Aris Thofira
Bagi penulis, sebagaimana tokoh-tokoh Islam lainnya, Kang Jalal bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan sebuah istilah baru dalam khazanah pemikiran Islam Indonesia. Misalnya kata kerja baru “Jalalisasi” atau “mengkangjalalkan”. Istilah-istilah ini bisa sebagai langkah awal untuk mensyarah gagasan-gagasan Ustadz Jalal di setiap bidang ilmu pengetahuan. Bukankah pada mulanya kita juga tidak tahu kapan kata kerja-kata kerja itu dilahirkan dan diciptakan? Tulisan ini adalah persembahan penulis untuk Ustadz Jalal di ulang tahun beliau tanggal 29 Agustus kemarin. [majulah-ijabi.org]
Bagi penulis, sebagaimana tokoh-tokoh Islam lainnya, Kang Jalal bisa menjadi inspirasi untuk menciptakan sebuah istilah baru dalam khazanah pemikiran Islam Indonesia. Misalnya kata kerja baru “Jalalisasi” atau “mengkangjalalkan”. Istilah-istilah ini bisa sebagai langkah awal untuk mensyarah gagasan-gagasan Ustadz Jalal di setiap bidang ilmu pengetahuan. Bukankah pada mulanya kita juga tidak tahu kapan kata kerja-kata kerja itu dilahirkan dan diciptakan? Tulisan ini adalah persembahan penulis untuk Ustadz Jalal di ulang tahun beliau tanggal 29 Agustus kemarin. [majulah-ijabi.org]
Dalam diskursus sosial dan keagamaan, seringkali upaya-upaya untuk meneguhkan kembali semangat pembebasan agama terbentur dengan sejumlah ajaran yang kadung mapan, yang cenderung bertolak belakang dengan cita-cita sosial agama yang emansipatif, humanis, dan berkeadilan. Sejumlah ajaran yang sudah terlanjur mengendap dan menubuh dalam kesadaran umat beragama itu didekap kuat oleh sekelompok umat, tetapi juga ditampik oleh sebagian yang lain. Dinamika tarik menarik, perbincangan, dan negosiasi dilangsungkan. Tetapi tak jarang kisah menarik tentang proses yang mengekspresikan kekayaan dan keragaman pemikiran itu ditutup dengan tragedi , dengan pengibaran panji dan terhunusnya belati, dengan pengakuan bernada sok suci: bahwa kamilah bala tentara Ilahi. Negosiasi pun diakhiri.
Dengan ditutupnya gerbang perbincangan, lahirlah rezim wacana yang otoriter yang menghendaki penyeragaman dan berlandaskan pada semangat penyederhanaan persoalan. Dengan itu pula, ajaran agama yang memiliki rujukan pada sejumlah teks suci itu dikuasai tafsirnya, sehingga teks suci itu sendiri lantas dikuasai. Teks suci itu dijebloskan ke dalam terali besi di bawah inspeksi nalar yang merasa benar sendiri. Otoritarianisme menyudahi dan mengangkangi otonomi teks suci yang otoritatif itu.
Kecenderungan lahirnya otoritarianisme yang berangkat dari jalur otoritas teks ini juga menjadi sesuatu yang cukup lazim dalam wacana keislaman. Proses ini kerap dibarengi dengan pengabaian terhadap khazanah warisan Peradaban Islam klasik, sehingga setiap kali teks suci yang otoritatif itu dibaca, yang keluar adalah semacam “produk gagal” yang dibangga-banggakan sebagai sesuatu yang murni. Satu misal, teks yang otoritatif itu dibaca dengan terlalu literal dilepaskan dari tujuan-tujuan dasar Syari’ah (maqashid al-Syari’ah). Atau bisa saja si penafsir itu mengklaim telah berpedoman pada tujuan syari’ah tertentu, tetapi yang terjadi di lapangan adalah potret tragedi pencederaan harkat kemanusiaan.
Gejala-gejala otoritarianisme ini telah masuk dan menggerogoti wilayah akademisi. Alih-alih Kuliah (berfikir global), kalangan sarjananya justru berfikir Fakultatif. Universitas bukannya melahirkan sarjana universal, malah melahirkan sarjana fakultas (juz’iyyah). Berfikir linier inilah yang pada akhirnya menghasilkan masyarakat yang rigid, kaku, stagnan dan kolot.
