Mengapa Surah al-Taubah tanpa basmalah? Adakah rahasia "ditiadakannya" basmalah di surah ini? Apakah karenanya maka basmalah di dalam Alquran tidak sebanyak jumlah surah? Pertanyaan-pertanyaan ini, dan beberapa pertanyaan lain yang berhubungan dengan basmalah, diulas dengan bahasa yang sederhana dan mudah dicerna oleh Ustadz Miftah Fauzi Rakhmat berikut ini. [majulah-ijabi.org]
****
****
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Dari Imam Hasan al-Askari as: “Barangsiapa yang tidak memulai urusan dengan ‘basmalah’, Allah akan uji dia dengan sesuatu yang tak disukainya.”
Keutamaan membaca nama Allah sebelum melakukan sesuatu tersebar di berbagai riwayat. Buka saja kitab tafsir apa pun, kemudian pada bagian pertama membahas Al-Fatihah, selalu ada penggalan riwayat tentang keutamaan membaca basmalah; keutamaan mengawali kegiatan dengan nama Allah Swt; atau keberkahan dalam nama-nama Tuhan itu.
Ada yang menceritakan bahwa pada basmalah ada dua nama Allah: jalaaliyyah dan jamaaliyyah. Lafaz jalalah “Allah” yang menunjukkan keagungan, kekuasaan, dan kebesaran Allah Swt. Dan ada “ar-rahman” dan “ar-rahim” yang menunjukkan keluasan kasih sayang Allah Swt. Ada juga pendekatan irfani yang mengisahkan pengandaian: bahwa semua isi Al-Qur’an dapat terkandung dalam Al-Fatihah. Dan semua isi Al-Fatihah terkandung dalam kalimat basmalah. Dan—yang paling ekstrim—semua basmalah terkandung dalam “nuqtah tahta al-baa`” titik di bawah huruf “ba”. Wallahu a’lam.
Tulisan ini singkat. Tidak hendak membahas yang berat-berat. Apalagi tentang penafsiran batiniah titik di bawah ba itu. Tulisan ini hanya ingin menjawab pertanyaan: dengan sejumlah keutamaan basmalah itu, mengapa Surat Al-Taubah tidak diawali dengannya?
Tentulah jawaban sederhana: “Dari Tuhannya sudah begitu. Kalau mau tanya, tanya sama Tuhan.” Bila kita cukup puas dengan jawaban itu, niscaya semua hal tidak perlu lagi dipertanyakan. Mengapa Al-Qur’an turun dalam Bahasa Arab? Mengapa ia mudah dihapal dan dilafal orang? Mengapa dalam Al-Qur’an kata malaikat dan setan disebut dengan jumlah yang sama: 88 kali? Mengapa kata “daratan” dan “lautan” semisal perumpamaan daratan dan lautan di muka bumi? Mengapa kata-kata “Imam, yang terpilih, bintang, washi, khalifah, yang disucikan, saksi, raja, wakil dan seterusnya...” semua berjumlah dan masing-masing (dengan seluruh derivasinya) disebut sebanyak 12 kali? Mengapa dan mengapa?
Jawaban kita: “Dari Tuhannya sudah begitu. Kalau mau tanya, tanya sama Tuhan.”
Mengapa dalam penulisan Arab, jumlah huruf dalam “Laa ilaaha illa Allah”, ada 12 buah? Mengapa huruf dalam “Muhammad Rasulullah” juga ada 12 buah? Mengapa, mengapa dan mengapa?
Di antara mengapa itulah, Surat Al-Taubah yang tanpa basmalah. Biasanya, inilah domain kajian-kajian dalam ‘Ulumul Quran: menguak misteri dan rahasia begitu banyak ‘mengapa’ dalam Al-Qur’an.
Cukuplah bagi kita Surat Muhammad ayat 24: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran, ataukah hati mereka terkunci?”
