Mustamin al-Mandary
Makassar, 1994
Suasana aula Baruga Pettarani Unhas sangat ramai sejak pagi. Hari itu, ratusan, mungkin lebih seribu pengunjung mendaftar untuk mengikuti sebuah acara. Sepertinya yang pertama diadakan di Sulawesi Selatan, atau lebih luas, di Indonesia Timur barangkali. Mungkin karena temanya yang memang sangat sensitif saat itu, acara ini mengundang antusiasme banyak pihak. Welcome to Dialog Sunnah Syiah. (majulah-IJABI)
Makassar, 1994
Suasana aula Baruga Pettarani Unhas sangat ramai sejak pagi. Hari itu, ratusan, mungkin lebih seribu pengunjung mendaftar untuk mengikuti sebuah acara. Sepertinya yang pertama diadakan di Sulawesi Selatan, atau lebih luas, di Indonesia Timur barangkali. Mungkin karena temanya yang memang sangat sensitif saat itu, acara ini mengundang antusiasme banyak pihak. Welcome to Dialog Sunnah Syiah. (majulah-IJABI)
Dialog ini diprogramkan oleh MPM (Mahasiswa Pencinta Mushalla), lembaga dakwah kampus yang cukup aktif membuat kajian agama dan sosial di Universitas Hasanuddin. MPM memang cukup terkenal saat itu, yang walaupun dikenal sebagai lembaga dakwah mahasiswa Islam, tapi tidak jarang juga menggiatkan diskusi-diskusi “kiri”. Itulah salah satu sebab yang membuatnya dikenal oleh yang menyukai maupun yang tidak menyukainya. Dan yang membuatnya lebih terkenal lagi adalah, karena banyak yang memahaminya sebagai singkatan dari Mahasiswa Pencinta Mahasiswi :-)
Selain menghadirkan Ustadz Jalaluddin Rakhmat yang sudah dicap Syiah waktu itu, yang memang diharapkan mewakili mazhab Syiah, dialog ini juga menghadirkan beberapa cendekiawan muslim Sulawesi Selatan yang mewakili Sunni. Mereka adalah Dr. Jalaluddin Rahman, MA; Dr. Harifuddin Cawidu, MA; dan Ustadz Said Abd Samad, LC. Dari kalangan peserta, hadir juga beberapa Ustadz yang cukup familiar di Makassar, misalnya Ust Mansyur Salim, Ust Aswar Hasan, dan lain-lain. Dan karena kehadiran dua Jalal di dialog ini, Dr. Jalaluddin Rahman bahkan menyebut acara ini sebagai dialog Jalalain, perbincangan dua Jalal.
Bisa diduga, sesi tanya jawab pasti cukup ramai, dan memang itulah yang terjadi. Saya tidak bisa mengingat semua siapa saja yang bertanya dan pertanyaan apa saja yang ditanyakan. Satu-satunya yang masih membekas dalam ingatan saya hanya satu pertanyaan saja, dan itulah yang saya mau ceritakan.
Penanya yang paling antusias adalah Ust Mansyur Salim. Beliau adalah salah seorang Ustadz senior di kelompok kajian Fathul Muin waktu itu. Beliau setelah menyebutkan ketidakmungkinan menyatunya Syiah yang bukan Islam dengan Sunni yang Islam, juga memberikan contoh bagaimana Imam Khomeini yang Syiah menghina dua khalifah pertama Islam. Beliau juga mengutip bagaimana akidah Imam Khomeini yang benar-benar sudah di luar Islam. Dan untuk menguatkan semua “data”nya, Ust Mansyur Salim mengatakan bahwa apa yang beliau katakan tentang Imam Khomeini semua dikutip dari buku Imam Khomeini sendiri: Kasyful Asrar.
