Berikut adalah khutbah Idul Adha, yang disiapkan oleh Ust Miftah F. Rakhmat, yang rencananya akan disampaikan di Hotel Horizon Bandung, 10 Dzulhijjah 1433 H.
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Alhamdulillahilladzi afqara wa aghna, alhamdulillahilladzi amaata wa ahya, alhamdulillahilladzi adhaka wa abka, alhamdulillahilladzi ja’ala lana ‘iydain: ‘idil fithri wal adhha, alhamdulillahilladzi khalaqal basyara zawjain, minadz dzakari wal untsaa, liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala.
Allahu akbar 7 x, wa lillahil hamd
Hadirin dan hadirat, ‘aidin dan ‘aidat, yang hari ini berbahagia dan berhari raya...
Segala puji bagi Allah yang menguji rezeki dalam fakir dan kaya. Segala puji bagi Allah yang karenaNya hidup dan mati manusia. Segala puji bagi Allah yang menebarkan tawa dan menyempatkan duka. Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan dua hari raya: Idul Fithri dan Adha. Segala puji bagi Allah yang menciptakan pasangan pada manusia: laki-laki dan wanita, supaya Dia menguji siapa di antara kalian yang paling takwa.
Shalawat dan salam senantiasa terlimpah curah, pada baginda kekasih hati, Nabi besar Muhammad Saw, dan keluarganya yang suci. Para sahabat yang terpuji, dan jutaan peziarah rumah Tuhan yang berhaji. Yang kita teladani pada saat-saat seperti ini.
Pagi ini, kita gemakan takbir kita. Kita ungkapkan syukur kita. Kita lantunkan salam kerinduan kita. Pada awal-awal bulan Dzulhijjah, juga setelah berlepas dari tanah lapang ini, kita dianjurkan memperbanyak pujian dan mengagungkan Allah Swt. Mengapa? Karena kebesaran syariat yang telah Allah pilihkan bagi Kaum Muslimin. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Ziinu a’yadakum bi al-takbir.” Hiasilah hari raya kalian dengan (menggemakan) takbir[1]. Allahu Akbar. Nabi Saw bahkan diriwayatkan mengulang takbir beberapa kali pada khutbah Idul Fithri dan Idul Adha beliau[2]. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahi al-hamd.
Mengapa kita bertakbir? Pertama, untuk memasrahkan diri kita sepenuh kepasrahan pada Tuhan seluruh semesta. Jemaah haji di tanah suci selalu mengawali rangkaian ibadah dengan nama Allah dan membesarkannya: Bismillahi Allahu Akbar. Tak henti-hentinya mereka tawaf di sekitar rumah Tuhan, kemudian setiap mendekati Hajar Aswad, mereka akan istilam dan mengangkat tangannya, sesuai bunyi riwayat: bagi segala sesuatu ada perhiasannya, dan hiasan takbir adalah dengan mengangkat tangan. Ketika mereka melempar jumrah, mereka berkata: Bismillahi Allahu Akbar. Ketika mereka sa’i, mereka berkata: Bismillahi Allahu Akbar. Ketika mereka dan kita setelah ini menyembelih hewan kurban, kita pun akan berkata yang sama: Bismillahi Allahu Akbar.
Kita membesarkan Dia karena kita pasrah kepadaNya dalam setiap keadaan. Sungguh, puncak membesarkan Tuhan adalah dengan memasrahkan diri pada kehendak dan seluruh perintahNya. Sebagaimana Ibrahim—setelah seluruh ujian dan cobaan—masih juga diperintahkan Tuhan untuk pasrah kepadaNya: “Idz qaala lahu rabbuhu aslim. Qaala, aslamtu li rabbil ‘aalamin.” Berkatalah Tuhan kepadanya: pasrahlah. Ibrahim menjawab: Aku pasrah pada Tuhan semesta alam (QS. 2:131).
