Ada banyak cerita mengiringi perjalanan IJABI. Ada banyak cerita orang tentang Ustadz Jalal. Masing-masing orang yang pernah mengenalnya, punya cerita sendiri-sendiri. Penulis adalah seorang yang mengaku murid Ustadz Jalal dan belajar agama di kegiatan IJABI, menuliskan pengalamannya dalam sebuah catatan ringan [majulah-ijabi.org]
Pada bulan-bulan akhir 2003, selesai dinyatakan lulus, saya masih sering main ke kampus UIN Sunan Gunung Djati. Meski tahun itu sudah beres dan sudah memegang ijazah, saya masih mengisi keseharian di kampus. Masih sering masuk perpustakaan. Saya masih suka diskusi dengan kawan-kawan. Pada tahun itu di kampus UIN Sunan Gunung Djati Bandung, saya diajak seorang kawan yang aktif dan sering mengaji di Pengajian Ahad Yayasan Muthahhari yang diasuh Ustadz Jalaluddin Rakhmat atau yang biasa dikenal Kang Jalal.
Kawan saya itu, termasuk aktivis ormas Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang masih kuliah. Ia bersama lima orang kawannya membuat sebuah kumpulan mahasiswa pecinta keluarga Nabi yang bernama Keluarga Mahasiswa IJABI. Kawan itu mengajak saya untuk bergabung.
Memang sejak berdirinya IJABI pada 1 Juli 2000 yang diprakarsai oleh Ustadz Jalaluddin Rakhmat, saya sudah mendengar ada jamaah para pecinta keluarga Nabi (Ahlulbait). Sedangkan nama Kang Jalal sudah tidak asing lagi karena dua bukunya: Islam Alternatif dan Islam Aktual, saya baca lebih dari lima kali.
Sangat jarang buku Islam yang saya baca sampai berulang-ulang. Saya baca ulang-ulang karena ada yang khas dari tulisannya Kang Jalal: kemasan bahasa ringan, isinya mendalam, dan kritis. Selain itu juga saya ingin meniru gaya tulisannya. Hingga sekarang, saya masih terus membaca karya-karya Ustadz Jalaluddin Rakhmat. Meski memang tidak semua karyanya saya miliki, tapi empat belas buku karya Kang Jalal saya sudah baca ulang-ulang dan berjejer pada rak buku saya berdampingan dengan buku-buku karya Murtadha Muthahhari, ulama Iran.
Bermula dari LPIK
Di kampus, saya bergerak bersama kawan-kawan Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung, mengumpulkan mahasiswa yang punya minat dalam kajian Islam klasik dan filsafat Islam. Kawan-kawan saya yang berada dalam organisasi Keluarga Mahasiswa IJABI mengajak saya bergabung. Saya pun tertarik. Kemudian ditentukan pertemuan untuk pembinaan dan pengkajian. Saya senang sekali, maklum saya masih jahil dalam urusan agama sehingga serasa ada hal baru yang bisa saya dapatkan dari IJABI.
Sekitar bulan November 2003, saya bersama kawan-kawan Keluarga Mahasiswa IJABI UIN Sunan Gunung Djati Bandung menjalani pembinaan dari Pengurus Pusat IJABI (kalau tak salah dahulu namanya: Pengurus Besar IJABI) yang ketika itu bermarkas di Bandung. Sekitar dua hari saya dan kawan mengikuti bimbingan.
Ustadz Kholid Al-Walid, yang kini sudah bergelar doktor dan menjadi pengurus MUI Pusat (Jakarta), memberikan materi dasar-dasar keagamaan dan kajian Ahlulbait. Kemudian Ustadz Miftah F. Rakhmat, putra Kang Jalal, memberikan materi fiqih Ahlulbait dan isu-isu kontemporer berkaitan dengan Dunia Islam. Sementara Dr. Dimitri Mahayana, yang pada saat itu menjabat Ketua Tanfidziyah IJABI atau pengurus pusat, membedah Islam Indonesia.
Dari rangkaian training tersebut, saya merasakan ada tambahan ilmu dan pengetahuan keagamaan. Saya tercerahkan, khususnya bagian sejarah Ahlulbait yang tidak saya dapatkan dari bangku kuliah. Meski saya belajar ilmu-ilmu Islam dan sejarah Islam dari Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab UIN Sunan Gunung Djati Bandung, setelah mengikuti training tersebut terasa betapa kurangnya pengetahuan yang saya miliki. Karena itu, dalam lubuk hati saya berniat untuk sekolah S2 dan S3 dalam rangka menambah dan mandalami khazanah Islam, khususnya bagian sejarah masa Rasulullah saw dan khulafa rasyidun.
