Aris Thofira
Di sebuah desa di lereng Gunung Welirang, di Kota yang terkenal dengan perusahaan air minum Internasioalnya, AQUA Pandaan, tepatnya di desa Sidonganti ada seorang nenek yang sangat rajin bekerja. Di usianya yang sudah tidak produktif lagi untuk bekerja di sawah, seolah-olah tidak mau untuk berhenti beraktifitas karena ketuaannya, dia mencari kegiatan baru yang agak ringan yaitu memelihara ayam kampung.
Di sebuah desa di lereng Gunung Welirang, di Kota yang terkenal dengan perusahaan air minum Internasioalnya, AQUA Pandaan, tepatnya di desa Sidonganti ada seorang nenek yang sangat rajin bekerja. Di usianya yang sudah tidak produktif lagi untuk bekerja di sawah, seolah-olah tidak mau untuk berhenti beraktifitas karena ketuaannya, dia mencari kegiatan baru yang agak ringan yaitu memelihara ayam kampung.
Sungguh, hati Muslim dipatri cinta Nabi
Dialah pangkal mulia
Sumber bangga kita di dunia
Dia tidur di atas tikar kasar
Sedang umatnya mengguncang tahta Kisra
Inilah pemimpin bermalam-malam terjaga
Sedang Umatnya tidur di ranjang Raja-Raja
Di Gua Hira Dia bermalam
Sehingga tegak bangsa, hukum, dan negara
Kala shalat pelupuknya tergenang air mata
Di medan perang, pedangnya bersimbah darah
Dibukanya pintu-pintu dunia dengan kunci agama
Duhai, belum pernah insan melahirkan putra seperti dia
(Allamah Muhammad Iqbal)
Di sebuah desa di lereng Gunung Welirang, di Kota yang terkenal dengan perusahaan air minum Internasioalnya, AQUA Pandaan, tepatnya di desa Sidonganti ada seorang nenek yang sangat rajin bekerja. Di usianya yang sudah tidak produktif lagi untuk bekerja di sawah, seolah-olah tidak mau untuk berhenti beraktifitas karena ketuaannya, dia mencari kegiatan baru yang agak ringan yaitu memelihara ayam kampung.
Tidak seperti orang-orang kampung lainnya yang beternak ayam sebagai tabungan, yang sewaktu-waktu dijual di pasar agar menghasilkan uang, nenek satu ini memelihara ayam kampung hanya untuk persiapan Muludan. Setiap bulan Maulid tiba, ayam-ayamnya dipanen, ditangkapi untuk disembelih, diolah menjadi hidangan lezat sebagai jamuan untuk kegiatan Maulid Nabi di Kampung.
Di Kampung itu, setiap tanggal 12 Rabi'ul Awal/ Mulud, masyarakat kampung merayakan hari kelahiran Kanjeng Nabi dengan full day Shalawat, dari pagi sampai malam hari, berpindah dari surau satu ke surau lainnya. Masyarakat dari kalangan tua muda, laki perempuan membaur menjadi satu untuk melantunkan shalawat Nabi. Pada pagi hari membaca Shalawat Diba', siang hari Maulid Syaraful Anam, sore hari Maulid Al-Barzanji, lalu pada malam hari diadakan pengajian dengan mengundang seorang Kyai Kampung untuk memberikan ceramah Maulid. Ada tradisi Maulid di kampung itu yang masih terpelihara hingga kini, yakni "Layahan Nasi Kuning" yang diciptakan oleh penyebar Islam di kampung itu. Konon Kanjeng Nabi dahar (makan, jw kromo) menggunakan layah, semacam piring yang terbuat dari tanah liat, dengan hidangan nasi kuning.
Saat anak-anaknya masih gadis, nenek itu selalu mewanti-wanti agar setiap Maulid Nabi, jangan sekali-kali membuat hidangan untuk Maulid dengan lauk tempe, sambal goreng tempe, atau olahan tempe lainnya. Alasannya, karena proses pembuatan tempe kala itu adalah menginjak-injak kedelainya dengan kaki. Hidangan yang diolah dengan injakan kaki tidak layak dihaturkan kepada Kanjeng Nabi, demikian pesannya.
Nenek itu selalu mengulang-ulang wasiat itu dikala usianya yang sudah menua, bahkan dalam kepikunan. Ketika bulan maulid berlalu, nenek itu membeli lagi anak-anak ayam untuk dipelihara, dibesarkan lagi untuk maulid tahun berikutnya. Itulah aktifitas yang sudah dijalaninya selama bertahun-tahun. Hingga pada suatu ketika, kecelakaan kecil membuat sang nenek harus berhenti total dari kegiatan sehari-harinya memelihara ayam, dia terjatuh saat mau mengambil air wudhu untuk shalat dhuhur. Kerentaannya membuat kecil kemungkinan untuk bangkit dari sakitnya. Pasca kejadian jatuh itu, dia hanya terbaring di tempat tidurnya sampai ajal menjemputnya. Kepikunan saat dia masih sehat semakin akut pasca terjatuh dan sakit, bahkan nenek itu sudah tidak bisa mengenal orang-orang di sekitarnya, termasuk anaknya yang terjauh. Hanya anak-anak terdekatnya saja yang nenek itu ingat, itupun ingatannya putus nyambung. Tetapi saat bulan Maulid tiba, atau bahkan saat acara pembacaan shalawat Diba' yang rutin diadakan di kampung tiap malam jum'at, seakan diingatkan oleh alam bawah sadarnya, nenek itu berbisik kepada anaknya yang merawatnya, apakah masih ada ayam di kandang yang bisa diolah sebagai hidangan untuk para pembaca shalawat itu, untuk para pecinta Nabi.
