Salah satu kawasan pantai di Bahrain
Saya dan Pak Irfan senang menonton bola. Saya bahkan senang memainkannya. Pak Irfan masih setia hanya pada menontonnya saja. Kadang-kadang tim yang saya jagokan unggul dan juara. Tidak jarang juga tim Pak Irfan yang beroleh kemenangan. Meskipun secara total, saya kira tim saya lebih banyak menang daripada timnya.
****
****
Ketika Pak Irfan berangkat umrah, tim yang dia jagokan belum jadi juara liga di negerinya. Barulah di Madinah, saya kirim pesan singkat, mengabarkan padanya bahwa timnya sudah juara. Jangan-jangan Pak Irfan berdoa khusus di Madinah untuk itu. Pak Irfan membalas sms saya: Nanti saya traktir kalau bertemu di Bahrain. Syukuran karena tim saya menang. Saya balas balik dengan menjawab: Saya pun akan berikan buku shalat setiba di Bahrain nanti.
Maka di Bahrain itu kami bertukar “cendera mata”. Saya berikan buku yang saya janjikan. Pak Irfan membalasnya dengan cerita tentang petualangan di imigrasi Bahrain. Segera setelah mendarat, mereka mendaftar di desk Gulf Air, yang seketika itu juga memberikan voucher untuk menginap di hotel. Berbarislah mereka rapi di imigrasi. Tapi manakala sampai di meja petugas, mereka tak diizinkan untuk masuk. Terjadi diskusi yang cukup alot antara Ustad Jalal dan petugas imigrasi. Saya kira kali ini Pak Harmonis tidak merekamnya. Too risky. Perdebatan panjang itu menghasilkan keputusan singkat. Kebijakan pemerintah Bahrain: People going to Iran and Iraq are not allowed to visit Bahrain. Setiap orang yang tujuan keberangkatan berikutnya adalah Irak dan Iran tak diizinkan untuk masuk ke Bahrain.
Menggunakan bahasa anak saya, saya akan berkata, “What the…?” Kebijakan apa ini? Aneh juga. Ada pembatasan khusus untuk kedua negara itu. Padahal pihak maskapai sudah menjanjikannya bahkan sejak di Jakarta. Saya bertanya pada Pak Irfan tentang jamaah yang lainnya. “Lagi tidur di Mushalla.” Kasihan jamaah umrah itu, kelelahan dan kelaparan. Hadzihi hiya ziyaaratu Karbala. Saya sambangi mereka di Mushalla. Ada Pak Yani, Pak Harmonis, Pak Rifki, Pak Madjid dan Pak Abu. Saya salami mereka hangat satu persatu. Maklum, “berburu” berkah karena mereka baru saja pulang dari tanah suci.
Singkat cerita, malam itu kami tak tidur. Meski badan ini meminta haknya, sukacita bertemu dengan sanak saudara yang terpisah, kebahagiaan bergabungnya dua rombongan menjadi satu, saling bertukar cerita antara tanah air dan tanah suci, semua itu tak dapat membuat mata kami terpejam. Di seberang Gate 16 Airport Bahrain, di depan Costa Café, kami tergelak tertawa. Rasanya, sedikit petualangan sebelum keberangkatan terbayar sudah oleh indahnya perjumpaan. Sungguh, dalam setiap kesulitan selalu ada kemudahan.
….
Pagi hari, mentari menyembul di balik ufuk Padang Pasir Bahrain. Dari balik kaca Airport, kami dapat dengan jelas melihat bentuknya. Bulat sempurna, putih kekuning-kuningan, dan bergerak makin lama makin tinggi. Sinar yang dibawanya menyapu gelap bumi di bawahnya. Semua kini jelas terlihat. Lalu lintas Bandara. Para petugas keamanan. Orang yang hilir mudik memeriksa roda pesawat, atau mengantar bagasi para penumpang.