Kata memperhatikan yang digaris bawahi diterjemahkan dari bahasa ‘Arab: tadabbur, yang artinya: refleksi, meditasi, perenungan, dan pencarian jawaban dari setiap permasalahan kita. Dalam bahasa yang lain: inilah proses mempertanyakan begitu banyak ‘mengapa’ dalam Al-Qur’an.
Lalu, mengapa Al-Taubah tanpa basmalah?
Tentang Basmalah. Ada 114 surat dalam Al-Quran. Semuanya diawali dengan basmalah. Kecuali Surat Al-Taubah. Meski demikian, keseluruhan lafaz basmalah tetap berjumlah 114 dalam Al-Qur’an: 113 pada awal surat, dan satu kali disebut di Surat Al-Naml ayat 30. Di tengah kaum Muslimin, terdapat dua pendapat tentang basmalah di awal surat. Ada yang menyebutkannya bagian ayat. Seperti basmalah menjadi ayat yang pertama dalam Al-Fatihah. Bukankah Al-Fatihah berisi tujuh ayat? Bukankah ia disebut sab’ul matsani (tujuh yang berpasangan)? Basmalah adalah ayat yang pertama. Pada selain Al-Fatihah, ada yang menyebut basmalah ayat pertama, ada juga yang merangkainya dengan kalimat selanjutnya sebagai yang pertama: misalnya “Bismillahirrahmanirrahim. Alif laam raa (1)” dan seterusnya. Karena itulah, bisa terjadi perbedaan penjumlahan ayat Al-Quran bergantung pada pendekatan memahami atau meletakkan basmalah sebagai ayat.
Dalam Al-Fatihah—bagaimana pun—semua umat sepakat bahwa basmalah adalah ayat yang pertama. Uniknya, ada sebagian di antara Kaum Muslimin yang tidak menjaharkan bacaaan basmalahnya ketika shalat. Setelah iftitahiyyah, mereka mengeraskan bacaan Al-Fatihah dari ayat kedua: alhamdulillahi rabbil ‘aalamin...dan seterusnya. Mudah-mudahan sah. Itu bagian kajian para ahli fikih. Karena, berdasarkan hadis “Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Fatihat al-Kitaab.” Maka, bila Al-Fatihah tidak dibaca, tidaklah sah shalat kita? Masihkah sah, bila Al-Fatihah yang kita baca tidak lengkap? Atau jika ia kurang satu ayat? Misalnya, kita baca tanpa basmalah, atau tanpa ayat yang terakhir?
Asbabun Nuzul Al-Taubah. Surat Al-Taubah menjadi istimewa, karena ia hadir tanpa basmalah. Pada tahun kesembilan setelah hijrah Nabi Saw, ayat-ayat pertama surat ini diturunkan. Ia turun di Madinah, karenanya disebut madaniyyah. Tapi ia dibaca pertama kali di Makkah. Bagaimana bisa? Ketika turun ayat ini, musim haji pasca perjanjian Hudaybiyyah tengah berlangsung. Nabi Saw tidak berangkat memimpin jamaah. Diutuslah Abu Bakar untuk menemani kafilah. Inilah tugas pertama Abu Bakar sebagai pimpinan rombongan. Di Dzat al-Salasil, ia ikut di bawah komanda Amr bin ‘Ash. Demikianlah sejarah mencatatnya. Nabi Saw sendiri tinggal di Madinah tahun itu dan baru berhaji setahun kemudian. Setahun sebelumnya, Makkah sudah ditaklukkan. Ka’bah sudah dibersihkan dari ratusan berhala yang mengitarinya. Adalah Ali yang naik di atas punggung Nabi untuk menghancurkan berhala terbesar kala itu. Bila bukan karena titah Nabi, manalah berani menapak pundak yang suci itu.
Ketika jemaah tengah berangkat ke Makkah itulah turun ayat-ayat pertama Surat al-Taubah: (Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yng kamu (kaum Muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi selama empat bulan dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir.