Dari Ibrahim kita belajar teladan kepatuhan. Dari Ismail as kita belajar teladan kerelaan. Patuh dan rela adalah dua tiang tak tergoyahkan dari kepasrahan. Patuh dan rela akan diperoleh setelah melalui serangkaian ujian.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Inna lillah wa inna ilaihi raaji’un. Mereka itulah yang mendapat shalawat dari Tuhan mereka dan rahmat, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah [2] “ 155 – 157).
Tuhan akan menguji kita untuk mengetahui apa yang paling kita cintai. Sanggupkah kita meletakkannya di altar persembahan? Sanggupkah kita meninggalkannya sebagai tebusan agar dekat dengan Dia yang Mahadirindukan? Qurban yang bermakna pengurbanan, juga artinya kedekatan. Makin banyak yang kita kurbankan untuk Dia, makin dekat kita dengan Dia.
Bila dalam Surat Al-Ahzab ayat 56, Allah Ta’ala dan para malaikatnya senantiasa bershalawat pada Rasulullah Saw, maka kelompok yang diceritakan juga mendapat shalawat dan rahmat dari Allah adalah orang-orang yang bersabar, yang patuh dan rela dalam berbagai keadaan, yang pasrah dan senantiasa berkata: Sungguh, semuanya milik Allah. Dan semuanya akan kembali kepada Allah. Allahu akbar.
Dahulu di zaman Rasulullah Saw, ada seorang sahabat yang diuji dengan kekurangan kepemilikan. Ia tidak dapat memenuhi keperluan istri dan anak-anaknya. Ketika kefakiran dirasa sudah begitu berat, istrinya memintanya untuk menemui Rasulullah Saw, untuk meminta bantuan dari Nabi. Berjalanlah ia menuju majelis Nabi. Sesampainya di sana, ia mendengar Nabi Saw tengah bersabda: “Man sa`alana a’thainahu, wa man istaghna aghnahullah...Barangsiapa yang meminta pada kami, akan kami beri. Barangsiapa yang merasa cukup, Allah akan mencukupinya.” Mendengar ini, sahabat ini urung menyatakan keperluannya. Ia bertekad tidak akan meminta bantuan manusia selama ia sanggup menjalankannya. Katanya: Aku akan tawakkal pada Allah, cukuplah Allah penolongku. Kemudian ia melangkah ke sahara. Ia mengumpulkan tumbuh-tumbuhan kering yang dapat dicarinya, menjualnya ke kota, dan menjadikannya mata pencariannya. Berjalanlah waktu sekian lama. Hingga akhirnya ia sanggup memenuhi keperluan keluarganya, bahkan memiliki kekayaan berlimpah dan pekerja yang banyak. Ketika ia kembali bertemu Rasulullah Saw, ia kisahkan ceritanya. Nabi tersenyum dan bersabda: “Masih ingatkah kau ucapanku: Man sa`alana a’thainahu, wa man istaghna aghnahullah...Barangsiapa yang meminta pada kami, akan kami beri. Barangsiapa yang merasa cukup, Allah akan mencukupinya.”[3] Allahu Akbar. Seperti Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas salam. Pasrahlah pada Tuhan, dan Allah Ta’ala akan menurunkan nikmat tak terkira. Zamzam, keberkahan kota suci Makkah, dan perjalanan haji adalah buah dari kepasrahan kedua hamba yang shalih itu.
