Memasuki tahun kelima sejak berdirinya IJABI, beberapa tantangan bermunculan. Namun, tantangan tersebut harusnya menjadi pemacu semangat untuk semakin kuat berdakwah di jalan rahmah ahlul bayt. Karena itulah, Ustadz Jalaluddin Rakhmat memberikan pesan khusus kepada Ijabiyyun di Pembukaan Muktamar ke-2 IJABI tahun 2004 di Jakarta. Berikut transkripsinya.
Assalamu ‘alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Hari ini kita berada pada bulan Muharram, bulan yang sangat istimewa bagi kita. Di atas bulan itu, kita menegakkan misi perjuangan kita. Bulan ini membawa kita pada tahun 6o Hijriyah, pada satu tempat yang bernama Karbala. Menjelang tragedi paling pedih dalam sejarah umat manusia, Sukaynah putri Husayn bercerita kepada kita:
Aku lagi duduk pada malam yang berbulan di tengah kemah. Tiba-tiba kudengar suara tangisan yang menyayat hati. Aku menyelinap untuk mengetahui apa yang terjadi. Ayahku sedang duduk di tengah-tengah sahabatnya. Aku mendengar ia menangis dan berkata kepada para sahabatnya:
“Ketahuilah. Kalian keluar bersamaku karena kalian tahu bahwa aku mendatangi suatu kaum yang berbaiat kepadaku dengan lidahnya dan hatinya. Tetapi sekarang semuanya sudah berbalik. Mereka telah dikuasai setan. Setan membuatnya lupa pada peringatan Allah. Sekarang, tidak ada lagi maksud mereka kecuali membunuhku dan membunuh orang-orang yang berjuang bersamaku. Mereka akan merendahkan kehormatan para perempuan kami setelah menawan mereka. Aku takut kalian tidak tahu atau tahu tapi malu. Dan kami Ahlulbait tidak pernah memperdayakan kalian. Siapa di antara kalian yang tidak suka keadaan ini, berangkatlah! Malam menyelimuti kalian. Jalan tidak membahayakan kalian dan waktu tidak memanaskan kalian. Barangsiapa mendukung kami dengan dirinya ia akan bersama kami nanti di surga, selamat dari dari murka Tuhan yang Maha Pengasih. Kakekku Rasulullah saw berkata: “Anakku Husein terbunuh di Tuff Karbala, dalam keadaan terasing, sendirian dan kehausan. Barangsiapa yang menolongnya, ia menolongku dan menolong anaknya Al-Qaim. Seandainya ia menolongku dengan lidahnya, ia bersama kelompok kami pada hari kiamat.”
Demi Allah, kata Sukaynah, belum selesai ia berbicara, orang-orang sekitar sepuluh atau dua puluh orang bangkit dan meninggalkan Imam. Hanya tersisa tujuh puluh satu orang saja. Aku lihat ayahku menundukkan kepalanya dan air mata membasahi mukaku. Aku takut ia mendengarkan suaraku. Aku angkat pandanganku ke langit. Aku berdoa: Ya Allah, mereka mencampakkan kami. Campakkan mereka! Jangan dengar doa mereka. Jangan berikan pada mereka syafaat kakek kami pada hari kiamat.”
Pada detik-detik terakhir dari rombongan Imam, masih ada yang tega meninggalkan Imam. Di situ di tanah Karbala berkumpullah sahabat-sahabat Imam yang setia. Untuk tawaran Imam itu, mereka dengan tegas berkata: Apa kata orang nanti. Mereka berkata kami tinggalkan syaikh kami, junjungan kami, putra-putra paman kami. Kami tidak melepaskan panah bersama mereka. Kami tidak melemparkan tombak bersama mereka. Kami tidak menebaskan pedang bersama mereka. Kami tidak tahu apa yang mereka lakukan. Tidak demi Allah. Kami tidak akan lari. Kami akan mengurbankan diri kami, harta kami, keluarga kami. Kami akan berperang bersamamu sampai bergabung masuk pada tempat yang kamu masuki. Semoga Allah meremukredamkan kehidupan sepeninggalmu!
Ketika Imam Husayn berangkat meninggalkan Madinah, menuju Makkah ia ditemani oleh ratusan pengikutnya. Perjalanan Imam Husayn sekaligus seleksi alamiah yang menakjubkan. Imam datang ke Kufah, karena undangan para pengikutnya. Mereka menulis surat dukungan pada Imam, tetapi mereka mengkhianatinya. Ketika berjumpa dengan Farazdak di tengah jalan, Farazdak berkata: Hati mereka bersama kamu, tetapi pedangnya di atas kudukmu! Artinya, mereka yakin kamu di jalan kebenaran. Tetapi karena kepentingan duniawi, mereka akan membunuhmu.