Nabi Saw kemudian memerintahkan Ali untuk menyusul rombongan. Ali memacu kudanya dengan cepat. Dan berhasil bergabung bersama jamaah tepat sebelum mereka sampai di Makkah. Sempat ada sedikit dialog antara Ali dan Abu Bakar. Perihal siapa yang diperintahkan membacakan ayat-ayat Tuhan itu. Menurut Ibnu Ishaq dan Muhammad Haykal, Nabi Saw bersabda: “Bacakan ayat-ayat pertama Al-Taubah ini pada hari pengurbanan di Mina.”
Segera setelah ayat-ayat awal itu dibacakan, Ali kemudian berkata: “Sesungguhnya aku adalah utusannya Utusan Tuhan Semesta Alam (ana rasuulu rasuuli Rabbil ‘Aalamin). Aku telah diperintahkan untuk menyampaikan kepadamu bahwa tidak ada penyembah berhala yang akan masuk surga. Tidak ada orang kafir dan musyrik yang boleh datang dan berhaji. Tidak boleh ada yang tawaf dalam keadaan telajang. Siapa pun yang punya perjanjian dengan Sang Nabi, akan ditepati hingga waktunya. Empat bulan masa bagi setiap kabilah untuk kembali ke kampungnya dengan aman. Setelah itu, kewajiban Sang Nabi pada kalian telah usai.”
Ali membacakan ayat-ayat itu kepada orang-orang kafir. Sejak saat itu, rumah Tuhan disucikan dari orang yang tak beriman.
Setahun sebelumnya, Ali membersihkan rumah Tuhan dari berhala-berhala yang sudah ada sejak masa sebelumnya. Kini, Ali membersihkan rumah Tuhan dari berhala-berhala yang akan datang kemudian.
Menurut Sayyid Ali Asghar Rizvy, Ali telah mengemban misi Sang Nabi. Menurut ayat-ayat Al-Qur’an, misi seorang Nabi adalah: membacakan ayat Tuhan untuk manusia, membimbing mereka dengan hikmah, mensucikan mereka, dan memberikan pada mereka pengetahuan (rujuk ayat-ayat QS. 2:151; 3:164; dan 62:2). Dalam banyak ayat lainnya, membacakan ayat Tuhan untuk manusia tidak pernah terpisahkan dari tugas kenabian.
Lalu, mengapa Al-Taubah tanpa basmalah?
Beberapa pendapat. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus melihat Surat sebelumnya di dalam penyusunan ayat-ayat Al-Qur’an sekarang ini. Yaitu surat Al-Anfal. Berikut dua pendapat berkenaan dengan tiadanya “basmalah” dikaitkan dengan posisi surat. Menurut Ubay bin Ka’ab, surat Al-Taubah tanpa basmalah karena ia didekatkan dengan surat Al-Anfal. Yang satu berkisah tentang orang-orang yang menepati janji dan kisah tentang perjanjian-perjanjian, sedangkan yang kedua bercerita tentang orang-orang yang melanggar janji. Pendapat kedua yang tidak sepenuhnya berbeda dari Utsman yang mengisahkan kemiripan cerita di antara kedua surat itu. Yang pertama orang yang terikat janji. Dan yang kedua (surat Al-Taubah) tentang orang-orang yang dilepaskan atas mereka janji.
Ada juga pendapat yang mengatakan, bahwa ayat itu turun untuk menunjukkan “lepasnya” perlindungan Allah dan Rasulnya dari orang-orang kafir dan musyrik. Dengan tiadanya perlindungan itu, maka dilarang bagi selain orang yang beriman untuk tawaf dan berputar di sekitar rumah Allah Swt.