Baru beberapa jam berlalu sejak kedatangan kami, kami sudah merasa Bahrain rumah kami. Anak-anak dengan segera menjelajah ke sana kemari. Terminal Bahrain mirip tempat sa’i. Tidak begitu besar. Para penumpang bisa berjalan-jalan dari ujung yang satu ke ujung yang lainnya. Saya kira, dari kunjungan pertama, semua sudah menemukan tempat-tempat strategis keperluannya. Ada yang hafal toilet yang relative kosong dan bersih, ada yang ingat jam-jam kosong untuk tidur di mushalla, ada yang tahu tempat internetan gratis, ada juga yang mendekam di bilik khusus “Ahlul Hisap”.
Tapi pagi hari itu, semua berkumpul bersama. Tas tentengan kabin dikumpulkan di tengah. Begitulah caranya jamaah silih berganti menjaga bila ada yang bepergian, atau sekadar meluruskan punggung di mushalla.
Matahari bergerak semakin tinggi. Perut para jamaah sudah membunyikan alarmnya. Ini waktunya makan pagi. Jamaah Umrah tidak beroleh hotel untuk menginap, tapi mereka berhasil “memaksa” maskapai penerbangan untuk memberikan voucher makanan. Limabelas orang jumlahnya. Pak Joko dan keluarga, yang datang lebih dahulu dan menunggu lebih lama, ajaibnya tak memperoleh voucher makanan itu. Ia sempat juga bertengkar begitu lama, sampai titik jenuh.
Saya juga mengusahakan voucher itu untuk jamaah ziarah. “Where did you come from?” Tanya petugas di Desk Gulf Air. “Abu Dhabi.” Ia menjawab: “No meal for Abu Dhabi.” “Tapi kami datang dari Indonesia,” tegas saya. “No meal for Abu Dhabi.” Jawab petugas itu lagi.
Walhasil, jamaah ziarah tak dapat voucher makan pagi. Di sanalah kami, di depan Gate 16, 35 peziarah dan 15 kupon makan pagi. Bagaimana hendak sarapan, bila kami tahu jamaah yang lain kelaparan? Ustad Jalal mengambil keputusan: ”Bapak dan Ibu yang umrah, mohon maaf, karena tidak semua kita mendapat jatah makanan dari Airport, kita dahulukan saja perempuan dan anak-anak.”
Semua sepakat. Saya betul-betul terharu melihat perjalanan jamaah Rindu Rasul ini. Menurut saya, persaudaraan terasa sangat erat. Saling membantu dan bahu membahu terlihat setiap saat. Bahkan, Ustad Jalal sering berkata: Rombongan kita ini mirip rombongan Imam Husain ‘alaihis sholatu wa salam.
Dalam skala yang jauuuuuuh lebih kecil. Mengutip bahasa Gus Dur: Baynas samaa`i wa sumur. Jauhnya perbandingan itu ibarat langit yang sangat tinggi, dan sumur yang sangat dalam.
Kami terhibur mendengar perumpamaan itu. Betapa tidak. Seperti Kafilah Karbala, bersama kami ada sejumlah laki-laki dan perempuan, tua dan muda, yang sudah sepuh dan anak-anak balita. Ada yang sakit di perjalanan, berjuang menghadapi serangkaian tantangan. Jumlah kami 35, Kafilah Karbala berjumlah 72. Di setiap tempat ziarah, kami ditemani satu orang penduduk lokal. Jadilah jumlah kami 36 setiap saatnya, persis setengah dari Kafilah Karbala.
Di Bahrain itu, pagi hari yang cerah. Semangat untuk berangkat ke Najaf menderu-deru dalam dada. Membakar setiap aorta. Pak Dimitri dan Nizami berolah raga. Tai Chi. Mereka master ilmu yang satu itu. Pak Joko mengomentari Tai Chi Pak Dim: Wah, ini bisa jadi ekskul di SCM. Saya menukasnya: Insya Allah Nizami bisa mengajar anak-anak. Pak Dim, sambil tetap menggerak-gerakkan tangannya berkata ke arah Ustad Jalal: Saya perlu olahraga Ustad. Kalau Miftah sudah main bola, dia bahkan bikin dua gol kemarin.
