Siaran Pers PP IJABI, 10 Muharram 1436H
Memperingati duka pembantaian cucu kinasih Rasulullah Saw, Sayyidina Husain bin Ali di padang Karbala di hari Asyura, IJABI melaksanakan peringatan dan majelis duka di berbagai kota di Indonesia pada tanggal 10-11 Muharram tahun ini. Berikut adalah siaran pers PP IJABI dalam peringatan hari-hari duka tersebut.
Memperingati duka pembantaian cucu kinasih Rasulullah Saw, Sayyidina Husain bin Ali di padang Karbala di hari Asyura, IJABI melaksanakan peringatan dan majelis duka di berbagai kota di Indonesia pada tanggal 10-11 Muharram tahun ini. Berikut adalah siaran pers PP IJABI dalam peringatan hari-hari duka tersebut.
Bismillaahirrahmaanirrahim
Allahumma shalli 'ala Muhammad wa Aali Muhammad
Asyura adalah gerak perubahan. Perubahan meniscayakan kemauan yang besar, kegigihan, dan kerelaan untuk berkorban. Perubahan juga memerlukan teladan suci. Bangsa yang besar bukan saja bangsa yang menghargai para pahlawannya, tapi juga bangsa yang mengenang dan meneruskan perjuangan mereka.
Sayyidina Al-Husain bin Ali adalah cucu Rasulullah Saw. Pahlawan dan teladan besar dalam Islam. Ia tumbuh besar dalam didikan Nabi Saw. Ia berjuang demi agama Islam bersama ayahnya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Dan, setelah ayahnya syahid ia mengikuti jejak saudaranya Sayyidina Hasan bin Ali.
Pada masa Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain, pendulum umat bergerak ke arah titik nadir, ke arah jurang yang akan dapat menenggelamkan mereka. Perilaku haus kuasa dari sekelompok elit telah membawa pada tindak kesewenangan dan laku ketidakadilan.
Pada tahun 61 H. Hanya 50 tahun pasca wafat Sang Pendiri Islam, agama Islam tinggal namanya saja. Umat dianiaya. Agama hanya wacana. Dan nilai-nilai diputarbalikkan maknanya.
Al-Husain tidak tinggal diam. Sebagai pemimpin umat, sebagai keturunan keluarga pembawa risalat, ia berjuang mengingatkan, menegakkan yang benar, amar makruf dan berusaha agar umat terjauh dari kemungkaran.
Perjuangannya menyelamatkan umat harus dihentikan oleh pasukan kekuasaan. Di Padang Karbala, Irak, ia bersama sekelompok sahabat yang setia, bersama seluruh keluarganya, bahkan bayi yang masih belia, dihadang ribuan pasukan musuh. Keluarga suci Rasulullah itu menghadapi perang yang tak sebanding dalam jumlah. Mereka gugur. Kepala mereka disembelih. Dan pasukan musuh menancapkan kepala mereka di atas tombak-tombak, dan mengarak mereka ratusan kilometer jauhnya, sejak dari istana Ibnu Ziyad di Kufah hingga istana Yazid bin Mu'awiyyah di Damaskus, Suriah. Di belakang arakan kepala itu, keluarga yang tersisa menyaksikan, menyisakan kisah sejarah untuk yang datang kemudian.
Kata Sören Kierkegaard, ''Seorang tiran mati dan kekuasaannya berakhir. Seorang martir gugur, dan kisahnya baru dimulai.'' Begitulah yang terjadi pada Al-Husain cucu Nabi Saw. Sejak itu, kaum Muslimin dengan setia memperingati peristiwa ini dan berusaha mengambil hikmah dan teladannya. Di berbagai belahan bumi, dan bahkan di Indonesia, tragedi 10 Muharram, tarikh terjadinya peristiwa ini menjadi dasar dari tradisi tabuik di Bengkulu dan Sumatera Barat ketika dilakukan arak-arakan yang melambangkan musibah besar itu. Di Jawa, Asyuro (artinya hari kesepuluh) sebagaimana ia biasa disebut menjadi awal dari penanggalan tahun baru, bulan Suro. Bulan yang dinamai dari peristiwa yang sama. Konon, dipercayai tak baik mengadakan syukuran dan hajatan besar-besaran pada bulan itu. Mengapa? Karena mereka ikut bersedih dengan duka cita umat, dengan kesedihan Rasulullah Saw.
Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) berusaha mempertahankan nilai-nilai perjuangan Sayidina Husain itu. IJABI percaya bahwa keteladanan Sayyidina Husain dan keluarga serta sahabatnya adalah pendorong dari sebuah revolusi mental yang sesungguhnya. Setiap serpihan kisah Asyura menyajikan pelajaran menegakkan keadilan yang sebenarnya. Melalui teladan Asyura, umat ingin belajar memperjuangkan keadilan insani.
Di berbagai tempat diselenggarakan peringatan Asyura. Umat Islam pecinta Keluarga Nabi dari berbagai kota menghadiri acara tahunan yang sudah digelar di Indonesia sejak akhir tahun 1980-an. Setiap tahun, peringatan Asyura berjalan lancar tanpa gangguan, kecuali sejak marak politik Timur Tengah yang menghembuskan ruang aksi kekerasan di kawasan sampai juga imbasnya di negeri ini. Bangsa yang tenang, rukun, dan toleran terhadap perbedaan diwarnai aksi penolakan terhadap pendapat yang tak sepemahaman. Sejak dua tahun terakhir, muncul berbagai demo dan aksi penentangan terhadap peringatan Asyura ini di berbagai tempat. Perjuangan menegakkan keadilan memang tak mudah, dan ia dimulai dengan mematrikannya melalui peringatan-peringatan seperti ini.
Semoga dengan meneladani para teladan dan pahlawan umat, perubahan ke arah yang lebih baik menjadi harapan dan cita-cita negeri ini. (*)
Bandung, 10 Muharram 1436 H/3 November 2014
Pengurus Pusat
Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesi (PP IJABI)
ttd
KH DR Jalaluddin Rakhmat MSc
Ketua Dewan Syura
ttd
Syamsuddin Baharuddin
Ketua Umum Tanfidziyah
Allahumma shalli 'ala Muhammad wa Aali Muhammad
Asyura adalah gerak perubahan. Perubahan meniscayakan kemauan yang besar, kegigihan, dan kerelaan untuk berkorban. Perubahan juga memerlukan teladan suci. Bangsa yang besar bukan saja bangsa yang menghargai para pahlawannya, tapi juga bangsa yang mengenang dan meneruskan perjuangan mereka.
Sayyidina Al-Husain bin Ali adalah cucu Rasulullah Saw. Pahlawan dan teladan besar dalam Islam. Ia tumbuh besar dalam didikan Nabi Saw. Ia berjuang demi agama Islam bersama ayahnya, Sayyidina Ali bin Abi Thalib. Dan, setelah ayahnya syahid ia mengikuti jejak saudaranya Sayyidina Hasan bin Ali.
Pada masa Sayyidina Hasan dan Sayyidina Husain, pendulum umat bergerak ke arah titik nadir, ke arah jurang yang akan dapat menenggelamkan mereka. Perilaku haus kuasa dari sekelompok elit telah membawa pada tindak kesewenangan dan laku ketidakadilan.
Pada tahun 61 H. Hanya 50 tahun pasca wafat Sang Pendiri Islam, agama Islam tinggal namanya saja. Umat dianiaya. Agama hanya wacana. Dan nilai-nilai diputarbalikkan maknanya.
Al-Husain tidak tinggal diam. Sebagai pemimpin umat, sebagai keturunan keluarga pembawa risalat, ia berjuang mengingatkan, menegakkan yang benar, amar makruf dan berusaha agar umat terjauh dari kemungkaran.