Kedua, kita bertakbir untuk mengikis habis ego dan kehendak dalam diri. Bacalah takbir dan hilangkan kepentingan pribadi. Orang yang masih mendahulukan hawa nafsu, kepentingan kelompok, golongan, atau partai di atas kehendak Tuhan, adalah orang yang masih belum mengucapkan takbir dalam shalatnya. Boleh jadi ia melafalkan Allahu Akbar, tapi ia masih belum membesarkan Allah dalam dirinya. Alih-alih bertakbir, ia bertakabbur. Nabi Saw bersabda: “Jauhilah takabbur. Sesungguhnya hamba yang tidak berhenti takabbur, Allah Ta’ala akan berkata tentangnya: Tuliskan ia dalam orang-orang yang keras hatinya.[4]” Dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah: “Jauhilah takabbur, karena ia ra’s al-thugyan wa ma’shiyat al-rahman, puncak pembangkangan dan penentangan Yang Mahasayang.[5]” Atau dari Imam Baqir as: “Tidaklah seorang hamba memasukkan dalam hatinya perasaan takabbur, kecuali Allah Ta’ala kurangi pada kadar akalnya sebesar yang sama, baik besar maupun kecil.[6]”
Bilakah kita melihat kelompok yang menghamun maki kelompok lain karena merasa lebih benar. Ataukah mereka yang menyerang, menjarah, memaksa seseorang terusir dari tanah dan rumahnya, dari keluarga dan ternaknya, karena merasa diri lebih saleh, lebih baik, lebih berada dalam petunjuk ketimbang orang yang lain itu. Wajarlah bila mereka tak sungkan-sungkan memukul, menerjang, bahkan menghabisi nyawa sesama saudaranya, karena besarnya ketakabburan telah menghilangkan kadar akalnya juga. Tidak aneh bila kemudian kita melihat ia menyakiti sesamanya, seraya mengucapkan kalimah jalalah itu. “Allah Akbar!” dan dia hancurkan saudaranya sesama manusia. Ketakabburan dapat menghilangkan keberkahan kehidupan.
Pernah Nabi Isa as menemui seorang rahib ahli ibadah. Ia berbincang dengannya. Di tengah perbincangan itu, lewatlah seorang pemuda yang dikenal dengan dosa dan kemaksiatannya. Melihat kedua alim itu, pemuda ini tertegun. Tak mampu melangkahkan kakinya. Ia berdoa pada Allah: “Ya Allah, aku malu melihat kedua orang saleh itu. Jangan tampakkan aibku di hadapan mereka. Sungguh aku bertaubat kepadamu.”
Di sisi lain, si rahib melihat pemuda itu berkata pada Tuhan: “Ya Allah, aku beribadah padaMu dan pemuda ini berbuat maksiat padaMu. Jangan Kaugabungkan aku di hari akhir bersamanya.” Kemudian turunlah kabar dari langit pada Nabi Isa as mengabarkan bahwa Tuhan telah mengijabah doa kedua hambanya: menerima taubat si pemuda, dan mengabarkan neraka pada si rahib. Amalan pemuda itu kepasrahan, sedangkan dosa ahli ibadah itu adalah ketakabburan. Allahu Akbar.
Ketiga, takbir kita gemakan untuk memuji Tuhan karena syariat agamanya yang sempurna. Bayangkan betapa besar manfaat puasa bagi tubuh dan jiwa. Hidupnya perekonomian karena sebulan beribadah pada Tuhan. Bayangkan manfaat tak terhingga dari ibadah haji. Dari persatuan dan persaudaraan kaum Muslimin. Dari daging dan sembelihan kita hari ini. Mengutip ayat Al-Qur’an: “Litukabbirullaha ‘ala maa haadakum wa la’allakum tasykurun...” Supaya kalian besarkan Allah atas petunjuknya bagi kalian dan agar kalian bersyukur. (QS. Al-Baqarah [2]: 185). Inilah agama yang ritual ibadahnya mendatangkan keberkahan dan manfaat tak terkira. Betapa banyak perut yang dikenyangkan, betapa banyak jiwa yang dibahagiakan.
Gemakanlah takbir itu dalam setiap keseharian kita. Memuji Allah dengan kepasrahan pada setiap ujiannya, bahkan sekiranya kita harus mengurbankan seluruh keinginan dan kehendak diri. Pujilah Allah dengan tidak pernah memandang diri lebih baik dari orang lain, dengan selalu melihat kebaikan pada orang di sekitar kita. Seperti riwayat Imam Husain as: “Yang disebut adab, ialah ketika kamu keluar dari rumah, kemudian kamu berjumpa dengan seseorang dan kamu melihat pada diri orang itu ada sesuatu yang membuatnya lebih baik dari kamu.” Terakhir, pujilah Allah dengan mensyukuri seluruh perintahNya dan mengamalkannya dengan sepenuh kepasrahan, kerendahan, dan niat untuk senantiasa mendekatkan diri kepadaNya dalam setiap keadaan.
