Akbar Hamdan
Cuti 2010 lalu saya habiskan di Kendari, Sulawesi Tenggara. Saya mendapati bahan Asyura yang menurut saya cukup unik dari etnis Wolio, Baubau. Berbeda dengan peringatan Asyura yang umumnya berupa majelis duka untuk Imam Husain as yang rutin kita lakukan setiap 10 Muharram, Asyura di Baubau, Sulawesi Tenggara, dijadikan hari yang disebut Pakandeana Ana-Ana Maelu. Hari menyantuni anak-anak yatim.
Cuti 2010 lalu saya habiskan di Kendari, Sulawesi Tenggara. Saya mendapati bahan Asyura yang menurut saya cukup unik dari etnis Wolio, Baubau. Berbeda dengan peringatan Asyura yang umumnya berupa majelis duka untuk Imam Husain as yang rutin kita lakukan setiap 10 Muharram, Asyura di Baubau, Sulawesi Tenggara, dijadikan hari yang disebut Pakandeana Ana-Ana Maelu. Hari menyantuni anak-anak yatim.
Nampaknya, Pakandeana Ana-Ana Maelu menitikberatkan peringatannya pada keyatiman putra-putri Imam Husain as, khususnya Imam Ali Zaenal Abidin as. Entah mengapa bukan Imam Husain as yang menjadi tokoh sentral. Dari keterangan yang saya peroleh, Imam Ali Zaenal Abidin as memang lebih dikenal oleh para tokoh muslim Wolio dibandingkan sang ayah, Al Husain as. Maqam beliau teramat tinggi dalam hierarki tasawuf atau pun mistisisme di Buton. Barangkali karena itulah, Asyura lebih dipahami sebagai hari keyatiman sang Imam. Atas dasar itu pula, maka dibuatlah acara menyantuni anak-anak yatim sebagai tanda simpati atas yatimnya sang Imam setelah tragedi Karbala.
Pakandeana Ana-Ana Maelu masih dilestarikan oleh beberapa tokoh masyarakat hingga kini. Tradisi yang digelar mulai awal Muharram ini dipercaya sudah ada sejak masa Kesultanan Butuni (Buton) pertama, Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul yang memerintah pada tahun 1542-1568 Masehi. Oleh karena acara menyantuni anak-anak yatim, maka acara pun dibuat untuk membahagiakan para yatim. Majelis duka atau ratapan atas tragedi yang menimpa Ahlulbait Rasul saw, tak akan ditemukan sepanjang prosesi Pakandeana Ana-Ana Maelu.
Hanya kalangan mapan yang bisa menggelar upacara ini. Pakandeana Ana-Ana Maelu memang menghabiskan anggaran yang sangat besar. Bahkan konon, lebih besar dari acara kawinan sekali pun. Begitu banyak pekerja yang dilibatkan. Prosesinya pun bisa berlangsung selama berhari-hari.
Penyelenggara Pakandeana Ana-ana Maelu disebut Punna Gau. Sepintas mirip-mirip bahasa Makassar yang berarti Si Pemilik Hajatan. Prosesinya dimulai sepekan atau beberapa hari sebelum 10 Muharram, Punna Gau akan mengutus dua orang perempuan untuk mencari anak-anak yatim di lingkungan keluarga, kerabat maupun tetangga. Jumlah anak yatim yang dicari biasanya sebanyak 40 anak. Jika telah menemukan anak yatim dan memberitahukan perihal acara tersebut, maka utusan akan kembali pada kunjungan kedua untuk memastikan keikutsertaan si yatim.
Sementara itu, para pekerja di rumah Punna Gau sudah mulai sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang ditugaskan mengolah makanan. Ada yang membuatkan baju-baju indah untuk anak yatim. Ada juga yang merias panggung acara. Panganan yang disiapkan terdiri dari jamuan utama (Antona Tala), kue hingga cemilan. Semuanya berjumlah 25 jenis makanan. Seluruh makanan dibuat secara tradisional. Ke-25 jenis makanan ini antara lain Loka yi Hole (pisang goreng), Waji (nasi manis), Ngkaowi-owi yi hole (ubi jalar goreng), Cirikaeana Ontolu (kue telur santan), Lapa (buras), Katupa (Ketupat), Kinande yi nosu (nasi telur goreng) dan Kandesaka (beragam jenis lauk-pauk). Ada juga kue yang terbuat dari terigu seperti Ondeonde, Epuepu, Baruasa, Palu dan Kalo-kalo.