Tapi ada juga yang mengartikan lain. Yaitu berdasarkan riwayat dari beberapa sahabat. Hudzaifah di antaranya. Ia berkata: “Bagaimana mungkin ia disebut surat Al-Taubah? Ia lebih tepat disebut Surat azab.” Dari Said bin Jubair, ia berkata: aku bertanya pada Ibnu Abbas tentang surat Al-Taubah. Ibnu Abbas menjawab: “Itu surat yang menyingkap rahasia-rahasia. Tidak henti-hentinya ia turun, kecuali ada di antara rahasia kami yang diungkapnya. Sampai kami takut bahwa tiada (rahasia) yang tersisa dari seorang pun di antara kami. (semua keterangan di atas dinukil dari Tafsir Al-Tibyan, Syaikh Thusi, juz lima bagian surat Al-Taubah).
Berdasarkan keterangan-keterangan dari para sahabat itu, Surat Al-Taubah adalah Surat yang sangat ‘keras’. Ditujukan pada orang-orang kafir, tapi juga ditujukan pada sahabat-sahabat Nabi Saw. Konon, karena ‘keras’nya ayat-ayat di dalamnya, maka ia tidak diawali dengan nama Allah yang maha kasih maha sayang.
Kata bara’ah di awal surat juga menunjukkan sebuah aksi melepaskan diri dari perilaku orang-orang musyrik dan zalim. Karena ia dibacakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw di musim haji, jamaah Iran menyertakannya dalam ritual haji mereka. Menurut fatwa para marja’nya, dalam ibadah haji—yang merupakan puncak ibadah kaum Muslimin—selalu harus ada pelepasan diri dari perilaku aniaya, dan mengecam kezaliman yang berlaku di muka bumi. Pada ibadah haji harus ada perlawanan terhadap kezaliman, penentangan terhadap kemusyrikan, dan pelepasan diri dari segala sesuatu yang jauh dari perlindungan dan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Tahun 1987 pernah menjadi tahun tragedi ketika para jemaah haji Iran yang hendak meneriakkan yel-yel anti kezaliman (berdasarkan semangat surat ini) diberondong timah panas oleh para tentara karena dianggap melakukan kerusuhan.
Penutup. Meski Surat Al-Taubah tidak diawali dengan basmalah (dan kita hanya mampu menangkap sedikit saja kemungkinan rahasianya), tetapi surat ini diakhiri dengan sangat indah. Setelah di awal berisi pelepasan, di tengah tersebar berbagai kecaman, di akhir surat itu dengan indah ditutup oleh sebuah ayat kebahagiaan. Ayat kasih sayang, ayat kerinduan.
Inilah dua ayat yang menutup Surat yang keras itu. Surat yang mengguncangkan para sahabat. Surat yang menghempaskan orang-orang kafir dan musyrik. Surat itu ditutup dengan ayat-ayat berikut ini: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu. Ia sangat menginginkan kamu bahagia. Amat belas kasihan lagi penyayang kepada orang-orang yang beriman. Bil mu’miniina raa`ufur rahiim”
“Jika mereka berpaling maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tiada Tuhan selain Dia. Hanya kepadaNya aku bertawakkal, dan Dialah Tuhan yang memiliki ‘Arasy yang agung.”
Maha benar Allah yang Maha agung.
Ya Allah, di ujung ayat-ayat yang menggoncangkan itu, di akhir surat yang disebut Hudzaifah dengan Surat Azab, yang diingatkan oleh Ibnu Abbas dengan kesedihan dan kekuatiran, Ya Allah Engkau kisahkan tentang seorang Nabi dari tengah-tengah kami, yang begitu besar belas kasihnya. Begitu ingin kami bahagia. Begitu berat bila kami menderita.
Boleh jadi surat itu tidak diawali dengan nama Allah yang Mahakasih Mahasayang, tapi ia diakhiri dengan nama kekasih hati yang penuh rindu penuh sayang. Ia tidak diawali dengan “Al-Rahman dan Al-Rahim” tapi ia diakhiri dengan “Al-Ra`uf dan al-Rahim”
Salam dan rindu kami bagimu Ya Rasulallah, dan bagi utusanmu pembaca Surat Al-Taubah, dan bagi setiap umatmu yang menyertakan namamu, setelah basmalah dalam setiap urusan mereka.
Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Dari Imam Hasan al-Askari as: “Barangsiapa yang tidak memulai urusan dengan ‘basmalah’, Allah akan uji dia dengan sesuatu yang tak disukainya.”
Keutamaan membaca nama Allah sebelum melakukan sesuatu tersebar di berbagai riwayat. Buka saja kitab tafsir apa pun, kemudian pada bagian pertama membahas Al-Fatihah, selalu ada penggalan riwayat tentang keutamaan membaca basmalah; keutamaan mengawali kegiatan dengan nama Allah Swt; atau keberkahan dalam nama-nama Tuhan itu.
Ada yang menceritakan bahwa pada basmalah ada dua nama Allah: jalaaliyyah dan jamaaliyyah. Lafaz jalalah “Allah” yang menunjukkan keagungan, kekuasaan, dan kebesaran Allah Swt. Dan ada “ar-rahman” dan “ar-rahim” yang menunjukkan keluasan kasih sayang Allah Swt. Ada juga pendekatan irfani yang mengisahkan pengandaian: bahwa semua isi Al-Qur’an dapat terkandung dalam Al-Fatihah. Dan semua isi Al-Fatihah terkandung dalam kalimat basmalah. Dan—yang paling ekstrim—semua basmalah terkandung dalam “nuqtah tahta al-baa`” titik di bawah huruf “ba”. Wallahu a’lam.
Tulisan ini singkat. Tidak hendak membahas yang berat-berat. Apalagi tentang penafsiran batiniah titik di bawah ba itu. Tulisan ini hanya ingin menjawab pertanyaan: dengan sejumlah keutamaan basmalah itu, mengapa Surat Al-Taubah tidak diawali dengannya?
Tentulah jawaban sederhana: “Dari Tuhannya sudah begitu. Kalau mau tanya, tanya sama Tuhan.” Bila kita cukup puas dengan jawaban itu, niscaya semua hal tidak perlu lagi dipertanyakan. Mengapa Al-Qur’an turun dalam Bahasa Arab? Mengapa ia mudah dihapal dan dilafal orang? Mengapa dalam Al-Qur’an kata malaikat dan setan disebut dengan jumlah yang sama: 88 kali? Mengapa kata “daratan” dan “lautan” semisal perumpamaan daratan dan lautan di muka bumi? Mengapa kata-kata “Imam, yang terpilih, bintang, washi, khalifah, yang disucikan, saksi, raja, wakil dan seterusnya...” semua berjumlah dan masing-masing (dengan seluruh derivasinya) disebut sebanyak 12 kali? Mengapa dan mengapa?
Jawaban kita: “Dari Tuhannya sudah begitu. Kalau mau tanya, tanya sama Tuhan.”
Mengapa dalam penulisan Arab, jumlah huruf dalam “Laa ilaaha illa Allah”, ada 12 buah? Mengapa huruf dalam “Muhammad Rasulullah” juga ada 12 buah? Mengapa, mengapa dan mengapa?
Di antara mengapa itulah, Surat Al-Taubah yang tanpa basmalah. Biasanya, inilah domain kajian-kajian dalam ‘Ulumul Quran: menguak misteri dan rahasia begitu banyak ‘mengapa’ dalam Al-Qur’an.
Cukuplah bagi kita Surat Muhammad ayat 24: “Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al-Quran, ataukah hati mereka terkunci?”
Kata memperhatikan yang digaris bawahi diterjemahkan dari bahasa ‘Arab: tadabbur, yang artinya: refleksi, meditasi, perenungan, dan pencarian jawaban dari setiap permasalahan kita. Dalam bahasa yang lain: inilah proses mempertanyakan begitu banyak ‘mengapa’ dalam Al-Qur’an.
Lalu, mengapa Al-Taubah tanpa basmalah?