Setahun yang lalu, nenek tersebut telah berpulang menghadap Kekasihnya. Kata-kata terakhir yang digumamkannya, menurut bibi yang merawatnya, adalah shalawat Nabi.
Dan, nenek itu adalah nenekku, Mbah Maskanah, ibu dari ibuku. Dia telah pergi dengan meninggalkan kenangan indah untuk keluarga, dan anak cucu yang ditinggalkannya.
Seperti Pak Darwan, dan juga nenek penjual bunga cempaka dari Madura yang diceritakan oleh Kang Jalal di buku Rindu Rasul, nenek Maskanah bukanlah seorang pengikut kajian-kajian rutin Qur'an Hadist, apalagi dengan ustadz yang membid'ahkan peringatan maulid Nabi. Mereka mungkin buta huruf. Mereka hanya mendengar tentang Nabi dari guru-gurunya. Mereka tidak mengerti apa bedanya sunnah dan bid'ah. Mereka hanya tahu bahwa Kanjeng Nabi adalah sosok manusia suci yang menjadi rahmat bagi alam semesta.
Puspa ragam ekspresi cinta kepada Sang Nabi. Orang-orang di nusantara, yang tidak memiliki persinggungan sejarah dengan Sang Nabi, mencoba mengekspresikan sosok ideal manusia sempurna tersebut dalam sebuah Imagi. Sang Nabi dianggapnya sebagai manusia nusantara yang terlahir di padang tandus Arabia. Figur sempurna itu, yang menurut orang Jawa, punya karakter khas manusia Jawa, andap asor, berwibawa, ramah-tawah, biso rumongso, sangat pemalu, sejuk dipandang, seluruh karakter manusia tropis ada pada sang Nabi. Sosok yang memiliki karakter manusia nusantara ini, tiba-tiba harus terlempar ke sebuah padang pasir yang tandus, terlahir di antara manusia dengan karakter pagan, barbar dan buas, sebuah fakta yang sangat kontradiktif. Orang Jawa melacak lebih jauh tentang asal usul beliau sampai kepada Nabi Ibrahim, dari istri yang bernama Siti Hajar.
Sebuah pertanyaan besar tentang seorang perempuan yang bernama Hajar ini, benarkah dia asli orang Arab? Jika benar Hajar bermakna orang yang hijrah, darimana asal negerinya? Jika Hajar bermakna batu, pantaskah batu disematkan sebagai nama orang pada waktu itu. Maka orang Nusantara menghubungkan nama itu dengan bahasa setempat, yang di Jawa ataupun Sunda, nama Hajar disematkan sebagai gelar orang berilmu, Ki Hajar atau Nyi Ajar. Ketika Sang Nabi beranjak dewasa, ada kebiasaan Sang Nabi yang sangat ganjil dilakukan oleh masyarakat Arab waktu itu, yaitu tahannus, bertapa, merenung sendiri, sebuah kebiasaan yang sulit ditemukan pada masyarakat Arab yang suka berburu, dan kebiasaan bertapa hanya bisa ditemukan pada manusia nusantara.
Fitrah menyatakan bahwa secara epistemologis, manusia cenderung mencari, kembali ke asal muasalnya, jati dirinya. Seakan mengamini teori ini, ketika terjadi migrasi besar-besaran komunitas dari padang pasir Arabia berabad-abad lampau, khususnya dari Hadrami, Terim, dan lain sebagainya, mereka lebih memilih nusantara sebagai tempat tujuan utama. Seakan terdorong oleh kecenderungan primordialnya bahwa nusantara adalah tanah bermula nenek moyangnya. Mereka yang sampai di nusantara segera disambut oleh para pribumi. Seakan terdorong oleh informasi dari alam bawah sadarnya tentang sosok keturunan Sang Nabi yang akan datang dari negeri nun jauh disana, terpatri oleh cinta sang Nabi, para pribumi menyambut dengan sukacita putra-putra Sang Nabi di nusantara. Mereka berharap keberkahan dari keturunan Nabi. Namun seakan ada Natural Reserve, mereka menseleksi setiap orang yang mengaku keturunan Sang Nabi dengan bertumpu pada sosok agung Sang Nabi. Mereka menilai dan mencocokkan dengan budi pekerti Sang Nabi yang sempurna dan tinggi itu. Itulah yang dilakukan masyarakat nusantara dalam rangka mengobati rindu hati mereka kepada Sang Nabi. Mereka menghadirkan dalam setiap sendi kehidupan mereka sosok manusia suci itu. Sekiranya mereka salah dalam menginterpretasikan Sang Nabi, mereka lebih berharap senyum sang Nabi.