Ya, saya memang main bola dulu sehari sebelum berangkat ziarah. Nekat? Tidak juga. Itu cara saya “berpisah” dengan teman-teman. Pak Yasser yang mestinya bermain juga tidak kelihatan di lapangan waktu itu. “Takut cedera,” kata teman-teman.
Usai berolah raga, Pak Dim dan Pak Joko tampak berbincang. Rupanya mereka pesan makan pagi, untuk duapuluh porsi yang tak kebagian voucher makanan itu. Ada Costa Café di depan tempat menunggu kami. Mereka pesan continental breakfast. Di gambarnya, menu itu disajikan dengan telur orak-arik, dua potong roti, irisan smoked beef dan beberapa butir sosis panggang. Tentu dengan olesan butter yang hangat itu. Hmm, jadi lapar kan?
Tak lama kemudian, pesanan itu datang, dibungkus dalam dus kecil styrofoam yang dengan segera dibagi-bagikan oleh Pak Joko ke semua jamaah. Semua membukanya. Sejenak semua tampak bingung walaupun tak ada yang bertanya. Rupanya, dus-dus itu digabung jadi satu. Ada dus yang isinya sosis saja. Ada dus yang isinya roti saja. Satu dus lain telurnya saja. Dus dus itu pun datang satu persatu “Eeh, kok gini?” Ujar Pak Joko. Alih-alih dapat sandwich isi, kami dapat menu sebelum jadi. Rupanya, di Costa Café itu, khusus untuk jamaah Rindu Rasul, tempat itu berubah menjadi kantin Self-Service.
Maka kami menyusun sandwich kami sendiri. Alhamdulillah, sungguh nikmat yang tak terkira. Terima kasih pada Pak Joko dan Pak Dim. Meski sandwich isi itu datang bertahap: pertama rotinya, lalu isinya. Kami menikmatinya dengan lahap. Bila sandwich isi disusun di luar, sandwich kami pagi itu, kami susun di dalam perut sendiri. Sungguh, bagi perut yang lapar, sajian itu adalah harta karun tak ternilai.
Allahumma inna nusyhiduka annahu maa ashbaha bina min ni’matin wa ‘aafiyah fii diinin aw dunya, fa minka wahdaka laa syarika laka. Lakal hamdu wa lakas syukr, bihaa ‘alayya hatta tardha wa ba’dar ridha…
Maka di Bahrain itu kami bertukar “cendera mata”. Saya berikan buku yang saya janjikan. Pak Irfan membalasnya dengan cerita tentang petualangan di imigrasi Bahrain. Segera setelah mendarat, mereka mendaftar di desk Gulf Air, yang seketika itu juga memberikan voucher untuk menginap di hotel. Berbarislah mereka rapi di imigrasi. Tapi manakala sampai di meja petugas, mereka tak diizinkan untuk masuk. Terjadi diskusi yang cukup alot antara Ustad Jalal dan petugas imigrasi. Saya kira kali ini Pak Harmonis tidak merekamnya. Too risky. Perdebatan panjang itu menghasilkan keputusan singkat. Kebijakan pemerintah Bahrain: People going to Iran and Iraq are not allowed to visit Bahrain. Setiap orang yang tujuan keberangkatan berikutnya adalah Irak dan Iran tak diizinkan untuk masuk ke Bahrain.
Menggunakan bahasa anak saya, saya akan berkata, “What the…?” Kebijakan apa ini? Aneh juga. Ada pembatasan khusus untuk kedua negara itu. Padahal pihak maskapai sudah menjanjikannya bahkan sejak di Jakarta. Saya bertanya pada Pak Irfan tentang jamaah yang lainnya. “Lagi tidur di Mushalla.” Kasihan jamaah umrah itu, kelelahan dan kelaparan. Hadzihi hiya ziyaaratu Karbala. Saya sambangi mereka di Mushalla. Ada Pak Yani, Pak Harmonis, Pak Rifki, Pak Madjid dan Pak Abu. Saya salami mereka hangat satu persatu. Maklum, “berburu” berkah karena mereka baru saja pulang dari tanah suci.
