Pada bab zuhud yang ketiga dari ustad Haidar adalah zuhud dan kecintaan pada sesama. Disitu beliau memulai dengan sebuah syair dari Abu bin Azim yang ditulis dalam buku Amatullah Armstrong, yang bukunya diterbitkan Mizan. Amatullah Armstrong itu seorang perempuan muslihah, biarawati Australia yang masuk islam karena dengan puisi. Ketika gurunya menyuruh dia untuk mengapresiasi puisi, ia ketemu puisi Abu bin Azhim itu dan ia sampaikan di depan kelas. Lama setelah itu ia renungkan puisi itu sampai akhirnya ia mempelajari islam. Dan ia memilih masuk islam karena puisi itu.
Ceritanya dalam puisi itu Abu bin Azhim bermimpi. Dalam mimpinya itu dia melihat malaikat datang, dan kata malaikat itu, “Aku bawa nama-nama yang menjadi kekasih Tuhan.” Abu bin Azhim tanya, “Apakah namaku ada diantara nama-nama itu.” Kata malaikat itu, “Tidak, namamu tidak ada.” Lalu kata Abu bin Azhim, “Kalau begitu masukkan aku kedalam orang yang mencintai mereka.” Esok harinya Abu bin Ashim bermimpi lagi malaikat datang, dan malaikat itu bilang kepada Abu bin Ashim, “Nama kamu berada diatas semua nama-nama itu.” Jadi ciri zuhud yang berikutnya adalah kecintaan dia yang besar kepada sesama manusia. Apalagi kepada kekasih Allah Swt. Bukan saja kepada sesama manusia, tapi kepada seluruh alam semesta.
Ketika Junaid al-Baghdadi lewat disuatu tempat, dia melihat bangkai anjing dan ada perasaan jijik terhadap bangkai anjing itu bersama murid-muridnya. Dia lewati bangkai anjing itu dengan perasaan jijik. Lalu dia melangkah menjauhi bangkai anjing itu. Tiba-tiba Junaid al-Baghdadi menyadari kekeliruannya. Dia shalat dua rakaat, dia balik lagi ketempat bangkai anjing itu dan ia mandikan, ia kafani, dan ia kuburkan seperti layaknya jenazah manusia. Lalu murid-muridnya tanya, “Mengapa kau lakukan itu pada bangkai anjing.” Kata Junaid al-Baghdadi, “Karena tadi ketika kita melewati bangkai anjing itu, timbul rasa jijik dalam hatiku. Dan aku merasa berdosan karena aku telah merasa jijik terhadap sesuatu yang telah Allah ciptakan dengan begitu sempurna.” Jadi seorang yang zuhud adalah ia yang melepaskan ketakutan dia, kejijikan dia terhadap segala sesuatu. Kalau timbul dalam hati kita perasaan jijik terhadap apapun, itu ciri bahwa kita tidak bisa zuhud. Saya juga sampai sekarang tidak bisa untuk melawan perasaan tidak jijik itu. Ya memang harus latihan sih. Dan mungkin masing-masing kita mempunyai binatang yang kita jijik terhadapnya. Dan Junaid itu merasa jijik terhadap bangkai yang sudah tidak bernyawa, yang sudah tidak punya apa-apa. Tapi ia perlakukan itu (dengan baik, pen.), dan ia bilang pada muridnya, aku kafani dia, aku shalatkan dia karena itu kaffaratku terhadap rasa jijik yang keluar dari hatiku.
Apalagi Abu Dzar dan siapa sahabat nabi yang satunya lagi, ketika ia menjauh karena ada orang miskin seperti ada rasa jijik terhadap orang yang miskin itu. Merasa tidak satu level-lah, Rasulullah menegur dia. Lalu sahabat itu berkata pada nabi, “Ya Allah sebagai balasan atas satu perasaan sesaat saja yang muncul dari diriku karena tidak merasa cocok dengan sahabat nabi yang miskin itu, aku serahkan setengah hartaku kepada dia.” Itu kiffarat yang dia berikan karena dia merasa menjauhi seseorang yang karena status sosial, mungkin karena miskin, lalu ia merasa renggang. Itu yang sifatnya lebih halus lagi.