Sebuah penelitian spektakuler dari seorang Ahli Genetika dunia, Kazuo Murakami, Ph.D, disebutkan di dalam bukunya The Miracle of The DNA yang diterbitkan oleh penerbit Mizan. Menurut Kazuo, gen-gen tak lebih adalah benda mati yang tersusun secara khas. Tapi, susunan benda mati itu ternyata memiliki makna alias informasi yang berfungsi sebagai perintah untuk membentuk sistem yang lebih besar. Bukankah mustahil benda mati bisa memberikan perintah sedemikian kompleks dan teratur? Siapakah aktor di balik molekul-molekul yang memberikan perintah itu? Susunannya sedemikian indah dan menakjubkan lalu menghasilkan tatanan yang luar biasa mempesona, mengarah kepada sistem yang sangat kompleks dalam drama kehidupan manusia. Siapakah yang sedang ‘berkirim surat’ lewat segala macam partikel penyusun alam semesta ini?
Berbagai penelitian mutakhir menunjukkan bahwa gen sebenarnya bukanlah makhluk hidup. Ia hanya bagian saja di dalam sistem sel sebagai unit terkecil kehidupan. Gen tak lebih hanya kumpulan molekul-molekul mati, yang tersusun secara khas, sehingga membentuk informasi. Cuma, anehnya, kumpulan ‘benda mati’ itu bisa memunculkan informasi yang justru memunculkan kehidupan sel. Sel bisa hidup karena diperintah oleh genetika dari dalam inti sel itu, sehingga muncul proses-proses biokimiawi dan kelistrikan yang menyebabkan sel bisa hidup berkelanjutan. Inti sel adalah pusat pemerintahan genetik di dalam bagian terkecil tubuh manusia itu. Ibarat sebuah buku cerita, di dalam inti sel kita ada pesan-pesan pembentuk kehidupan, baik yang bersifat anatomis maupun perilaku. Buku cerita itu disebut GENOM.
Isinya ada 23 bab, yang disebut sebagai KROMOSOM. Di dalam kromosom itu ada ribuan cerita, yang disebut sebagai GEN. Di dalam gen ada paragraf-paragraf yang disebut EKSON, dengan diselingi cerita-cerita tak terkait yang disebut sebagai intron. Paragraf tersebut tersusun dari kata-kata yang disebut sebagai KODON. Dan kata-kata itu tersusun dari huruf-huruf yang disebut BASA. Nah, huruf-huruf yang disebut Basa itu berbentuk molekul-molekul kimiawi yang mati, dari senyawa Adenin (A), Guanin (G), Cytosin (C), dan Timin (T). Komposisi empat huruf A-C-G-T itulah yang akan memunculkan kode-kode berupa kata (Kodon), menjadi paragraf (ekson), menjadi gen, membentuk kromosom, dan akhirnya membentuk 'buku cerita' kehidupan bernama Genom. Jika A-C-G-T mengalami masalah, maka kode-kode itu tentu akan bermasalah juga lalu mengganggu proses kehidupan sel. Akan terjadi penyimpangan pembentukan Kodon, yang mempengaruhi Ekson, dan lantas menghasilkan penyimpangan genetika.
Jadi genetika bukanlah unit terkecil kehidupan karena unit terkecil itu sebenarnya berada pada level sel yang bisa melakukan aktivitas sebagai makhluk hidup. Sedangkan inti sel dengan genetikanya adalah sekumpulan ‘benda mati’ belaka tetapi berisi sistem informasi yang sangat canggih sehingga mampu mengendalikan jalannya kehidupan sel. Tentu saja ini sangat aneh. Karena, molekul-molekul itu tidak memiliki kehendak dan tidak punya tujuan sehingga proses yang terjadi di dalamnya tak beraturan alias acak. Tapi kondisi acak itu tenyata bisa menghasilkan cerita lebih kompleks ‘dari bab ke bab’ dalam bentuk kromosom yang sangat unik, dan kemudian memunculkan ‘buku genom’ yang sangat khas pada setiap spesies. Sebuah ‘buku cerita’ yang merangkum seluruh karakter sesosok makhluk hidup, baik karakter fisik maupun perilakunya (Agus Mustofa: 2012).
Kita tahu bahwa fitrah Allah lah yang menjadikan manusia dari fitrah-Nya. Fitrah mungkin semacam informasi dalam gen kita. Kekayaan informasi yang terkandung oleh gen terekam pada DNA dalam sel-sel kita. Semua makhluk menggunakan kode genetik yang sama. Kode genetic manusia, yang tersusun oleh lebih dari tiga miliar "huruf-huruf kimia", semua tersimpan dalam untai-untai berukuran mikroskopik yang memiliki berat hanya satu per 200 miliar gram dan lebar hanya 1/500.000 milimeter-namun jika direnggangkan, mereka memiliki panjang sekitar tiga meter. Semua informasi genetik dalam setiap organisme tertulis dengan menggunakan "huruf kimia"-A,T,C,G yang merupakan singkatan dari basa adenin, timin, sitosin, dan guanin. Informasi yang terkandung di dalam gen kita, yang dikenal sebagai informasi genetik, sepadan dengan tiga miliar huruf-huruf kimia ini, dan jika dicetak dalam bentuk buku, akan menjadi tiga ribu buku yang masing-masing memiliki seribu lembar halaman. Sungguh mengagumkan bahwa struktur makhluk hidup yang begitu kompleks seperti manusia dapat ditentukan oleh informasi yang tersimpan hanya dalam empat huruf kimia. (Murakami : 1994).