Pada training, saya diberi buku doa tawasul, kumayl, jausan kabir, nuthbah, dan doa pagi-sore. Doanya panjang-panjang. Kalau dibaca tidak cukup lima belas menit. Doa yang pendek yang diamalkan masyarakat IJABI, yang saya ketahui mungkin hanya shalawat. Saya sendiri tidak terlalu sering membaca doa-doa tersebut. Hanya sesekali saja kalau ada majelisnya.
Daripada baca doa yang panjang-panjang, saya lebih tertarik baca buku karya ulama Syiah atau buku-buku karya Ustadz Jalal. Begitu juga baca Quran dan hadis-hadis, berat rasanya tangan dan mata saya untuk memulainya. Kalau buku, dipegang dan dibawa-bawa. Setiap ada kesempatan duduk dan berdiam, saya sempatkan baca buku.
Setelah mengikuti training IJABI, saya tidak aktif dalam organisasi tersebut. Alasannya sih karena saya sudah beres kuliah dan tidak ke kampus lagi. Ya, ini juga berkaitan dengan wafatnya ayah saya pada akhir November 2003 sehingga urusan biaya transportasi dan perut menjadi halangan untuk datang ke kampus dan aktif bersama kawan-kawan Keluarga Mahasiswa IJABI.
Maklum, biaya hidup keluarga seluruhnya berasal dari ayah saya. Memang ibu saya jualan kecil-kecilan, tapi itu hanya cukup buat makan saja. Untuk beli buku dan berangkat ke sana-sini, apalagi kuliah lagi, wah tidak cukup. Akhirnya. saya berdiam di rumah sembari membaca buku-buku peninggalan ayah saya. Sayangnya, buku-buku peninggalan ayah saya lebih bernuansa doktriner sehingga enggan dibaca karena hanya mengulang pelajaran di bangku kuliah.
Pesantren dan Penerbitan
Kemudian salah seorang tetangga di dekat rumah mengajak saya bergabung kerja dengan sebuah pesantren ternama di Bandung. Saya bekerja sebagai jurnalis kemudian redaktur majalah dan online. Dunia pesantren modern saya alami. Saya pernah dimarahi pejabat pesantren dan diberi pendidikan militer di kawasan Lembang Bandung.
Selain menikmati dunia jurnalis dan pesantren, ternyata Allah mempertemukan kembali dengan khazanah Ahlulbait melalui kawan-kawan yang aktif di yayasan Islam yang tempatnya berdekatan dengan pesantren.
Saat kawan-kawan berdiskusi tentang Mulla Shadra, Baqir Shadr, Muthahhari, Khomeini, atau Ali Syariati, serasa diingatkan kembali dengan skripsi saya tentang Filsafat Sejarah versi Ali Syariati. Dari yayasan itu saya kembali membaca buku-buku dan belajar tentang Islam Syiah melalui pengajian yang diselenggarakan yayasan tersebut.
Maklum dari pesantren tempat saya kerja, yang saya dapatkan hanya pengulangan dari materi kuliah dan pelajaran agama dari SD sampai SMA. Tidak ada yang baru dan menyegarkan dari segi pemikiran atau kajian-kajian yang lebih bernuansa filosofis.
Selepas beres kerja dari pesantren, berhenti pula belajar Syiah dan Ahlulbait. Maklum saat itu yang dipentingkan urusan mencari uang buat keluarga dan menjalani kehidupan rumah tangga. Dari pesantren kemudian pindah kerja dunia perbukuan. Saya kerja sebagai editor untuk bidang buku agama dan umum.
Dari dunia buku ini juga saya ternyata bertemu lagi khazanah Islam Syiah dan Ahlulbait. Saat mengedit buku kadang saya membaca perbandingan penulis buku dengan khazanah dari Islam Syiah. Apalagi saat akan menerbitkan buku Ustadz Jalal, saya jadi terbuka kembali. Tapi sayangnya, buku tersebut tidak jadi terbit karena owner tidak menghendaki ada penulis yang menganut mazhab Syiah diterbitkan pada penerbitannya. Maklum pada saat itu muncul kembali wacana tentang bahayanya ajaran mazhab Syiah yang digemborkan orang-orang Islam yang belakangan saya ketahui bermazhab Wahabi.