Sepulang dari Amerika dan melanglang buana di berbagai negeri, dan terinspirasi oleh revolusi yang digaungkan oleh Imam Khomeini, kang Jalal (panggilan akrab KH. DR. Jalaluddin Rakhmat) mencoba membongkar gagasan-gagasan rigid dan kaku masyarakat Islam waktu itu dengan mencoba mencerahkan pemikiran masyarakatnya, beliau mendirikan kajian-kajian yang aktual, mengadakan kajian Ahad pagi di Masjid Al-Munawwarah di belakang rumahnya yang di bulan September depan tepat 25 tahun ulang tahun kajian itu, mengadakan kajian-kajian tasawwuf untuk masyarakat urban sebagai usaha menyirami gairah spiritual masyarakat yang dikeringkan oleh mainstream Fiqh an sich, mendirikan Sekolah di berbagai daerah. Tanggal 1 Juli 2000, bersama tokoh-tokoh Islam dari kalangan pengikut mazhab ahlulbait, dan atas dukungan Gus Dur agar mendirikan organisasi yang membela, menaungi hak-hak minoritas khususnya Syi’ah, beliau mendirikan Organisasi yang bernama IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlulbait Indonesia). Tepat di hari kebangkitan Nasional 20 Mei 2011, beliau juga mendeklarasikan MUHSIN (Majelis Ukhuwah Sunni Syi’ah Indonesia) bersama Dr. H. Daud Poliraja dari Dewan Mesjid Indonesia sebagai usaha membangun jembatan persatuan ummat Islam.
Seperti kita ketahui, revivalisme selalu lahir di saat yang tepat. Meski pada mulanya, gagasan-gagasan kaum revivalis selalu menggebrak, mendobrak karena melawan arus utama, revolusioner dan membuat shock mereka yang sudah mapan, namun dampaknya akan kentara di kurun-kurun berikutnya. Jalaluddin Rumi hadir disaat masyarakat Islam mengalami kekeringan spiritual yang diakibatkan oleh mainstream Fiqh yang membelenggu, kata-kata yang masih saya ingat dari Rumi adalah “taqlid ibarat tongkat bagi tangan, tetapi ketika jalan membentang, ia menjelma pedang”. Jamaludin Asad Abadi, hadir bersama muridnya, Muhammad Abduh membebaskan masyarakat Islam dari keterjajahan atas barat beserta isme-ismenya, dengan gerakan Pan islamisme. Allamah Iqbal hadir untuk merekonstruksi kembali pemikiran agama Islam yang sudah mapan. Ali Syari’ati, Murtadha Mutahhari dan Imam Khomeini hadir membebaskan masyarakat Iran dari despotisme rezim Pahlevi dengan pemikiran dan gerakan revolusinya. Dan masih banyak lagi yang harus disebut.
Kang Jalal hadir di setiap lini, mewakili gagasan revivalisme figur-figur pendahulunya untuk mendekonstruksi, merekonstruksi dan mencerahkan setiap pemikiran dan pergerakan. Bisa kita lihat deretan buku-buku yang diciptakan dan dikarang oleh beliau adalah bentuk kegelisahan atas umat yang sudah dimapankan oleh keadaan. Perlahan tapi pasti mencoba mengembalikan umat Islam kepada kiblat sejatinya pemilik otoritas syari’at dengan menulis Rindu Rasul, Al-Musthafa, Road to Muhammad, mengembalikan figure suci sang Nabi, membersihkan sematan-sematan yang tidak sepatutnya pada sosok Sang nabi, dengan analisis kritis teks dan wacana. Memahami kekeringan umat akan siraman Spiritual dengan menulis buku seperti Meraih Cinta Ilahi, Membuka Tirai Kegaiban, Reformasi Sufististik, dll. Mencoba mengajak berfikir kritis masyarakat atas mainstream Fiqih yang membelenggu baik di kalangan syi’ah maupun sunni dengan menulis buku yang sangat elaboratif dan menjadikannya sebagai manifesto gerakannya “Dahulukan Akhlak di atas Fiqih”. Melanjutkan pemikiran Wahdatul Adyan yang telah digagas oleh pendahulunya seperti Rumi, Ibn Arabi, Attar dan Shadruddin Shirazi, beliau menulis “Islam dan Pluralisme” dan diaplikasikan dalam ranah ke-Indonesiaan. Pada akhirnya, dalam rangka mendakwahkan misi suci Sang Nabi, dan juga menanggapi tokoh-tokoh Islam yang menganggap beliau tidak punya otoritas dan kapasitas berbicara Islam dan tetek bengeknya karena tidak lahir dari cendekiawan dengan takhsis Islamic Study, beliau menggarap disertasi doktornya – untuk kali kedua –dalam rangka mengembalikan kemurnian ajaran Universal Sang Nabi dengan berfokus di bidang studi kritis hadist. Kalau saya boleh menyebutnya, ini semacam purifikasi intelektual, sama sekali berbeda dengan kaum puritan dengan purifikasinya.
