Ustadz Miftah F. Rakhmat mengisahkan perjalanan ketika menyertai dan mengantar jamaah umrah dan ziarah Semesta Rindu Rasul. Katanya, kisah ini sudah "diterbitkan" dalam sebuah trilogi "Adventure with Rindu Rasul". Kami memuat kembali kisah perjalanan membayar "satu rindu" itu di sini. Semoga bisa memberi hikmah untuk rindu-rindu yang belum terbayarkan.... [majulah-ijabi.org]
Saya mulai cerita dari kota ini. Damaskus, kota seribu menara. Konon, bila naik ke atap rumah, akan terlihat ratusan menara masjid menjulang tinggi. Setahu saya, belum pernah ada yang menghitungnya. Saya kira orang sudah menyerah berhitung sebelum sampai seribu. Bila adzan berkumandang, menara-menara ini saling bersahutan, timpal menimpal, memperdengarkan panggilan mengajak kaum muslimin untuk shalat. Tidak jauh berbeda dari Indonesia, meski kita tak pernah menjulukinya negeri seribu menara. Mungkin karena Masjid di Indonesia tak punya menara. Barangkali Indonesia lebih tepat disebut negeri seribu bedug, atau negeri seribu sandal jepit.
Jika adzan berkumandang, sebagian besar penduduk kota Damaskus akan menutup warung tokonya. Walau cuma sesaat. Mereka beraktivitas lagi usai shalat ditunaikan.
Pernah satu ketika, dalam sebuah perjalanan antara Zaynabiyyah dan Damaskus, saya menumpang angkutan umum. Saya duduk di depan. Kendaraan melaju membawa saya menuju “Muhajirin”, sebuah terminal yang dekat dengan kamp pengungsian saudara-saudara kita dari Palestina. Muhajirin artinya para pengungsi. Mereka yang hijrah. Di hampir setiap bagian negara-negara Arab, ada satu daerah tempat para pengungsi Palestina bermukim. Doa kita bagi mereka.
Saya sudah naik angkutan umum itu berulang kali. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Telinga saya tiba-tiba mendadak tajam. Di bangku bagian belakang, ada dua orang perempuan. Mereka sedang berdiskusi. Diskusi yang menarik perhatian saya. Melalui kaca sopir saya “intip” mereka. Yang satu mengenakan cadar menutup setengah dari mukanya, yang lainnya lagi pakai kerudung seperti biasanya. Mereka tampaknya saling mengenal baik. Saya palingkan wajah saya dari kaca sopir, saya pertajam pendengaran saya.
Mengapa saya tertarik pada pembicaraan mereka? Karena yang mereka bicarakan bukan obrolan biasa. Mereka tengah berdiskusi mengenai fiqih wudhu. Yang satu mengatakan kaki harus dibasuh, yang lainnya diusap. Yang satu mengemukakan argumentasinya, yang lain membantahnya. Yang satu menyampaikan dalilnya, yang lain memperkuatnya. Saya takjub. Ini diskusi antar dua mazhab besar dalam Islam: mazhab pembasuh kaki dan pengusapnya. Saya terheran-heran karena dialog seperti ini di Indonesia biasanya adalah pembicaraan antar ulama, di forum-forum ilmiah, di seminar atau diskusi resmi. Tapi di Suriah, perdebatan fiqih wudhu itu terjadi di sebuah angkutan umum. Nyaman, akrab, dan terkesan penuh penghormatan. Ketika sampai di terminal dan kedua perempuan itu turun, sambil berjalan kaki mereka masih membicarakan “perdebatan” itu. Saya makin takjub.
Saya betul-betul menghormati toleransi dan persaudaraan sesama kaum Muslimin yang terjadi di Suriah.
Ke sinilah sebetulnya wajah harus dihadapkan, ke Damaskus berita selayaknya dipalingkan. Orang Suriah bangga menyebut negerinya sebagai “the craddle of civilization”, buaian peradaban. Mereka seharusnya lebih bangga lagi, bahwa Suriah mengajarkan rakyatnya untuk hidup damai dalam persaudaraan kaum Muslimin. Suriah juga adalah satu di antara dua negara yang dengan gigih membantu rakyat Palestina, mempertahankan hak hidup mereka, dan memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Satu negara lagi yang dengan Lantang menyuarakan hak rakyat Palestina adalah Iran.