Barakallahu lakum fil qur’anil karim, wa nafa’ni wa iyyakum bi ma fiihi minal ayaati wa dzikril hakim, innallaha sami’un ‘alim, wa shallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa Alihith thaahirin...
Khutbah kedua
Alhamdulillah, alladzi haadana lihadza wa ma kunna linahtadiya law laa an hadaanallah wa shallallahu ‘ala nabiyyihi nabiyyil mushtafa wa ‘ala aalihi ahlis shidqi wal wafaa
Allahu akbar 5 x wa lillahil hamd
Hadirin dan hadirat, ‘aidin dan ‘aidat, yang hari ini berbahagia dan berhari raya...
Marilah kita berlepas dari tanah lapang ini dengan memperbanyak takbir dan melepaskan ketakabburan itu. Seperti Ibrahim as yang mengurbankan yang dicintainya. Seperti Ismail as yang pasrah pada ketentuan Tuhannya. Seperti Siti Hajar yang tak lelah berjuang di tengah seluruh penderitaannya. Seperti orang-orang saleh sepanjang sejarah, yang memberikan segalanya. Meneladani Ibrahim, Ismail dan Hajar ‘alaihimus salam, patuhlah pada seluruh perintah Tuhan, pasrahlah pada setiap keadaan, berusahalah menghadapi setiap tantangan... seperti Ibrahim, Ismail dan Hajar, setelah seluruh ujian dan kepasrahan itu, Allah Ta’ala menerima keikhlasan dan ketaatan mereka, seraya mengganti sembelihan mereka dengan pengurbanan yang jauh lebih besar lagi. Wa fadaynaahu bi dzibhin ‘azhim, dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang agung. (QS. Al-Shaafaat [37[ : 107).
‘Azhim, agung adalah sifat Allah Swt. Shadaqallahul ‘aliyyul ‘azhim. Kali ini, kata ‘azhim disifatkan pada sembelihan pengganti kepasrahan kedua nabi besar itu. Adakah ini pertanda akhir dari ujian? Ataukah masih ada cobaan yang jauh lebih besar lagi bagi keturunan keluarga bapak para nabi ini? Mungkinkah sembelihan yang agung itu adalah darah yang kelak tertumpah, untuk membela kemuliaan agama Allah.
Marilah kita akhiri ibadah kita kali ini dengan menyatakan diri pasrah kepadaNya. Semoga hilang seluruh kehendak diri, terkubur ego dan ambisi pribadi. Marilah kita sampaikan betapa lemahnya kita, betapa rentannya kita, betapa bergantungnya kita kepada kasih sayang dan kesempurnaan Tuhan semesta alam...
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Bismillāhir raḥmāni raḥīm
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَاجْعَلْ لِيْ مِنْ أَمْرِيْ فَرَجًا وَمَخْرَجًا وَارْزُقْنِيْ مِنْ حَيْثُ أَحْتَسِبُ وَمِنْ حَيْثُ لَا أَحْتَسِبُ
Allāhumma ṣallī ʻalā muḥammadiw waʹāli muḥammadiw wajʻallī minʹamrī farajaw wa makhrajaw warzuqnī min ḥaiṡu aḥtasibu wa min ḥaiṡu lā aḥtasib
Ya Allah, limpahkanlah salawat atas Muhammad dan keluarganya, mudahkanlah segala urusanku dan curahkanlah rezeki atasku, baik yang kuduga maupun yang tak kuduga.