Jadi ketika sorang zahid itu menerapkan kecintaan dia kepada alam semesta, kita mungkin tidak mampu menjadi para kekasih Tuhan. Tapi lebih berat lagi kita itu menjadi orang yang mencintai para kekasih Tuhan. Kerana ketika kita sampai pada tahap itu, maka kecintaan kita itu adalah kecintaan pada seluruh alam semesta. Dan disitu juga ada pesan moral dari puasa sebagai latihan ketaqwaan kita. Diantara ciri orang yang bertaqwa adalah yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila min qablik, beriman atas apa yang diturunkan atas kamu dan beriman kepada apa-apa yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kamu. Ciri orang yang bertaqwa adalah toleran. Kalau kita sudah sampai pada tingkat ketaqwaan tertentu, kita itu akan sangat toleran terhadap perkembangan apapun, terhadap perbedaan apapun, terhadap agama apapun, bahkan terhadap alam semesta.
Kita tahu, kita masih merendahkan agama lain. Kalau kita masih merasa surga hanya milik kita saja, kita masih belum sampai pada derajat taqwa, apalagi zuhud yang sesungguhnya. Karena kita tidak bisa toleran terhadap sesama makhluk Allah Swt. Dan itu adalah pesan Gus Dur yang ingin saya ulangi lagi karena itu menjawab teka-teki saya selama ini. Ketika Gus Dur ditanya tentang pluralisme sewaktu di Sabuga, lalu dia menjawab, “Saya kan hanya mengamalkan al-Qur’an. Kita itu tidak ngaji al-Qur’an dengan benar. Coba kaji lagi al-Qur’an.” Kita sudah diciptakan berbeda kok. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. al-Hujaraat: 13), dan lain sebagainya.
Lalu kata Gus Dur itu, ada ayat walan tardha ankal yahuda wan nashaaraa hatta tattabia’ millatahum. Kalau saya ngasih pengajian, saya sering ditanya ayat itu dan saya tidak mampu menjawabnya. Tapi ketika dengar dari Gus Dur, itu membuka sesuatu yang selama ini membeku dalam pikiran saya. Dan tidaklah orang Yahudi dan Nashrani itu ridha sampai kamu ikuti agama mereka. Kata Gus Dur, “Jelaslah orang yahudi dan nashrani itu tidak akan ridha sama kita karena orang islam itu datang dengan agama baru. Kalau seseorang datang dengan agama baru, dia tidak akan rela karena yang dia miliki kemudian diganti dengan yang baru. Itu sifat orang yahudi dan nashrani. Justru, disitu ada mafhum mukhalafah, orang islam jangan seperti orang yahudi dan nashrani. Justru kita harus rela kalau orang lain berbeda dengan kita. Kita harus rela kalau orang lain tidak ikut ajaran kita. Kita harus rela kalau orang lain tidak satu paham dengan kita. Dan kalau kita tidak rela karena orang itu tidak sepaham dengan kita, (berarti) kita masih yahudi dan nashrani.
Jadi ciri orang yang bertaqwa adalah bersifat toleran dan itu buah dari kezuhudan. Kalau orang sudah zuhud, terbuka hatinya untuk mencintai siapapun. Termasuk orang yang ia dibenci sekalipun. Orang melaknat kita, mengutuk kita, tapi harus kita cinta. Orang memusuhi kita, membenci kita, menyebarkan aib kita, tapi kita masih mencintai dia, masih mendoakan dia. Seperti al-Hallaj ketika orang-orang melaknat dia, mencacimaki dia, didoakan oleh al-Hallaj orang-orang itu. Dan al-Hallaj mengatakan, “Mereka lakukan itu karena kecintaan mereka kepada agama mereka. Mereka tidak tahu apa yang aku alami.” Didoakan orang-orang yang melaknat dia, mencacimaki dia, bahkan akhirnya mengeksekusi dia. Itu orang yang sudah sampai pada tingkat zuhud yang sangat tinggi. Ketika ketika kepada orang yang memusuhi dia sekalipun, dia cintai. Begitu juga Rasulullah Saw dan para Imam as.
