Bahrain adalah pulau kecil, jauh lebih kecil dari Madura. Dahulu, ia adalah tempat persembunyian para bajak laut Teluk Persia. Kini, ia adalah sekutu Saudi dan negara tempat berlibur para bangsawannya.
Awalnya, Bahrain tidak termasuk dalam rencana perjalanan kami. Qatar adalah tujuan semula dan tempat transit umrah dan ziarah kali ini. Karena Bandara Najaf ditutup dan visa Umrah sudah hampir habis masa berlakunya, Ustad Jalal memutuskan untuk berangkat melalui Abu Dhabi dan singgah di Bahrain. Maka jadilah Bahrain, “rumah kedua” kami dalam perjalanan itu.
****
Awalnya, Bahrain tidak termasuk dalam rencana perjalanan kami. Qatar adalah tujuan semula dan tempat transit umrah dan ziarah kali ini. Karena Bandara Najaf ditutup dan visa Umrah sudah hampir habis masa berlakunya, Ustad Jalal memutuskan untuk berangkat melalui Abu Dhabi dan singgah di Bahrain. Maka jadilah Bahrain, “rumah kedua” kami dalam perjalanan itu.
****
Sesuai jadwal, limabelas jamaah umrah berangkat lebih dahulu, 7 Mei 2010. Saya kebagian memandu shalat safar dan doa di markas besar kami, Koffielo, Jalan Anggrek 36, Bandung. Rombongan Balikpapan dan Ustad Jalal sudah mengatur untuk bertemu di Jakarta. Berangkatlah limabelas orang yang pertama. Seminggu kemudian, 17 peziarah menyusul mereka, dan sepakat untuk bertemu di Bahrain. Pak Joko, Ibu, dan Fawzan sudah berangkat tiga hari sebelumnya ke Dubai. Dari sana, mereka akan bertolak ke Bahrain. Dua rombongan, tiga keberangkatan, satu tujuan.
Ketika jadwal penerbangan dan rutenya itu berubah, saya sempat berseloroh dengan mengatakan, “Tuhan memilih Bahrain menjadi tempat pertemuan kita. Majma’ul Bahraini yaltaqiyaan. Inilah tempat bertemunya dua lautan.” Kalimat yang tertulis miring itu adalah ayat Al-Qur’an yang bercerita tentang tempat bertemunya dua lautan, tempat pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir, ‘alaihima assalaam. Tempat di mana banyak peristiwa terjadi yang tak mampu dijelaskan oleh akal biasa. Hanya kesabaran yang akan menuntun pada rahasia dan hikmah besarnya.
Persis seperti yang kami alami di Bahrain.
Dalam ittinerrary perjalanan, Pak Joko dan keluarga akan sampai di Bahrain lebih dahulu. Duapuluh jam sebelum jadwal keberangkatan berikutnya. Ustad Jalal dan jamaah umrah akan sampai tiga jam kemudian. Karena menunggu selama itu, pihak Gulf Air, maskapai penerbangan resmi Kerajaan Bahrain, menyediakan hotel untuk beristirahat bagi mereka. Adapun jamaah ziarah yang akan sampai tujuh jam sebelum keberangkatan, tak dapat kesempatan untuk menjejakkan kaki di tanah Bahrain. Begitulah rencana semula. Tapi yang terjadi tak sesuai dengan yang diduga.
Ketika jamaah ziarah sampai di Bahrain, jam 03.00 pagi, bandara begitu lengang. Kami melewati desk Gulf Air. Pemisah antrian dipasang tak beraturan. Tak ada jalan masuk ke situ. Kami kebingungan. Seorang petugas kebersihan menunjukkan jalan yang harus kami tuju. Kami pun melaju. Di transfer desk, seseorang berdiri mematung. Tangannya ia masukkan ke saku. Rambutnya rapi disisir. Jas birunya yang terang agak kontras dengan suasana bandara. “Where to?” sapanya hangat. “Najaf.” Jawab saya mantap. Semangat untuk sampai ke Najaf dan Karbala memberi tambahan kekuatan baru. Orang dengan jas biru terang itu lalu beranjak ke balik meja. Ia minta e-ticket kami. Ia mainkan jarinya di keyboard komputernya. Tak lama kemudian ia berkata, “Second floor, gate 16.” Dan ia serahkan seluruh boarding pass untuk keberangkatan berikutnya.