Membaca buku-buku kang Jalal, kita akan dibawa pada suasana yang selalu baru, dinamis, dan mencerahkan. Apa yang ditulis oleh beliau di tahun-tahun awal kedatangannya dari amerika masih sangat relevan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi sekarang ini. Bak futurolog, beliau sudah mempersiapkan wacana dan teori yang pada akhirnya praktis baru kita sadari hari ini. Dengan prinsip yang disabdakan para Imam Ahlul bait Nabi “Nukallima an-naasa ‘alaa qadri uqulihim”, beliau mampu menghadirkan ilmu-ilmu yang sulit dicerna masyarakat seperti filsafat, tasawwuf, psikologi, agama dan lain sebagainya, menjadi renyah dibaca dan praktis.
Sebagai pembaca karya-karya beliau, murid-murid, siswa-siswa, kolega, jamaah dan lain sebagainya, tentu menyadari bahwa kita tidak cukup hanya menjadikan beliau sebagai epigon. Selama dalam kiprah-kiprah beliau mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya masyarakat Islam, lebih khusus lagi masyarakat syi’ah Indonesia, beliau tampak sebagai sosok yang berada di garda depan, sebagai subjek yang single fighter yang pada akhirnya beliau jugalah yang harus menjadi obyek dan bemper dalam usahanya menjadi subyek yang single fighter. Pada akhirnya gagasan-gagasan brillian beliau dalam mendakwahkan ajaran Ahlul bait dalam bingkai masyarakat Indonesia yang majemuk, hanya akan menjadi relikwi-relikwi yang membatu jika kita tidak mencoba untuk menduplikasi, mendiseminasi, mensosialisasi gagasan-gagasan beliau di setiap lini yang kita kuasai.
Terinspirasi oleh sebuah tulisan mas Mohammad Al-Fayyadl, filosof muda NU yang sedang belajar di Prancis tentang Gus Dur, dalam tulisannya yang berjudul “Gus Dur sebagai kata kerja”, menjadi niscaya jika kita sebagai jamaah Kang jalal pun menciptakan sebuah istilah baru dalam khazanah pemikiran Islam Indonesia dengan kata kerja baru semisal “Jalalisasi” atau “mengkangjalalkan”. Hal ini dilakukan sebagai langkah awal untuk mensyarah gagasan-gagasan beliau disetiap bidang ilmu pengetahuan. Bukankah pada mulanya kita juga tidak tahu kapan kata kerja-kata kerja itu dilahirkan dan diciptakan? Dalam bahasa Arab kita mengetahui ada tiga bentuk kata kerja (fi’il), Madhi, Mudhori’ dan Amar. Kata kerja berfungsi istimror, dinamis, kontinyu. Mensyarah buku-buku beliau, mengaplikasi, menduplikasi, mensosialisasi gagasan beliau adalah usaha kita sebagai murid, pembaca yang baik. Seperti murid-murid Gus Dur, Cak Nur, Cak Nun, dan lain-lain yang mensyarah gagasan-gagasan mereka sebagai tanda terima kasih kita kepada sang Guru.