Di sana, di ujung perjalanan Imam, di depan musuh-musuh yang semula mendukungnya, Imam memanggil tokoh-tokoh mereka seorang seorang: Hai Syabts bin Raba’i; hai Hajjar bin Abjar, hai Qais bin Asy’ats, hai Yazid bin Harits, bukankah kalian sudah menulis surat kepadaku. Di situ kalian menulis: Buah sudah matang, waktu sudah tiba, kekuatan sudah dihimpunkan. Datanglah bersama pasukanmu. Datanglah.”
Tokoh-tokoh itu, tanpa rasa malu sedikitpun, berdusta di depan cucu Rasulullah saw: La naf’al. Tidak, kami tidak menulisnya. Sehingga Imam berkata: Subhanallah. Demi Allah, kalian sudah menulisnya!
Maafkan saya kalu saya agak panjang mengutip peristiwa tarikh ini. Ketika kita berangkat mengembangkan layar bahtera Ahlulbait ini di Bandung, gedung Merdeka, gedung Asia Afrika dipenuhi oleh ribuan massa, mewakili beberapa provinsi di Indonesia. Saya mengatakan bahwa mereka datang dari relung-relung sejarah Indonesia. Mereka mewakili suara-suara parau kaum mustadh’afin. Berbeda dengan kafilah Imam Husein, dalam perjalanan bahtera IJABI selama lima tahun, penumpang bahtera kita bertambah lebih banyak. Alhamdulillah! Tetapi sama dengan Imam Husein, ada beberapa sahabat kita yang meninggalkan bahtera ini. Sahabat-sahabat saya di Pengurus Besar IJABI pernah mengeluh karena ada sebagian kawannya meninggalkan mereka dan bahkan menghendaki agar IJABI dibubarkan saja.
Saya menghibur mereka dengan mengatakan bahwa kepedihan kita masih setitik embun dalam lautan derita Imam Husein as. Ketika mereka mengadu kepada saya bahwa ada beberapa wilayah yang membangkang, sehingga organisasi terpaksa menerapkan tindakan disipliner kepada mereka, saya berkata: Bukankah Imam Ali pernah berkata: “Aku diuji oleh rakyatku yang apabila aku memerintahkan mereka, mereka tidak mentaatiku; apabila aku memanggil mereka, mereka tidak menjawab panggilanku. Rakyat-rakyat yang lain takut akan kezaliman pemimpinnya. Aku takut akan kezaliman rakyatku. Saya katakan kepada mereka bahwa ujian yang kita terima hanyalah sebutir debu dalam sahara ujian Imam Ali as.”
Hari ini, melihat saudara-saudara yang datang dari sudut-sudut negeri Indonesia dengan segala kesetiaan dan pengorbanan, saya tidak dapat menahan keharuan saya. Saya tahu saudara datang tanpa bantuan apa pun dari Pengurus Besar IJABI. Organisasi kita adalah organisasi yang tidak punya backing dari siapa pun kecuali dari Allah, Rasul-Nya dan kaum mukmin. Kita tidak berafiliasi denga partai politik apapun. Kita tidak berjuang untuk memperoleh kursi legislatif. IJABI tidak menawarkan apa pun kecuali kesetiaan pada pesan Imam Husein: Pembelaan pada kaum tertindas dan pencerahan pemikiran.
En toch, saudara-saudara datang ke sini, memenuhi panggilan kami. Berulang kali kami memanggil saudara dan berulang kali pula saudara dengan setia menjawab seruan kami. Juzitum ‘an ahlil bayti khayran. Saya tahu terkadang saudara harus mengurbankan apa yang masih tersisa setelah semua pengorbanan saudara lakukan. Beberapa waktu yang lalu, ketika kita menyelenggarakan pengkaderan IJABI marhalah ula, ada peserta yang menawarkan cicncin di jarinya kepada peserta lain untuk ongkos pulang ke kampung halamannya. Saudara, saya menangis mendengar itu. Mudah-mudahan Rasulullah saw dan para Imam menghimpunkan kita bersama mereka. Ketika Rusyaid al-Hajari diberitahu bahwa ia akan dipotong tangannya, kakinya, dan lidahnya, ia bertanya: Apakah setelah itu aku ke surga, ya Amiral Mukminin. Imam Ali menjawab: Anta ma’i fiddunya wal akhirat. Saya percaya, saudara-saudara bersedia mendapat resiko apa pun di IJABI, walaupun harus kehilangan tangan, kaki, dan lidah, asalkan nun di sana Imam Ali menyambut kita dengan senyumnya:Anta ma’i fiddunya wal akhirat.
