Air Mancur di kota Bahrain
Langit sudah beranjak terang. Binar bola matahari tak lagi mampu diindra mata. Saya kira Pak Rifki mengabadikan sinar pagi itu melalui bidikan kameranya. Kamera yang profesional. Mengutip Ustad Jalal: “Dokumentasi kita yang paling bagus adalah foto yang tidak ada Pak Rifkinya.” Mengapa? Karena ia yang mengambilnya.
Di Bahrain pagi itu, 15 Mei 2010. Ibu-ibu dan anak-anak sudah pulang dari Sky Restaurant di Lantai IV. Mereka tampak segar. Hanya Delshady yang tampak lemas. Sukacita terbang dari Jakarta menuju Abu Dhabi malam sebelumnya tak dapat memejamkan matanya. Ia tidak tidur semalaman. Etihad yang membawa kami di Jakarta adalah pesawat kedua terbaik di dunia. Sajian hiburannya meliputi film anak-anak dan games-games interaktif yang banyak. Godaan yang sulit ditepis anak saya. Maka di pangkuan saya, ia terbaring tak berdaya. “Masuk angin,” ujar para jamaah. Delshady, yang tak dapat menunggu bila melihat sosis panggang, smoked beef dan roti bakar itu, kehilangan selera makannya. Ketika anak-anak lain sa’i di ruang tunggu itu, ia rebah tak berdaya.
Perlahan-lahan, jam bergerak ke angka sembilan. Pukul sepuluh pagi adalah waktu boarding pesawat kami, Gulf Air 678 menuju Najaf, kota tempat dibaringkannya jasad suci Amirul Mukminin ‘alaihis sholatu wa salam. Kali ini, layar menunjukkan tempat menunggu kami itu dipindah ke pintu 12. Dan itu di seberang sebelah selatan. Sedangkan kami menunggu di Gate 16, di sayap bagian utara. Maka rombongan pun bergerak pindah. Membawa serta barang bawaan. Saya pikul Delshady di pangkuan. Pak Yasser mengalungkan jaketnya untuk menghangatkan tubuh Delshady. Beberapa saat, Delshady tampak segar. Kata Nizami: “Itu berkah jaket Ustad Yasser.”
Kami melangkah menuju Gate 12. Melewati berbagai took cendera mata, melalui hiburan interaktif di lantai bandara. Di sana, suasana masih lengang. Sebagian jamaah memanfaatkan waktu untuk mencharge hape dan kameranya. Kami duduk di kursi-kursinya. Delshady saya baringkan di situ. Ia meronta. Tubuhnya meminta untuk telentang di tempat datar. Tak ada di situ. Saya dudukkan ia lebih dahulu. Pada saat duduk itulah ada peristiwa yang menarik.
Saya duduk di tengah. Di samping kiri saya ada Pak Joko. Di kanan ada Pak Abu, Pak Rifki dan Pak Irfan. Ketika sedang duduk-duduk beristirahat, tiba-tiba suasana berubah semarak. Bahkan sedikit gaduh. Serombongan orang dengan pakaian khas India Pakistan berjejal memenuhi Gate 12. Yang laki-laki mengenakan penutup kepala semacam peci, dibordir keemasan. Yang perempuan dibalut selendang sari. Sebagian hidung mereka ditindik. Rupanya mereka dari Mumbai, India. Tujuan mereka sama: Najaf dan Karbala.
Seorang perempuan paruh baya duduk di samping Pak Joko. Di depannya suaminya berdiri, bercelana jeans dan berkaus garis-garis biru, melipat kedua tangan di perutnya. Hidung mereka mancung-mancung. Istrinya menyapa Pak Joko dan bertanya: Where are you from? “Indonesia.” What’s your name? “Joko.” Joko? “Yes, Joko.” Joko, hmm… Mungkin, itu nama yang aneh baginya.