Pada akhirnya, di hari ulang tahun beliau yang ke 64 ini, semoga Kang Jalal senantiasa dilimpahi keberkahan, usia panjang, meminjam istilah Ustad Syams, fii atammi ash-shihhah wa tamami al-afiah. Mengapa kita ber-milad, sedangkan Rasulullah SAW bermaulid. Maulid itu bersifat aktual, berkali-kali, dalam tradisi sufi, setiap transformasi spiritual dalam ahwal atau maqamat merupakan kematian sekaligus maulid jadid (baru), sedangkan milad hanya sekali saja, ini hanya menyangkut kelahiran dari rahim ibu saja. Kita memperingati milad Rasulullah SAW saat beliau dilahirkan dari rahim ibunda Aminah, dan kita memperingati maulidnya setiap kita mengalami transformasi spiritual dalam perjalanan mi’raj atas barakah Rasulullah SAW. Kemudian, para kekasih Allah dan kekasih beliau Rasulullah juga dimaulidkan seperti maulid Imam Ali SA dan para Imam, beliau-beliau juga kita maulidkan kehadirannya yang bersifat aktual dalam perjalanan spiritual dan intelektual kita. Samahatul Ustadz Jalaluddin Rakhmat juga kita maulidkan karena kehadirannya yang bersifat aktual dalam perjalanan spiritual dan intelektual kita para jama’ah Ijabiyyun. Wal hasil, milad itu urusan material empirik (karenanya orang barat tidak mengenal maulid, seperti kaum Wahabi juga), sedangkan maulid urusan spiritual dan intelektual, selalu terbarukan. Dalam gagasan tentang waktu, milad berjalan linier, sementara maulid berjalan siklikal, berputar, dan kita memanggil beliau Kang, seperti Cak Nur, Cak Nun, Gus Dur, agar senantiasa memberikan spirit kebaruan.
Dengan ditutupnya gerbang perbincangan, lahirlah rezim wacana yang otoriter yang menghendaki penyeragaman dan berlandaskan pada semangat penyederhanaan persoalan. Dengan itu pula, ajaran agama yang memiliki rujukan pada sejumlah teks suci itu dikuasai tafsirnya, sehingga teks suci itu sendiri lantas dikuasai. Teks suci itu dijebloskan ke dalam terali besi di bawah inspeksi nalar yang merasa benar sendiri. Otoritarianisme menyudahi dan mengangkangi otonomi teks suci yang otoritatif itu.
Kecenderungan lahirnya otoritarianisme yang berangkat dari jalur otoritas teks ini juga menjadi sesuatu yang cukup lazim dalam wacana keislaman. Proses ini kerap dibarengi dengan pengabaian terhadap khazanah warisan Peradaban Islam klasik, sehingga setiap kali teks suci yang otoritatif itu dibaca, yang keluar adalah semacam “produk gagal” yang dibangga-banggakan sebagai sesuatu yang murni. Satu misal, teks yang otoritatif itu dibaca dengan terlalu literal dilepaskan dari tujuan-tujuan dasar Syari’ah (maqashid al-Syari’ah). Atau bisa saja si penafsir itu mengklaim telah berpedoman pada tujuan syari’ah tertentu, tetapi yang terjadi di lapangan adalah potret tragedi pencederaan harkat kemanusiaan.
Gejala-gejala otoritarianisme ini telah masuk dan menggerogoti wilayah akademisi. Alih-alih Kuliah (berfikir global), kalangan sarjananya justru berfikir Fakultatif. Universitas bukannya melahirkan sarjana universal, malah melahirkan sarjana fakultas (juz’iyyah). Berfikir linier inilah yang pada akhirnya menghasilkan masyarakat yang rigid, kaku, stagnan dan kolot.
Sepulang dari Amerika dan melanglang buana di berbagai negeri, dan terinspirasi oleh revolusi yang digaungkan oleh Imam Khomeini, kang Jalal (panggilan akrab KH. DR. Jalaluddin Rakhmat) mencoba membongkar gagasan-gagasan rigid dan kaku masyarakat Islam waktu itu dengan mencoba mencerahkan pemikiran masyarakatnya, beliau mendirikan kajian-kajian yang aktual, mengadakan kajian Ahad pagi di Masjid Al-Munawwarah di belakang rumahnya yang di bulan September depan tepat 25 tahun ulang tahun kajian itu, mengadakan kajian-kajian tasawwuf untuk masyarakat urban sebagai usaha menyirami gairah spiritual masyarakat yang dikeringkan oleh mainstream Fiqh an sich, mendirikan Sekolah di berbagai daerah. Tanggal 1 Juli 2000, bersama tokoh-tokoh Islam dari kalangan pengikut mazhab ahlulbait, dan atas dukungan Gus Dur agar mendirikan organisasi yang membela, menaungi hak-hak minoritas khususnya Syi’ah, beliau mendirikan Organisasi yang bernama IJABI (Ikatan Jama’ah Ahlulbait Indonesia). Tepat di hari kebangkitan Nasional 20 Mei 2011, beliau juga mendeklarasikan MUHSIN (Majelis Ukhuwah Sunni Syi’ah Indonesia) bersama Dr. H. Daud Poliraja dari Dewan Mesjid Indonesia sebagai usaha membangun jembatan persatuan ummat Islam.