Ketika Junaid al-Baghdadi lewat disuatu tempat, dia melihat bangkai anjing dan ada perasaan jijik terhadap bangkai anjing itu bersama murid-muridnya. Dia lewati bangkai anjing itu dengan perasaan jijik. Lalu dia melangkah menjauhi bangkai anjing itu. Tiba-tiba Junaid al-Baghdadi menyadari kekeliruannya. Dia shalat dua rakaat, dia balik lagi ketempat bangkai anjing itu dan ia mandikan, ia kafani, dan ia kuburkan seperti layaknya jenazah manusia. Lalu murid-muridnya tanya, “Mengapa kau lakukan itu pada bangkai anjing.” Kata Junaid al-Baghdadi, “Karena tadi ketika kita melewati bangkai anjing itu, timbul rasa jijik dalam hatiku. Dan aku merasa berdosan karena aku telah merasa jijik terhadap sesuatu yang telah Allah ciptakan dengan begitu sempurna.” Jadi seorang yang zuhud adalah ia yang melepaskan ketakutan dia, kejijikan dia terhadap segala sesuatu. Kalau timbul dalam hati kita perasaan jijik terhadap apapun, itu ciri bahwa kita tidak bisa zuhud. Saya juga sampai sekarang tidak bisa untuk melawan perasaan tidak jijik itu. Ya memang harus latihan sih. Dan mungkin masing-masing kita mempunyai binatang yang kita jijik terhadapnya. Dan Junaid itu merasa jijik terhadap bangkai yang sudah tidak bernyawa, yang sudah tidak punya apa-apa. Tapi ia perlakukan itu (dengan baik, pen.), dan ia bilang pada muridnya, aku kafani dia, aku shalatkan dia karena itu kaffaratku terhadap rasa jijik yang keluar dari hatiku.
Apalagi Abu Dzar dan siapa sahabat nabi yang satunya lagi, ketika ia menjauh karena ada orang miskin seperti ada rasa jijik terhadap orang yang miskin itu. Merasa tidak satu level-lah, Rasulullah menegur dia. Lalu sahabat itu berkata pada nabi, “Ya Allah sebagai balasan atas satu perasaan sesaat saja yang muncul dari diriku karena tidak merasa cocok dengan sahabat nabi yang miskin itu, aku serahkan setengah hartaku kepada dia.” Itu kiffarat yang dia berikan karena dia merasa menjauhi seseorang yang karena status sosial, mungkin karena miskin, lalu ia merasa renggang. Itu yang sifatnya lebih halus lagi.
Jadi ketika sorang zahid itu menerapkan kecintaan dia kepada alam semesta, kita mungkin tidak mampu menjadi para kekasih Tuhan. Tapi lebih berat lagi kita itu menjadi orang yang mencintai para kekasih Tuhan. Kerana ketika kita sampai pada tahap itu, maka kecintaan kita itu adalah kecintaan pada seluruh alam semesta. Dan disitu juga ada pesan moral dari puasa sebagai latihan ketaqwaan kita. Diantara ciri orang yang bertaqwa adalah yu’minuuna bimaa unzila ilaika wamaa unzila min qablik, beriman atas apa yang diturunkan atas kamu dan beriman kepada apa-apa yang diturunkan kepada orang-orang sebelum kamu. Ciri orang yang bertaqwa adalah toleran. Kalau kita sudah sampai pada tingkat ketaqwaan tertentu, kita itu akan sangat toleran terhadap perkembangan apapun, terhadap perbedaan apapun, terhadap agama apapun, bahkan terhadap alam semesta.
Kita tahu, kita masih merendahkan agama lain. Kalau kita masih merasa surga hanya milik kita saja, kita masih belum sampai pada derajat taqwa, apalagi zuhud yang sesungguhnya. Karena kita tidak bisa toleran terhadap sesama makhluk Allah Swt. Dan itu adalah pesan Gus Dur yang ingin saya ulangi lagi karena itu menjawab teka-teki saya selama ini. Ketika Gus Dur ditanya tentang pluralisme sewaktu di Sabuga, lalu dia menjawab, “Saya kan hanya mengamalkan al-Qur’an. Kita itu tidak ngaji al-Qur’an dengan benar. Coba kaji lagi al-Qur’an.” Kita sudah diciptakan berbeda kok. Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. al-Hujaraat: 13), dan lain sebagainya.