Ia kemudian terlibat dalam percakapan dengan Pak Joko. Bertanya tentang pekerjaannya, dan ke mana tujuannya di Irak. Ketika tahu bahwa mereka sama-sama akan berziarah, senyum mengembang di kedua pipinya. Lalu ia memanggil suaminya. Menceritakan tentang rombongan Indonesia kepadanya. Pak Joko pun memperlihatkan jadwal perjalanan pada mereka. Hari pertama dan kedua di Najaf dan Kufah, ketiga Samarra dan Kazhimayn, keempat di Karbala. “Hmm…” gumam suami perempuan itu, “You have a very hectic program…” ujarnya pada Pak Joko. Menurutnya, kegiatan kita sangat padat, super padat! Bayangkan, lima kota dalam empat hari. Kelak kami akan ketahui, bahwa untuk setiap satu dari kelima kota itu, bahkan dua hari penuh pun tidak akan pernah cukup.
Dan ketika Pak Joko asyik berbincang dengan pasangan dari Mumbai itu, telinga saya palingkan ke kanan. Di sana ada Pak Irfan asyik juga berbincang dengan seseorang. Dari bahasa yang dia gunakan, dia orang Irak. Bahasanya Arab pasaran. Pak Irfan dan orang Irak ini tampak sulit berkomunikasi. Yang satu pakai Bahasa Inggris, yang lainnya Bahasa Arab pasaran itu. Dari pendengaran saya yang samar, yang kemudian diceritakan ulang oleh Pak Irfan, terjadi proses saling memahami di antara mereka. Saya akan tuliskan penafsiran saya dan kata-kata persis yang mereka ucapkan.
Rupanya, kawan dari Irak ini ingin tahu atas maksud apa rombongan dari Indonesia ini berangkat. Ia bertanya tentang mazhab.
“Sunni aw Syi’i?” tanyanya mengawali pembicaraan.
Pak Irfan bergeming, dia bingung.
“Abu Hanifah aw Ja’far?”
Pak Irfan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak mengerti.
“Heik…heik,” katanya, sambil menepuk pundak Pak Irfan. Akhirnya mereka menggunakan isyarat universal jagat raya: bahasa Tarzan.
“Heik…” katanya. Kemudian ia berdiri. Tampaknya ia mau memperagakan sesuatu. “Heik…” lanjutnya. Dan ia pun mengatupkan kedua tangan di perutnya. Memperagakan shalat Ahlus Sunnah. Bahasa fiqihnya, ia takattuf. Mungkin kata “katup” berasal dari kata itu.
“Heik…” ujarnya sambil takattuf, “aw…heik!” dan dia melepaskan tangannya, lurus sejajar dengan tubuhnya. Ia irsaal.
Dan Pak Irfan pun tertawa. Ia menjawab dengan memperagakan satu gerakan tangan itu dalam shalat. Saya tidak lihat yang mana. Tapi saya tahu kedua orang itu kemudian bersalaman dengan hangat.
Perlahan-lahan, jam bergerak ke angka sembilan. Pukul sepuluh pagi adalah waktu boarding pesawat kami, Gulf Air 678 menuju Najaf, kota tempat dibaringkannya jasad suci Amirul Mukminin ‘alaihis sholatu wa salam. Kali ini, layar menunjukkan tempat menunggu kami itu dipindah ke pintu 12. Dan itu di seberang sebelah selatan. Sedangkan kami menunggu di Gate 16, di sayap bagian utara. Maka rombongan pun bergerak pindah. Membawa serta barang bawaan. Saya pikul Delshady di pangkuan. Pak Yasser mengalungkan jaketnya untuk menghangatkan tubuh Delshady. Beberapa saat, Delshady tampak segar. Kata Nizami: “Itu berkah jaket Ustad Yasser.”
Kami melangkah menuju Gate 12. Melewati berbagai took cendera mata, melalui hiburan interaktif di lantai bandara. Di sana, suasana masih lengang. Sebagian jamaah memanfaatkan waktu untuk mencharge hape dan kameranya. Kami duduk di kursi-kursinya. Delshady saya baringkan di situ. Ia meronta. Tubuhnya meminta untuk telentang di tempat datar. Tak ada di situ. Saya dudukkan ia lebih dahulu. Pada saat duduk itulah ada peristiwa yang menarik.