اَللّٰهُمَّ ارْزُقْنَا تَوْفِيْقَ الطَّاعَةِ وَبُعْدَ الْمَعْصِيَّةِ وَصِدْقَ النِّيَّةِ وَعِرْفَانَ الْحُرْمَةِ
Allāhummarzuqnā taufīqaṭṭāʻati wabuʻdal maʻṣiyyati wa ṣidqanniyyati waʻirfān alḥurmah
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami kemudahan untuk taat, menjauhi maksiat, ketulusan niat, dan mengetahui kemuliaan
وَأَكْرِمْنَا بِالْهُدٰى وَالْإِسْتِقَامَةِ
Waʹakrimnā bilhudā walʹistiqāmah
Muliakanlah kami dengan hidayah dan kemuliaan
وَسَدِّدْ أَلْسِنَتَنَا بِالصَّوَابِ وَالْحِكْمَةِ
Wasaddid alsinatanā biṣ ṣawābi wal ḥikmah
Luruskanlah lidah kami dnegan kebenaran dan hikmah
وَامْلَأْ قُلُوْبَنَا بِالْعِلْمِ وَالْمَعْرِفَةِ
Wamlaʹqulūbanā bilʻilmi wal maʻrifah
Penuhilah kalbu kami dengan ilmu dan makrifat (pengetahuan)
وَطَهِّرْ بُطُوْنَنَا مِنَ الْحَرَامِ وَالشُّبْهَةِ
Wa ṭahhir buṭūnanā minal ḥarāmi wasy syubhah
Sucikanlah perut kami dari haram dan syubhat
وَاكْفُفْ أَيْدِيَنَا عَنِ الظُّلْمِ وَالسِّرْقَةِ
Wakfuf aidiyanā ʻaniẓẓulmi was sirqah
Tahanlah tangan kami dari kezaliman dan pencurian
وَاغْضُضْ أَبْصَارَنَا عَنِ الْفُجُوْرِ وَالْخِيَانَةِ
Wagḍuḍ abṣāranā ʻanillagwi wal gībah
Tundukkanlah pandangan kami dari kejahatan dan pengkhianatan
وَاسْدُدْ أَسْمَاعَنَا عَنِ اللَّغْوِ وَالْغِيْبَةِ
Wasdud asmā ʻanāʻanillagwi wal gībah
Palingkanlah pendengaran kami dari ucapan sia-sia dan ghibah
وَتَفَضَّلْ عَلٰى عُلَمَائِنَا بِالزُّهْدِ وَالنَّصِيْحَةِ
Wa tafaḍḍal ʻalā ʻulamāʹinā bizzuhdi wan naṣīḥah
Dan karuniakanlah kepada ulama kami kezuhudan dan nasihat,
وَعَلَى الْمُتَعَلِّمِيْنَ بِالْجُهْدِ وَالرَّغْبَةْ
Wa ʻalal mutaʻallimīna bil juhdi war ragbah
Kepada para pelajar kesungguhan dan semangat,
وَعَلَى الْمُسْتَمِعِيْنَ بِالْإِتِّبَاعِ وَالْمَوْعِظَةِ
Wa ʻalal mustamiʻīna bil ittibāʻi wal mauʻiẓah
Kepada para pendengar kepatuhan dan kesadaran,
وَعَلٰى مَرْضَى الْمُسْلِمِيْنَ بِالشِّفَاءِ وَالرَّاحَةِ
Wa ʻalā marḍal muslimīna bisy syifāʹi warrāḥah
Kepada Muslimin yang sakit kesembuhan dan ketenangan,
وَعَلٰى مَوْتَاهُمْ بِالرَّأْفَةِ وَالرَّحْمَةِ
Wa ʻalā mautāhum bir raʹfati war raḥmah
Kepada mereka yang sudah meninggal dunia kasih sayang dan rahmat,
وَعَلٰى مَشَايِخِنَا بِالْوَقَارِ وَالسَّكِيْنَةِ
Wa ʻalā masyāyikhinā bil waqāri was sakīnah
Kepada orang-orang tua kami kewibawaan dan ketenteraman,
وَعَلَى الشَّبَابِ بِالْإِنَابَةِ وَالتَّوْبَةِ
Wa ʻalasy syabābi bil inābati wat taubah
Kepada para pemuda kami kembali (ke jalan Allah) dan taubat,
وَعَلَى النِّسَاءِ بِالْحَيَاءِ وَالْعِفَّةِ
Wa ʻalan nisāʹi bil ḥayāʹi wal ʻiffah
Kepada para wanita rasa malu dan kesucian,
وَعَلَى الْأَغْنِيَاءِ بِالتَّوَاضُعِ وَالسَّعَةِ
Wa ʻalal agniyāʹi bit tawāḍuʻi was saʻah
Kepada orang-orang kaya kerendahan diri dan kelapangan (rezeki),