Sembari menjalani aktivitas sebagai editor, diam-diam saya kembali membaca buku-buku tentang Ahlulbait dan mengikuti pengajian Ustadz Jalal. Saya ikut pengajian dan kegiatan IJABI yang sering digelar. Saya juga kadang menyempatkan untuk datang ke UIN Bandung untuk berdiskusi dengan Prof Afif Muhammad—saya menyapanya Ustadz Afif, guru besar pemikiran Islam. Saya coba konfirmasi tentang materi kajian Ustadz Jalal dan yang saya dapatkan dari IJABI kepada Ustadz Afif. Guru saya itu sering mewanti-wanti bahwa saya jangan sampai masuk pada mazhab Syiah. Kalau perlu tidak bermazhab saja karena Islam tidak melihat mazhab seseorang, tetapi pada kerja atau amal saleh dan kontribusi di masyarakat yang dinilai Allah dan Rasul-Nya.
Saya memahami yang disampaikan Ustadz Afif bukan larangan. Akan tetapi, sebuah upaya untuk menjadi muslim yang non-sektarian. Ini juga yang kadang saya dengar dari Ustadz Jalal. Ustadz Miftah pernah bilang bahwa Sayyid Fadlullah menyatakan kalau seseorang tanya mazhab, katakan kamu seorang muslim. Ini saya kira nyambung dengan pesan Ustadz Afif.
Dari penerbitan, saya masuk dunia pendidikan. Saya belajar menjadi guru. Saya belajar tentang dunia Islam karena di sekolah tersebut saya diamanahi mengajar agama dan bahasa Indonesia. Alhamdulillah, pengetahuan bahasa Indonesia yang saya pelajari dalam dunia jurnalis dan penerbitan terpakai kembali di sekolah. Pengetahuan agama yang saya pelajari juga terpakai karena mengajar agama.
Dan sampai sekarang, saya masih ikutan pengajian IJABI dan masih berkomunikasi dengan guru saya: Ustadz Jalal dan Ustadz Miftah serta Ustadz Afif. Dari ketiga guru itulah saya dapat pengetahuan keagamaan yang lebih, khususnya dalam mazhab Ahlulbait. Entahlah, apakah saya akan berlabuh lagi pada bahtera lain?
Bi Izzah Allah - Nubuwwah Ahmad - Wilayah Ali - Majulah IJABI
Bandung, 6 Oktober 2012
Kawan saya itu, termasuk aktivis ormas Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) yang masih kuliah. Ia bersama lima orang kawannya membuat sebuah kumpulan mahasiswa pecinta keluarga Nabi yang bernama Keluarga Mahasiswa IJABI. Kawan itu mengajak saya untuk bergabung.
Memang sejak berdirinya IJABI pada 1 Juli 2000 yang diprakarsai oleh Ustadz Jalaluddin Rakhmat, saya sudah mendengar ada jamaah para pecinta keluarga Nabi (Ahlulbait). Sedangkan nama Kang Jalal sudah tidak asing lagi karena dua bukunya: Islam Alternatif dan Islam Aktual, saya baca lebih dari lima kali.
Sangat jarang buku Islam yang saya baca sampai berulang-ulang. Saya baca ulang-ulang karena ada yang khas dari tulisannya Kang Jalal: kemasan bahasa ringan, isinya mendalam, dan kritis. Selain itu juga saya ingin meniru gaya tulisannya. Hingga sekarang, saya masih terus membaca karya-karya Ustadz Jalaluddin Rakhmat. Meski memang tidak semua karyanya saya miliki, tapi empat belas buku karya Kang Jalal saya sudah baca ulang-ulang dan berjejer pada rak buku saya berdampingan dengan buku-buku karya Murtadha Muthahhari, ulama Iran.
Bermula dari LPIK
Di kampus, saya bergerak bersama kawan-kawan Lembaga Pengkajian Ilmu Keislaman (LPIK) UIN Sunan Gunung Djati Bandung, mengumpulkan mahasiswa yang punya minat dalam kajian Islam klasik dan filsafat Islam. Kawan-kawan saya yang berada dalam organisasi Keluarga Mahasiswa IJABI mengajak saya bergabung. Saya pun tertarik. Kemudian ditentukan pertemuan untuk pembinaan dan pengkajian. Saya senang sekali, maklum saya masih jahil dalam urusan agama sehingga serasa ada hal baru yang bisa saya dapatkan dari IJABI.
