Ikhwan Mustafa
Salah satu peristiwa penting di dalam sejarah Islam adalah revolusi yang dilakukan oleh Imam Husain as. Karenanya, kaum muslimin berusaha untuk merawat pesan dari berbagai peristiwa penting yang berhubungan dengan revolusi tersebut. Seperti misalnya peringatan Arbain, hari ke-40 setelah syahadah Imam Husain as. Ahad (14/12) lalu, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) memperingati momen Arbain ini di kota Bandung. (majulah-IJABI)
Salah satu peristiwa penting di dalam sejarah Islam adalah revolusi yang dilakukan oleh Imam Husain as. Karenanya, kaum muslimin berusaha untuk merawat pesan dari berbagai peristiwa penting yang berhubungan dengan revolusi tersebut. Seperti misalnya peringatan Arbain, hari ke-40 setelah syahadah Imam Husain as. Ahad (14/12) lalu, Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) memperingati momen Arbain ini di kota Bandung. (majulah-IJABI)
Minggu, 14 Desember 2014. Saya diundang menghadiri majelis Arbain Imam Husain as di Aula Muthahhari. Acara ini diselenggarakan IJABI (Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia) di daerah Kiaracondong Bandung.
Setiba di lokasi sudah penuh. Jamaah yang hadir melantunkan syair duka cita dan shalawat. Saya pun hanyut dalam alunan. Maklum sangat mudah dan tinggal mengucap ulang. Apalagi shalawat, pastinya sudah biasa bagi orang Islam. Karena itu, untuk orang yang kali pertama mengenal mazhab Ahlulbait sangat bisa langsung menyesuaikan.
Apalagi kalau dari Islam tradisional: pasti bisa menyesuaikan dengan tradisi yang berlaku di Ahlulbait.
Mengapa bisa? Karena ada kesamaan tradisi. Seperti menyelenggarakan hari empat puluh dari kematian yang disebut Arbain. Ini juga berlaku dalam Nahdlatul Ulama (NU). Kegiatan Arbain IJABI hampir sama dengan NU: diisi dengan membaca surah Yaasin, tahlilan, doa, shalawat, dan ceramah. Rangkaian acara inilah yang saya lihat dalam acara majelis Arbain Imam Husain yang diselenggarakan IJABI.
Memang dalam pembacaan syair ada tepuk dada. Namun, tidak keras dan tampaknya sebagai bagian dari upaya mengajak jamaah larut dalam acara. Bukan penyiksaan diri seperti yang dituduhkan orang-orang yang benci Syiah.
Selesai Yaasinan dan doa tahlil, jamaah menonton tayangan umat Islam yang ziarah ke makam cucu Nabi Muhammad saw di Karbala, Irak. Dalam tayangan terlihat begitu banyak orang yang ziarah: mulai dari anak, remaja, dewasa, dan manula. Juga dari orang cacat fisik hingga yang memakai kursi roda pun turut serta dalam iringan ziarah ke makam Imam Husain.
Masih dari tayangan, banyak orang yang menjajakan makanan dan minuman gratis buat mereka yang ziarah. Di sepanjang jalan menuju Karbala berjejer tenda-tenda sebagai tempat istirahat bagi orang yang ziarah. Sampai-sampai makanan dan minum diberikan kepada orang yang jalan. Sebuah pelayanan mulia untuk mereka yang ziarah.
Ustadz Miftah, yang menjadi pembawa acara, menyampaikan bahwa jamaah yang berkumpul di Karbala setiap tahun bertambah dan diperkirakan mencapai tiga puluh juta orang. Mereka berasal dari berbagai negeri. Ada yang jalan kaki. Ada yang mengenakan kendaraan dan setiba jalan menuju makam langsung jalan kaki. Ketika tiba shalat, orang-orang yang ziarah itu segera membentuk barisan shalat jamaah. Ini bisa disebut shalat berjamaah terpanjang di dunia dan terjadi hanya di Karbala.
Saya bertanya-tanya: mengapa mereka melakukan ziarah hingga memadati area makam Imam Husain as? Mengapa juga kalangan Muslimin Syiah tidak cukup dengan peringatan Asyura? Dan untuk apa melakukan ziarah hari empat puluh wafat Imam Husain?
