Kamis 26 Nopember lalu, Komunitas Islam Madani bekerja sama dengan PP IJABI membuka Kajian Islam Madani edisi pertama di Aula Gedung Serbaguna Komplek Rumah Jabatan DPR RI, Kalibata, Jakarta. Hadir sebagai pembicara Dr Zuhairi Misrawi, Ketua Moderate Muslim Society (MMS) dan KH Dr Jalaluddin Rakhmat MSc, Ketua Dewan Syura PP IJABI yang juga Anggota DPR RI. (majulah-IJABI)
Tak ada yang paling mengkhawatirkan kehidupan keagamaan dan kebangsaan kita saat ini selain makin maraknya paham intoleransi yang mengusung ideologi kekerasan. Paham intoleransi itu berpotensi memecah belah umat beragama dan bangsa kita, bahkan mengancam keutuhan NKRI. Kelompok pengusung ideologi kekerasan yang intoleran sebenarnya hanya kelompok kecil namun terlihat besar karena terdengar ‘ribut’. Hal itu disampaikan Syamsuddin Baharuddin, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesia (PP IJABI) saat membuka Kajian Islam Madani edisi Perdana tadi malam, Kamis (26/11) di Aula Gedung Serbaguna Komplek Rumah Jabatan DPR RI, Kalibata, Jakarta. Hadir sebagai pembicara Dr Zuhairi Misrawi, Ketua Moderate Muslim Society (MMS) dan KH Dr Jalaluddin Rakhmat MSc, Ketua Dewan Syura PP IJABI yang juga Anggota DPR RI.
Zuhairi Misrawi yang tampil sebagai pembicara pertama menyampaikan makalah tentang “Dari Pribumisasi Islam ke Islam Nusantara”. Menurut Zuhairi, saat ini kita tengah menghadapi bahaya infiltrasi paham-paham keIslaman transnasional dalam gerakan keagamaan di tanah air. “Fenomena Arabisasi yang menguat dalam kehidupan beragama dan berbangsa, dan formalisasi syariat dalam kebijakan publik, khususnya peraturan pemerintah daerah, secara sosiologis dipandang Gus Dur sebagai gejala ketidakpercayaan diri kalangan muslim dalam menghadapi penetrasi budaya Barat akibat proyek besar globalisasi. Karena itulah, Gus Dur memperkenal pendekatan “Pribumisasi Islam” menjadi salah satu alternatif untuk mempertahankan khazanah Islam Nusantara dari gempuran globalisasi di satu sisi dan Arabisasi di sisi lain”, ujarnya. Islam mesti diletakkan dalam konteks kebudayaan masyarakat. Islam dan kebudayaan hendaknya melakukan adaptasi dan akulturasi di antara keduanya tanpa kehilangan identitas masing-masing.
Lebih lanjut Zuhairi menjelaskan karakteristik Islam Nusantara, mengutip Said Aqil Siradj: Pertama, semangat keagamaan (al-ruh al-diniyyah). Semangat keagamaan yang dimaksudkan bukan untuk mengedepankan formalisasi agama. “Ini yang dimaksud Kang Jalal dengan konsep Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh”, ujarnya.
Karakteristik kedua, semangat kebangsaan (al-ruh al-wathaniyyah). Semangat ini diwujudkan dengan menegaskan Pancasila sebagai dasar negara sudah bersifat final. Ketiga, semangat kebhinnekaan (al-ruh al-ta’addudiyyah). Tuhan sudah memilih untuk menciptakan makhluk-Nya beragam agar diantara mereka saling mengenali, menghormati, serta merayakan kebhinnekaan. Keempat, semangat kemanusiaan (al-ruh al-insaniyyah). Islam pada hakikatnya adalah agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan.
Saat ini, secara paradigmatik, Islam Nusantara menghadapi tantangan serius karena menguatnya “kecenderungan mengafirkan/menyesatkan”. Tradisi mengafirkan pada hakikatnya merupakan karakter kalangan wahabi. Tetapi muncul kecenderungan yang kuat untuk mengafirkan kelompok-kelompok minoritas di dalam kelompok muslim.
Zuhairi juga menyampaikan catatan kritis bahwa secara politik, Islam Nusantara belum mempunyai basis yang kuat karena gagasan Islam Nusantara belum mewarnai kebijakan politik, terutama terkait dengan kebebasan beribadah dan pentingnya menjaga kebhinnekaan.
Pada bagian akhir pemaparannya, Zuhairi merekomendasikan perlunya mengembangkan paham keIslaman yang senantiasa mendialogkan antara teks dengan konteks, yang mendorong terwujudnya kemaslahatan publik, yang mendorong kesadaran kewarganegaraan dan mutikulturalisme serta memberikan ruang dan peran bagi kalangan perempuan.