Mari sejenak kita mentadaburi gen-gen diatas dalam wilayah fitrah. Tuhan meciptakan bermiliar-miliar informasi hanya dari empat huruf kimia. Kalau kita boleh menyebutnya di wilayah agama, bahwa tentu Tuhan menciptakan gen yang paling elementer, fundamental, dan primordial. Inilah yang ditolak oleh kaum Ateis, mereka menyatakan bahwa gen terjadi secara kebetulan. Gen primordial itu kalau boleh kita sebut antara lain adalah berupa informasi tentang Tuhan sendiri, tentang Nabi, Agama, dan Kitab Suci. Keempat informasi inilah yang akan mendasari karakter manusia di kemudian hari. Informasi tentang Tuhan sejak awal mula penciptaan sudah dipatrikan dalam bentuknya yang paling elementer, disinilah mungkin kejelasan ungkapan Tuhan sebagai "Kuntu kanzan Makhfiyyan...", sementara fitrah Sang Nabi dalam diri setiap insan menjadikan jelas ungkapan Allamah Iqbal dalam puisinya bahwa "Hati muslim dipatri cinta Nabi". Agama dan Kitab Suci menjadi elemen primordial yang melengkapi elemen Tuhan dan Nabi. Empat elemen dasar yang saling melengkapi satu dengan yang lain, seakan satu paket
yang utuh.
Dalam sejarah umat manusia, bagaimana kerinduan pada sosok Sang Nabi Al-Mustafa terpatri dalam hati tiap makhluk. Nabi Adam merindukan Sosok Al-Mustafa, sosok yang dari Nur nya dia (Adam) diciptakan. Di zaman Nabi Musa, ada seorang abid yang merindukan masa bersama Al-Mustafa. Kita ingat bagaimana kebahagiaan Salman Al-Farisi (Ruzabah) saat berjumpa kekasih hati, Al-Mustafa, setelah berpuluh-puluh tahun pencariannya. Bagaimana Pohon Kurma meratap, menangis tersedu-sedu saat dipisahkan dari Baginda Nabi. Dan masih banyak lagi kisah, yang menandakan bahwa semua makhluk tercipta dari kode genetik yang sama. Salah satu Kode gen itu adalah informasi tentang Nabi Al-Mustafa.
Untuk membuat hal ini lebih mudah, bayangkanlah bahwa setiap sel memiliki sebuah perpustakaan. Ketika sebuah sel ingin melakukan sesuatu, ia pun mengunjungi perpustakaan; membuka sebuah buku; mempelajari kapan, apa, dan bagaimana cara melakukannya; kemudian mulai menjalankan tugas tersebut persis seperti yang telah ia pelajari. Buku itu adalah gen atau DNA kita, dan isi buku itu adalah informasi genetik (Murakami: 1994). Ribuan Buku tercipta untuk mengekspresikan sosok Nabi Al-Mustafa. Dari syama'il, dala'il, tarikh, sirah, dan lain sebagainya. Seakan tidak ada habisnya Sang Nabi ditulis. Maka, Wilfred Cantwell Smith benar ketika menyatakan bahwa "kaum Muslim masih bisa membiarkan serangan kepada Allah; ada banyak orang ateis, publikasi ateistik, dan masyarakat rasionalistik. Akan tetapi penghinaan kepada Nabi Muhammad akan menyulut, bahkan dari kalangan paling 'liberal' sekalipun dari umat Islam, fanatisme yang menyala-nyala. Semua itu tidak lain karena, hati muslim sudah dipatri cinta Nabi.
Namun, sebuah buku hanyalah sebuah buku. Tidak peduli betapa lezatnya resep yang dimiliki, resep itu tidak dapat memenuhi rasa lapar kita. Kecuali jika kita mengikuti resep tersebut untuk memasak sebuah masakan, resep itu tetaplah hanya sebuah gambar dalam buku. Di sinilah peran sang koki, sang duta RNA (asam ribonukleat). RNA mendatangi DNA, menjiplak informasi yang tertera dalam sebuah proses yang dikenal sebagai "transkripsi". Pertanyaannya, sudahkah kita mengaktifasi gen kita yang dorman (tidak aktif) dari gen yang paling primordial, yang berisi ribuan informasi tentang Sang Nabi, mentranskripsi, menduplikasi, hingga benar-benar teraplikasi dalam setiap tindak-tanduk ragawi kita?