Karena itulah, Suriah dan Iran, berada pada sisi yang berbeda dengan Amerika dan negara-negara Barat lainnya. Tapi di Suriah itu juga, saya temukan persaudaraan di antara dua mazhab besar dalam Islam. Padahal dulu di Damaskus, sejarah besar Islam dimainkan. Tarik menarik antara dua mazhab ini ditorehkan sejarah. Sedikit dengan tinta emas, kebanyakan ditumpahkan dengan darah. Damaskus sudah maju amat jauh dari perbedan dahulu.
Dari Damaskus buku ini dimulai. Ke Damaskus juga buku ini akan berakhir. Buku ini adalah buku pertama dari perjalanan ziarah menyusuri sejarah: menapaktilasi jejak dua mazhab yang membawa wajah Islam sekarang ini.
Ahlus Sunnah dan Ahlul Bayt
Meski umat Islam tergabung dalam banyak kelompok, puluhan organisasi, ratusan wajah, sebetulnya dalam diskursus mazhab, ada dua golongan besar di dalam Islam. Satu yang menyebut dirinya Ahlus Sunnah dan yang lainnya Ahlul Bayt. Dikotomi ini pun tak sepenuhnya relevan, karena tidak ada lagi garis pembatas yang jelas antara keduanya. Kedua mazhab besar ini saling memberikan kontribusi terhadap sesamanya. Yang Sunni terpengaruh banyak oleh Mazhab Ahlul Bayt, yang kedua pun banyak memberikan penafsiran dan tambahan terhadap buku-buku Ahlus Sunnah. Sekadar memberikan gambaran, inilah beberapa hal yang menjadi dasar perbedaan. Pertama, Ahlus Sunnah banyak mengambil hadis Nabi dari sebagian Sahabat, terutama sahabat Abu Hurairah. Ahlul Bayt banyak mengambil hadis Nabi dari jalur keluarganya, terutama Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. Kedua, Ahlus Sunnah meyakini kepemimpinan setelah Nabi diputuskan dalam musyawarah di Saqifah, Ahlul Bayt meyakini bahwa Nabi menunjuk Sayyidina Ali sebagai Khalifah sepeninggal beliau di Ghadir Khum. Ketiga, Ahlus Sunnah menyerahkan kepemimpinan umat pada dinasti Umayyah dan Abbasiyyah, Ahlul Bayt menahbiskannya turun temurun pada keluarga Rasulullah Saw. Terakhir, sekadar mengikuti cerita di Damaskus: Ahlus Sunnah membasuh kaki, Ahlul Bayt mengusapnya.
Keduanya punya argumentasi yang berbeda. Sejarah merekam naik turunnya dinamika di antara mereka. Pada sejarah juga ditemukan banyak titik temu yang sama. Meniti sejarah (dan menjalaninya) adalah langkah paling arif untuk memahami keduanya. Itulah yang dilakukan oleh Kafilah Ziarah, Jamaah Semesta Rindu Rasul.
Jamaah Rindu Rasul
Dari namanya, sudah terlihat maknanya. Sebagai pengikut yang terpisah oleh jarak geografis ribuan mil jauhnya, dan jarak historis lebih dari seribu tahun lamanya, kerinduan terhadap sang utusan menyala dalam dada. Makin lama, nyalanya membakar jiwa. Manakala membaca sejarahnya, diperoleh nikmat Tuhan tak terkira. Anugerah yang indah datang lagi tatkala diperkenalkan pada keluarganya, teladan yang utama sepeninggalnya.
Maka dikukuhkanlah tekad untuk berziarah ke relung haribaannya. Menyusuri sejarah, dari Madinah menuju Makkah, menuju Najaf, Kufah, Karbala, dan Mashhad. Menuju tempat di mana sejarah dipatrikan, perjalanan Kaum Muslimin dikukuhkan.
Selayaknya sebuah kafilah, selalu ada pimpinan rombongan. Orang Iran menyebutnya amir-e karavan. Kali ini, tanggung jawab itu diemban oleh KH. Jalaluddin Rakhmat. Orang banyak mengenalnya dengan sebutan “Kang Jalal”. Kami memanggil beliau “Ustad Jalal”.
