Ahsa al-Banduni
Buku berjudul ‘Kesesatan Sunni Syiah: Respon Atas Polemik di Republika’ karya Muhammad Babul Ulum kembali dikaji di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Koresponden Majulah-IJABI menuliskan catatan atas diskusi ini digabungkan dengan laporan AH Nasution yang disarikan dari klik-galamedia.com [majulah-ijabi.org]
Buku berjudul ‘Kesesatan Sunni Syiah: Respon Atas Polemik di Republika’ karya Muhammad Babul Ulum kembali dikaji di UIN Sunan Gunung Djati Bandung. Koresponden Majulah-IJABI menuliskan catatan atas diskusi ini digabungkan dengan laporan AH Nasution yang disarikan dari klik-galamedia.com [majulah-ijabi.org]
Bermula dari kasus kekerasan atas nama agama di Sampang-Madura yang menelan korban dan hancurnya rumah beserta harta benda. Berlanjut dengan polemik fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur yang menyesatkan warga Islam Syiah di Sampang dengan dukungan KH Ma’ruf Amin, salah seorang ulama di MUI Pusat, yang dituangkan dalam sebuah artikel yang dimuat Republika sekira November 2012. Kemudian ditanggapi secara kritis oleh KH.Jalaluddin Rakhmat dari Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (IJABI). Dari kritik itu muncul tanggapan dari KH. Teungku Zulkarnain dan dilanjutkan dalam artikel lainnya oleh KH.Mohammad Baharun yang isinya mendukung Ma’ruf Amin. Polemik itu kemudian diakhiri dengan tulisan dari Dr.Haidar Bagir yang isinya mengajak untuk merajut ukhuwah dan melihat persoalan Sunni Syiah dengan pandangan jernih.
Polemik yang beruntun itu ternyata tidak berhenti di Republika. Kamis siang (2 Mei 2013) di Aula Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung kembali dipersoalkan dalam sebuah diskusi buku yang berjudul ‘Kesesatan Sunni Syiah: Respon Atas Polemik di Republika’ karya Muhammad Babul Ulum. Diskusi yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia Jawa barat, Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman [LPIK] dan BEMJ Tasawuf Psikoterapi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, ini menghadirkan Prof Dr Rosihon Anwar, Dr Engkos Kosasih, dan penulis buku.
Dalam diskusi yang dihadiri lebih dari seratus peserta ini, Muhammad Babul Ulum menyampaikan bahwa akar persoalan penyesatan terhadap Syiah bukan sekadar masalah penafsiran atas dalil-dalil agama, tetapi lebih pada kepentingan orang atau kelompok. Menurutnya, tidak pernah terjadi konflik dalam sejarah Islam disebabkan berbeda pendapat, tetapi konflik terjadi lebih besar disebabkan berbeda kepentingan. Konflik di Suriah, Irak, Afghanistan, Bahrain, dan Sampang (Madura, Indonesia) kalau ditelusuri lebih dominan kepentingan individu dan ekonomis ketimbang masalah pemahaman agama. Hanya karena didukunga fatwa MUI yang tidak mengenal dengan baik tentang Syiah, orang-orang mudah digerakan untuk melakukan pengrusakan dan anarkisme agama.
“Sunni dan Syiah masih bisa dicari titik temunya. Perbedaannya hanya sekira sepuluh persen dan lebih banyak persamaannya,” kata Babul.
Pernyataan Babul mendapat tanggapan serius dari pembicara kedua. Menurut Engkos Kosasih, perbedaan Sunni Syiah sangat mendasar dan termasuk masalah keyakinan (ushuluddin). “Yang sama itu hanya sepuluh persen,” ucap Engkos. Dosen lulusan Al-Azhar, Mesir, ini juga menyampaikan bahwa dalil-dalil yang digunakan Syiah yang mengambil dari rujukan Ahlussunah memiliki kecacatan dalam menerjemahkan. Sayangnya dalam pemaparannya, Engkos tidak memaparkan persoalan tersebut.
Sementara Prof Dr Rosihon Anwar yang menjadi pembicara ketiga tidak terjebak dalam alur dua pembicara. Gurubesar UIN Bandung ini mengajak pihak Sunni dan Syiah untuk meninggalkan ikhtilaf yang ribuan tahun dengan mengupayakan titik temu dan mencari kesamaan sehingga dapat merajut ukhuwah Islamiyyah. Menurutnya, metode dialektis tidak menyelesaikan permasalahan dalam Sunni Syiah karena masing-masing akan saling menyerang dan mengunggulkan mazhabnya.
"Tokoh-tokoh Islam Syiah dan Sunni harus melakukan kajian dengan menggali langsung dari sumber aslinya dengan standar ilmiah sebagai acuannya," pesan Rosihon. Beliau juga mengatakan bahwa diskusi seperti ini memberikan manfaat. "Intinya diskusi ini tak lain untuk menambah wawasan mahasiswa sebagai bentuk karya nyata ilmiah," katanya.