Pertanyaan tersebut terjawab dari pembacaan teks Arbain Walk oleh Ustadz Miftah. Mereka melakukan dengan dasar cinta sehingga menggerakan umat Islam dari berbagai penjuru untuk ziarah kepada Imam Husain as. Mengapa mesti hari empat puluh? Ini berkaitan dengan mengenang kembali prosesi penyatuan kepala Imam Husain yang dipisahkan dari badannya.
Tiga hari setelah tragedi Karbala, jenazah Imam Husain dikuburkan oleh Imam Ali Zainal Abidin putra Imam Husain. Penguburannya tanpa kepala yang disaksikan kaum wanita Ahlulbait dan pasukan musuh Islam. Rombongan Ahlulbait digiring bersama kepala Imam Husain yang diusung dalam tombak oleh pasukan musuh hingga ke Damaskus, Suriah.
Kepala Imam Husain setiba di istana dimainkan oleh Yazid putra Muawiyah, yang menjadi raja Dinasti Umayyah. Dengan wafat Imam Husain, raja Yazid gembira karena cucu Nabi Muhammad saw yang tidak membaiatnya sudah disingkirkan sehingga tidak ada lagi penghalang.
Kemudian untuk memperbaiki citra, Yazid menyuruh kaum Ahlulbait beserta kepala Imam Husain dikembalikan ke Karbala. Tepat pada hari empat puluh, 20 Shafar, tiba di Karbala. Di sana sudah menunggu Jabir Al-Anshari yang ziarah ke makam Imam Husain. Kemudian oleh Imam Ali Zainal Abidin menyatukan kembali kepala dengan tubuh Imam Husain.
Sejak itulah ziarah hari empat puluh menjadi tradisi dalam mazhab Ahlulbait, khususnya ziarah kepada Imam Husain. Tradisi ini terus dipelihara oleh pengikut Ahlulbait, yang dalam hal ini kaum Muslimin Syiah. Karena itu, para pecinta Ahlulbait Rasulullah saw dari berbagai negeri pada hari empat puluh terhitung dari hari pertama wafat Imam Husain berdatangan ke Karbala.
Jika ditanya apa yang menyebabkan mereka menyempatkan diri untuk ziarah? Tentunya kecintaan kepada Ahlulbait Rasulullah saw dan ingin mendapatkan syafaat dari Baginda Rasulullah saw.
Setelah beres penayangan ziarah Arbain Imam Husain, giliran KH Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal) berceramah.
Kang Jalal memaparkan tentang tawalla dan tabarra; kecintaan dan kebencian. Paparannya diambil dari ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis yang langsung dibacakan teks Arab (gundul) di depan jamaah yang terpampang di layar.
Dari paparan Kang Jalal, yang saya tangkap dan sangat penting adalah berkaitan dengan manusia. Manusia terbagi dalam empat. Pertama, orang yang bergerak dari dunia ke dunia. Orang ini hanya berpindah aktivitas dan masih terus bergelut dengan urusan dunia. Hidupnya hanya diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan dunia dan tidak memikirkan hal-hal akhirat.
Kedua, manusia yang bergerak dari akhirat ke dunia. Orang ini termasuk yang rugi. Orang ini awalnya berada dalam suasana yang penuh nilai dan mementingkan agama, tetapi jatuh dalam urusan dunia sehingga hidupnya terus diliputi dunia. Agama bagi orang ini tidak penting dan dianggap tidak berhubungan dengan aktivitasnya.
Ketiga, orang yang dari dunia bergerak pada akhirat. Orang ini secara khusus dalam aktivitasnya diarahkan untuk akhirat. Lebih mendahulukan urusan akhirat dan mengesampingkan dunia. Ia beraktivitas di dunia dengan tujuan untuk akhirat.
Keempat adalah orang yang bergerak dari akhirat ke akhirat. Jiwa raga dan akivitasnya berada dalam jalan agama dan diarahkan untuk akhirat. Seluruh kegiatannya hanya untuk akhirat dengan agama dan menjadi teladan bagi manusia lainnya.
Menurut Kang Jalal, orang yang termasuk pada tingkat pertama adalah manusia yang mementingkan dunia. Segala macam cara ditempuh hanya untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan dunia. Orang kedua bisa dicontohkan kepada Tsalabah yang didoakan Nabi dan menjadi kaya. Namun, terbuai dengan dunia dan jauh dari agama.
Orang ketiga bisa dicontohkan kepada Al-Hurr, yang membelot dari musuh dan bergabung dengan Imam Husain as dan melakukan perlawanan kepada pasukan musuh Islam. Sedangkan yang keempat adalah manusia-manusia seperti Nabi, Rasul, dan Imam Ahlulbait. Mereka ini yang layak diikuti dan diteladani.