Bergabunglah bersama Ustad Jalal lebih dari tigapuluh jamaah untuk perjalanan ziarah ini. Sebagian berangkat umrah lebih dahulu. Sebagian lagi bergabung untuk berziarah setelahnya. Berikut profil singkat para peziarah.
Dari Bandung ada Keluarga Pak Dimitri Mahayana. Beliau berangkat bersama istri dan enam dari delapan putra-putrinya.
Masih dari Bandung, ada Pak Muhammad Neil Yasser dan Ibu; ada Angger Widya Sulaiman dan Naufal Pandu Irsyadi; dan sisanya keluarga saya: Miftah F. Rakhmat, Enovita Cahyaningsih, Muhammad Delshady Rakhmat, Sajjadali Delazady Rakhmat, dan ibu saya: Euis Kartini Rakhmat, also known as Ibu Jalal J. Terakhir, ada Keluarga Pak Joko T. Suroso, bersama Ibu Yanti dan Muhammad Fawzan Birran.
Itulah nama-nama jamaah dari Bandung. Sebelumnya, sudah bergabung bersama mereka kafilah yang diniatkan berangkat umrah lebih dahulu. Dari Balikpapan ada Pak Muhammad Ali Abdurrahman dan istri; Pak Rudy al-Habsyi dan Istri; Pak Abdul Madjid Basrah dan Pak Ahmad Syauqi Murhan Sehri. Dari Makassar ada Pak Abu Bakar Dansa. Adapun jamaah umrah dari Bandung: Pak Ahmad Zayni Sjafi’i, Pak Harmonis Bin Ruslan Chaniago, Pak Ifransyah Nuryadi Imansyah dan istri, Ibu Dewi Utami, Pak Rifki Moreno, dan Pak Irvan Yoviana Herlambang.
Dari berbagai tempat dan penjuru, mereka digerakkan satu rindu. Dari berbagai usia dan latar belakang, mereka bersama-sama melangkah maju.
Semua nama-nama itu saya cantumkan, mudah-mudahan jadi doa, dan tercatat dalam prasasti para perindu dan peziarah keluarga Rasulullah Saw. Doa yang sama juga terlantun bagi setiap orang yang telah membantu keberangkatan jamaah ini.
Umrah Baitullah dan Ziarah Ruhaniah
Sebetulnya, nama yang disandang oleh para peziarah untuk perjalanan kali ini adalah “Umrah Adventure”. Saya memang senang dengan kata yang satu itu. Sebulan sebelum berangkat Ustad Jalal mengingatkan jamaah bahwa “nama akan menentukan perjalanan.” Kata-kata akan mengkonstruksi realitas. Karena nama yang diambil adalah “adventure”, maka perjalanan penuh adventure jugalah yang akan diperoleh.
Sejak awal, serpihan-serpihan adventure itu sudah mengemuka. Mulai dari pengurusan dokumen keberangkatan, hingga jadwal yang diundur berulang-ulang. Karena kebijakan Pemerintah Saudi yang berubah, rencana umrah kemudian ditunda sekitar sepuluh hari. Jamaah bersabar. Kemudian muncul “petualangan” pada pengaturan connecting flight yang sulit. Jamaah bersabar. Mereka kemudian dikejutkan oleh episode Bandara Najaf yang ditutup karena alasan keamanan. Jamaah bersabar. Luar biasa! Jamaah Rindu Rasul adalah sekelompok laron-laron kecil yang dibakar oleh semangat kerinduan terhadap Al-Mustafa. Tantangan demi tantangan tak menyurutkan kelompok kecil ini untuk terus bergerak maju seraya berdoa: Izinkan kami datang berziarah kepadamu Ya Rasulallah…ya Ahla Baytin Nubuwwah. Duhai para Imam yang dimuliakan…
Jauh sebelum berangkat, Ustad Jalal berulang kali menyampaikan: Perjalanan ke Karbala adalah perjalanan yang penuh dengan rintangan. Kita bisa umrah setiap saat. Kesempatannya terbuka lebar. Tapi berziarah ke Irak adalah peluang langka yang mungkin tak dapat diperoleh kapan saja atau begitu saja. Selalu ada tantangan. Dahulu pernah di zaman seorang raja, ziarah ke Karbala itu diharamkan, dilarang dan disebarkan ancaman. Barangsiapa yang berziarah ke pusara Imam Husain as, raja akan menebas tangannya. Maka datanglah berduyun-duyun orang menyerahkan tangannya untuk ditebas, semata-mata agar bisa berziarah ke pusara cucunda Nabi. Setahun kemudian, orang yang sudah putus tangannya karena berziarah, datang lagi ke tempat yang sama. Orang-orang berkata: Bukankah sudah putus tanganmu. Mereka menjawab: kami masih punya satu tangan lagi.