Kang Jalal –sapaan akrab Dr Jalaluddin Rakhmat- menyampaikan pemikirannya tentang Islam sebagai Agama Madani pada kesempatan kedua. Kang Jalal mengawalinya dengan menjelaskan tentang ISIS dan sejarah paham Wahabi yang melahirkan ISIS, yang oleh Karen Armstrong disebut sebagai “the main source of global terrorism”. Paham keagamaan yang cenderung intoleran bukan saja membahayakan persatuan umat, bahkan juga mengancam keutuhan bangsa. “Kita membutuhkan paradigma baru tentang keislaman yang mengakomodir kesetiaan kepada bangsa dan negara”, ujarnya. Pemikiran seperti itu dibutuhkan untuk mengatasi kesetiaan ganda yang bersifat dikotomis, saling menegasikan antara negara dan agama.
Diinspirasi oleh konsep agama madani dari Jean-Jacques Rousseau, Kang Jalal menjelaskan tipologi Islam dalam 3 pembagian, yaitu Islam Fikih, Islam Siyasi dan Islam Madani. “Pembagian tersebut sebenarnya berdasarkan pengalaman perjalanan keberislaman saya”, katanya.
Islam Fikih ditandai dengan pandangan keislaman yang bersifat sektarian, baik secara internal maupun eksternal. “Ia menganggap hanya orang yang semazhab dengannya yang selamat dan masuk surga. Lebih fokus pada ritus-ritus keagamaan yang bersifat simbolik legalistik sesuai dengan fikih mazhabnya, dan mendukung bentuk negara apapun. Islam fikih tidak mempersoalkan bentuk negara (apolitis) sepanjang tetap diberi kebebasan menjalankan fikih yang diyakini”, jelas Kang Jalal.
Pada Islam Siyasi, seorang Muslim bersikap pluralis secara internal namun sektarian secara eksternal. “Ia menganggap selain Muslim masuk neraka”, kata Kang Jalal. Fokus utamanya adalah penegakan syariat Islam atau bahkan mendirikan negara Islam. Karena itu ukuran moralnya adalah nilai kekuasaan, dan isu utama yang diusung adalah kepentingan jihad. Dalam orientasi keberagamaan, Islam Siyasi bersifat ekstrinsik dan menjadikan agama semata sebagai instrumen politik. “Secara politik, Islam Siyasi mendukung transnational atau multinational state, dengan tujuan akhir mendirikan daulah atau khilafah Islamiyah”, ujar Kang Jalal.
Kang Jalal memperkenalkan pendekatan paradigma baru yang menempatkan Islam sebagai agama madani. Ia menyebutnya Islam Madani. Dalam konsep Islam Madani, seorang Muslim bersikap pluralis dan inklusif. “Semua orang masuk surga, sepanjang ia beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir, dan mengerjakan amal saleh. Karena itu, fokusnya pada kemanusiaan, nilai-nilai universal dan menjadikanglobal ethics sebagai ukuran moral”, pungkas Kang Jalal.
Islam Madani mendukung nation state. Cita-cita Islam Madani, sesungguhnya sederhana saja. Agar semua orang merasa bahwa mencintai negara adalah bagian dari iman. Karena itu, musuh Islam Madani adalah penindasan, setiap bentuk kezaliman, segala hal yang menyebabkan negara gagal menjalankan fungsi utamanya.
Di Indonesia, Islam Nusantara dan Islam Madani memegang satu komitmen: Pancasila adalah final! (basma)
Zuhairi Misrawi yang tampil sebagai pembicara pertama menyampaikan makalah tentang “Dari Pribumisasi Islam ke Islam Nusantara”. Menurut Zuhairi, saat ini kita tengah menghadapi bahaya infiltrasi paham-paham keIslaman transnasional dalam gerakan keagamaan di tanah air. “Fenomena Arabisasi yang menguat dalam kehidupan beragama dan berbangsa, dan formalisasi syariat dalam kebijakan publik, khususnya peraturan pemerintah daerah, secara sosiologis dipandang Gus Dur sebagai gejala ketidakpercayaan diri kalangan muslim dalam menghadapi penetrasi budaya Barat akibat proyek besar globalisasi. Karena itulah, Gus Dur memperkenal pendekatan “Pribumisasi Islam” menjadi salah satu alternatif untuk mempertahankan khazanah Islam Nusantara dari gempuran globalisasi di satu sisi dan Arabisasi di sisi lain”, ujarnya. Islam mesti diletakkan dalam konteks kebudayaan masyarakat. Islam dan kebudayaan hendaknya melakukan adaptasi dan akulturasi di antara keduanya tanpa kehilangan identitas masing-masing.
Lebih lanjut Zuhairi menjelaskan karakteristik Islam Nusantara, mengutip Said Aqil Siradj: Pertama, semangat keagamaan (al-ruh al-diniyyah). Semangat keagamaan yang dimaksudkan bukan untuk mengedepankan formalisasi agama. “Ini yang dimaksud Kang Jalal dengan konsep Dahulukan Akhlak di Atas Fiqh”, ujarnya.