Selesai ceramah, diisi dengan doa ziarah Imam Husain. Dipandu langsung oleh Ustadz Miftah dan diakhiri dengan bersalaman. Nah, ini tradisi yang mirip dengan NU dalam mengakhiri berbagai kegiatan yang dilaksanakan. Selesai doa penutup langsung salaman. Termasuk saya pun bisa bersalaman dengan Kang Jalal.
Setiba di lokasi sudah penuh. Jamaah yang hadir melantunkan syair duka cita dan shalawat. Saya pun hanyut dalam alunan. Maklum sangat mudah dan tinggal mengucap ulang. Apalagi shalawat, pastinya sudah biasa bagi orang Islam. Karena itu, untuk orang yang kali pertama mengenal mazhab Ahlulbait sangat bisa langsung menyesuaikan.
Apalagi kalau dari Islam tradisional: pasti bisa menyesuaikan dengan tradisi yang berlaku di Ahlulbait.
Mengapa bisa? Karena ada kesamaan tradisi. Seperti menyelenggarakan hari empat puluh dari kematian yang disebut Arbain. Ini juga berlaku dalam Nahdlatul Ulama (NU). Kegiatan Arbain IJABI hampir sama dengan NU: diisi dengan membaca surah Yaasin, tahlilan, doa, shalawat, dan ceramah. Rangkaian acara inilah yang saya lihat dalam acara majelis Arbain Imam Husain yang diselenggarakan IJABI.
Memang dalam pembacaan syair ada tepuk dada. Namun, tidak keras dan tampaknya sebagai bagian dari upaya mengajak jamaah larut dalam acara. Bukan penyiksaan diri seperti yang dituduhkan orang-orang yang benci Syiah.
Selesai Yaasinan dan doa tahlil, jamaah menonton tayangan umat Islam yang ziarah ke makam cucu Nabi Muhammad saw di Karbala, Irak. Dalam tayangan terlihat begitu banyak orang yang ziarah: mulai dari anak, remaja, dewasa, dan manula. Juga dari orang cacat fisik hingga yang memakai kursi roda pun turut serta dalam iringan ziarah ke makam Imam Husain.
Masih dari tayangan, banyak orang yang menjajakan makanan dan minuman gratis buat mereka yang ziarah. Di sepanjang jalan menuju Karbala berjejer tenda-tenda sebagai tempat istirahat bagi orang yang ziarah. Sampai-sampai makanan dan minum diberikan kepada orang yang jalan. Sebuah pelayanan mulia untuk mereka yang ziarah.
Ustadz Miftah, yang menjadi pembawa acara, menyampaikan bahwa jamaah yang berkumpul di Karbala setiap tahun bertambah dan diperkirakan mencapai tiga puluh juta orang. Mereka berasal dari berbagai negeri. Ada yang jalan kaki. Ada yang mengenakan kendaraan dan setiba jalan menuju makam langsung jalan kaki. Ketika tiba shalat, orang-orang yang ziarah itu segera membentuk barisan shalat jamaah. Ini bisa disebut shalat berjamaah terpanjang di dunia dan terjadi hanya di Karbala.
Saya bertanya-tanya: mengapa mereka melakukan ziarah hingga memadati area makam Imam Husain as? Mengapa juga kalangan Muslimin Syiah tidak cukup dengan peringatan Asyura? Dan untuk apa melakukan ziarah hari empat puluh wafat Imam Husain?
Pertanyaan tersebut terjawab dari pembacaan teks Arbain Walk oleh Ustadz Miftah. Mereka melakukan dengan dasar cinta sehingga menggerakan umat Islam dari berbagai penjuru untuk ziarah kepada Imam Husain as. Mengapa mesti hari empat puluh? Ini berkaitan dengan mengenang kembali prosesi penyatuan kepala Imam Husain yang dipisahkan dari badannya.
Tiga hari setelah tragedi Karbala, jenazah Imam Husain dikuburkan oleh Imam Ali Zainal Abidin putra Imam Husain. Penguburannya tanpa kepala yang disaksikan kaum wanita Ahlulbait dan pasukan musuh Islam. Rombongan Ahlulbait digiring bersama kepala Imam Husain yang diusung dalam tombak oleh pasukan musuh hingga ke Damaskus, Suriah.