Di Karbala ada tempat untuk mengenang peristiwa ini, para peziarah yang dengan penuh ketulusan, ingin menyampaikan salam kerinduan pada Rasulullah dan keluarganya yang suci. Bila mereka bergerak ke Karbala dengan satu tangan terputus, mempersiapkan tangan yang kedua, apalah artinya seluruh tantangan dan rintangan. Setiap kali kami dihadapkan pada ujian, kami akan berkata—sebagaimana yang sering disampaikan Ustad Jalal—“Hadzihi hiya ziyaratu Karbala…” Inilah dia, ziarah ke Karbala…
Serpihan Kisah Tak Terlupakan
Terlalu banyak kesan, tak terkira hikmah, tak terhitung pelajaran dan pengalaman. Setiap saat dalam perjalanan tak terlupakan. Rasanya, setiap detik begitu padat dengan makna dan kegiatan. Pada setiap peristiwa, dihadapkan pada berbagai ujian…ingin setiap saat kami kembali berkata: “Assalamu’alaika ya
Rasulallah…hadzihi hiya ziyaratu Karbala…” Semoga kiranya Nabi berkenan menerima ziarah yang penuh kekurangan, jauh dari sempurna, begitu banyak kekhilafan. Mudah-mudahan ini bukan ziarah kami terakhir. Allahummarzuqnaa fid dunyaa ziyaaratahum wa fil aakhirati syafa’aatahum. Ya Allah, anugerahkan pada kami di dunia kesempatan untuk berziarah ke pusara mereka, dan di akhirat memperoleh syafa’at mereka.
Saya akan kisahkan beberapa peristiwa yang khas “Rindu Rasul” dan “kental” nuansa Adventurenya. Mungkin ceritanya tidak tersusun sesuai urutan kronologis. Karenanya, ia bisa dibaca pada bagian mana saja, kapan saja, di mana saja. Semoga berkah dan hikmahnya sampai dan bersemayam di sanubari. Semoga mengilhami kafilah perindu berikutnya untuk berziarah ke relung haribaannya.
Jika adzan berkumandang, sebagian besar penduduk kota Damaskus akan menutup warung tokonya. Walau cuma sesaat. Mereka beraktivitas lagi usai shalat ditunaikan.
Pernah satu ketika, dalam sebuah perjalanan antara Zaynabiyyah dan Damaskus, saya menumpang angkutan umum. Saya duduk di depan. Kendaraan melaju membawa saya menuju “Muhajirin”, sebuah terminal yang dekat dengan kamp pengungsian saudara-saudara kita dari Palestina. Muhajirin artinya para pengungsi. Mereka yang hijrah. Di hampir setiap bagian negara-negara Arab, ada satu daerah tempat para pengungsi Palestina bermukim. Doa kita bagi mereka.
Saya sudah naik angkutan umum itu berulang kali. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Telinga saya tiba-tiba mendadak tajam. Di bangku bagian belakang, ada dua orang perempuan. Mereka sedang berdiskusi. Diskusi yang menarik perhatian saya. Melalui kaca sopir saya “intip” mereka. Yang satu mengenakan cadar menutup setengah dari mukanya, yang lainnya lagi pakai kerudung seperti biasanya. Mereka tampaknya saling mengenal baik. Saya palingkan wajah saya dari kaca sopir, saya pertajam pendengaran saya.