Diskusi ini juga dihadiri oleh Dr Dedy Djamaluddin Malik dan perwakilan Pembantu Rektor III UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menjadi keynote speaker. Dikutip dari Galamedia, Dr. Dedy Jamaluddin mengatakan bahwa adanya perbedaan yang tidak bisa dihindari, bisa memperkaya ilmu. Intinya jangan berani menyesatkan kepada orang lain sehingga menimbulkan keresahan terlebih lagi menganggap dirinya yang benar. "Intinya kita harus ada sikap jangan memaksakan kehendak dan jangan menyesatkan untuk menghindari konflik," kata Deddy.
Polemik yang beruntun itu ternyata tidak berhenti di Republika. Kamis siang (2 Mei 2013) di Aula Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung kembali dipersoalkan dalam sebuah diskusi buku yang berjudul ‘Kesesatan Sunni Syiah: Respon Atas Polemik di Republika’ karya Muhammad Babul Ulum. Diskusi yang diselenggarakan Pengurus Wilayah Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia Jawa barat, Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman [LPIK] dan BEMJ Tasawuf Psikoterapi UIN Sunan Gunung Djati Bandung, ini menghadirkan Prof Dr Rosihon Anwar, Dr Engkos Kosasih, dan penulis buku.
Dalam diskusi yang dihadiri lebih dari seratus peserta ini, Muhammad Babul Ulum menyampaikan bahwa akar persoalan penyesatan terhadap Syiah bukan sekadar masalah penafsiran atas dalil-dalil agama, tetapi lebih pada kepentingan orang atau kelompok. Menurutnya, tidak pernah terjadi konflik dalam sejarah Islam disebabkan berbeda pendapat, tetapi konflik terjadi lebih besar disebabkan berbeda kepentingan. Konflik di Suriah, Irak, Afghanistan, Bahrain, dan Sampang (Madura, Indonesia) kalau ditelusuri lebih dominan kepentingan individu dan ekonomis ketimbang masalah pemahaman agama. Hanya karena didukunga fatwa MUI yang tidak mengenal dengan baik tentang Syiah, orang-orang mudah digerakan untuk melakukan pengrusakan dan anarkisme agama.
“Sunni dan Syiah masih bisa dicari titik temunya. Perbedaannya hanya sekira sepuluh persen dan lebih banyak persamaannya,” kata Babul.
Pernyataan Babul mendapat tanggapan serius dari pembicara kedua. Menurut Engkos Kosasih, perbedaan Sunni Syiah sangat mendasar dan termasuk masalah keyakinan (ushuluddin). “Yang sama itu hanya sepuluh persen,” ucap Engkos. Dosen lulusan Al-Azhar, Mesir, ini juga menyampaikan bahwa dalil-dalil yang digunakan Syiah yang mengambil dari rujukan Ahlussunah memiliki kecacatan dalam menerjemahkan. Sayangnya dalam pemaparannya, Engkos tidak memaparkan persoalan tersebut.
Sementara Prof Dr Rosihon Anwar yang menjadi pembicara ketiga tidak terjebak dalam alur dua pembicara. Gurubesar UIN Bandung ini mengajak pihak Sunni dan Syiah untuk meninggalkan ikhtilaf yang ribuan tahun dengan mengupayakan titik temu dan mencari kesamaan sehingga dapat merajut ukhuwah Islamiyyah. Menurutnya, metode dialektis tidak menyelesaikan permasalahan dalam Sunni Syiah karena masing-masing akan saling menyerang dan mengunggulkan mazhabnya.
"Tokoh-tokoh Islam Syiah dan Sunni harus melakukan kajian dengan menggali langsung dari sumber aslinya dengan standar ilmiah sebagai acuannya," pesan Rosihon. Beliau juga mengatakan bahwa diskusi seperti ini memberikan manfaat. "Intinya diskusi ini tak lain untuk menambah wawasan mahasiswa sebagai bentuk karya nyata ilmiah," katanya.
Diskusi ini juga dihadiri oleh Dr Dedy Djamaluddin Malik dan perwakilan Pembantu Rektor III UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang menjadi keynote speaker. Dikutip dari Galamedia, Dr. Dedy Jamaluddin mengatakan bahwa adanya perbedaan yang tidak bisa dihindari, bisa memperkaya ilmu. Intinya jangan berani menyesatkan kepada orang lain sehingga menimbulkan keresahan terlebih lagi menganggap dirinya yang benar. "Intinya kita harus ada sikap jangan memaksakan kehendak dan jangan menyesatkan untuk menghindari konflik," kata Deddy.