Tentang Basmalah. Ada 114 surat dalam Al-Quran. Semuanya diawali dengan basmalah. Kecuali Surat Al-Taubah. Meski demikian, keseluruhan lafaz basmalah tetap berjumlah 114 dalam Al-Qur’an: 113 pada awal surat, dan satu kali disebut di Surat Al-Naml ayat 30. Di tengah kaum Muslimin, terdapat dua pendapat tentang basmalah di awal surat. Ada yang menyebutkannya bagian ayat. Seperti basmalah menjadi ayat yang pertama dalam Al-Fatihah. Bukankah Al-Fatihah berisi tujuh ayat? Bukankah ia disebut sab’ul matsani (tujuh yang berpasangan)? Basmalah adalah ayat yang pertama. Pada selain Al-Fatihah, ada yang menyebut basmalah ayat pertama, ada juga yang merangkainya dengan kalimat selanjutnya sebagai yang pertama: misalnya “Bismillahirrahmanirrahim. Alif laam raa (1)” dan seterusnya. Karena itulah, bisa terjadi perbedaan penjumlahan ayat Al-Quran bergantung pada pendekatan memahami atau meletakkan basmalah sebagai ayat.
Dalam Al-Fatihah—bagaimana pun—semua umat sepakat bahwa basmalah adalah ayat yang pertama. Uniknya, ada sebagian di antara Kaum Muslimin yang tidak menjaharkan bacaaan basmalahnya ketika shalat. Setelah iftitahiyyah, mereka mengeraskan bacaan Al-Fatihah dari ayat kedua: alhamdulillahi rabbil ‘aalamin...dan seterusnya. Mudah-mudahan sah. Itu bagian kajian para ahli fikih. Karena, berdasarkan hadis “Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Fatihat al-Kitaab.” Maka, bila Al-Fatihah tidak dibaca, tidaklah sah shalat kita? Masihkah sah, bila Al-Fatihah yang kita baca tidak lengkap? Atau jika ia kurang satu ayat? Misalnya, kita baca tanpa basmalah, atau tanpa ayat yang terakhir?
Asbabun Nuzul Al-Taubah. Surat Al-Taubah menjadi istimewa, karena ia hadir tanpa basmalah. Pada tahun kesembilan setelah hijrah Nabi Saw, ayat-ayat pertama surat ini diturunkan. Ia turun di Madinah, karenanya disebut madaniyyah. Tapi ia dibaca pertama kali di Makkah. Bagaimana bisa? Ketika turun ayat ini, musim haji pasca perjanjian Hudaybiyyah tengah berlangsung. Nabi Saw tidak berangkat memimpin jamaah. Diutuslah Abu Bakar untuk menemani kafilah. Inilah tugas pertama Abu Bakar sebagai pimpinan rombongan. Di Dzat al-Salasil, ia ikut di bawah komanda Amr bin ‘Ash. Demikianlah sejarah mencatatnya. Nabi Saw sendiri tinggal di Madinah tahun itu dan baru berhaji setahun kemudian. Setahun sebelumnya, Makkah sudah ditaklukkan. Ka’bah sudah dibersihkan dari ratusan berhala yang mengitarinya. Adalah Ali yang naik di atas punggung Nabi untuk menghancurkan berhala terbesar kala itu. Bila bukan karena titah Nabi, manalah berani menapak pundak yang suci itu.
Ketika jemaah tengah berangkat ke Makkah itulah turun ayat-ayat pertama Surat al-Taubah: (Inilah pernyataan) pemutusan hubungan dari Allah dan Rasul-Nya (yang dihadapkan) kepada orang-orang musyrikin yng kamu (kaum Muslimin) telah mengadakan perjanjian (dengan mereka). Maka berjalanlah kamu (kaum musyrikin) di muka bumi selama empat bulan dan ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak akan dapat melemahkan Allah, dan sesungguhnya Allah menghinakan orang-orang kafir.
Nabi Saw kemudian memerintahkan Ali untuk menyusul rombongan. Ali memacu kudanya dengan cepat. Dan berhasil bergabung bersama jamaah tepat sebelum mereka sampai di Makkah. Sempat ada sedikit dialog antara Ali dan Abu Bakar. Perihal siapa yang diperintahkan membacakan ayat-ayat Tuhan itu. Menurut Ibnu Ishaq dan Muhammad Haykal, Nabi Saw bersabda: “Bacakan ayat-ayat pertama Al-Taubah ini pada hari pengurbanan di Mina.”