Mengapa saya tertarik pada pembicaraan mereka? Karena yang mereka bicarakan bukan obrolan biasa. Mereka tengah berdiskusi mengenai fiqih wudhu. Yang satu mengatakan kaki harus dibasuh, yang lainnya diusap. Yang satu mengemukakan argumentasinya, yang lain membantahnya. Yang satu menyampaikan dalilnya, yang lain memperkuatnya. Saya takjub. Ini diskusi antar dua mazhab besar dalam Islam: mazhab pembasuh kaki dan pengusapnya. Saya terheran-heran karena dialog seperti ini di Indonesia biasanya adalah pembicaraan antar ulama, di forum-forum ilmiah, di seminar atau diskusi resmi. Tapi di Suriah, perdebatan fiqih wudhu itu terjadi di sebuah angkutan umum. Nyaman, akrab, dan terkesan penuh penghormatan. Ketika sampai di terminal dan kedua perempuan itu turun, sambil berjalan kaki mereka masih membicarakan “perdebatan” itu. Saya makin takjub.
Saya betul-betul menghormati toleransi dan persaudaraan sesama kaum Muslimin yang terjadi di Suriah.
Ke sinilah sebetulnya wajah harus dihadapkan, ke Damaskus berita selayaknya dipalingkan. Orang Suriah bangga menyebut negerinya sebagai “the craddle of civilization”, buaian peradaban. Mereka seharusnya lebih bangga lagi, bahwa Suriah mengajarkan rakyatnya untuk hidup damai dalam persaudaraan kaum Muslimin. Suriah juga adalah satu di antara dua negara yang dengan gigih membantu rakyat Palestina, mempertahankan hak hidup mereka, dan memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Satu negara lagi yang dengan Lantang menyuarakan hak rakyat Palestina adalah Iran.
Karena itulah, Suriah dan Iran, berada pada sisi yang berbeda dengan Amerika dan negara-negara Barat lainnya. Tapi di Suriah itu juga, saya temukan persaudaraan di antara dua mazhab besar dalam Islam. Padahal dulu di Damaskus, sejarah besar Islam dimainkan. Tarik menarik antara dua mazhab ini ditorehkan sejarah. Sedikit dengan tinta emas, kebanyakan ditumpahkan dengan darah. Damaskus sudah maju amat jauh dari perbedan dahulu.
Dari Damaskus buku ini dimulai. Ke Damaskus juga buku ini akan berakhir. Buku ini adalah buku pertama dari perjalanan ziarah menyusuri sejarah: menapaktilasi jejak dua mazhab yang membawa wajah Islam sekarang ini.
Ahlus Sunnah dan Ahlul Bayt
Meski umat Islam tergabung dalam banyak kelompok, puluhan organisasi, ratusan wajah, sebetulnya dalam diskursus mazhab, ada dua golongan besar di dalam Islam. Satu yang menyebut dirinya Ahlus Sunnah dan yang lainnya Ahlul Bayt. Dikotomi ini pun tak sepenuhnya relevan, karena tidak ada lagi garis pembatas yang jelas antara keduanya. Kedua mazhab besar ini saling memberikan kontribusi terhadap sesamanya. Yang Sunni terpengaruh banyak oleh Mazhab Ahlul Bayt, yang kedua pun banyak memberikan penafsiran dan tambahan terhadap buku-buku Ahlus Sunnah. Sekadar memberikan gambaran, inilah beberapa hal yang menjadi dasar perbedaan. Pertama, Ahlus Sunnah banyak mengambil hadis Nabi dari sebagian Sahabat, terutama sahabat Abu Hurairah. Ahlul Bayt banyak mengambil hadis Nabi dari jalur keluarganya, terutama Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw. Kedua, Ahlus Sunnah meyakini kepemimpinan setelah Nabi diputuskan dalam musyawarah di Saqifah, Ahlul Bayt meyakini bahwa Nabi menunjuk Sayyidina Ali sebagai Khalifah sepeninggal beliau di Ghadir Khum. Ketiga, Ahlus Sunnah menyerahkan kepemimpinan umat pada dinasti Umayyah dan Abbasiyyah, Ahlul Bayt menahbiskannya turun temurun pada keluarga Rasulullah Saw. Terakhir, sekadar mengikuti cerita di Damaskus: Ahlus Sunnah membasuh kaki, Ahlul Bayt mengusapnya.