Lalu kata Gus Dur itu, ada ayat walan tardha ankal yahuda wan nashaaraa hatta tattabia’ millatahum. Kalau saya ngasih pengajian, saya sering ditanya ayat itu dan saya tidak mampu menjawabnya. Tapi ketika dengar dari Gus Dur, itu membuka sesuatu yang selama ini membeku dalam pikiran saya. Dan tidaklah orang Yahudi dan Nashrani itu ridha sampai kamu ikuti agama mereka. Kata Gus Dur, “Jelaslah orang yahudi dan nashrani itu tidak akan ridha sama kita karena orang islam itu datang dengan agama baru. Kalau seseorang datang dengan agama baru, dia tidak akan rela karena yang dia miliki kemudian diganti dengan yang baru. Itu sifat orang yahudi dan nashrani. Justru, disitu ada mafhum mukhalafah, orang islam jangan seperti orang yahudi dan nashrani. Justru kita harus rela kalau orang lain berbeda dengan kita. Kita harus rela kalau orang lain tidak ikut ajaran kita. Kita harus rela kalau orang lain tidak satu paham dengan kita. Dan kalau kita tidak rela karena orang itu tidak sepaham dengan kita, (berarti) kita masih yahudi dan nashrani.
Jadi ciri orang yang bertaqwa adalah bersifat toleran dan itu buah dari kezuhudan. Kalau orang sudah zuhud, terbuka hatinya untuk mencintai siapapun. Termasuk orang yang ia dibenci sekalipun. Orang melaknat kita, mengutuk kita, tapi harus kita cinta. Orang memusuhi kita, membenci kita, menyebarkan aib kita, tapi kita masih mencintai dia, masih mendoakan dia. Seperti al-Hallaj ketika orang-orang melaknat dia, mencacimaki dia, didoakan oleh al-Hallaj orang-orang itu. Dan al-Hallaj mengatakan, “Mereka lakukan itu karena kecintaan mereka kepada agama mereka. Mereka tidak tahu apa yang aku alami.” Didoakan orang-orang yang melaknat dia, mencacimaki dia, bahkan akhirnya mengeksekusi dia. Itu orang yang sudah sampai pada tingkat zuhud yang sangat tinggi. Ketika ketika kepada orang yang memusuhi dia sekalipun, dia cintai. Begitu juga Rasulullah Saw dan para Imam as.
Sampai hari ini didalam hati saya itu ada pertanyaan ketika Imam Husain as itu dipenggal oleh Dzimir laknatullah alaihi, apa ada dalam hati Imam Husain itu kecintaan kepada Dzimir? Orang yang sudah mendhalimi beliau, mendhalimi keluarganya, bahkan akhirnya mengeksekusi Imam Husain as ( Cucu Rasulullah Saw). Dulu saya pernah diskusi agak rame berkenaan dengan apakah para Imam itu tahu siapa yang akan membunuh dia. Saya bilang, “Menurut saya, tahu.” Apakah Rasulullah tahu beliau akan syahid, apakah Imam Ali tahu beliau akan syahid, apakah Imam Husain tahu beliau akan syahid. Saya jawab, iya. Kalau begitu mereka bunuh diri, karena mereka melangkah pada sesuatu yang sudah mereka ketahui. Imam Husain tahu kalau pada akhirnya beliau akan syahid, tapi tetap beliau berangkat. Dan ketika Imam Ali itu membangunkan Ibn Muljam untuk shalat subuh yang sudah menunggu dengan belati dibalik jubah dia untuk membunuh Imam Ali, ucapan Imam Ali kan, “Bangunlah kamu. Aku melihat ada niat buruk dikedua matamu.” Imam Ali juga sudah tahu (kalau beliau akan dibunuh, pen.), tapi tetap beliau shalat hingga kemudian dipenggal dari belakang. Tetap Imam Ali itu mengajak sampai detik terakhir, karena kecintaan.
Seorang yang sudah sampai tingkat kezahidan yang sangat tinggi, sampai detik terakhirpun ia tetap menunjukkan kecintaannya bahkan kepada orang yang hendak membunuh dia. Jadi kepada Abdurrahman ibn Muljam juga masih diajak amar makruf nahi mungkar, diajak shalat subuh oleh Imam Ali. Dan walaupun Imam Ali tahu ada niat buruk dikedua mata Abdurrahman ibn Muljam itu.