Seperti kita ketahui, revivalisme selalu lahir di saat yang tepat. Meski pada mulanya, gagasan-gagasan kaum revivalis selalu menggebrak, mendobrak karena melawan arus utama, revolusioner dan membuat shock mereka yang sudah mapan, namun dampaknya akan kentara di kurun-kurun berikutnya. Jalaluddin Rumi hadir disaat masyarakat Islam mengalami kekeringan spiritual yang diakibatkan oleh mainstream Fiqh yang membelenggu, kata-kata yang masih saya ingat dari Rumi adalah “taqlid ibarat tongkat bagi tangan, tetapi ketika jalan membentang, ia menjelma pedang”. Jamaludin Asad Abadi, hadir bersama muridnya, Muhammad Abduh membebaskan masyarakat Islam dari keterjajahan atas barat beserta isme-ismenya, dengan gerakan Pan islamisme. Allamah Iqbal hadir untuk merekonstruksi kembali pemikiran agama Islam yang sudah mapan. Ali Syari’ati, Murtadha Mutahhari dan Imam Khomeini hadir membebaskan masyarakat Iran dari despotisme rezim Pahlevi dengan pemikiran dan gerakan revolusinya. Dan masih banyak lagi yang harus disebut.
Kang Jalal hadir di setiap lini, mewakili gagasan revivalisme figur-figur pendahulunya untuk mendekonstruksi, merekonstruksi dan mencerahkan setiap pemikiran dan pergerakan. Bisa kita lihat deretan buku-buku yang diciptakan dan dikarang oleh beliau adalah bentuk kegelisahan atas umat yang sudah dimapankan oleh keadaan. Perlahan tapi pasti mencoba mengembalikan umat Islam kepada kiblat sejatinya pemilik otoritas syari’at dengan menulis Rindu Rasul, Al-Musthafa, Road to Muhammad, mengembalikan figure suci sang Nabi, membersihkan sematan-sematan yang tidak sepatutnya pada sosok Sang nabi, dengan analisis kritis teks dan wacana. Memahami kekeringan umat akan siraman Spiritual dengan menulis buku seperti Meraih Cinta Ilahi, Membuka Tirai Kegaiban, Reformasi Sufististik, dll. Mencoba mengajak berfikir kritis masyarakat atas mainstream Fiqih yang membelenggu baik di kalangan syi’ah maupun sunni dengan menulis buku yang sangat elaboratif dan menjadikannya sebagai manifesto gerakannya “Dahulukan Akhlak di atas Fiqih”. Melanjutkan pemikiran Wahdatul Adyan yang telah digagas oleh pendahulunya seperti Rumi, Ibn Arabi, Attar dan Shadruddin Shirazi, beliau menulis “Islam dan Pluralisme” dan diaplikasikan dalam ranah ke-Indonesiaan. Pada akhirnya, dalam rangka mendakwahkan misi suci Sang Nabi, dan juga menanggapi tokoh-tokoh Islam yang menganggap beliau tidak punya otoritas dan kapasitas berbicara Islam dan tetek bengeknya karena tidak lahir dari cendekiawan dengan takhsis Islamic Study, beliau menggarap disertasi doktornya – untuk kali kedua –dalam rangka mengembalikan kemurnian ajaran Universal Sang Nabi dengan berfokus di bidang studi kritis hadist. Kalau saya boleh menyebutnya, ini semacam purifikasi intelektual, sama sekali berbeda dengan kaum puritan dengan purifikasinya.
Membaca buku-buku kang Jalal, kita akan dibawa pada suasana yang selalu baru, dinamis, dan mencerahkan. Apa yang ditulis oleh beliau di tahun-tahun awal kedatangannya dari amerika masih sangat relevan dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi sekarang ini. Bak futurolog, beliau sudah mempersiapkan wacana dan teori yang pada akhirnya praktis baru kita sadari hari ini. Dengan prinsip yang disabdakan para Imam Ahlul bait Nabi “Nukallima an-naasa ‘alaa qadri uqulihim”, beliau mampu menghadirkan ilmu-ilmu yang sulit dicerna masyarakat seperti filsafat, tasawwuf, psikologi, agama dan lain sebagainya, menjadi renyah dibaca dan praktis.