Mungkin, apa yang dialami dan dilakukan oleh Pak Darwan, Nenek penjual bunga cempaka dari Madura, Mbah Maskanah, dan mungkin ribuan orang yang mengekspresikan cinta kepada Sang Nabi, adalah usaha untuk mengaktifkan, menyalakan sistem Gen "Sang Nabi" dengan tindakan yang remeh-temeh. Namun tanpa mereka sadari, mereka sudah menyentak relung hati kita yang terdalam yang masih kaku dengan kehadiran Sang Nabi. Mereka bahkan mungkin belum tahu informasi tentang barokah, syafa'at, dan gejala kehadiran Al-Mustafa lainnya. Seperti kata Allamah Iqbal, bagi mereka, bila ajal menjemput merekah senyum di bibir, bila ajal menjemput nama Muhammad menghunjam di hati.
*) Penulis adalah Pengurus IJABI Kediri
Dialah pangkal mulia
Sumber bangga kita di dunia
Dia tidur di atas tikar kasar
Sedang umatnya mengguncang tahta Kisra
Inilah pemimpin bermalam-malam terjaga
Sedang Umatnya tidur di ranjang Raja-Raja
Di Gua Hira Dia bermalam
Sehingga tegak bangsa, hukum, dan negara
Kala shalat pelupuknya tergenang air mata
Di medan perang, pedangnya bersimbah darah
Dibukanya pintu-pintu dunia dengan kunci agama
Duhai, belum pernah insan melahirkan putra seperti dia
(Allamah Muhammad Iqbal)
Di sebuah desa di lereng Gunung Welirang, di Kota yang terkenal dengan perusahaan air minum Internasioalnya, AQUA Pandaan, tepatnya di desa Sidonganti ada seorang nenek yang sangat rajin bekerja. Di usianya yang sudah tidak produktif lagi untuk bekerja di sawah, seolah-olah tidak mau untuk berhenti beraktifitas karena ketuaannya, dia mencari kegiatan baru yang agak ringan yaitu memelihara ayam kampung.
Tidak seperti orang-orang kampung lainnya yang beternak ayam sebagai tabungan, yang sewaktu-waktu dijual di pasar agar menghasilkan uang, nenek satu ini memelihara ayam kampung hanya untuk persiapan Muludan. Setiap bulan Maulid tiba, ayam-ayamnya dipanen, ditangkapi untuk disembelih, diolah menjadi hidangan lezat sebagai jamuan untuk kegiatan Maulid Nabi di Kampung.
Di Kampung itu, setiap tanggal 12 Rabi'ul Awal/ Mulud, masyarakat kampung merayakan hari kelahiran Kanjeng Nabi dengan full day Shalawat, dari pagi sampai malam hari, berpindah dari surau satu ke surau lainnya. Masyarakat dari kalangan tua muda, laki perempuan membaur menjadi satu untuk melantunkan shalawat Nabi. Pada pagi hari membaca Shalawat Diba', siang hari Maulid Syaraful Anam, sore hari Maulid Al-Barzanji, lalu pada malam hari diadakan pengajian dengan mengundang seorang Kyai Kampung untuk memberikan ceramah Maulid. Ada tradisi Maulid di kampung itu yang masih terpelihara hingga kini, yakni "Layahan Nasi Kuning" yang diciptakan oleh penyebar Islam di kampung itu. Konon Kanjeng Nabi dahar (makan, jw kromo) menggunakan layah, semacam piring yang terbuat dari tanah liat, dengan hidangan nasi kuning.
Saat anak-anaknya masih gadis, nenek itu selalu mewanti-wanti agar setiap Maulid Nabi, jangan sekali-kali membuat hidangan untuk Maulid dengan lauk tempe, sambal goreng tempe, atau olahan tempe lainnya. Alasannya, karena proses pembuatan tempe kala itu adalah menginjak-injak kedelainya dengan kaki. Hidangan yang diolah dengan injakan kaki tidak layak dihaturkan kepada Kanjeng Nabi, demikian pesannya.
Nenek itu selalu mengulang-ulang wasiat itu dikala usianya yang sudah menua, bahkan dalam kepikunan. Ketika bulan maulid berlalu, nenek itu membeli lagi anak-anak ayam untuk dipelihara, dibesarkan lagi untuk maulid tahun berikutnya. Itulah aktifitas yang sudah dijalaninya selama bertahun-tahun. Hingga pada suatu ketika, kecelakaan kecil membuat sang nenek harus berhenti total dari kegiatan sehari-harinya memelihara ayam, dia terjatuh saat mau mengambil air wudhu untuk shalat dhuhur. Kerentaannya membuat kecil kemungkinan untuk bangkit dari sakitnya. Pasca kejadian jatuh itu, dia hanya terbaring di tempat tidurnya sampai ajal menjemputnya. Kepikunan saat dia masih sehat semakin akut pasca terjatuh dan sakit, bahkan nenek itu sudah tidak bisa mengenal orang-orang di sekitarnya, termasuk anaknya yang terjauh. Hanya anak-anak terdekatnya saja yang nenek itu ingat, itupun ingatannya putus nyambung. Tetapi saat bulan Maulid tiba, atau bahkan saat acara pembacaan shalawat Diba' yang rutin diadakan di kampung tiap malam jum'at, seakan diingatkan oleh alam bawah sadarnya, nenek itu berbisik kepada anaknya yang merawatnya, apakah masih ada ayam di kandang yang bisa diolah sebagai hidangan untuk para pembaca shalawat itu, untuk para pecinta Nabi.