وَعَلَى الْفُقَرَاءِ بِالصَّبْرِ وَالْقَنَاعَةِ
Wa ʻalal fuqarāʹi biṣ ṣabri wal qanāʻah
Kepada orang-orang miskin kesabaran dan qana’ah (rasa terima),
وَعَلَى الْغُزَاةِ بِالنَّصْرِ وَالْغَلَبَةِ
Wa ʻalal guzāti bin naṣri wal galabah
Kepada para pejuang kemenangan dan penaklukan
وَعَلَى الْأُسَرَاءِ بِالْخَلَاصِ وَالرَّاحَةِ
Wa ʻalal usarāʹi bil khalāṣi war rāḥah
Kepada para tawanan kebebasan dan ketenangan,
وَعَلَى الْأُمَرَاءِ بِالْعَدْلِ وَالشَّفَقَةِ
Wa ʻalal ʹumarāʹi bil ʻadli wasy syafaqah
Kepada para pemimpin bertindak adil dan kasih sayang,
وَعَلَى الرَّعِيَّةِ بِالْإِنْصَافِ وَحُسْنِ السِّيْرَةِ
Wa ʻalar raʻiyyati bil inṣāfi wa ḥusnis sīrah
Dan kepada rakyat dengan kejujuran dan kebaikan akhlak,
وَبَارِكْ لِلْحُجَّاجِ وَالزُّوَّارَ فِي الزَّادِ وَالنَّفَقَةِ
Wa bāriklil ḥujjāji waz zuwwāri fiz zādi wan nafaqah
Berkahilah para jamaah haji dan penziarah dalam bekal dan nafkah,
وَاقْضِ مَا أَوْجَبْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ
Waqḍimā aujabta ʻalaihim minal ḥajji wal ʻumrah
Dan sempurnakanlah haji dan umrah yang telah kauwajibkan bagi mereka,
بِفَضْلِكَ وَرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Bi faḍlika wa raḥmatika yā arḥamar rāḥimīn
Dengan karunia dan rahmat-Mu, wahai yang Lebih Pengasih dari para pengasih.
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ [٣٧:١٨٠]
Subḥāna rabbika rabbil ʻizzati ʻammāyaṣifūn
Maha Suci Tuhanmu Yang Mahaperkasa dari apa yang mereka katakan. (QS Aṣ-Ṣāffāt (37):180)
وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ [٣٧:١٨١]
Wasalāmun ʻalal mursalīn
Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. (QS Aṣ-Ṣāffāt (37):181)
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ [٣٧:١٨٢]
Wal ḥamdu lillāhi rabbil ʻālamīn
Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. (QS Aṣ-Ṣāffāt (37):182
*) Khutbah Idul Adha, Miftah F. Rakhmat, disampaikan di Hotel Horizon Bandung, 10 Dzulhijjah 1433 H.
Catatan:
[1] Kanz al-‘Ummal, ‘Allamah Muttaqi al-Hindi hadis no. 24094
[2] Idem, hadis no. 18103
[3] Qishas al-Abrar, Syahid Muthahhari, halaman 10-11
[4] Kanz al-‘Ummal, ‘Allamah Muttaqi al-Hindi, hadis no. 7749, 7729
[5] Ghurar al-Hikam, riwayat no. 2609, 1968, 2898
[6] Al-Bihar, 83:209
Allahumma Shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Alhamdulillahilladzi afqara wa aghna, alhamdulillahilladzi amaata wa ahya, alhamdulillahilladzi adhaka wa abka, alhamdulillahilladzi ja’ala lana ‘iydain: ‘idil fithri wal adhha, alhamdulillahilladzi khalaqal basyara zawjain, minadz dzakari wal untsaa, liyabluwakum ayyukum ahsanu ‘amala.
Allahu akbar 7 x, wa lillahil hamd
Hadirin dan hadirat, ‘aidin dan ‘aidat, yang hari ini berbahagia dan berhari raya...