Pakaian untuk anak yatim juga terdiri dari 25 bahan. Sayangnya, saya tidak mendapatkan referensi yang bisa merinci ke-25 bahan tersebut. Yang pasti, ada kainnya dan ada kancingnya. Pakaian tersebut tidak saja berupa baju dan celana. Tetapi juga dilengkapi dengan mukenah serta tas beserta segala pernak-perniknya.
Menjelang perhelatan acara, pekerja laki-laki akan mulai membangun panggung. Panggung tersebut nantinya akan ditempati oleh para anak yatim, Punna Gau dan seorang penjaga Masjid Agung Keraton Butuni yang biasanya dianggap sebagai tokoh agama.
Instrumen yang tak kalah penting dalam Pakandeana Ana-Ana Maelu adalah grup penyair. Grup penyair tersebut beranggotakan beberapa orang, pengiring musik rebana, raba (biola) dan seorang biduan atau lebih. Syair yang dilantunkan adalah Maludu' yang berisikan kisah kehidupan Nabi Muhammad saw.
Boleh dikata, tugas grup penyair ini sangat berat. Konon, syair Maludu' saking panjangnya tidak akan cukup jika dilantunkan dalam waktu semalam. Biasanya, jika syair-syair tersebut dituturkan pada malam hari, maka baru akan berakhir pada siang keesokan harinya. Dan, syair tersebut harus dilafadzkan tanpa henti begitu dimulai. Kecuali saat masuk waktu Salat, saya kira.
Kelompok penyair biasanya memulai pentasnya pada malam hari, berlanjut hingga pagi dan berakhir di siang hari. Banyak yang percaya, syair Maludu' itu yang memberikan kekuatan gaib kepada pembacanya, sehingga karenanya, mereka bisa bertahan selama itu. Bukan hanya pelantun syair, para pengiring musik yang beralatkan rebana dan raba juga beraksi semalam suntuk.
Pada 9 Muharram, seluruh persiapan telah rampung.
***
Hari memasuki 10 Muharram. Tak ada waktu ideal mengenai penyelenggaraan Pakandeana Ana-Ana Maelu. Bisa pagi, siang, sore atau malam. Semuanya tergantung Punna Gau. Namun umumnya, Pakandeana Ana-Ana Maelu digelar menjelang sore hari. Yang pasti, para undangan sudah harus berada di lokasi acara sebelum para anak yatim datang.
Prosesi diawali dari penjemputan para anak yatim di kediamannya masing-masing. Untuk diketahui, para yatim di Wolio jarang dipondokkan atau menempati panti asuhan. Kebanyakan anak yatim dirawat oleh keluarganya sendiri.
Para anak yatim yang sebelumnya menyatakan bersedia datang, akan dijemput lalu dikumpulkan di satu tempat. Dari situ, berangkatlah mereka bersama-sama menuju lokasi acara.
Di lokasi acara, Punna Gau sudah menunggu depan gapura panggung. Sementara di bawah tenda, para tamu ikut menunggu kedatangan para yatim.
Angkutan yang menjemput para yatim tiba di lokasi. Langkah kaki mereka menuju panggung langsung diiringi dengan musik rebana dan raba dari grup penyair yang semalam memainkan Syair Maludu'. Di bawah gapura, Punna Gau menampakkan senyum terbaiknya dan memberikan sambutan terhangatnya. Layaknya menyambut rombongan pangeran dan putri. Dengan penuh kasih sayang, Punna Gau membelai rambut satu per satu anak yatim dan menyampaikan kata-kata yang indah.
Saat penyambutan adalah saat yang mengharukan. Si Punna Gau paham benar bahwa apa yang dilakukannya adalah sebagai simpati terhadap keyatiman Imam Ali Zainal Abidin as. Seakan-akan menyambut rombongan sang imam itu sendiri.
Setelah seluruh yatim memasuki lokasi acara, mereka selanjutnya diarahkan ke ruangan khusus untuk dimandikan dan diberi wewangian. Sejumlah perempuan kemudian mempersiapkan tas dan pakaian yang telah dijahit beberapa hari sebelumnya. Sesudah mandi, para anak yatim akan mengenakan pakaian tersebut. Sedangkan pakaian yang mereka kenakan dari rumah, disimpan dalam tas.