Wassalamu ‘alaykum warahmatullahi wabarakatuh
Hari ini kita berada pada bulan Muharram, bulan yang sangat istimewa bagi kita. Di atas bulan itu, kita menegakkan misi perjuangan kita. Bulan ini membawa kita pada tahun 6o Hijriyah, pada satu tempat yang bernama Karbala. Menjelang tragedi paling pedih dalam sejarah umat manusia, Sukaynah putri Husayn bercerita kepada kita:
Aku lagi duduk pada malam yang berbulan di tengah kemah. Tiba-tiba kudengar suara tangisan yang menyayat hati. Aku menyelinap untuk mengetahui apa yang terjadi. Ayahku sedang duduk di tengah-tengah sahabatnya. Aku mendengar ia menangis dan berkata kepada para sahabatnya:
“Ketahuilah. Kalian keluar bersamaku karena kalian tahu bahwa aku mendatangi suatu kaum yang berbaiat kepadaku dengan lidahnya dan hatinya. Tetapi sekarang semuanya sudah berbalik. Mereka telah dikuasai setan. Setan membuatnya lupa pada peringatan Allah. Sekarang, tidak ada lagi maksud mereka kecuali membunuhku dan membunuh orang-orang yang berjuang bersamaku. Mereka akan merendahkan kehormatan para perempuan kami setelah menawan mereka. Aku takut kalian tidak tahu atau tahu tapi malu. Dan kami Ahlulbait tidak pernah memperdayakan kalian. Siapa di antara kalian yang tidak suka keadaan ini, berangkatlah! Malam menyelimuti kalian. Jalan tidak membahayakan kalian dan waktu tidak memanaskan kalian. Barangsiapa mendukung kami dengan dirinya ia akan bersama kami nanti di surga, selamat dari dari murka Tuhan yang Maha Pengasih. Kakekku Rasulullah saw berkata: “Anakku Husein terbunuh di Tuff Karbala, dalam keadaan terasing, sendirian dan kehausan. Barangsiapa yang menolongnya, ia menolongku dan menolong anaknya Al-Qaim. Seandainya ia menolongku dengan lidahnya, ia bersama kelompok kami pada hari kiamat.”
Demi Allah, kata Sukaynah, belum selesai ia berbicara, orang-orang sekitar sepuluh atau dua puluh orang bangkit dan meninggalkan Imam. Hanya tersisa tujuh puluh satu orang saja. Aku lihat ayahku menundukkan kepalanya dan air mata membasahi mukaku. Aku takut ia mendengarkan suaraku. Aku angkat pandanganku ke langit. Aku berdoa: Ya Allah, mereka mencampakkan kami. Campakkan mereka! Jangan dengar doa mereka. Jangan berikan pada mereka syafaat kakek kami pada hari kiamat.”
Pada detik-detik terakhir dari rombongan Imam, masih ada yang tega meninggalkan Imam. Di situ di tanah Karbala berkumpullah sahabat-sahabat Imam yang setia. Untuk tawaran Imam itu, mereka dengan tegas berkata: Apa kata orang nanti. Mereka berkata kami tinggalkan syaikh kami, junjungan kami, putra-putra paman kami. Kami tidak melepaskan panah bersama mereka. Kami tidak melemparkan tombak bersama mereka. Kami tidak menebaskan pedang bersama mereka. Kami tidak tahu apa yang mereka lakukan. Tidak demi Allah. Kami tidak akan lari. Kami akan mengurbankan diri kami, harta kami, keluarga kami. Kami akan berperang bersamamu sampai bergabung masuk pada tempat yang kamu masuki. Semoga Allah meremukredamkan kehidupan sepeninggalmu!
Ketika Imam Husayn berangkat meninggalkan Madinah, menuju Makkah ia ditemani oleh ratusan pengikutnya. Perjalanan Imam Husayn sekaligus seleksi alamiah yang menakjubkan. Imam datang ke Kufah, karena undangan para pengikutnya. Mereka menulis surat dukungan pada Imam, tetapi mereka mengkhianatinya. Ketika berjumpa dengan Farazdak di tengah jalan, Farazdak berkata: Hati mereka bersama kamu, tetapi pedangnya di atas kudukmu! Artinya, mereka yakin kamu di jalan kebenaran. Tetapi karena kepentingan duniawi, mereka akan membunuhmu.