Segala puji bagi Allah yang menguji rezeki dalam fakir dan kaya. Segala puji bagi Allah yang karenaNya hidup dan mati manusia. Segala puji bagi Allah yang menebarkan tawa dan menyempatkan duka. Segala puji bagi Allah yang telah menjadikan dua hari raya: Idul Fithri dan Adha. Segala puji bagi Allah yang menciptakan pasangan pada manusia: laki-laki dan wanita, supaya Dia menguji siapa di antara kalian yang paling takwa.
Shalawat dan salam senantiasa terlimpah curah, pada baginda kekasih hati, Nabi besar Muhammad Saw, dan keluarganya yang suci. Para sahabat yang terpuji, dan jutaan peziarah rumah Tuhan yang berhaji. Yang kita teladani pada saat-saat seperti ini.
Pagi ini, kita gemakan takbir kita. Kita ungkapkan syukur kita. Kita lantunkan salam kerinduan kita. Pada awal-awal bulan Dzulhijjah, juga setelah berlepas dari tanah lapang ini, kita dianjurkan memperbanyak pujian dan mengagungkan Allah Swt. Mengapa? Karena kebesaran syariat yang telah Allah pilihkan bagi Kaum Muslimin. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw: “Ziinu a’yadakum bi al-takbir.” Hiasilah hari raya kalian dengan (menggemakan) takbir[1]. Allahu Akbar. Nabi Saw bahkan diriwayatkan mengulang takbir beberapa kali pada khutbah Idul Fithri dan Idul Adha beliau[2]. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar wa lillahi al-hamd.
Mengapa kita bertakbir? Pertama, untuk memasrahkan diri kita sepenuh kepasrahan pada Tuhan seluruh semesta. Jemaah haji di tanah suci selalu mengawali rangkaian ibadah dengan nama Allah dan membesarkannya: Bismillahi Allahu Akbar. Tak henti-hentinya mereka tawaf di sekitar rumah Tuhan, kemudian setiap mendekati Hajar Aswad, mereka akan istilam dan mengangkat tangannya, sesuai bunyi riwayat: bagi segala sesuatu ada perhiasannya, dan hiasan takbir adalah dengan mengangkat tangan. Ketika mereka melempar jumrah, mereka berkata: Bismillahi Allahu Akbar. Ketika mereka sa’i, mereka berkata: Bismillahi Allahu Akbar. Ketika mereka dan kita setelah ini menyembelih hewan kurban, kita pun akan berkata yang sama: Bismillahi Allahu Akbar.
Kita membesarkan Dia karena kita pasrah kepadaNya dalam setiap keadaan. Sungguh, puncak membesarkan Tuhan adalah dengan memasrahkan diri pada kehendak dan seluruh perintahNya. Sebagaimana Ibrahim—setelah seluruh ujian dan cobaan—masih juga diperintahkan Tuhan untuk pasrah kepadaNya: “Idz qaala lahu rabbuhu aslim. Qaala, aslamtu li rabbil ‘aalamin.” Berkatalah Tuhan kepadanya: pasrahlah. Ibrahim menjawab: Aku pasrah pada Tuhan semesta alam (QS. 2:131).
Dari Ibrahim kita belajar teladan kepatuhan. Dari Ismail as kita belajar teladan kerelaan. Patuh dan rela adalah dua tiang tak tergoyahkan dari kepasrahan. Patuh dan rela akan diperoleh setelah melalui serangkaian ujian.
“Dan sungguh akan Kami berikan cobaan kepadamu, dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang sabar. (yaitu) orang-orang yang apabila ditimpa musibah, mereka mengucapkan “Inna lillah wa inna ilaihi raaji’un. Mereka itulah yang mendapat shalawat dari Tuhan mereka dan rahmat, dan mereka itulah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Baqarah [2] “ 155 – 157).
Tuhan akan menguji kita untuk mengetahui apa yang paling kita cintai. Sanggupkah kita meletakkannya di altar persembahan? Sanggupkah kita meninggalkannya sebagai tebusan agar dekat dengan Dia yang Mahadirindukan? Qurban yang bermakna pengurbanan, juga artinya kedekatan. Makin banyak yang kita kurbankan untuk Dia, makin dekat kita dengan Dia.