Selanjutnya, para anak yatim dibawa ke panggung lalu duduk pada kursi-kursi yang telah disiapkan. Di sisi mereka juga telah duduk Punna Gau dan seorang pemuka agama dari Masjid Keraton Kesultanan Butuni. Aneka ragam makanan mulai dikeluarkan kemudian dihamparkan di hadapan mereka.
Berikutnya adalah pembacaan Alquran. Dalam tradisi Pakandeana Ana-Ana Maelu, yang dibaca adalah Surah Al Ma'un, surah yang berisi peringatan kepada mereka yang melalaikan salat dan anak yatim serta fakir miskin. Pemuka Agama yang diistilahkan Bisa, lalu membaca doa keselamatan.
Usai baca doa, grup penyair akan kembali memainkan musik. Punna Gau lantas berdiri dan melakukan apa yang disebut Sipo dalam tradisi itu. Sipo berarti memberi hadiah kepada para anak yatim. Sipo juga dilakukan oleh para undangan. Usai Sipo, dimulailah acara jamuan makan. Yatim tertua akan membuka jamuan utama, disusul oleh Punna Gau, Bisa dan undangan. Dengan berakhirnya makam bersama ini, maka seluruh prosesi Pakandeana Ana-Ana Maelu juga selesai.
Tentu saja, jamuan yang melimpah pada acara tersebut tidak akan habis. Karena itu, jamuan yang tersisa namun belum disentuh akan diberikan lagi kepada para anak yatim. Setelah semuanya benar-benar selesai, para yatim akan kembali diantar pulang ke rumahnya masing-masing.
Meski hanya beberapa jam, para yatim ini merasakan pelayanan bak pangeran dan putri. Dan mereka, akan kembali menantikan Pakandeana Ana-Ana Maelu pada 10 Muharram tahun mendatang.
***
Yang menyedihkan, meski tradisi Pakandeana Ana-Ana Maelu masih bertahan, tetapi di beberapa bagian acara ini sudah banyak yang dihilangkan. Di masa modern sekarang, masyarakat Wolio yang tersebar di Kota Baubau dan Kabupaten Buton tidak lagi melakukan Pakandeana Ana-Ana Maelu secara sempurna.
Sejarawan Wolio, Ali Arham mengatakan saat ini Pakandeana Ana-Ana Maelu tidak lagi digelar secara massal. Malah, para Punna Gau di masa kini sudah tidak lagi mengundang banyak yatim. Paling banyak, satu Punna Gau mengundang 2 sampai 4 anak yatim. Itu pun dari kalangan keluarganya sendiri.
Sejak beberapa tahun terakhir ini, nyaris tidak ditemukan lagi penyelenggaraan Pakandeana Ana-Ana Maelu yang sampai melibatkan 40 anak yatim dan ratusan undangan. Pakandeana Ana-Ana Maelu kini hanya digelar rumah per rumah dengan acara kecil-kecilan. (*)
Pakandeana Ana-Ana Maelu masih dilestarikan oleh beberapa tokoh masyarakat hingga kini. Tradisi yang digelar mulai awal Muharram ini dipercaya sudah ada sejak masa Kesultanan Butuni (Buton) pertama, Sultan Murhum Kaimuddin Khalifatul yang memerintah pada tahun 1542-1568 Masehi. Oleh karena acara menyantuni anak-anak yatim, maka acara pun dibuat untuk membahagiakan para yatim. Majelis duka atau ratapan atas tragedi yang menimpa Ahlulbait Rasul saw, tak akan ditemukan sepanjang prosesi Pakandeana Ana-Ana Maelu.
Hanya kalangan mapan yang bisa menggelar upacara ini. Pakandeana Ana-Ana Maelu memang menghabiskan anggaran yang sangat besar. Bahkan konon, lebih besar dari acara kawinan sekali pun. Begitu banyak pekerja yang dilibatkan. Prosesinya pun bisa berlangsung selama berhari-hari.