Kepala Imam Husain setiba di istana dimainkan oleh Yazid putra Muawiyah, yang menjadi raja Dinasti Umayyah. Dengan wafat Imam Husain, raja Yazid gembira karena cucu Nabi Muhammad saw yang tidak membaiatnya sudah disingkirkan sehingga tidak ada lagi penghalang.
Kemudian untuk memperbaiki citra, Yazid menyuruh kaum Ahlulbait beserta kepala Imam Husain dikembalikan ke Karbala. Tepat pada hari empat puluh, 20 Shafar, tiba di Karbala. Di sana sudah menunggu Jabir Al-Anshari yang ziarah ke makam Imam Husain. Kemudian oleh Imam Ali Zainal Abidin menyatukan kembali kepala dengan tubuh Imam Husain.
Sejak itulah ziarah hari empat puluh menjadi tradisi dalam mazhab Ahlulbait, khususnya ziarah kepada Imam Husain. Tradisi ini terus dipelihara oleh pengikut Ahlulbait, yang dalam hal ini kaum Muslimin Syiah. Karena itu, para pecinta Ahlulbait Rasulullah saw dari berbagai negeri pada hari empat puluh terhitung dari hari pertama wafat Imam Husain berdatangan ke Karbala.
Jika ditanya apa yang menyebabkan mereka menyempatkan diri untuk ziarah? Tentunya kecintaan kepada Ahlulbait Rasulullah saw dan ingin mendapatkan syafaat dari Baginda Rasulullah saw.
Setelah beres penayangan ziarah Arbain Imam Husain, giliran KH Jalaluddin Rakhmat (Kang Jalal) berceramah.
Kang Jalal memaparkan tentang tawalla dan tabarra; kecintaan dan kebencian. Paparannya diambil dari ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis yang langsung dibacakan teks Arab (gundul) di depan jamaah yang terpampang di layar.
Dari paparan Kang Jalal, yang saya tangkap dan sangat penting adalah berkaitan dengan manusia. Manusia terbagi dalam empat. Pertama, orang yang bergerak dari dunia ke dunia. Orang ini hanya berpindah aktivitas dan masih terus bergelut dengan urusan dunia. Hidupnya hanya diperuntukan untuk memenuhi kebutuhan dunia dan tidak memikirkan hal-hal akhirat.
Kedua, manusia yang bergerak dari akhirat ke dunia. Orang ini termasuk yang rugi. Orang ini awalnya berada dalam suasana yang penuh nilai dan mementingkan agama, tetapi jatuh dalam urusan dunia sehingga hidupnya terus diliputi dunia. Agama bagi orang ini tidak penting dan dianggap tidak berhubungan dengan aktivitasnya.
Ketiga, orang yang dari dunia bergerak pada akhirat. Orang ini secara khusus dalam aktivitasnya diarahkan untuk akhirat. Lebih mendahulukan urusan akhirat dan mengesampingkan dunia. Ia beraktivitas di dunia dengan tujuan untuk akhirat.
Keempat adalah orang yang bergerak dari akhirat ke akhirat. Jiwa raga dan akivitasnya berada dalam jalan agama dan diarahkan untuk akhirat. Seluruh kegiatannya hanya untuk akhirat dengan agama dan menjadi teladan bagi manusia lainnya.
Menurut Kang Jalal, orang yang termasuk pada tingkat pertama adalah manusia yang mementingkan dunia. Segala macam cara ditempuh hanya untuk meraih kesuksesan dan kebahagiaan dunia. Orang kedua bisa dicontohkan kepada Tsalabah yang didoakan Nabi dan menjadi kaya. Namun, terbuai dengan dunia dan jauh dari agama.
Orang ketiga bisa dicontohkan kepada Al-Hurr, yang membelot dari musuh dan bergabung dengan Imam Husain as dan melakukan perlawanan kepada pasukan musuh Islam. Sedangkan yang keempat adalah manusia-manusia seperti Nabi, Rasul, dan Imam Ahlulbait. Mereka ini yang layak diikuti dan diteladani.
Selesai ceramah, diisi dengan doa ziarah Imam Husain. Dipandu langsung oleh Ustadz Miftah dan diakhiri dengan bersalaman. Nah, ini tradisi yang mirip dengan NU dalam mengakhiri berbagai kegiatan yang dilaksanakan. Selesai doa penutup langsung salaman. Termasuk saya pun bisa bersalaman dengan Kang Jalal.