Singkat cerita, malam itu kami tak tidur. Meski badan ini meminta haknya, sukacita bertemu dengan sanak saudara yang terpisah, kebahagiaan bergabungnya dua rombongan menjadi satu, saling bertukar cerita antara tanah air dan tanah suci, semua itu tak dapat membuat mata kami terpejam. Di seberang Gate 16 Airport Bahrain, di depan Costa Café, kami tergelak tertawa. Rasanya, sedikit petualangan sebelum keberangkatan terbayar sudah oleh indahnya perjumpaan. Sungguh, dalam setiap kesulitan selalu ada kemudahan.
….
Pagi hari, mentari menyembul di balik ufuk Padang Pasir Bahrain. Dari balik kaca Airport, kami dapat dengan jelas melihat bentuknya. Bulat sempurna, putih kekuning-kuningan, dan bergerak makin lama makin tinggi. Sinar yang dibawanya menyapu gelap bumi di bawahnya. Semua kini jelas terlihat. Lalu lintas Bandara. Para petugas keamanan. Orang yang hilir mudik memeriksa roda pesawat, atau mengantar bagasi para penumpang.
Baru beberapa jam berlalu sejak kedatangan kami, kami sudah merasa Bahrain rumah kami. Anak-anak dengan segera menjelajah ke sana kemari. Terminal Bahrain mirip tempat sa’i. Tidak begitu besar. Para penumpang bisa berjalan-jalan dari ujung yang satu ke ujung yang lainnya. Saya kira, dari kunjungan pertama, semua sudah menemukan tempat-tempat strategis keperluannya. Ada yang hafal toilet yang relative kosong dan bersih, ada yang ingat jam-jam kosong untuk tidur di mushalla, ada yang tahu tempat internetan gratis, ada juga yang mendekam di bilik khusus “Ahlul Hisap”.
Tapi pagi hari itu, semua berkumpul bersama. Tas tentengan kabin dikumpulkan di tengah. Begitulah caranya jamaah silih berganti menjaga bila ada yang bepergian, atau sekadar meluruskan punggung di mushalla.
Matahari bergerak semakin tinggi. Perut para jamaah sudah membunyikan alarmnya. Ini waktunya makan pagi. Jamaah Umrah tidak beroleh hotel untuk menginap, tapi mereka berhasil “memaksa” maskapai penerbangan untuk memberikan voucher makanan. Limabelas orang jumlahnya. Pak Joko dan keluarga, yang datang lebih dahulu dan menunggu lebih lama, ajaibnya tak memperoleh voucher makanan itu. Ia sempat juga bertengkar begitu lama, sampai titik jenuh.
Saya juga mengusahakan voucher itu untuk jamaah ziarah. “Where did you come from?” Tanya petugas di Desk Gulf Air. “Abu Dhabi.” Ia menjawab: “No meal for Abu Dhabi.” “Tapi kami datang dari Indonesia,” tegas saya. “No meal for Abu Dhabi.” Jawab petugas itu lagi.
Walhasil, jamaah ziarah tak dapat voucher makan pagi. Di sanalah kami, di depan Gate 16, 35 peziarah dan 15 kupon makan pagi. Bagaimana hendak sarapan, bila kami tahu jamaah yang lain kelaparan? Ustad Jalal mengambil keputusan: ”Bapak dan Ibu yang umrah, mohon maaf, karena tidak semua kita mendapat jatah makanan dari Airport, kita dahulukan saja perempuan dan anak-anak.”
Semua sepakat. Saya betul-betul terharu melihat perjalanan jamaah Rindu Rasul ini. Menurut saya, persaudaraan terasa sangat erat. Saling membantu dan bahu membahu terlihat setiap saat. Bahkan, Ustad Jalal sering berkata: Rombongan kita ini mirip rombongan Imam Husain ‘alaihis sholatu wa salam.