Penyelenggara Pakandeana Ana-ana Maelu disebut Punna Gau. Sepintas mirip-mirip bahasa Makassar yang berarti Si Pemilik Hajatan. Prosesinya dimulai sepekan atau beberapa hari sebelum 10 Muharram, Punna Gau akan mengutus dua orang perempuan untuk mencari anak-anak yatim di lingkungan keluarga, kerabat maupun tetangga. Jumlah anak yatim yang dicari biasanya sebanyak 40 anak. Jika telah menemukan anak yatim dan memberitahukan perihal acara tersebut, maka utusan akan kembali pada kunjungan kedua untuk memastikan keikutsertaan si yatim.
Sementara itu, para pekerja di rumah Punna Gau sudah mulai sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ada yang ditugaskan mengolah makanan. Ada yang membuatkan baju-baju indah untuk anak yatim. Ada juga yang merias panggung acara. Panganan yang disiapkan terdiri dari jamuan utama (Antona Tala), kue hingga cemilan. Semuanya berjumlah 25 jenis makanan. Seluruh makanan dibuat secara tradisional. Ke-25 jenis makanan ini antara lain Loka yi Hole (pisang goreng), Waji (nasi manis), Ngkaowi-owi yi hole (ubi jalar goreng), Cirikaeana Ontolu (kue telur santan), Lapa (buras), Katupa (Ketupat), Kinande yi nosu (nasi telur goreng) dan Kandesaka (beragam jenis lauk-pauk). Ada juga kue yang terbuat dari terigu seperti Ondeonde, Epuepu, Baruasa, Palu dan Kalo-kalo.
Pakaian untuk anak yatim juga terdiri dari 25 bahan. Sayangnya, saya tidak mendapatkan referensi yang bisa merinci ke-25 bahan tersebut. Yang pasti, ada kainnya dan ada kancingnya. Pakaian tersebut tidak saja berupa baju dan celana. Tetapi juga dilengkapi dengan mukenah serta tas beserta segala pernak-perniknya.
Menjelang perhelatan acara, pekerja laki-laki akan mulai membangun panggung. Panggung tersebut nantinya akan ditempati oleh para anak yatim, Punna Gau dan seorang penjaga Masjid Agung Keraton Butuni yang biasanya dianggap sebagai tokoh agama.
Instrumen yang tak kalah penting dalam Pakandeana Ana-Ana Maelu adalah grup penyair. Grup penyair tersebut beranggotakan beberapa orang, pengiring musik rebana, raba (biola) dan seorang biduan atau lebih. Syair yang dilantunkan adalah Maludu' yang berisikan kisah kehidupan Nabi Muhammad saw.
Boleh dikata, tugas grup penyair ini sangat berat. Konon, syair Maludu' saking panjangnya tidak akan cukup jika dilantunkan dalam waktu semalam. Biasanya, jika syair-syair tersebut dituturkan pada malam hari, maka baru akan berakhir pada siang keesokan harinya. Dan, syair tersebut harus dilafadzkan tanpa henti begitu dimulai. Kecuali saat masuk waktu Salat, saya kira.
Kelompok penyair biasanya memulai pentasnya pada malam hari, berlanjut hingga pagi dan berakhir di siang hari. Banyak yang percaya, syair Maludu' itu yang memberikan kekuatan gaib kepada pembacanya, sehingga karenanya, mereka bisa bertahan selama itu. Bukan hanya pelantun syair, para pengiring musik yang beralatkan rebana dan raba juga beraksi semalam suntuk.
Pada 9 Muharram, seluruh persiapan telah rampung.
***
Hari memasuki 10 Muharram. Tak ada waktu ideal mengenai penyelenggaraan Pakandeana Ana-Ana Maelu. Bisa pagi, siang, sore atau malam. Semuanya tergantung Punna Gau. Namun umumnya, Pakandeana Ana-Ana Maelu digelar menjelang sore hari. Yang pasti, para undangan sudah harus berada di lokasi acara sebelum para anak yatim datang.
Prosesi diawali dari penjemputan para anak yatim di kediamannya masing-masing. Untuk diketahui, para yatim di Wolio jarang dipondokkan atau menempati panti asuhan. Kebanyakan anak yatim dirawat oleh keluarganya sendiri.
Para anak yatim yang sebelumnya menyatakan bersedia datang, akan dijemput lalu dikumpulkan di satu tempat. Dari situ, berangkatlah mereka bersama-sama menuju lokasi acara.
