Ahsa al-Banduni
Ahad, 28 Juli 2013, di Aula Muthahhari, Jalan Kampus II Kiaracondong Bandung, dilaksanakan acara kajian Fikih yang disampaikan oleh seorang ustadz muda putra ulama KH. Mucthar Adam. Beliau adalah lulusan hauzah ilmiah Qum Iran dan kini beraktivitas sebagai pengajar di Pesantren Babussalam, Dago Atas Bandung. Ustadz yang biasa disapa Abah Fajar oleh santri ini menyampaikan materi tentang fikih Ahlulbait. [majulah-IJABI]
Ahad, 28 Juli 2013, di Aula Muthahhari, Jalan Kampus II Kiaracondong Bandung, dilaksanakan acara kajian Fikih yang disampaikan oleh seorang ustadz muda putra ulama KH. Mucthar Adam. Beliau adalah lulusan hauzah ilmiah Qum Iran dan kini beraktivitas sebagai pengajar di Pesantren Babussalam, Dago Atas Bandung. Ustadz yang biasa disapa Abah Fajar oleh santri ini menyampaikan materi tentang fikih Ahlulbait. [majulah-IJABI]
Menurutnya, Ahlulbait merupakan mazhab yang lengkap dibandingkan mazhab lainnya. Di dalam mazhab Ahlulbait terdapat kalam, fiqih, filsafat, hadis, tasawuf/irfan, politik, dan lainnya. Bahkan tokoh-tokoh mazhab Ahlulbait pun banyak menghiasai dalam khazanah peradaban Islam dengan berbagai karya yang gemilang.
Menurut Ustadz Fajar, terdapat pergeseran istilah dari zaman ke zaman berkaiatan dengan dengan mazhab Ahlulbait. Pada zaman Rasulullah saw dan oleh Rasul sendiri, para pengikut Imam Ali bin Abi Thalib disebut Syiah Ali. Pernyataan ini meluncur dari Rasulullah saw ketika Imam Ali menjahit sandalnya sendiri. Kemudian Rasulullah saw bersabda, "Wahai Ali, engkau dan pengikutmu akan masuk surga." Dalam bahasa Arab, pengikut itu disebut syiah/syiat. Karena itu, istilah Syiah bukan sesuatu yang lahir pasca perang shiffin, tetapi sudah ada sejak zaman Rasulullah saw.
Dalam sejarah diketahui bahwa Syiah juga digunakan untuk menyebut kelompok yang menentang Imam Ali bin Abi Thalib, yaitu kelompok Muawiyah yang disebut Syiah Muawiyah. Namun, dalam perkembangannya, yang lebih populer adalah istilah yang melekat pada pengikut Imam Ali sehingga disebut Syiah Ali, atau pengikut Ahlulbait. Disebut demikian karena mereka patuh dengan hadis yang disebutkan Rasulullah saw bahwa yang harus diikuti setelah Rasulullah saw adalah Ahlulbait yang kemudian menjadi para Imam dari Syiah.
Sampai sekarang ini kalau menyebut mazhab Ahlulbait pasti itu adalah Syiah. Memang ada perbedaan dalam Syiah yang melahirkan aliran-aliran. Namun, sampai sekarang ini yang disebut Syiah adalah yang merujuk pada Ahlulbait dan imam yang berjumlah dua belas. Karena itu ada yang menyebut Itsna Asyariyah, atau Imamiyyah. Sedangkan yang lainnya biasanya dilekatkan pada imamnya, seperti Zaidiyah, Ismailiyah, dan lainnya.
Dalam fikih, menurut Ustadz Fajar, mazhab Ahlulbait lebih dikenal dengan sebutan Ja'fariyah yang merujuk pada Imam Ja'far Ash-Shadiq as. Beliau adalah Imam keenam dalam mazhab Syiah dan merupakan guru dari para imam fikih Sunni yang empat. Imam Ja'far dianggap sebagai peletak dasar ilmu fikih dan amaliah Islam dari mazhab Syiah atau Ahlulbait. Meski sekarang ini banyak ulama-ulama yang ahli fikih di Syiah, tetapi hampir semuanya merujuk pada Imam Ja'far as sebagai sumber. Tentu saja Imam Ja'far as sendiri mengambil sumbernya ilmunya dari Rasulullah saw, ilmu yang merupakan warisan dari bapak dan kakek-kakeknya yang bersambung sampai Rasulullah saw.
Dari segi sumber, fikih Ahlulbait didasarkan pada empat: Al-Quran, Hadis, Ijma, dan Akal. Hal ini berbeda dengan fikih Ahlussunah yang tidak memasukan akal, walaupun menerima qiyas. Al-Quran yang digunakan sama seratus persen dengan yang dipakai Ahlussunah. Tidak ada penambahan atau pengurangan. Kemudian dalam hadis tidak hanya hadis Rasulullah saw, tetapi mencakup hadis-hadis dari Imam-imam Ahlulbait. Sementara ijma dan akal, Ustadz Fajar tidak terlalu menjelaskan dengan detail. Menurut beliau, akal dianggap sebagai alat untuk memahami nash atau dalil yang terdapat di dalam agama. "Bagi ulama Syiah, kalau ada nash atau dalil bertentangan dengan akal sebaiknya dikaji kembali atau ditolak," katanya.
Menurut Ustadz Fajar, umat Islam Indonesia sebaiknya tidak mempersoalkan masalah perbedaan, khususnya fikih. "Kita harus mengambil dari dua mazhab besar, Syiah dan Sunni, sehingga khazanah Islam Indonesia berkembang," katanya.