Saya duduk di tengah. Di samping kiri saya ada Pak Joko. Di kanan ada Pak Abu, Pak Rifki dan Pak Irfan. Ketika sedang duduk-duduk beristirahat, tiba-tiba suasana berubah semarak. Bahkan sedikit gaduh. Serombongan orang dengan pakaian khas India Pakistan berjejal memenuhi Gate 12. Yang laki-laki mengenakan penutup kepala semacam peci, dibordir keemasan. Yang perempuan dibalut selendang sari. Sebagian hidung mereka ditindik. Rupanya mereka dari Mumbai, India. Tujuan mereka sama: Najaf dan Karbala.
Seorang perempuan paruh baya duduk di samping Pak Joko. Di depannya suaminya berdiri, bercelana jeans dan berkaus garis-garis biru, melipat kedua tangan di perutnya. Hidung mereka mancung-mancung. Istrinya menyapa Pak Joko dan bertanya: Where are you from? “Indonesia.” What’s your name? “Joko.” Joko? “Yes, Joko.” Joko, hmm… Mungkin, itu nama yang aneh baginya.
Ia kemudian terlibat dalam percakapan dengan Pak Joko. Bertanya tentang pekerjaannya, dan ke mana tujuannya di Irak. Ketika tahu bahwa mereka sama-sama akan berziarah, senyum mengembang di kedua pipinya. Lalu ia memanggil suaminya. Menceritakan tentang rombongan Indonesia kepadanya. Pak Joko pun memperlihatkan jadwal perjalanan pada mereka. Hari pertama dan kedua di Najaf dan Kufah, ketiga Samarra dan Kazhimayn, keempat di Karbala. “Hmm…” gumam suami perempuan itu, “You have a very hectic program…” ujarnya pada Pak Joko. Menurutnya, kegiatan kita sangat padat, super padat! Bayangkan, lima kota dalam empat hari. Kelak kami akan ketahui, bahwa untuk setiap satu dari kelima kota itu, bahkan dua hari penuh pun tidak akan pernah cukup.
Dan ketika Pak Joko asyik berbincang dengan pasangan dari Mumbai itu, telinga saya palingkan ke kanan. Di sana ada Pak Irfan asyik juga berbincang dengan seseorang. Dari bahasa yang dia gunakan, dia orang Irak. Bahasanya Arab pasaran. Pak Irfan dan orang Irak ini tampak sulit berkomunikasi. Yang satu pakai Bahasa Inggris, yang lainnya Bahasa Arab pasaran itu. Dari pendengaran saya yang samar, yang kemudian diceritakan ulang oleh Pak Irfan, terjadi proses saling memahami di antara mereka. Saya akan tuliskan penafsiran saya dan kata-kata persis yang mereka ucapkan.
Rupanya, kawan dari Irak ini ingin tahu atas maksud apa rombongan dari Indonesia ini berangkat. Ia bertanya tentang mazhab.
“Sunni aw Syi’i?” tanyanya mengawali pembicaraan.
Pak Irfan bergeming, dia bingung.
“Abu Hanifah aw Ja’far?”
Pak Irfan menggeleng-gelengkan kepalanya. Ia tidak mengerti.
“Heik…heik,” katanya, sambil menepuk pundak Pak Irfan. Akhirnya mereka menggunakan isyarat universal jagat raya: bahasa Tarzan.
“Heik…” katanya. Kemudian ia berdiri. Tampaknya ia mau memperagakan sesuatu. “Heik…” lanjutnya. Dan ia pun mengatupkan kedua tangan di perutnya. Memperagakan shalat Ahlus Sunnah. Bahasa fiqihnya, ia takattuf. Mungkin kata “katup” berasal dari kata itu.
“Heik…” ujarnya sambil takattuf, “aw…heik!” dan dia melepaskan tangannya, lurus sejajar dengan tubuhnya. Ia irsaal.
Dan Pak Irfan pun tertawa. Ia menjawab dengan memperagakan satu gerakan tangan itu dalam shalat. Saya tidak lihat yang mana. Tapi saya tahu kedua orang itu kemudian bersalaman dengan hangat.