Dalam skala yang jauuuuuuh lebih kecil. Mengutip bahasa Gus Dur: Baynas samaa`i wa sumur. Jauhnya perbandingan itu ibarat langit yang sangat tinggi, dan sumur yang sangat dalam.
Kami terhibur mendengar perumpamaan itu. Betapa tidak. Seperti Kafilah Karbala, bersama kami ada sejumlah laki-laki dan perempuan, tua dan muda, yang sudah sepuh dan anak-anak balita. Ada yang sakit di perjalanan, berjuang menghadapi serangkaian tantangan. Jumlah kami 35, Kafilah Karbala berjumlah 72. Di setiap tempat ziarah, kami ditemani satu orang penduduk lokal. Jadilah jumlah kami 36 setiap saatnya, persis setengah dari Kafilah Karbala.
Di Bahrain itu, pagi hari yang cerah. Semangat untuk berangkat ke Najaf menderu-deru dalam dada. Membakar setiap aorta. Pak Dimitri dan Nizami berolah raga. Tai Chi. Mereka master ilmu yang satu itu. Pak Joko mengomentari Tai Chi Pak Dim: Wah, ini bisa jadi ekskul di SCM. Saya menukasnya: Insya Allah Nizami bisa mengajar anak-anak. Pak Dim, sambil tetap menggerak-gerakkan tangannya berkata ke arah Ustad Jalal: Saya perlu olahraga Ustad. Kalau Miftah sudah main bola, dia bahkan bikin dua gol kemarin.
Ya, saya memang main bola dulu sehari sebelum berangkat ziarah. Nekat? Tidak juga. Itu cara saya “berpisah” dengan teman-teman. Pak Yasser yang mestinya bermain juga tidak kelihatan di lapangan waktu itu. “Takut cedera,” kata teman-teman.
Usai berolah raga, Pak Dim dan Pak Joko tampak berbincang. Rupanya mereka pesan makan pagi, untuk duapuluh porsi yang tak kebagian voucher makanan itu. Ada Costa Café di depan tempat menunggu kami. Mereka pesan continental breakfast. Di gambarnya, menu itu disajikan dengan telur orak-arik, dua potong roti, irisan smoked beef dan beberapa butir sosis panggang. Tentu dengan olesan butter yang hangat itu. Hmm, jadi lapar kan?
Tak lama kemudian, pesanan itu datang, dibungkus dalam dus kecil styrofoam yang dengan segera dibagi-bagikan oleh Pak Joko ke semua jamaah. Semua membukanya. Sejenak semua tampak bingung walaupun tak ada yang bertanya. Rupanya, dus-dus itu digabung jadi satu. Ada dus yang isinya sosis saja. Ada dus yang isinya roti saja. Satu dus lain telurnya saja. Dus dus itu pun datang satu persatu “Eeh, kok gini?” Ujar Pak Joko. Alih-alih dapat sandwich isi, kami dapat menu sebelum jadi. Rupanya, di Costa Café itu, khusus untuk jamaah Rindu Rasul, tempat itu berubah menjadi kantin Self-Service.
Maka kami menyusun sandwich kami sendiri. Alhamdulillah, sungguh nikmat yang tak terkira. Terima kasih pada Pak Joko dan Pak Dim. Meski sandwich isi itu datang bertahap: pertama rotinya, lalu isinya. Kami menikmatinya dengan lahap. Bila sandwich isi disusun di luar, sandwich kami pagi itu, kami susun di dalam perut sendiri. Sungguh, bagi perut yang lapar, sajian itu adalah harta karun tak ternilai.
Allahumma inna nusyhiduka annahu maa ashbaha bina min ni’matin wa ‘aafiyah fii diinin aw dunya, fa minka wahdaka laa syarika laka. Lakal hamdu wa lakas syukr, bihaa ‘alayya hatta tardha wa ba’dar ridha…