Keduanya punya argumentasi yang berbeda. Sejarah merekam naik turunnya dinamika di antara mereka. Pada sejarah juga ditemukan banyak titik temu yang sama. Meniti sejarah (dan menjalaninya) adalah langkah paling arif untuk memahami keduanya. Itulah yang dilakukan oleh Kafilah Ziarah, Jamaah Semesta Rindu Rasul.
Jamaah Rindu Rasul
Dari namanya, sudah terlihat maknanya. Sebagai pengikut yang terpisah oleh jarak geografis ribuan mil jauhnya, dan jarak historis lebih dari seribu tahun lamanya, kerinduan terhadap sang utusan menyala dalam dada. Makin lama, nyalanya membakar jiwa. Manakala membaca sejarahnya, diperoleh nikmat Tuhan tak terkira. Anugerah yang indah datang lagi tatkala diperkenalkan pada keluarganya, teladan yang utama sepeninggalnya.
Maka dikukuhkanlah tekad untuk berziarah ke relung haribaannya. Menyusuri sejarah, dari Madinah menuju Makkah, menuju Najaf, Kufah, Karbala, dan Mashhad. Menuju tempat di mana sejarah dipatrikan, perjalanan Kaum Muslimin dikukuhkan.
Selayaknya sebuah kafilah, selalu ada pimpinan rombongan. Orang Iran menyebutnya amir-e karavan. Kali ini, tanggung jawab itu diemban oleh KH. Jalaluddin Rakhmat. Orang banyak mengenalnya dengan sebutan “Kang Jalal”. Kami memanggil beliau “Ustad Jalal”.
Bergabunglah bersama Ustad Jalal lebih dari tigapuluh jamaah untuk perjalanan ziarah ini. Sebagian berangkat umrah lebih dahulu. Sebagian lagi bergabung untuk berziarah setelahnya. Berikut profil singkat para peziarah.
Dari Bandung ada Keluarga Pak Dimitri Mahayana. Beliau berangkat bersama istri dan enam dari delapan putra-putrinya.
Masih dari Bandung, ada Pak Muhammad Neil Yasser dan Ibu; ada Angger Widya Sulaiman dan Naufal Pandu Irsyadi; dan sisanya keluarga saya: Miftah F. Rakhmat, Enovita Cahyaningsih, Muhammad Delshady Rakhmat, Sajjadali Delazady Rakhmat, dan ibu saya: Euis Kartini Rakhmat, also known as Ibu Jalal J. Terakhir, ada Keluarga Pak Joko T. Suroso, bersama Ibu Yanti dan Muhammad Fawzan Birran.
Itulah nama-nama jamaah dari Bandung. Sebelumnya, sudah bergabung bersama mereka kafilah yang diniatkan berangkat umrah lebih dahulu. Dari Balikpapan ada Pak Muhammad Ali Abdurrahman dan istri; Pak Rudy al-Habsyi dan Istri; Pak Abdul Madjid Basrah dan Pak Ahmad Syauqi Murhan Sehri. Dari Makassar ada Pak Abu Bakar Dansa. Adapun jamaah umrah dari Bandung: Pak Ahmad Zayni Sjafi’i, Pak Harmonis Bin Ruslan Chaniago, Pak Ifransyah Nuryadi Imansyah dan istri, Ibu Dewi Utami, Pak Rifki Moreno, dan Pak Irvan Yoviana Herlambang.
Dari berbagai tempat dan penjuru, mereka digerakkan satu rindu. Dari berbagai usia dan latar belakang, mereka bersama-sama melangkah maju.
Semua nama-nama itu saya cantumkan, mudah-mudahan jadi doa, dan tercatat dalam prasasti para perindu dan peziarah keluarga Rasulullah Saw. Doa yang sama juga terlantun bagi setiap orang yang telah membantu keberangkatan jamaah ini.
Umrah Baitullah dan Ziarah Ruhaniah
Sebetulnya, nama yang disandang oleh para peziarah untuk perjalanan kali ini adalah “Umrah Adventure”. Saya memang senang dengan kata yang satu itu. Sebulan sebelum berangkat Ustad Jalal mengingatkan jamaah bahwa “nama akan menentukan perjalanan.” Kata-kata akan mengkonstruksi realitas. Karena nama yang diambil adalah “adventure”, maka perjalanan penuh adventure jugalah yang akan diperoleh.