Imam Husain juga begitu, dia berikan peluang, ajaibnya. Dalam kisah asyura itu kan, terlepas benar tidaknya sejarah ini, tapi ketika Imam Husain hendak dipenggal dari depan, pedang itu tidak bisa melukai Imam Husain. Dan kata Imam Husain, “Kamu tidak bisa melukai aku dari arah itu, karena disitulah dulu nabi sering mencium aku.” Imam Husain kasih isyarat kepada pembunuhnya itu. Kemudian dibalikkanlah tubuh Imam Husain itu, jadi Imam Husain telungkup ke arah bumi, lalu kemudian dipenggal dari belakang. Nah, bayangkan orang sampai detik terakhirpun diberi kesempatan untuk bertaubat. Kepada ibn Muljam juga diberi kesempatan, walaupun para Imam itu tahu apa yang akan terjadi, itu tidak menafikan kebebasan berkehendak yang ada pada masing-masing individu itu. Tidak menafikan kebebasan dia untuk memilih, sampai detik yang terakhir.
Ibn Muljam itu sampai detik terakhir dia punya pilihan. Sampai Imam Ali mulai ruku’, dia punya pilihan apakah dia menebas Imam Ali atau tidak. Begitu juga Dzimir, dia punya pilihan sampai detik terakhir ketika pedang dia sedang tidak mampu melukai Imam Husain dari arah depan, masih ada pilihan pada dia bahkan bertaubat pada saat itu. Tapi ketika hati seseorang itu sudah mengeras dari pintu taubat, maka terjadilah apa yang sudah terjadi. Kebebasan berkehendak tidak dinafikan, walaupun para Imam sudah tahu ilmunya. Dan itu karena kecintaan mereka bahkan kepada orang yang memusuhi mereka. Dan kecintaan yang paling tinggi adalah kecintaan kepada Allah Ta’ala, kemudian kepada para kekasih Allah Swt, setelah itu adalah kepada seluruh kecintaan Allah Swt. Jadi zuhud itu ditandai dengan ketidakterikatan hati kita pada dunia walaupun kita boleh mempunyai dunia itu, asal hati tidak terikat kedalamnya.
Lalu kepada apa hati itu kita ikatkan? Hati kita itu kita ikatkan dalam perwujudan cinta kita pada sesama. Sesama manusia dan kepada alam semesta. Kalau kepada bangkai yang jijik saja Junaid al-Baghdadi bisa menunjukkan kecintaan dia, maka apalgi kepada orang, kepada makhluk, kepada hamba Allah Ta’ala yang seumur hidupnya berada dijalan Allah Swt. Kepada para Imam as., kepada para nabi dan para rasul itu kecintaan kita harus lebih dari semuanya. Karena itu dalam al-Qur’an ada ayat bahwa Allah dan nabi itu lebih berhak untuk kalian cintai.
Jadi seorang zahid itu adalah orang yang bukan saja bekerja keras, tapi kerja keras dia itu ia tunjukkan untuk menyebarkan kecintaan kepada sesama. Dan menurut saya, itu tidak menafikan orang untuk ikut serta dalam perubahan sosial, perubahan politik yang ada di tengah-tengah masyarakatnya. Hampir semua revolusioner dalam sejarah islam, juga ia adalah seorang sufi. Sudan itu bisa memimpin melawan penjajah dari Inggris dan Prancis, padahal dibelakangnya ada seorang sufi dari tarekat Sanusiyah, kalau saya tidak salah. Sampai sekarang itu baju tradisional Sudan yang putih, berbeda dengan baju arab yang lainnya, itu baju tarekat yang kemudian jadi baju nasional karena pemimpinnya mengalahkan penjajah waktu itu dan dicontoh oleh rakyatnya. Itu baju tarekat seorang sufi yang bisa mengalahkan penjajah waktu itu.
Imam Khomeini juga adalah seorang sufi (zahid) yang sangat agung menurut saya, beliau juga pemimpin revolusi. Malah berperang sekian tahun lamanya. Tidak menafikan diri dari perubahan-perubahan sosial, tapi tidak mengikatkan diri pada dunia sedikitpun. Imam Khomeini sampai akhir hayatnya tidak mempunyai apapun kecuali baju. Itupun hanya beberapa pasang saja. Di Indonesia juga kita kenal ada Imam Bonjol, ada Pangeran Diponegoro.