Sekitar bulan November 2003, saya bersama kawan-kawan Keluarga Mahasiswa IJABI UIN Sunan Gunung Djati Bandung menjalani pembinaan dari Pengurus Pusat IJABI (kalau tak salah dahulu namanya: Pengurus Besar IJABI) yang ketika itu bermarkas di Bandung. Sekitar dua hari saya dan kawan mengikuti bimbingan.
Ustadz Kholid Al-Walid, yang kini sudah bergelar doktor dan menjadi pengurus MUI Pusat (Jakarta), memberikan materi dasar-dasar keagamaan dan kajian Ahlulbait. Kemudian Ustadz Miftah F. Rakhmat, putra Kang Jalal, memberikan materi fiqih Ahlulbait dan isu-isu kontemporer berkaitan dengan Dunia Islam. Sementara Dr. Dimitri Mahayana, yang pada saat itu menjabat Ketua Tanfidziyah IJABI atau pengurus pusat, membedah Islam Indonesia.
Dari rangkaian training tersebut, saya merasakan ada tambahan ilmu dan pengetahuan keagamaan. Saya tercerahkan, khususnya bagian sejarah Ahlulbait yang tidak saya dapatkan dari bangku kuliah. Meski saya belajar ilmu-ilmu Islam dan sejarah Islam dari Jurusan Sejarah dan Peradaban Islam Fakultas Adab UIN Sunan Gunung Djati Bandung, setelah mengikuti training tersebut terasa betapa kurangnya pengetahuan yang saya miliki. Karena itu, dalam lubuk hati saya berniat untuk sekolah S2 dan S3 dalam rangka menambah dan mandalami khazanah Islam, khususnya bagian sejarah masa Rasulullah saw dan khulafa rasyidun.
Pada training, saya diberi buku doa tawasul, kumayl, jausan kabir, nuthbah, dan doa pagi-sore. Doanya panjang-panjang. Kalau dibaca tidak cukup lima belas menit. Doa yang pendek yang diamalkan masyarakat IJABI, yang saya ketahui mungkin hanya shalawat. Saya sendiri tidak terlalu sering membaca doa-doa tersebut. Hanya sesekali saja kalau ada majelisnya.
Daripada baca doa yang panjang-panjang, saya lebih tertarik baca buku karya ulama Syiah atau buku-buku karya Ustadz Jalal. Begitu juga baca Quran dan hadis-hadis, berat rasanya tangan dan mata saya untuk memulainya. Kalau buku, dipegang dan dibawa-bawa. Setiap ada kesempatan duduk dan berdiam, saya sempatkan baca buku.
Setelah mengikuti training IJABI, saya tidak aktif dalam organisasi tersebut. Alasannya sih karena saya sudah beres kuliah dan tidak ke kampus lagi. Ya, ini juga berkaitan dengan wafatnya ayah saya pada akhir November 2003 sehingga urusan biaya transportasi dan perut menjadi halangan untuk datang ke kampus dan aktif bersama kawan-kawan Keluarga Mahasiswa IJABI.
Maklum, biaya hidup keluarga seluruhnya berasal dari ayah saya. Memang ibu saya jualan kecil-kecilan, tapi itu hanya cukup buat makan saja. Untuk beli buku dan berangkat ke sana-sini, apalagi kuliah lagi, wah tidak cukup. Akhirnya. saya berdiam di rumah sembari membaca buku-buku peninggalan ayah saya. Sayangnya, buku-buku peninggalan ayah saya lebih bernuansa doktriner sehingga enggan dibaca karena hanya mengulang pelajaran di bangku kuliah.
Pesantren dan Penerbitan
Kemudian salah seorang tetangga di dekat rumah mengajak saya bergabung kerja dengan sebuah pesantren ternama di Bandung. Saya bekerja sebagai jurnalis kemudian redaktur majalah dan online. Dunia pesantren modern saya alami. Saya pernah dimarahi pejabat pesantren dan diberi pendidikan militer di kawasan Lembang Bandung.