Setahun yang lalu, nenek tersebut telah berpulang menghadap Kekasihnya. Kata-kata terakhir yang digumamkannya, menurut bibi yang merawatnya, adalah shalawat Nabi.
Dan, nenek itu adalah nenekku, Mbah Maskanah, ibu dari ibuku. Dia telah pergi dengan meninggalkan kenangan indah untuk keluarga, dan anak cucu yang ditinggalkannya.
Seperti Pak Darwan, dan juga nenek penjual bunga cempaka dari Madura yang diceritakan oleh Kang Jalal di buku Rindu Rasul, nenek Maskanah bukanlah seorang pengikut kajian-kajian rutin Qur'an Hadist, apalagi dengan ustadz yang membid'ahkan peringatan maulid Nabi. Mereka mungkin buta huruf. Mereka hanya mendengar tentang Nabi dari guru-gurunya. Mereka tidak mengerti apa bedanya sunnah dan bid'ah. Mereka hanya tahu bahwa Kanjeng Nabi adalah sosok manusia suci yang menjadi rahmat bagi alam semesta.
Puspa ragam ekspresi cinta kepada Sang Nabi. Orang-orang di nusantara, yang tidak memiliki persinggungan sejarah dengan Sang Nabi, mencoba mengekspresikan sosok ideal manusia sempurna tersebut dalam sebuah Imagi. Sang Nabi dianggapnya sebagai manusia nusantara yang terlahir di padang tandus Arabia. Figur sempurna itu, yang menurut orang Jawa, punya karakter khas manusia Jawa, andap asor, berwibawa, ramah-tawah, biso rumongso, sangat pemalu, sejuk dipandang, seluruh karakter manusia tropis ada pada sang Nabi. Sosok yang memiliki karakter manusia nusantara ini, tiba-tiba harus terlempar ke sebuah padang pasir yang tandus, terlahir di antara manusia dengan karakter pagan, barbar dan buas, sebuah fakta yang sangat kontradiktif. Orang Jawa melacak lebih jauh tentang asal usul beliau sampai kepada Nabi Ibrahim, dari istri yang bernama Siti Hajar.
Sebuah pertanyaan besar tentang seorang perempuan yang bernama Hajar ini, benarkah dia asli orang Arab? Jika benar Hajar bermakna orang yang hijrah, darimana asal negerinya? Jika Hajar bermakna batu, pantaskah batu disematkan sebagai nama orang pada waktu itu. Maka orang Nusantara menghubungkan nama itu dengan bahasa setempat, yang di Jawa ataupun Sunda, nama Hajar disematkan sebagai gelar orang berilmu, Ki Hajar atau Nyi Ajar. Ketika Sang Nabi beranjak dewasa, ada kebiasaan Sang Nabi yang sangat ganjil dilakukan oleh masyarakat Arab waktu itu, yaitu tahannus, bertapa, merenung sendiri, sebuah kebiasaan yang sulit ditemukan pada masyarakat Arab yang suka berburu, dan kebiasaan bertapa hanya bisa ditemukan pada manusia nusantara.
Fitrah menyatakan bahwa secara epistemologis, manusia cenderung mencari, kembali ke asal muasalnya, jati dirinya. Seakan mengamini teori ini, ketika terjadi migrasi besar-besaran komunitas dari padang pasir Arabia berabad-abad lampau, khususnya dari Hadrami, Terim, dan lain sebagainya, mereka lebih memilih nusantara sebagai tempat tujuan utama. Seakan terdorong oleh kecenderungan primordialnya bahwa nusantara adalah tanah bermula nenek moyangnya. Mereka yang sampai di nusantara segera disambut oleh para pribumi. Seakan terdorong oleh informasi dari alam bawah sadarnya tentang sosok keturunan Sang Nabi yang akan datang dari negeri nun jauh disana, terpatri oleh cinta sang Nabi, para pribumi menyambut dengan sukacita putra-putra Sang Nabi di nusantara. Mereka berharap keberkahan dari keturunan Nabi. Namun seakan ada Natural Reserve, mereka menseleksi setiap orang yang mengaku keturunan Sang Nabi dengan bertumpu pada sosok agung Sang Nabi. Mereka menilai dan mencocokkan dengan budi pekerti Sang Nabi yang sempurna dan tinggi itu. Itulah yang dilakukan masyarakat nusantara dalam rangka mengobati rindu hati mereka kepada Sang Nabi. Mereka menghadirkan dalam setiap sendi kehidupan mereka sosok manusia suci itu. Sekiranya mereka salah dalam menginterpretasikan Sang Nabi, mereka lebih berharap senyum sang Nabi.
Sebuah penelitian spektakuler dari seorang Ahli Genetika dunia, Kazuo Murakami, Ph.D, disebutkan di dalam bukunya The Miracle of The DNA yang diterbitkan oleh penerbit Mizan. Menurut Kazuo, gen-gen tak lebih adalah benda mati yang tersusun secara khas. Tapi, susunan benda mati itu ternyata memiliki makna alias informasi yang berfungsi sebagai perintah untuk membentuk sistem yang lebih besar. Bukankah mustahil benda mati bisa memberikan perintah sedemikian kompleks dan teratur? Siapakah aktor di balik molekul-molekul yang memberikan perintah itu? Susunannya sedemikian indah dan menakjubkan lalu menghasilkan tatanan yang luar biasa mempesona, mengarah kepada sistem yang sangat kompleks dalam drama kehidupan manusia. Siapakah yang sedang ‘berkirim surat’ lewat segala macam partikel penyusun alam semesta ini?