Yang terkhir, saya itu selalu terngiang ucapan ustad Jalal ketika mulud-an tahun ini di depan Madrasah as-Sajjadiyah. Kalau Nabi Saw itu datang diutus Allah Ta’ala dan yang beliau sampaikan adalah apa yang selama ini kita sampaikan dalam pengajian-pengajian itu. Kalau nabi datang kepada kita dan menyampaikan bahwa kita itu harus memelihara hati kita supaya tidak hasud, tidak dengki, dan kita harus sabar karena BBM dinaikkan misalnya. Kalau nabi datang seperti itu, orang-orang kafirpun tidak akan ada yang protes satupun. Tidak akan ada yang memerangi nabi. Tidak akan ada yang akan melempari sampah kepada Rasulullah. Kalau ajakannya itu hanya ajakan yang sifatnya seperti itu. Tidak ada yang akan memerangi nabi kalau ajakan nabi juga disisi lain hanya untuk beribadah saja, hanya untuk dzikir saja kepada Allah Ta’ala, dzikir sama-sama (berjemaah). Orang Quraisy juga bahkan akan ikutan dzikir dengan nabi itu. Tapi nabi datang dengan protesan bahwa dalam islam tidak ada beda antara orang kaya dan orang miskin, tidak ada yang disebut dengan bangsawan. Ukuran kemuliaan itu hanya ketaqwaan. Seseorang tidak harus menghamba kepada orang lain. Seseorang tidak harus menjadi budak orang lain. Orang kaya harus menyerahkan sebagian hartanya kepada orang miskin. Kemapanan orang-orang Quraisy waktu itu diusik oleh Rasulullah. Dan karena itulah mereka memilih untuk memerangi Rasulullah Saw.
Tapi kalau yang didakwahkan adalah zuhud versi yang pertama, tidak akan ada yang akan memerangi nabi. Justru karena dia datang dengan konsep zuhud bahwa manusia itu tidak harus memberatkan hatinya pada siapapun dan dia harus memerdekakan hati dia dari perbudakan kepada apapun, juga memerdekakan orang lain dari perbudakan kepada yang lainnya. Termasuk kepada dunia, kepada nikmat-nikmat yang datang dari Allah Swt.
Seorang yang sudah sampai tingkat kezahidan yang sangat tinggi, sampai detik terakhirpun ia tetap menunjukkan kecintaannya bahkan kepada orang yang hendak membunuh dia. Jadi kepada Abdurrahman ibn Muljam juga masih diajak amar makruf nahi mungkar, diajak shalat subuh oleh Imam Ali. Dan walaupun Imam Ali tahu ada niat buruk dikedua mata Abdurrahman ibn Muljam itu.
Imam Husain juga begitu, dia berikan peluang, ajaibnya. Dalam kisah asyura itu kan, terlepas benar tidaknya sejarah ini, tapi ketika Imam Husain hendak dipenggal dari depan, pedang itu tidak bisa melukai Imam Husain. Dan kata Imam Husain, “Kamu tidak bisa melukai aku dari arah itu, karena disitulah dulu nabi sering mencium aku.” Imam Husain kasih isyarat kepada pembunuhnya itu. Kemudian dibalikkanlah tubuh Imam Husain itu, jadi Imam Husain telungkup ke arah bumi, lalu kemudian dipenggal dari belakang. Nah, bayangkan orang sampai detik terakhirpun diberi kesempatan untuk bertaubat. Kepada ibn Muljam juga diberi kesempatan, walaupun para Imam itu tahu apa yang akan terjadi, itu tidak menafikan kebebasan berkehendak yang ada pada masing-masing individu itu. Tidak menafikan kebebasan dia untuk memilih, sampai detik yang terakhir.
Ibn Muljam itu sampai detik terakhir dia punya pilihan. Sampai Imam Ali mulai ruku’, dia punya pilihan apakah dia menebas Imam Ali atau tidak. Begitu juga Dzimir, dia punya pilihan sampai detik terakhir ketika pedang dia sedang tidak mampu melukai Imam Husain dari arah depan, masih ada pilihan pada dia bahkan bertaubat pada saat itu. Tapi ketika hati seseorang itu sudah mengeras dari pintu taubat, maka terjadilah apa yang sudah terjadi. Kebebasan berkehendak tidak dinafikan, walaupun para Imam sudah tahu ilmunya. Dan itu karena kecintaan mereka bahkan kepada orang yang memusuhi mereka. Dan kecintaan yang paling tinggi adalah kecintaan kepada Allah Ta’ala, kemudian kepada para kekasih Allah Swt, setelah itu adalah kepada seluruh kecintaan Allah Swt. Jadi zuhud itu ditandai dengan ketidakterikatan hati kita pada dunia walaupun kita boleh mempunyai dunia itu, asal hati tidak terikat kedalamnya.