Maka anak-anak kecil pun berlarian meniti tangga berukuran dua meter menuju lantai kedua. Kami tidak tahu, kalau disediakan juga lift di samping tangga untuk menuju tempat yang sama. Sampailah kami di lantai dua. Rupanya itu ruang tunggu yang penuh dengan toko bebas bea. Waktu itu kami belum sepenuhnya menyadari, bahwa kelak lorong itu, kelak toko-toko itu, kelak tempat itu, akan menjadi rumah kami yang kedua.
Di luar dugaan saya, Pak Irfan menjemput saya dengan hangat. “Lho?” Tanya saya. “Bukankah seharusnya beristirahat di hotel?” “Wah, panjang ceritanya. Long story. Sekarang ke Ustad Jalal saja dulu. Kasihan dari tadi sudah hilir mudik ingin menjemput. Sudah lama menunggu.”
Rupanya Ustad Jalal dan rombongan tak dapat keluar dari Bahrain. Ini penolakan imigrasi yang kedua bagi mereka. Di depan pintu nomor 16, tampak wajah-wajah Indonesia berbaring kelelahan. Ustad Jalal tertidur. Jamaah laki-laki plontos kepalanya. Tanda bahwa mereka usai melaksanakan umrah. Ada Pak Ali dan Pak Syauqi, ada Pak Ifransyah dan Ibu. Ibu-ibu yang lain juga tertidur. Ada Bu Dewi dari Bandung, Bu Rudi dan Bu Ali dari Balikpapan. Semua terlelap dalam tidurnya.
Di deretan tengah kursi tunggu yang panjang itu, tampak Ustad Jalal sedang terlena. Saya tekan lututnya perlahan. Beliau bangun. Matanya berbinar melihat kami. “Ah, sudah sampai? Mana si Mamah?” Senyumnya mengembang. “Dari tadi ditungguin di gerbang, tidak datang-datang juga. Baru saja tidur (dalam bahasa Sundanya: karek oge reup), eh yang ditunggu-tunggu itu malah datang.”
Saya pun bertanya, “Pak, tidak dapat hotel?” Ustad Jalal menjawab, “Tanya Pak Irfan saja ceritanya. Bapak sih masih mending. Yang lebih kasihan lagi Pak Joko. Ia pun tidak dapat hotel juga.”
Dan di sudut agak jauh, Pak Joko tertidur dalam duduknya. Lengkap dengan sweater dan sarungnya.
Jauh sebelum berangkat, ketika melihat rencana perjalanan, Ustad Jalal berkata: Kasihan ya jamaah ziarah, tidak bisa beristirahat di hotel. Kini, di Bahrain itu, Ustad Jalal merevisi pernyataannya: tadinya kami kasihan pada jamaah ziarah. Sekarang ini, justru kami yang dikasihani. Itulah Bahrain, part one.
Ketika jadwal penerbangan dan rutenya itu berubah, saya sempat berseloroh dengan mengatakan, “Tuhan memilih Bahrain menjadi tempat pertemuan kita. Majma’ul Bahraini yaltaqiyaan. Inilah tempat bertemunya dua lautan.” Kalimat yang tertulis miring itu adalah ayat Al-Qur’an yang bercerita tentang tempat bertemunya dua lautan, tempat pertemuan Nabi Musa dan Nabi Khidir, ‘alaihima assalaam. Tempat di mana banyak peristiwa terjadi yang tak mampu dijelaskan oleh akal biasa. Hanya kesabaran yang akan menuntun pada rahasia dan hikmah besarnya.
Persis seperti yang kami alami di Bahrain.
Dalam ittinerrary perjalanan, Pak Joko dan keluarga akan sampai di Bahrain lebih dahulu. Duapuluh jam sebelum jadwal keberangkatan berikutnya. Ustad Jalal dan jamaah umrah akan sampai tiga jam kemudian. Karena menunggu selama itu, pihak Gulf Air, maskapai penerbangan resmi Kerajaan Bahrain, menyediakan hotel untuk beristirahat bagi mereka. Adapun jamaah ziarah yang akan sampai tujuh jam sebelum keberangkatan, tak dapat kesempatan untuk menjejakkan kaki di tanah Bahrain. Begitulah rencana semula. Tapi yang terjadi tak sesuai dengan yang diduga.