Di sana, di ujung perjalanan Imam, di depan musuh-musuh yang semula mendukungnya, Imam memanggil tokoh-tokoh mereka seorang seorang: Hai Syabts bin Raba’i; hai Hajjar bin Abjar, hai Qais bin Asy’ats, hai Yazid bin Harits, bukankah kalian sudah menulis surat kepadaku. Di situ kalian menulis: Buah sudah matang, waktu sudah tiba, kekuatan sudah dihimpunkan. Datanglah bersama pasukanmu. Datanglah.”
Tokoh-tokoh itu, tanpa rasa malu sedikitpun, berdusta di depan cucu Rasulullah saw: La naf’al. Tidak, kami tidak menulisnya. Sehingga Imam berkata: Subhanallah. Demi Allah, kalian sudah menulisnya!
Maafkan saya kalu saya agak panjang mengutip peristiwa tarikh ini. Ketika kita berangkat mengembangkan layar bahtera Ahlulbait ini di Bandung, gedung Merdeka, gedung Asia Afrika dipenuhi oleh ribuan massa, mewakili beberapa provinsi di Indonesia. Saya mengatakan bahwa mereka datang dari relung-relung sejarah Indonesia. Mereka mewakili suara-suara parau kaum mustadh’afin. Berbeda dengan kafilah Imam Husein, dalam perjalanan bahtera IJABI selama lima tahun, penumpang bahtera kita bertambah lebih banyak. Alhamdulillah! Tetapi sama dengan Imam Husein, ada beberapa sahabat kita yang meninggalkan bahtera ini. Sahabat-sahabat saya di Pengurus Besar IJABI pernah mengeluh karena ada sebagian kawannya meninggalkan mereka dan bahkan menghendaki agar IJABI dibubarkan saja.
Saya menghibur mereka dengan mengatakan bahwa kepedihan kita masih setitik embun dalam lautan derita Imam Husein as. Ketika mereka mengadu kepada saya bahwa ada beberapa wilayah yang membangkang, sehingga organisasi terpaksa menerapkan tindakan disipliner kepada mereka, saya berkata: Bukankah Imam Ali pernah berkata: “Aku diuji oleh rakyatku yang apabila aku memerintahkan mereka, mereka tidak mentaatiku; apabila aku memanggil mereka, mereka tidak menjawab panggilanku. Rakyat-rakyat yang lain takut akan kezaliman pemimpinnya. Aku takut akan kezaliman rakyatku. Saya katakan kepada mereka bahwa ujian yang kita terima hanyalah sebutir debu dalam sahara ujian Imam Ali as.”
Hari ini, melihat saudara-saudara yang datang dari sudut-sudut negeri Indonesia dengan segala kesetiaan dan pengorbanan, saya tidak dapat menahan keharuan saya. Saya tahu saudara datang tanpa bantuan apa pun dari Pengurus Besar IJABI. Organisasi kita adalah organisasi yang tidak punya backing dari siapa pun kecuali dari Allah, Rasul-Nya dan kaum mukmin. Kita tidak berafiliasi denga partai politik apapun. Kita tidak berjuang untuk memperoleh kursi legislatif. IJABI tidak menawarkan apa pun kecuali kesetiaan pada pesan Imam Husein: Pembelaan pada kaum tertindas dan pencerahan pemikiran.
En toch, saudara-saudara datang ke sini, memenuhi panggilan kami. Berulang kali kami memanggil saudara dan berulang kali pula saudara dengan setia menjawab seruan kami. Juzitum ‘an ahlil bayti khayran. Saya tahu terkadang saudara harus mengurbankan apa yang masih tersisa setelah semua pengorbanan saudara lakukan. Beberapa waktu yang lalu, ketika kita menyelenggarakan pengkaderan IJABI marhalah ula, ada peserta yang menawarkan cicncin di jarinya kepada peserta lain untuk ongkos pulang ke kampung halamannya. Saudara, saya menangis mendengar itu. Mudah-mudahan Rasulullah saw dan para Imam menghimpunkan kita bersama mereka. Ketika Rusyaid al-Hajari diberitahu bahwa ia akan dipotong tangannya, kakinya, dan lidahnya, ia bertanya: Apakah setelah itu aku ke surga, ya Amiral Mukminin. Imam Ali menjawab: Anta ma’i fiddunya wal akhirat. Saya percaya, saudara-saudara bersedia mendapat resiko apa pun di IJABI, walaupun harus kehilangan tangan, kaki, dan lidah, asalkan nun di sana Imam Ali menyambut kita dengan senyumnya:Anta ma’i fiddunya wal akhirat.
Wassalamu ‘alaykum warahmatullahi wabarakatuh