Lalu kepada apa hati itu kita ikatkan? Hati kita itu kita ikatkan dalam perwujudan cinta kita pada sesama. Sesama manusia dan kepada alam semesta. Kalau kepada bangkai yang jijik saja Junaid al-Baghdadi bisa menunjukkan kecintaan dia, maka apalgi kepada orang, kepada makhluk, kepada hamba Allah Ta’ala yang seumur hidupnya berada dijalan Allah Swt. Kepada para Imam as., kepada para nabi dan para rasul itu kecintaan kita harus lebih dari semuanya. Karena itu dalam al-Qur’an ada ayat bahwa Allah dan nabi itu lebih berhak untuk kalian cintai.
Jadi seorang zahid itu adalah orang yang bukan saja bekerja keras, tapi kerja keras dia itu ia tunjukkan untuk menyebarkan kecintaan kepada sesama. Dan menurut saya, itu tidak menafikan orang untuk ikut serta dalam perubahan sosial, perubahan politik yang ada di tengah-tengah masyarakatnya. Hampir semua revolusioner dalam sejarah islam, juga ia adalah seorang sufi. Sudan itu bisa memimpin melawan penjajah dari Inggris dan Prancis, padahal dibelakangnya ada seorang sufi dari tarekat Sanusiyah, kalau saya tidak salah. Sampai sekarang itu baju tradisional Sudan yang putih, berbeda dengan baju arab yang lainnya, itu baju tarekat yang kemudian jadi baju nasional karena pemimpinnya mengalahkan penjajah waktu itu dan dicontoh oleh rakyatnya. Itu baju tarekat seorang sufi yang bisa mengalahkan penjajah waktu itu.
Imam Khomeini juga adalah seorang sufi (zahid) yang sangat agung menurut saya, beliau juga pemimpin revolusi. Malah berperang sekian tahun lamanya. Tidak menafikan diri dari perubahan-perubahan sosial, tapi tidak mengikatkan diri pada dunia sedikitpun. Imam Khomeini sampai akhir hayatnya tidak mempunyai apapun kecuali baju. Itupun hanya beberapa pasang saja. Di Indonesia juga kita kenal ada Imam Bonjol, ada Pangeran Diponegoro.
Yang terkhir, saya itu selalu terngiang ucapan ustad Jalal ketika mulud-an tahun ini di depan Madrasah as-Sajjadiyah. Kalau Nabi Saw itu datang diutus Allah Ta’ala dan yang beliau sampaikan adalah apa yang selama ini kita sampaikan dalam pengajian-pengajian itu. Kalau nabi datang kepada kita dan menyampaikan bahwa kita itu harus memelihara hati kita supaya tidak hasud, tidak dengki, dan kita harus sabar karena BBM dinaikkan misalnya. Kalau nabi datang seperti itu, orang-orang kafirpun tidak akan ada yang protes satupun. Tidak akan ada yang memerangi nabi. Tidak akan ada yang akan melempari sampah kepada Rasulullah. Kalau ajakannya itu hanya ajakan yang sifatnya seperti itu. Tidak ada yang akan memerangi nabi kalau ajakan nabi juga disisi lain hanya untuk beribadah saja, hanya untuk dzikir saja kepada Allah Ta’ala, dzikir sama-sama (berjemaah). Orang Quraisy juga bahkan akan ikutan dzikir dengan nabi itu. Tapi nabi datang dengan protesan bahwa dalam islam tidak ada beda antara orang kaya dan orang miskin, tidak ada yang disebut dengan bangsawan. Ukuran kemuliaan itu hanya ketaqwaan. Seseorang tidak harus menghamba kepada orang lain. Seseorang tidak harus menjadi budak orang lain. Orang kaya harus menyerahkan sebagian hartanya kepada orang miskin. Kemapanan orang-orang Quraisy waktu itu diusik oleh Rasulullah. Dan karena itulah mereka memilih untuk memerangi Rasulullah Saw.
Tapi kalau yang didakwahkan adalah zuhud versi yang pertama, tidak akan ada yang akan memerangi nabi. Justru karena dia datang dengan konsep zuhud bahwa manusia itu tidak harus memberatkan hatinya pada siapapun dan dia harus memerdekakan hati dia dari perbudakan kepada apapun, juga memerdekakan orang lain dari perbudakan kepada yang lainnya. Termasuk kepada dunia, kepada nikmat-nikmat yang datang dari Allah Swt.