Ketika jamaah ziarah sampai di Bahrain, jam 03.00 pagi, bandara begitu lengang. Kami melewati desk Gulf Air. Pemisah antrian dipasang tak beraturan. Tak ada jalan masuk ke situ. Kami kebingungan. Seorang petugas kebersihan menunjukkan jalan yang harus kami tuju. Kami pun melaju. Di transfer desk, seseorang berdiri mematung. Tangannya ia masukkan ke saku. Rambutnya rapi disisir. Jas birunya yang terang agak kontras dengan suasana bandara. “Where to?” sapanya hangat. “Najaf.” Jawab saya mantap. Semangat untuk sampai ke Najaf dan Karbala memberi tambahan kekuatan baru. Orang dengan jas biru terang itu lalu beranjak ke balik meja. Ia minta e-ticket kami. Ia mainkan jarinya di keyboard komputernya. Tak lama kemudian ia berkata, “Second floor, gate 16.” Dan ia serahkan seluruh boarding pass untuk keberangkatan berikutnya.
Maka anak-anak kecil pun berlarian meniti tangga berukuran dua meter menuju lantai kedua. Kami tidak tahu, kalau disediakan juga lift di samping tangga untuk menuju tempat yang sama. Sampailah kami di lantai dua. Rupanya itu ruang tunggu yang penuh dengan toko bebas bea. Waktu itu kami belum sepenuhnya menyadari, bahwa kelak lorong itu, kelak toko-toko itu, kelak tempat itu, akan menjadi rumah kami yang kedua.
Di luar dugaan saya, Pak Irfan menjemput saya dengan hangat. “Lho?” Tanya saya. “Bukankah seharusnya beristirahat di hotel?” “Wah, panjang ceritanya. Long story. Sekarang ke Ustad Jalal saja dulu. Kasihan dari tadi sudah hilir mudik ingin menjemput. Sudah lama menunggu.”
Rupanya Ustad Jalal dan rombongan tak dapat keluar dari Bahrain. Ini penolakan imigrasi yang kedua bagi mereka. Di depan pintu nomor 16, tampak wajah-wajah Indonesia berbaring kelelahan. Ustad Jalal tertidur. Jamaah laki-laki plontos kepalanya. Tanda bahwa mereka usai melaksanakan umrah. Ada Pak Ali dan Pak Syauqi, ada Pak Ifransyah dan Ibu. Ibu-ibu yang lain juga tertidur. Ada Bu Dewi dari Bandung, Bu Rudi dan Bu Ali dari Balikpapan. Semua terlelap dalam tidurnya.
Di deretan tengah kursi tunggu yang panjang itu, tampak Ustad Jalal sedang terlena. Saya tekan lututnya perlahan. Beliau bangun. Matanya berbinar melihat kami. “Ah, sudah sampai? Mana si Mamah?” Senyumnya mengembang. “Dari tadi ditungguin di gerbang, tidak datang-datang juga. Baru saja tidur (dalam bahasa Sundanya: karek oge reup), eh yang ditunggu-tunggu itu malah datang.”
Saya pun bertanya, “Pak, tidak dapat hotel?” Ustad Jalal menjawab, “Tanya Pak Irfan saja ceritanya. Bapak sih masih mending. Yang lebih kasihan lagi Pak Joko. Ia pun tidak dapat hotel juga.”
Dan di sudut agak jauh, Pak Joko tertidur dalam duduknya. Lengkap dengan sweater dan sarungnya.
Jauh sebelum berangkat, ketika melihat rencana perjalanan, Ustad Jalal berkata: Kasihan ya jamaah ziarah, tidak bisa beristirahat di hotel. Kini, di Bahrain itu, Ustad Jalal merevisi pernyataannya: tadinya kami kasihan pada jamaah ziarah. Sekarang ini, justru kami yang dikasihani. Itulah Bahrain, part one.