Segera setelah ayat-ayat awal itu dibacakan, Ali kemudian berkata: “Sesungguhnya aku adalah utusannya Utusan Tuhan Semesta Alam (ana rasuulu rasuuli Rabbil ‘Aalamin). Aku telah diperintahkan untuk menyampaikan kepadamu bahwa tidak ada penyembah berhala yang akan masuk surga. Tidak ada orang kafir dan musyrik yang boleh datang dan berhaji. Tidak boleh ada yang tawaf dalam keadaan telajang. Siapa pun yang punya perjanjian dengan Sang Nabi, akan ditepati hingga waktunya. Empat bulan masa bagi setiap kabilah untuk kembali ke kampungnya dengan aman. Setelah itu, kewajiban Sang Nabi pada kalian telah usai.”
Ali membacakan ayat-ayat itu kepada orang-orang kafir. Sejak saat itu, rumah Tuhan disucikan dari orang yang tak beriman.
Setahun sebelumnya, Ali membersihkan rumah Tuhan dari berhala-berhala yang sudah ada sejak masa sebelumnya. Kini, Ali membersihkan rumah Tuhan dari berhala-berhala yang akan datang kemudian.
Menurut Sayyid Ali Asghar Rizvy, Ali telah mengemban misi Sang Nabi. Menurut ayat-ayat Al-Qur’an, misi seorang Nabi adalah: membacakan ayat Tuhan untuk manusia, membimbing mereka dengan hikmah, mensucikan mereka, dan memberikan pada mereka pengetahuan (rujuk ayat-ayat QS. 2:151; 3:164; dan 62:2). Dalam banyak ayat lainnya, membacakan ayat Tuhan untuk manusia tidak pernah terpisahkan dari tugas kenabian.
Lalu, mengapa Al-Taubah tanpa basmalah?
Beberapa pendapat. Untuk menjawab pertanyaan itu, kita harus melihat Surat sebelumnya di dalam penyusunan ayat-ayat Al-Qur’an sekarang ini. Yaitu surat Al-Anfal. Berikut dua pendapat berkenaan dengan tiadanya “basmalah” dikaitkan dengan posisi surat. Menurut Ubay bin Ka’ab, surat Al-Taubah tanpa basmalah karena ia didekatkan dengan surat Al-Anfal. Yang satu berkisah tentang orang-orang yang menepati janji dan kisah tentang perjanjian-perjanjian, sedangkan yang kedua bercerita tentang orang-orang yang melanggar janji. Pendapat kedua yang tidak sepenuhnya berbeda dari Utsman yang mengisahkan kemiripan cerita di antara kedua surat itu. Yang pertama orang yang terikat janji. Dan yang kedua (surat Al-Taubah) tentang orang-orang yang dilepaskan atas mereka janji.
Ada juga pendapat yang mengatakan, bahwa ayat itu turun untuk menunjukkan “lepasnya” perlindungan Allah dan Rasulnya dari orang-orang kafir dan musyrik. Dengan tiadanya perlindungan itu, maka dilarang bagi selain orang yang beriman untuk tawaf dan berputar di sekitar rumah Allah Swt.
Tapi ada juga yang mengartikan lain. Yaitu berdasarkan riwayat dari beberapa sahabat. Hudzaifah di antaranya. Ia berkata: “Bagaimana mungkin ia disebut surat Al-Taubah? Ia lebih tepat disebut Surat azab.” Dari Said bin Jubair, ia berkata: aku bertanya pada Ibnu Abbas tentang surat Al-Taubah. Ibnu Abbas menjawab: “Itu surat yang menyingkap rahasia-rahasia. Tidak henti-hentinya ia turun, kecuali ada di antara rahasia kami yang diungkapnya. Sampai kami takut bahwa tiada (rahasia) yang tersisa dari seorang pun di antara kami. (semua keterangan di atas dinukil dari Tafsir Al-Tibyan, Syaikh Thusi, juz lima bagian surat Al-Taubah).