Sejak awal, serpihan-serpihan adventure itu sudah mengemuka. Mulai dari pengurusan dokumen keberangkatan, hingga jadwal yang diundur berulang-ulang. Karena kebijakan Pemerintah Saudi yang berubah, rencana umrah kemudian ditunda sekitar sepuluh hari. Jamaah bersabar. Kemudian muncul “petualangan” pada pengaturan connecting flight yang sulit. Jamaah bersabar. Mereka kemudian dikejutkan oleh episode Bandara Najaf yang ditutup karena alasan keamanan. Jamaah bersabar. Luar biasa! Jamaah Rindu Rasul adalah sekelompok laron-laron kecil yang dibakar oleh semangat kerinduan terhadap Al-Mustafa. Tantangan demi tantangan tak menyurutkan kelompok kecil ini untuk terus bergerak maju seraya berdoa: Izinkan kami datang berziarah kepadamu Ya Rasulallah…ya Ahla Baytin Nubuwwah. Duhai para Imam yang dimuliakan…
Jauh sebelum berangkat, Ustad Jalal berulang kali menyampaikan: Perjalanan ke Karbala adalah perjalanan yang penuh dengan rintangan. Kita bisa umrah setiap saat. Kesempatannya terbuka lebar. Tapi berziarah ke Irak adalah peluang langka yang mungkin tak dapat diperoleh kapan saja atau begitu saja. Selalu ada tantangan. Dahulu pernah di zaman seorang raja, ziarah ke Karbala itu diharamkan, dilarang dan disebarkan ancaman. Barangsiapa yang berziarah ke pusara Imam Husain as, raja akan menebas tangannya. Maka datanglah berduyun-duyun orang menyerahkan tangannya untuk ditebas, semata-mata agar bisa berziarah ke pusara cucunda Nabi. Setahun kemudian, orang yang sudah putus tangannya karena berziarah, datang lagi ke tempat yang sama. Orang-orang berkata: Bukankah sudah putus tanganmu. Mereka menjawab: kami masih punya satu tangan lagi.
Di Karbala ada tempat untuk mengenang peristiwa ini, para peziarah yang dengan penuh ketulusan, ingin menyampaikan salam kerinduan pada Rasulullah dan keluarganya yang suci. Bila mereka bergerak ke Karbala dengan satu tangan terputus, mempersiapkan tangan yang kedua, apalah artinya seluruh tantangan dan rintangan. Setiap kali kami dihadapkan pada ujian, kami akan berkata—sebagaimana yang sering disampaikan Ustad Jalal—“Hadzihi hiya ziyaratu Karbala…” Inilah dia, ziarah ke Karbala…
Serpihan Kisah Tak Terlupakan
Terlalu banyak kesan, tak terkira hikmah, tak terhitung pelajaran dan pengalaman. Setiap saat dalam perjalanan tak terlupakan. Rasanya, setiap detik begitu padat dengan makna dan kegiatan. Pada setiap peristiwa, dihadapkan pada berbagai ujian…ingin setiap saat kami kembali berkata: “Assalamu’alaika ya
Rasulallah…hadzihi hiya ziyaratu Karbala…” Semoga kiranya Nabi berkenan menerima ziarah yang penuh kekurangan, jauh dari sempurna, begitu banyak kekhilafan. Mudah-mudahan ini bukan ziarah kami terakhir. Allahummarzuqnaa fid dunyaa ziyaaratahum wa fil aakhirati syafa’aatahum. Ya Allah, anugerahkan pada kami di dunia kesempatan untuk berziarah ke pusara mereka, dan di akhirat memperoleh syafa’at mereka.
Saya akan kisahkan beberapa peristiwa yang khas “Rindu Rasul” dan “kental” nuansa Adventurenya. Mungkin ceritanya tidak tersusun sesuai urutan kronologis. Karenanya, ia bisa dibaca pada bagian mana saja, kapan saja, di mana saja. Semoga berkah dan hikmahnya sampai dan bersemayam di sanubari. Semoga mengilhami kafilah perindu berikutnya untuk berziarah ke relung haribaannya.