Berbagai penelitian mutakhir menunjukkan bahwa gen sebenarnya bukanlah makhluk hidup. Ia hanya bagian saja di dalam sistem sel sebagai unit terkecil kehidupan. Gen tak lebih hanya kumpulan molekul-molekul mati, yang tersusun secara khas, sehingga membentuk informasi. Cuma, anehnya, kumpulan ‘benda mati’ itu bisa memunculkan informasi yang justru memunculkan kehidupan sel. Sel bisa hidup karena diperintah oleh genetika dari dalam inti sel itu, sehingga muncul proses-proses biokimiawi dan kelistrikan yang menyebabkan sel bisa hidup berkelanjutan. Inti sel adalah pusat pemerintahan genetik di dalam bagian terkecil tubuh manusia itu. Ibarat sebuah buku cerita, di dalam inti sel kita ada pesan-pesan pembentuk kehidupan, baik yang bersifat anatomis maupun perilaku. Buku cerita itu disebut GENOM.
Isinya ada 23 bab, yang disebut sebagai KROMOSOM. Di dalam kromosom itu ada ribuan cerita, yang disebut sebagai GEN. Di dalam gen ada paragraf-paragraf yang disebut EKSON, dengan diselingi cerita-cerita tak terkait yang disebut sebagai intron. Paragraf tersebut tersusun dari kata-kata yang disebut sebagai KODON. Dan kata-kata itu tersusun dari huruf-huruf yang disebut BASA. Nah, huruf-huruf yang disebut Basa itu berbentuk molekul-molekul kimiawi yang mati, dari senyawa Adenin (A), Guanin (G), Cytosin (C), dan Timin (T). Komposisi empat huruf A-C-G-T itulah yang akan memunculkan kode-kode berupa kata (Kodon), menjadi paragraf (ekson), menjadi gen, membentuk kromosom, dan akhirnya membentuk 'buku cerita' kehidupan bernama Genom. Jika A-C-G-T mengalami masalah, maka kode-kode itu tentu akan bermasalah juga lalu mengganggu proses kehidupan sel. Akan terjadi penyimpangan pembentukan Kodon, yang mempengaruhi Ekson, dan lantas menghasilkan penyimpangan genetika.
Jadi genetika bukanlah unit terkecil kehidupan karena unit terkecil itu sebenarnya berada pada level sel yang bisa melakukan aktivitas sebagai makhluk hidup. Sedangkan inti sel dengan genetikanya adalah sekumpulan ‘benda mati’ belaka tetapi berisi sistem informasi yang sangat canggih sehingga mampu mengendalikan jalannya kehidupan sel. Tentu saja ini sangat aneh. Karena, molekul-molekul itu tidak memiliki kehendak dan tidak punya tujuan sehingga proses yang terjadi di dalamnya tak beraturan alias acak. Tapi kondisi acak itu tenyata bisa menghasilkan cerita lebih kompleks ‘dari bab ke bab’ dalam bentuk kromosom yang sangat unik, dan kemudian memunculkan ‘buku genom’ yang sangat khas pada setiap spesies. Sebuah ‘buku cerita’ yang merangkum seluruh karakter sesosok makhluk hidup, baik karakter fisik maupun perilakunya (Agus Mustofa: 2012).
Kita tahu bahwa fitrah Allah lah yang menjadikan manusia dari fitrah-Nya. Fitrah mungkin semacam informasi dalam gen kita. Kekayaan informasi yang terkandung oleh gen terekam pada DNA dalam sel-sel kita. Semua makhluk menggunakan kode genetik yang sama. Kode genetic manusia, yang tersusun oleh lebih dari tiga miliar "huruf-huruf kimia", semua tersimpan dalam untai-untai berukuran mikroskopik yang memiliki berat hanya satu per 200 miliar gram dan lebar hanya 1/500.000 milimeter-namun jika direnggangkan, mereka memiliki panjang sekitar tiga meter. Semua informasi genetik dalam setiap organisme tertulis dengan menggunakan "huruf kimia"-A,T,C,G yang merupakan singkatan dari basa adenin, timin, sitosin, dan guanin. Informasi yang terkandung di dalam gen kita, yang dikenal sebagai informasi genetik, sepadan dengan tiga miliar huruf-huruf kimia ini, dan jika dicetak dalam bentuk buku, akan menjadi tiga ribu buku yang masing-masing memiliki seribu lembar halaman. Sungguh mengagumkan bahwa struktur makhluk hidup yang begitu kompleks seperti manusia dapat ditentukan oleh informasi yang tersimpan hanya dalam empat huruf kimia. (Murakami : 1994).