Selain menikmati dunia jurnalis dan pesantren, ternyata Allah mempertemukan kembali dengan khazanah Ahlulbait melalui kawan-kawan yang aktif di yayasan Islam yang tempatnya berdekatan dengan pesantren.
Saat kawan-kawan berdiskusi tentang Mulla Shadra, Baqir Shadr, Muthahhari, Khomeini, atau Ali Syariati, serasa diingatkan kembali dengan skripsi saya tentang Filsafat Sejarah versi Ali Syariati. Dari yayasan itu saya kembali membaca buku-buku dan belajar tentang Islam Syiah melalui pengajian yang diselenggarakan yayasan tersebut.
Maklum dari pesantren tempat saya kerja, yang saya dapatkan hanya pengulangan dari materi kuliah dan pelajaran agama dari SD sampai SMA. Tidak ada yang baru dan menyegarkan dari segi pemikiran atau kajian-kajian yang lebih bernuansa filosofis.
Selepas beres kerja dari pesantren, berhenti pula belajar Syiah dan Ahlulbait. Maklum saat itu yang dipentingkan urusan mencari uang buat keluarga dan menjalani kehidupan rumah tangga. Dari pesantren kemudian pindah kerja dunia perbukuan. Saya kerja sebagai editor untuk bidang buku agama dan umum.
Dari dunia buku ini juga saya ternyata bertemu lagi khazanah Islam Syiah dan Ahlulbait. Saat mengedit buku kadang saya membaca perbandingan penulis buku dengan khazanah dari Islam Syiah. Apalagi saat akan menerbitkan buku Ustadz Jalal, saya jadi terbuka kembali. Tapi sayangnya, buku tersebut tidak jadi terbit karena owner tidak menghendaki ada penulis yang menganut mazhab Syiah diterbitkan pada penerbitannya. Maklum pada saat itu muncul kembali wacana tentang bahayanya ajaran mazhab Syiah yang digemborkan orang-orang Islam yang belakangan saya ketahui bermazhab Wahabi.
Sembari menjalani aktivitas sebagai editor, diam-diam saya kembali membaca buku-buku tentang Ahlulbait dan mengikuti pengajian Ustadz Jalal. Saya ikut pengajian dan kegiatan IJABI yang sering digelar. Saya juga kadang menyempatkan untuk datang ke UIN Bandung untuk berdiskusi dengan Prof Afif Muhammad—saya menyapanya Ustadz Afif, guru besar pemikiran Islam. Saya coba konfirmasi tentang materi kajian Ustadz Jalal dan yang saya dapatkan dari IJABI kepada Ustadz Afif. Guru saya itu sering mewanti-wanti bahwa saya jangan sampai masuk pada mazhab Syiah. Kalau perlu tidak bermazhab saja karena Islam tidak melihat mazhab seseorang, tetapi pada kerja atau amal saleh dan kontribusi di masyarakat yang dinilai Allah dan Rasul-Nya.
Saya memahami yang disampaikan Ustadz Afif bukan larangan. Akan tetapi, sebuah upaya untuk menjadi muslim yang non-sektarian. Ini juga yang kadang saya dengar dari Ustadz Jalal. Ustadz Miftah pernah bilang bahwa Sayyid Fadlullah menyatakan kalau seseorang tanya mazhab, katakan kamu seorang muslim. Ini saya kira nyambung dengan pesan Ustadz Afif.
Dari penerbitan, saya masuk dunia pendidikan. Saya belajar menjadi guru. Saya belajar tentang dunia Islam karena di sekolah tersebut saya diamanahi mengajar agama dan bahasa Indonesia. Alhamdulillah, pengetahuan bahasa Indonesia yang saya pelajari dalam dunia jurnalis dan penerbitan terpakai kembali di sekolah. Pengetahuan agama yang saya pelajari juga terpakai karena mengajar agama.
Dan sampai sekarang, saya masih ikutan pengajian IJABI dan masih berkomunikasi dengan guru saya: Ustadz Jalal dan Ustadz Miftah serta Ustadz Afif. Dari ketiga guru itulah saya dapat pengetahuan keagamaan yang lebih, khususnya dalam mazhab Ahlulbait. Entahlah, apakah saya akan berlabuh lagi pada bahtera lain?
Bi Izzah Allah - Nubuwwah Ahmad - Wilayah Ali - Majulah IJABI
Bandung, 6 Oktober 2012