Dalam kajian fikih Ahlulbait yang diselenggarakan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia) Jawa Barat ini dilanjutkan pula dengan tanya jawab. Masalah yang diatanyakan di antaranya masalah shalat dan status akal.
Ustadz Fajar menyatakan, shalat dengan tangan lurus bukan hanya dilakukan pengikut Syiah atau mazhab Ahlulbait, tetapi juga oleh mazhab Maliki. Sayang sekali waktu terbatasi karena alunan azan maghrib berkumandang sehingga diskusi dihentikan untuk buka puasa.
Sebagai informasi tambahan, Ustadz Fajar setiap Sabtu di Pesantren Babussalam Dago Atas Bandung juga menyelenggarakan kajian nahjul balaghah (kumpulan hadis dan ceramah Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah).
Menurut Ustadz Fajar, terdapat pergeseran istilah dari zaman ke zaman berkaiatan dengan dengan mazhab Ahlulbait. Pada zaman Rasulullah saw dan oleh Rasul sendiri, para pengikut Imam Ali bin Abi Thalib disebut Syiah Ali. Pernyataan ini meluncur dari Rasulullah saw ketika Imam Ali menjahit sandalnya sendiri. Kemudian Rasulullah saw bersabda, "Wahai Ali, engkau dan pengikutmu akan masuk surga." Dalam bahasa Arab, pengikut itu disebut syiah/syiat. Karena itu, istilah Syiah bukan sesuatu yang lahir pasca perang shiffin, tetapi sudah ada sejak zaman Rasulullah saw.
Dalam sejarah diketahui bahwa Syiah juga digunakan untuk menyebut kelompok yang menentang Imam Ali bin Abi Thalib, yaitu kelompok Muawiyah yang disebut Syiah Muawiyah. Namun, dalam perkembangannya, yang lebih populer adalah istilah yang melekat pada pengikut Imam Ali sehingga disebut Syiah Ali, atau pengikut Ahlulbait. Disebut demikian karena mereka patuh dengan hadis yang disebutkan Rasulullah saw bahwa yang harus diikuti setelah Rasulullah saw adalah Ahlulbait yang kemudian menjadi para Imam dari Syiah.
Sampai sekarang ini kalau menyebut mazhab Ahlulbait pasti itu adalah Syiah. Memang ada perbedaan dalam Syiah yang melahirkan aliran-aliran. Namun, sampai sekarang ini yang disebut Syiah adalah yang merujuk pada Ahlulbait dan imam yang berjumlah dua belas. Karena itu ada yang menyebut Itsna Asyariyah, atau Imamiyyah. Sedangkan yang lainnya biasanya dilekatkan pada imamnya, seperti Zaidiyah, Ismailiyah, dan lainnya.
Dalam fikih, menurut Ustadz Fajar, mazhab Ahlulbait lebih dikenal dengan sebutan Ja'fariyah yang merujuk pada Imam Ja'far Ash-Shadiq as. Beliau adalah Imam keenam dalam mazhab Syiah dan merupakan guru dari para imam fikih Sunni yang empat. Imam Ja'far dianggap sebagai peletak dasar ilmu fikih dan amaliah Islam dari mazhab Syiah atau Ahlulbait. Meski sekarang ini banyak ulama-ulama yang ahli fikih di Syiah, tetapi hampir semuanya merujuk pada Imam Ja'far as sebagai sumber. Tentu saja Imam Ja'far as sendiri mengambil sumbernya ilmunya dari Rasulullah saw, ilmu yang merupakan warisan dari bapak dan kakek-kakeknya yang bersambung sampai Rasulullah saw.
Dari segi sumber, fikih Ahlulbait didasarkan pada empat: Al-Quran, Hadis, Ijma, dan Akal. Hal ini berbeda dengan fikih Ahlussunah yang tidak memasukan akal, walaupun menerima qiyas. Al-Quran yang digunakan sama seratus persen dengan yang dipakai Ahlussunah. Tidak ada penambahan atau pengurangan. Kemudian dalam hadis tidak hanya hadis Rasulullah saw, tetapi mencakup hadis-hadis dari Imam-imam Ahlulbait. Sementara ijma dan akal, Ustadz Fajar tidak terlalu menjelaskan dengan detail. Menurut beliau, akal dianggap sebagai alat untuk memahami nash atau dalil yang terdapat di dalam agama. "Bagi ulama Syiah, kalau ada nash atau dalil bertentangan dengan akal sebaiknya dikaji kembali atau ditolak," katanya.
Menurut Ustadz Fajar, umat Islam Indonesia sebaiknya tidak mempersoalkan masalah perbedaan, khususnya fikih. "Kita harus mengambil dari dua mazhab besar, Syiah dan Sunni, sehingga khazanah Islam Indonesia berkembang," katanya.
Dalam kajian fikih Ahlulbait yang diselenggarakan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia) Jawa Barat ini dilanjutkan pula dengan tanya jawab. Masalah yang diatanyakan di antaranya masalah shalat dan status akal.
Ustadz Fajar menyatakan, shalat dengan tangan lurus bukan hanya dilakukan pengikut Syiah atau mazhab Ahlulbait, tetapi juga oleh mazhab Maliki. Sayang sekali waktu terbatasi karena alunan azan maghrib berkumandang sehingga diskusi dihentikan untuk buka puasa.
Sebagai informasi tambahan, Ustadz Fajar setiap Sabtu di Pesantren Babussalam Dago Atas Bandung juga menyelenggarakan kajian nahjul balaghah (kumpulan hadis dan ceramah Imam Ali bin Abi Thalib karamallahu wajhah).