Perjuangannya menyelamatkan umat harus dihentikan oleh pasukan kekuasaan. Di Padang Karbala, Irak, ia bersama sekelompok sahabat yang setia, bersama seluruh keluarganya, bahkan bayi yang masih belia, dihadang ribuan pasukan musuh. Keluarga suci Rasulullah itu menghadapi perang yang tak sebanding dalam jumlah. Mereka gugur. Kepala mereka disembelih. Dan pasukan musuh menancapkan kepala mereka di atas tombak-tombak, dan mengarak mereka ratusan kilometer jauhnya, sejak dari istana Ibnu Ziyad di Kufah hingga istana Yazid bin Mu'awiyyah di Damaskus, Suriah. Di belakang arakan kepala itu, keluarga yang tersisa menyaksikan, menyisakan kisah sejarah untuk yang datang kemudian.
Kata Sören Kierkegaard, ''Seorang tiran mati dan kekuasaannya berakhir. Seorang martir gugur, dan kisahnya baru dimulai.'' Begitulah yang terjadi pada Al-Husain cucu Nabi Saw. Sejak itu, kaum Muslimin dengan setia memperingati peristiwa ini dan berusaha mengambil hikmah dan teladannya. Di berbagai belahan bumi, dan bahkan di Indonesia, tragedi 10 Muharram, tarikh terjadinya peristiwa ini menjadi dasar dari tradisi tabuik di Bengkulu dan Sumatera Barat ketika dilakukan arak-arakan yang melambangkan musibah besar itu. Di Jawa, Asyuro (artinya hari kesepuluh) sebagaimana ia biasa disebut menjadi awal dari penanggalan tahun baru, bulan Suro. Bulan yang dinamai dari peristiwa yang sama. Konon, dipercayai tak baik mengadakan syukuran dan hajatan besar-besaran pada bulan itu. Mengapa? Karena mereka ikut bersedih dengan duka cita umat, dengan kesedihan Rasulullah Saw.
Ikatan Jamaah Ahlul Bait Indonesia (IJABI) berusaha mempertahankan nilai-nilai perjuangan Sayidina Husain itu. IJABI percaya bahwa keteladanan Sayyidina Husain dan keluarga serta sahabatnya adalah pendorong dari sebuah revolusi mental yang sesungguhnya. Setiap serpihan kisah Asyura menyajikan pelajaran menegakkan keadilan yang sebenarnya. Melalui teladan Asyura, umat ingin belajar memperjuangkan keadilan insani.
Di berbagai tempat diselenggarakan peringatan Asyura. Umat Islam pecinta Keluarga Nabi dari berbagai kota menghadiri acara tahunan yang sudah digelar di Indonesia sejak akhir tahun 1980-an. Setiap tahun, peringatan Asyura berjalan lancar tanpa gangguan, kecuali sejak marak politik Timur Tengah yang menghembuskan ruang aksi kekerasan di kawasan sampai juga imbasnya di negeri ini. Bangsa yang tenang, rukun, dan toleran terhadap perbedaan diwarnai aksi penolakan terhadap pendapat yang tak sepemahaman. Sejak dua tahun terakhir, muncul berbagai demo dan aksi penentangan terhadap peringatan Asyura ini di berbagai tempat. Perjuangan menegakkan keadilan memang tak mudah, dan ia dimulai dengan mematrikannya melalui peringatan-peringatan seperti ini.
Semoga dengan meneladani para teladan dan pahlawan umat, perubahan ke arah yang lebih baik menjadi harapan dan cita-cita negeri ini. (*)
Bandung, 10 Muharram 1436 H/3 November 2014
Pengurus Pusat
Ikatan Jamaah Ahlulbait Indonesi (PP IJABI)
ttd
KH DR Jalaluddin Rakhmat MSc
Ketua Dewan Syura
ttd
Syamsuddin Baharuddin
Ketua Umum Tanfidziyah