Sebagai pembaca karya-karya beliau, murid-murid, siswa-siswa, kolega, jamaah dan lain sebagainya, tentu menyadari bahwa kita tidak cukup hanya menjadikan beliau sebagai epigon. Selama dalam kiprah-kiprah beliau mencerdaskan kehidupan bangsa, khususnya masyarakat Islam, lebih khusus lagi masyarakat syi’ah Indonesia, beliau tampak sebagai sosok yang berada di garda depan, sebagai subjek yang single fighter yang pada akhirnya beliau jugalah yang harus menjadi obyek dan bemper dalam usahanya menjadi subyek yang single fighter. Pada akhirnya gagasan-gagasan brillian beliau dalam mendakwahkan ajaran Ahlul bait dalam bingkai masyarakat Indonesia yang majemuk, hanya akan menjadi relikwi-relikwi yang membatu jika kita tidak mencoba untuk menduplikasi, mendiseminasi, mensosialisasi gagasan-gagasan beliau di setiap lini yang kita kuasai.
Terinspirasi oleh sebuah tulisan mas Mohammad Al-Fayyadl, filosof muda NU yang sedang belajar di Prancis tentang Gus Dur, dalam tulisannya yang berjudul “Gus Dur sebagai kata kerja”, menjadi niscaya jika kita sebagai jamaah Kang jalal pun menciptakan sebuah istilah baru dalam khazanah pemikiran Islam Indonesia dengan kata kerja baru semisal “Jalalisasi” atau “mengkangjalalkan”. Hal ini dilakukan sebagai langkah awal untuk mensyarah gagasan-gagasan beliau disetiap bidang ilmu pengetahuan. Bukankah pada mulanya kita juga tidak tahu kapan kata kerja-kata kerja itu dilahirkan dan diciptakan? Dalam bahasa Arab kita mengetahui ada tiga bentuk kata kerja (fi’il), Madhi, Mudhori’ dan Amar. Kata kerja berfungsi istimror, dinamis, kontinyu. Mensyarah buku-buku beliau, mengaplikasi, menduplikasi, mensosialisasi gagasan beliau adalah usaha kita sebagai murid, pembaca yang baik. Seperti murid-murid Gus Dur, Cak Nur, Cak Nun, dan lain-lain yang mensyarah gagasan-gagasan mereka sebagai tanda terima kasih kita kepada sang Guru.
Pada akhirnya, di hari ulang tahun beliau yang ke 64 ini, semoga Kang Jalal senantiasa dilimpahi keberkahan, usia panjang, meminjam istilah Ustad Syams, fii atammi ash-shihhah wa tamami al-afiah. Mengapa kita ber-milad, sedangkan Rasulullah SAW bermaulid. Maulid itu bersifat aktual, berkali-kali, dalam tradisi sufi, setiap transformasi spiritual dalam ahwal atau maqamat merupakan kematian sekaligus maulid jadid (baru), sedangkan milad hanya sekali saja, ini hanya menyangkut kelahiran dari rahim ibu saja. Kita memperingati milad Rasulullah SAW saat beliau dilahirkan dari rahim ibunda Aminah, dan kita memperingati maulidnya setiap kita mengalami transformasi spiritual dalam perjalanan mi’raj atas barakah Rasulullah SAW. Kemudian, para kekasih Allah dan kekasih beliau Rasulullah juga dimaulidkan seperti maulid Imam Ali SA dan para Imam, beliau-beliau juga kita maulidkan kehadirannya yang bersifat aktual dalam perjalanan spiritual dan intelektual kita. Samahatul Ustadz Jalaluddin Rakhmat juga kita maulidkan karena kehadirannya yang bersifat aktual dalam perjalanan spiritual dan intelektual kita para jama’ah Ijabiyyun. Wal hasil, milad itu urusan material empirik (karenanya orang barat tidak mengenal maulid, seperti kaum Wahabi juga), sedangkan maulid urusan spiritual dan intelektual, selalu terbarukan. Dalam gagasan tentang waktu, milad berjalan linier, sementara maulid berjalan siklikal, berputar, dan kita memanggil beliau Kang, seperti Cak Nur, Cak Nun, Gus Dur, agar senantiasa memberikan spirit kebaruan.