Berdasarkan keterangan-keterangan dari para sahabat itu, Surat Al-Taubah adalah Surat yang sangat ‘keras’. Ditujukan pada orang-orang kafir, tapi juga ditujukan pada sahabat-sahabat Nabi Saw. Konon, karena ‘keras’nya ayat-ayat di dalamnya, maka ia tidak diawali dengan nama Allah yang maha kasih maha sayang.
Kata bara’ah di awal surat juga menunjukkan sebuah aksi melepaskan diri dari perilaku orang-orang musyrik dan zalim. Karena ia dibacakan Sayyidina Ali bin Abi Thalib kw di musim haji, jamaah Iran menyertakannya dalam ritual haji mereka. Menurut fatwa para marja’nya, dalam ibadah haji—yang merupakan puncak ibadah kaum Muslimin—selalu harus ada pelepasan diri dari perilaku aniaya, dan mengecam kezaliman yang berlaku di muka bumi. Pada ibadah haji harus ada perlawanan terhadap kezaliman, penentangan terhadap kemusyrikan, dan pelepasan diri dari segala sesuatu yang jauh dari perlindungan dan petunjuk Allah dan Rasul-Nya. Tahun 1987 pernah menjadi tahun tragedi ketika para jemaah haji Iran yang hendak meneriakkan yel-yel anti kezaliman (berdasarkan semangat surat ini) diberondong timah panas oleh para tentara karena dianggap melakukan kerusuhan.
Penutup. Meski Surat Al-Taubah tidak diawali dengan basmalah (dan kita hanya mampu menangkap sedikit saja kemungkinan rahasianya), tetapi surat ini diakhiri dengan sangat indah. Setelah di awal berisi pelepasan, di tengah tersebar berbagai kecaman, di akhir surat itu dengan indah ditutup oleh sebuah ayat kebahagiaan. Ayat kasih sayang, ayat kerinduan.
Inilah dua ayat yang menutup Surat yang keras itu. Surat yang mengguncangkan para sahabat. Surat yang menghempaskan orang-orang kafir dan musyrik. Surat itu ditutup dengan ayat-ayat berikut ini: “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri. Berat terasa olehnya penderitaanmu. Ia sangat menginginkan kamu bahagia. Amat belas kasihan lagi penyayang kepada orang-orang yang beriman. Bil mu’miniina raa`ufur rahiim”
“Jika mereka berpaling maka katakanlah: “Cukuplah Allah bagiku; tiada Tuhan selain Dia. Hanya kepadaNya aku bertawakkal, dan Dialah Tuhan yang memiliki ‘Arasy yang agung.”
Maha benar Allah yang Maha agung.
Ya Allah, di ujung ayat-ayat yang menggoncangkan itu, di akhir surat yang disebut Hudzaifah dengan Surat Azab, yang diingatkan oleh Ibnu Abbas dengan kesedihan dan kekuatiran, Ya Allah Engkau kisahkan tentang seorang Nabi dari tengah-tengah kami, yang begitu besar belas kasihnya. Begitu ingin kami bahagia. Begitu berat bila kami menderita.
Boleh jadi surat itu tidak diawali dengan nama Allah yang Mahakasih Mahasayang, tapi ia diakhiri dengan nama kekasih hati yang penuh rindu penuh sayang. Ia tidak diawali dengan “Al-Rahman dan Al-Rahim” tapi ia diakhiri dengan “Al-Ra`uf dan al-Rahim”
Salam dan rindu kami bagimu Ya Rasulallah, dan bagi utusanmu pembaca Surat Al-Taubah, dan bagi setiap umatmu yang menyertakan namamu, setelah basmalah dalam setiap urusan mereka.