Karakteristik kedua, semangat kebangsaan (al-ruh al-wathaniyyah). Semangat ini diwujudkan dengan menegaskan Pancasila sebagai dasar negara sudah bersifat final. Ketiga, semangat kebhinnekaan (al-ruh al-ta’addudiyyah). Tuhan sudah memilih untuk menciptakan makhluk-Nya beragam agar diantara mereka saling mengenali, menghormati, serta merayakan kebhinnekaan. Keempat, semangat kemanusiaan (al-ruh al-insaniyyah). Islam pada hakikatnya adalah agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan.
Saat ini, secara paradigmatik, Islam Nusantara menghadapi tantangan serius karena menguatnya “kecenderungan mengafirkan/menyesatkan”. Tradisi mengafirkan pada hakikatnya merupakan karakter kalangan wahabi. Tetapi muncul kecenderungan yang kuat untuk mengafirkan kelompok-kelompok minoritas di dalam kelompok muslim.
Zuhairi juga menyampaikan catatan kritis bahwa secara politik, Islam Nusantara belum mempunyai basis yang kuat karena gagasan Islam Nusantara belum mewarnai kebijakan politik, terutama terkait dengan kebebasan beribadah dan pentingnya menjaga kebhinnekaan.
Pada bagian akhir pemaparannya, Zuhairi merekomendasikan perlunya mengembangkan paham keIslaman yang senantiasa mendialogkan antara teks dengan konteks, yang mendorong terwujudnya kemaslahatan publik, yang mendorong kesadaran kewarganegaraan dan mutikulturalisme serta memberikan ruang dan peran bagi kalangan perempuan.
Kang Jalal –sapaan akrab Dr Jalaluddin Rakhmat- menyampaikan pemikirannya tentang Islam sebagai Agama Madani pada kesempatan kedua. Kang Jalal mengawalinya dengan menjelaskan tentang ISIS dan sejarah paham Wahabi yang melahirkan ISIS, yang oleh Karen Armstrong disebut sebagai “the main source of global terrorism”. Paham keagamaan yang cenderung intoleran bukan saja membahayakan persatuan umat, bahkan juga mengancam keutuhan bangsa. “Kita membutuhkan paradigma baru tentang keislaman yang mengakomodir kesetiaan kepada bangsa dan negara”, ujarnya. Pemikiran seperti itu dibutuhkan untuk mengatasi kesetiaan ganda yang bersifat dikotomis, saling menegasikan antara negara dan agama.
Diinspirasi oleh konsep agama madani dari Jean-Jacques Rousseau, Kang Jalal menjelaskan tipologi Islam dalam 3 pembagian, yaitu Islam Fikih, Islam Siyasi dan Islam Madani. “Pembagian tersebut sebenarnya berdasarkan pengalaman perjalanan keberislaman saya”, katanya.
Islam Fikih ditandai dengan pandangan keislaman yang bersifat sektarian, baik secara internal maupun eksternal. “Ia menganggap hanya orang yang semazhab dengannya yang selamat dan masuk surga. Lebih fokus pada ritus-ritus keagamaan yang bersifat simbolik legalistik sesuai dengan fikih mazhabnya, dan mendukung bentuk negara apapun. Islam fikih tidak mempersoalkan bentuk negara (apolitis) sepanjang tetap diberi kebebasan menjalankan fikih yang diyakini”, jelas Kang Jalal.
Pada Islam Siyasi, seorang Muslim bersikap pluralis secara internal namun sektarian secara eksternal. “Ia menganggap selain Muslim masuk neraka”, kata Kang Jalal. Fokus utamanya adalah penegakan syariat Islam atau bahkan mendirikan negara Islam. Karena itu ukuran moralnya adalah nilai kekuasaan, dan isu utama yang diusung adalah kepentingan jihad. Dalam orientasi keberagamaan, Islam Siyasi bersifat ekstrinsik dan menjadikan agama semata sebagai instrumen politik. “Secara politik, Islam Siyasi mendukung transnational atau multinational state, dengan tujuan akhir mendirikan daulah atau khilafah Islamiyah”, ujar Kang Jalal.
Kang Jalal memperkenalkan pendekatan paradigma baru yang menempatkan Islam sebagai agama madani. Ia menyebutnya Islam Madani. Dalam konsep Islam Madani, seorang Muslim bersikap pluralis dan inklusif. “Semua orang masuk surga, sepanjang ia beriman kepada Tuhan dan Hari Akhir, dan mengerjakan amal saleh. Karena itu, fokusnya pada kemanusiaan, nilai-nilai universal dan menjadikanglobal ethics sebagai ukuran moral”, pungkas Kang Jalal.
Islam Madani mendukung nation state. Cita-cita Islam Madani, sesungguhnya sederhana saja. Agar semua orang merasa bahwa mencintai negara adalah bagian dari iman. Karena itu, musuh Islam Madani adalah penindasan, setiap bentuk kezaliman, segala hal yang menyebabkan negara gagal menjalankan fungsi utamanya.
Di Indonesia, Islam Nusantara dan Islam Madani memegang satu komitmen: Pancasila adalah final! (basma)