bernama Haedar, yang nampaknya dari cara berpakaiannya dia seorang mullah. Dia bisa berbicara dengan Bahasa Arab dan Inggris yang lancar, yang membuka ruang lebar untuk berdiskusi karena penguasaan bahasanya yang bagus.
Dia menjelaskan model walimah di Iran, dimana laki-lakinya berkumpul secara terpisah dengan perempuan. Hotel nampaknya memang menyediakan tradisi makan dan resepsi seperti itu karena dari yang saya amati, ada dua ruang besar tempat makan yang persis sama luasnya, satu di lantai dasar dan satu di basement. Saat resepsi itu, laki-laki menggunakan ruangan di lantai dasar dan perempuannya di ruang bawah.
Lalu saya berbicara dengan salah seorang tamu setelah resepsinya bubaran, dan dari kesan saya, dia sangat ramah dan menunjukkan keinginan berkomunikasi. Dia menyapa saya dengan berbahasa Persia, lalu saya memintanya berbahasa Inggris. Untungnya dia bisa dengan terbata-bata. Sayang saya lupa tanya namanya. Saya memberanikan diri bertanya tentang tradisi menikah di Iran, termasuk sampai pada nikah Mut’ah. Saat saya tanya, orang ini ketawa terbahak-bahak dan bertanya balik apakah saya dari Muslim Sunni. Saya menangkap dari penjelasannya yang semoga saya tidak salah paham bahwa, banyak yang selalu bertanya tentang nikah Mut’ah karena terdorong dari persepsi miring tentang ajaran ini.
Dia menjelaskan bahwa konsep ini sepertinya dilakukan secara bebas dan seenak hati pada masyarakat Muslim Syiah.
Pertanyaan yang cukup menyentak dari orang ini adalah dalam ajaran Islam dikenal konsep poligami. Lalu apakah dengan serta merta umat Islam mempraktikkan poligami. Dia bertanya, apakah Anda dari Sunni yang menganggap sah poligami, lalu Anda bisa melihat begitu mudah orang mempraktikkannya. Demikian pula dengan konsep nikah Mut’ah pada masyarakat Syiah. Jawaban reflektif dia cukup menjadi bahan renungan bagi saya bagaimana sebuah ajaran dipengaruhi oleh faktor-faktor dan varian tradisi dalam masyarakat yang begitu kompleks dan bisa saja masyarakat lain menyederhanakan ajaran itu tanpa melihat pemaknaan ajaran itu ketika terbumikan di masyarakat mereka.
Jawaban orang Iran ini tentu saya anggap lebih orisinal ketimbang saya berada di sebuah ruang seminar, berdiskusi dengan seorang intelektual syiah, karena suasana seperti itu bisa membawa saya kepada pemahaman tentang kecenderungan orang untuk mengidealkan kutub ajaran yang mereka yakini. Terlebih lagi bicara tentang intelektualisme tak terlepas dari latar subjektivitas pandangan karena bukankah intelektualime itu adalah rahim peradaban dan peradaban itu tak jarang berdialektika melalui rivalitas.
Siapa tahu beberapa hari ke depan, saya bisa bertemu dengan orang yang mempraktikkan nikah Mut’ah dan darinya bisa mendengar jastifikasi mengapa mempraktikkan nikah Mut’ah itu dan dalam situasi apa nikah Mut’ah itu bisa dilakukan. Semua ini bukan untuk membuat ruang nikah Mut’ah lebih terbuka, yang tentunya istri tersayang saya di rumah pasti kurang suka mendengarnya, tetapi sebagai salah satu jendela penting untuk saling memahami dalam bermazhab tanpa praduga miring dan tak berdasar.