Di lokasi acara, Punna Gau sudah menunggu depan gapura panggung. Sementara di bawah tenda, para tamu ikut menunggu kedatangan para yatim.
Angkutan yang menjemput para yatim tiba di lokasi. Langkah kaki mereka menuju panggung langsung diiringi dengan musik rebana dan raba dari grup penyair yang semalam memainkan Syair Maludu'. Di bawah gapura, Punna Gau menampakkan senyum terbaiknya dan memberikan sambutan terhangatnya. Layaknya menyambut rombongan pangeran dan putri. Dengan penuh kasih sayang, Punna Gau membelai rambut satu per satu anak yatim dan menyampaikan kata-kata yang indah.
Saat penyambutan adalah saat yang mengharukan. Si Punna Gau paham benar bahwa apa yang dilakukannya adalah sebagai simpati terhadap keyatiman Imam Ali Zainal Abidin as. Seakan-akan menyambut rombongan sang imam itu sendiri.
Setelah seluruh yatim memasuki lokasi acara, mereka selanjutnya diarahkan ke ruangan khusus untuk dimandikan dan diberi wewangian. Sejumlah perempuan kemudian mempersiapkan tas dan pakaian yang telah dijahit beberapa hari sebelumnya. Sesudah mandi, para anak yatim akan mengenakan pakaian tersebut. Sedangkan pakaian yang mereka kenakan dari rumah, disimpan dalam tas.
Selanjutnya, para anak yatim dibawa ke panggung lalu duduk pada kursi-kursi yang telah disiapkan. Di sisi mereka juga telah duduk Punna Gau dan seorang pemuka agama dari Masjid Keraton Kesultanan Butuni. Aneka ragam makanan mulai dikeluarkan kemudian dihamparkan di hadapan mereka.
Berikutnya adalah pembacaan Alquran. Dalam tradisi Pakandeana Ana-Ana Maelu, yang dibaca adalah Surah Al Ma'un, surah yang berisi peringatan kepada mereka yang melalaikan salat dan anak yatim serta fakir miskin. Pemuka Agama yang diistilahkan Bisa, lalu membaca doa keselamatan.
Usai baca doa, grup penyair akan kembali memainkan musik. Punna Gau lantas berdiri dan melakukan apa yang disebut Sipo dalam tradisi itu. Sipo berarti memberi hadiah kepada para anak yatim. Sipo juga dilakukan oleh para undangan. Usai Sipo, dimulailah acara jamuan makan. Yatim tertua akan membuka jamuan utama, disusul oleh Punna Gau, Bisa dan undangan. Dengan berakhirnya makam bersama ini, maka seluruh prosesi Pakandeana Ana-Ana Maelu juga selesai.
Tentu saja, jamuan yang melimpah pada acara tersebut tidak akan habis. Karena itu, jamuan yang tersisa namun belum disentuh akan diberikan lagi kepada para anak yatim. Setelah semuanya benar-benar selesai, para yatim akan kembali diantar pulang ke rumahnya masing-masing.
Meski hanya beberapa jam, para yatim ini merasakan pelayanan bak pangeran dan putri. Dan mereka, akan kembali menantikan Pakandeana Ana-Ana Maelu pada 10 Muharram tahun mendatang.
***
Yang menyedihkan, meski tradisi Pakandeana Ana-Ana Maelu masih bertahan, tetapi di beberapa bagian acara ini sudah banyak yang dihilangkan. Di masa modern sekarang, masyarakat Wolio yang tersebar di Kota Baubau dan Kabupaten Buton tidak lagi melakukan Pakandeana Ana-Ana Maelu secara sempurna.
Sejarawan Wolio, Ali Arham mengatakan saat ini Pakandeana Ana-Ana Maelu tidak lagi digelar secara massal. Malah, para Punna Gau di masa kini sudah tidak lagi mengundang banyak yatim. Paling banyak, satu Punna Gau mengundang 2 sampai 4 anak yatim. Itu pun dari kalangan keluarganya sendiri.
Sejak beberapa tahun terakhir ini, nyaris tidak ditemukan lagi penyelenggaraan Pakandeana Ana-Ana Maelu yang sampai melibatkan 40 anak yatim dan ratusan undangan. Pakandeana Ana-Ana Maelu kini hanya digelar rumah per rumah dengan acara kecil-kecilan. (*)