Mari sejenak kita mentadaburi gen-gen diatas dalam wilayah fitrah. Tuhan meciptakan bermiliar-miliar informasi hanya dari empat huruf kimia. Kalau kita boleh menyebutnya di wilayah agama, bahwa tentu Tuhan menciptakan gen yang paling elementer, fundamental, dan primordial. Inilah yang ditolak oleh kaum Ateis, mereka menyatakan bahwa gen terjadi secara kebetulan. Gen primordial itu kalau boleh kita sebut antara lain adalah berupa informasi tentang Tuhan sendiri, tentang Nabi, Agama, dan Kitab Suci. Keempat informasi inilah yang akan mendasari karakter manusia di kemudian hari. Informasi tentang Tuhan sejak awal mula penciptaan sudah dipatrikan dalam bentuknya yang paling elementer, disinilah mungkin kejelasan ungkapan Tuhan sebagai "Kuntu kanzan Makhfiyyan...", sementara fitrah Sang Nabi dalam diri setiap insan menjadikan jelas ungkapan Allamah Iqbal dalam puisinya bahwa "Hati muslim dipatri cinta Nabi". Agama dan Kitab Suci menjadi elemen primordial yang melengkapi elemen Tuhan dan Nabi. Empat elemen dasar yang saling melengkapi satu dengan yang lain, seakan satu paket
yang utuh.
Dalam sejarah umat manusia, bagaimana kerinduan pada sosok Sang Nabi Al-Mustafa terpatri dalam hati tiap makhluk. Nabi Adam merindukan Sosok Al-Mustafa, sosok yang dari Nur nya dia (Adam) diciptakan. Di zaman Nabi Musa, ada seorang abid yang merindukan masa bersama Al-Mustafa. Kita ingat bagaimana kebahagiaan Salman Al-Farisi (Ruzabah) saat berjumpa kekasih hati, Al-Mustafa, setelah berpuluh-puluh tahun pencariannya. Bagaimana Pohon Kurma meratap, menangis tersedu-sedu saat dipisahkan dari Baginda Nabi. Dan masih banyak lagi kisah, yang menandakan bahwa semua makhluk tercipta dari kode genetik yang sama. Salah satu Kode gen itu adalah informasi tentang Nabi Al-Mustafa.
Untuk membuat hal ini lebih mudah, bayangkanlah bahwa setiap sel memiliki sebuah perpustakaan. Ketika sebuah sel ingin melakukan sesuatu, ia pun mengunjungi perpustakaan; membuka sebuah buku; mempelajari kapan, apa, dan bagaimana cara melakukannya; kemudian mulai menjalankan tugas tersebut persis seperti yang telah ia pelajari. Buku itu adalah gen atau DNA kita, dan isi buku itu adalah informasi genetik (Murakami: 1994). Ribuan Buku tercipta untuk mengekspresikan sosok Nabi Al-Mustafa. Dari syama'il, dala'il, tarikh, sirah, dan lain sebagainya. Seakan tidak ada habisnya Sang Nabi ditulis. Maka, Wilfred Cantwell Smith benar ketika menyatakan bahwa "kaum Muslim masih bisa membiarkan serangan kepada Allah; ada banyak orang ateis, publikasi ateistik, dan masyarakat rasionalistik. Akan tetapi penghinaan kepada Nabi Muhammad akan menyulut, bahkan dari kalangan paling 'liberal' sekalipun dari umat Islam, fanatisme yang menyala-nyala. Semua itu tidak lain karena, hati muslim sudah dipatri cinta Nabi.
Namun, sebuah buku hanyalah sebuah buku. Tidak peduli betapa lezatnya resep yang dimiliki, resep itu tidak dapat memenuhi rasa lapar kita. Kecuali jika kita mengikuti resep tersebut untuk memasak sebuah masakan, resep itu tetaplah hanya sebuah gambar dalam buku. Di sinilah peran sang koki, sang duta RNA (asam ribonukleat). RNA mendatangi DNA, menjiplak informasi yang tertera dalam sebuah proses yang dikenal sebagai "transkripsi". Pertanyaannya, sudahkah kita mengaktifasi gen kita yang dorman (tidak aktif) dari gen yang paling primordial, yang berisi ribuan informasi tentang Sang Nabi, mentranskripsi, menduplikasi, hingga benar-benar teraplikasi dalam setiap tindak-tanduk ragawi kita?
Mungkin, apa yang dialami dan dilakukan oleh Pak Darwan, Nenek penjual bunga cempaka dari Madura, Mbah Maskanah, dan mungkin ribuan orang yang mengekspresikan cinta kepada Sang Nabi, adalah usaha untuk mengaktifkan, menyalakan sistem Gen "Sang Nabi" dengan tindakan yang remeh-temeh. Namun tanpa mereka sadari, mereka sudah menyentak relung hati kita yang terdalam yang masih kaku dengan kehadiran Sang Nabi. Mereka bahkan mungkin belum tahu informasi tentang barokah, syafa'at, dan gejala kehadiran Al-Mustafa lainnya. Seperti kata Allamah Iqbal, bagi mereka, bila ajal menjemput merekah senyum di bibir, bila ajal menjemput nama Muhammad menghunjam di hati.
*) Penulis adalah Pengurus IJABI Kediri