Menanggapi pertanyaan ini, Ustadz Jalaluddin Rakhmat balik bertanya, “apakah yang Ustadz baca itu adalah kitab Imam Khomeini yang berbahasa Arab?” Dengan cepat Ustadz Mansyur Salim menjawab “iya”. Lalu Ustadz Jalaluddin Rakhmat menjelaskan bahwa kitab Kasyful Asrar aslinya ditulis oleh Imam Khomeini dalam bahasa Persia. Sayangnya, kata Ustadz Jalaluddin Rakhmat, buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh orang yang tidak senang kepada Imam Khomeini sehingga terjemahannya diputarbalikkan, bahkan menyisipkan kalimat-kalimat yang sebenarnya tidak tertulis di dalam kitab aslinya. Lalu, Ustadz Jalaluddin Rakhmat mengambil sebuah buku dari dalam tas di bawah mejanya dan mengatakan, “Ini buku Kasyful Asrar dalam bahasa Persia, dan saya bisa berbahasa Persia sebagaimana saya fasih berbahasa Arab. Apa yang dikatakan oleh Ustadz tadi, tidak ada satupun yang saya temui di dalam kitab ini.”
Banyak hadirin yang tepuk tangan. Dan penanya tentu tidak bisa melanjutkan pertanyaannya.
Mohon maaf, hanya itu yang saya ingat.
Mustamin al-Mandary
Selain menghadirkan Ustadz Jalaluddin Rakhmat yang sudah dicap Syiah waktu itu, yang memang diharapkan mewakili mazhab Syiah, dialog ini juga menghadirkan beberapa cendekiawan muslim Sulawesi Selatan yang mewakili Sunni. Mereka adalah Dr. Jalaluddin Rahman, MA; Dr. Harifuddin Cawidu, MA; dan Ustadz Said Abd Samad, LC. Dari kalangan peserta, hadir juga beberapa Ustadz yang cukup familiar di Makassar, misalnya Ust Mansyur Salim, Ust Aswar Hasan, dan lain-lain. Dan karena kehadiran dua Jalal di dialog ini, Dr. Jalaluddin Rahman bahkan menyebut acara ini sebagai dialog Jalalain, perbincangan dua Jalal.
Bisa diduga, sesi tanya jawab pasti cukup ramai, dan memang itulah yang terjadi. Saya tidak bisa mengingat semua siapa saja yang bertanya dan pertanyaan apa saja yang ditanyakan. Satu-satunya yang masih membekas dalam ingatan saya hanya satu pertanyaan saja, dan itulah yang saya mau ceritakan.
Penanya yang paling antusias adalah Ust Mansyur Salim. Beliau adalah salah seorang Ustadz senior di kelompok kajian Fathul Muin waktu itu. Beliau setelah menyebutkan ketidakmungkinan menyatunya Syiah yang bukan Islam dengan Sunni yang Islam, juga memberikan contoh bagaimana Imam Khomeini yang Syiah menghina dua khalifah pertama Islam. Beliau juga mengutip bagaimana akidah Imam Khomeini yang benar-benar sudah di luar Islam. Dan untuk menguatkan semua “data”nya, Ust Mansyur Salim mengatakan bahwa apa yang beliau katakan tentang Imam Khomeini semua dikutip dari buku Imam Khomeini sendiri: Kasyful Asrar.
Menanggapi pertanyaan ini, Ustadz Jalaluddin Rakhmat balik bertanya, “apakah yang Ustadz baca itu adalah kitab Imam Khomeini yang berbahasa Arab?” Dengan cepat Ustadz Mansyur Salim menjawab “iya”. Lalu Ustadz Jalaluddin Rakhmat menjelaskan bahwa kitab Kasyful Asrar aslinya ditulis oleh Imam Khomeini dalam bahasa Persia. Sayangnya, kata Ustadz Jalaluddin Rakhmat, buku itu diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh orang yang tidak senang kepada Imam Khomeini sehingga terjemahannya diputarbalikkan, bahkan menyisipkan kalimat-kalimat yang sebenarnya tidak tertulis di dalam kitab aslinya. Lalu, Ustadz Jalaluddin Rakhmat mengambil sebuah buku dari dalam tas di bawah mejanya dan mengatakan, “Ini buku Kasyful Asrar dalam bahasa Persia, dan saya bisa berbahasa Persia sebagaimana saya fasih berbahasa Arab. Apa yang dikatakan oleh Ustadz tadi, tidak ada satupun yang saya temui di dalam kitab ini.”
Banyak hadirin yang tepuk tangan. Dan penanya tentu tidak bisa melanjutkan pertanyaannya.
Mohon maaf, hanya itu yang saya ingat.
Mustamin al-Mandary