Bila dalam Surat Al-Ahzab ayat 56, Allah Ta’ala dan para malaikatnya senantiasa bershalawat pada Rasulullah Saw, maka kelompok yang diceritakan juga mendapat shalawat dan rahmat dari Allah adalah orang-orang yang bersabar, yang patuh dan rela dalam berbagai keadaan, yang pasrah dan senantiasa berkata: Sungguh, semuanya milik Allah. Dan semuanya akan kembali kepada Allah. Allahu akbar.
Dahulu di zaman Rasulullah Saw, ada seorang sahabat yang diuji dengan kekurangan kepemilikan. Ia tidak dapat memenuhi keperluan istri dan anak-anaknya. Ketika kefakiran dirasa sudah begitu berat, istrinya memintanya untuk menemui Rasulullah Saw, untuk meminta bantuan dari Nabi. Berjalanlah ia menuju majelis Nabi. Sesampainya di sana, ia mendengar Nabi Saw tengah bersabda: “Man sa`alana a’thainahu, wa man istaghna aghnahullah...Barangsiapa yang meminta pada kami, akan kami beri. Barangsiapa yang merasa cukup, Allah akan mencukupinya.” Mendengar ini, sahabat ini urung menyatakan keperluannya. Ia bertekad tidak akan meminta bantuan manusia selama ia sanggup menjalankannya. Katanya: Aku akan tawakkal pada Allah, cukuplah Allah penolongku. Kemudian ia melangkah ke sahara. Ia mengumpulkan tumbuh-tumbuhan kering yang dapat dicarinya, menjualnya ke kota, dan menjadikannya mata pencariannya. Berjalanlah waktu sekian lama. Hingga akhirnya ia sanggup memenuhi keperluan keluarganya, bahkan memiliki kekayaan berlimpah dan pekerja yang banyak. Ketika ia kembali bertemu Rasulullah Saw, ia kisahkan ceritanya. Nabi tersenyum dan bersabda: “Masih ingatkah kau ucapanku: Man sa`alana a’thainahu, wa man istaghna aghnahullah...Barangsiapa yang meminta pada kami, akan kami beri. Barangsiapa yang merasa cukup, Allah akan mencukupinya.”[3] Allahu Akbar. Seperti Ibrahim dan Ismail ‘alaihimas salam. Pasrahlah pada Tuhan, dan Allah Ta’ala akan menurunkan nikmat tak terkira. Zamzam, keberkahan kota suci Makkah, dan perjalanan haji adalah buah dari kepasrahan kedua hamba yang shalih itu.
Kedua, kita bertakbir untuk mengikis habis ego dan kehendak dalam diri. Bacalah takbir dan hilangkan kepentingan pribadi. Orang yang masih mendahulukan hawa nafsu, kepentingan kelompok, golongan, atau partai di atas kehendak Tuhan, adalah orang yang masih belum mengucapkan takbir dalam shalatnya. Boleh jadi ia melafalkan Allahu Akbar, tapi ia masih belum membesarkan Allah dalam dirinya. Alih-alih bertakbir, ia bertakabbur. Nabi Saw bersabda: “Jauhilah takabbur. Sesungguhnya hamba yang tidak berhenti takabbur, Allah Ta’ala akan berkata tentangnya: Tuliskan ia dalam orang-orang yang keras hatinya.[4]” Dari Sayyidina Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah: “Jauhilah takabbur, karena ia ra’s al-thugyan wa ma’shiyat al-rahman, puncak pembangkangan dan penentangan Yang Mahasayang.[5]” Atau dari Imam Baqir as: “Tidaklah seorang hamba memasukkan dalam hatinya perasaan takabbur, kecuali Allah Ta’ala kurangi pada kadar akalnya sebesar yang sama, baik besar maupun kecil.[6]”
Bilakah kita melihat kelompok yang menghamun maki kelompok lain karena merasa lebih benar. Ataukah mereka yang menyerang, menjarah, memaksa seseorang terusir dari tanah dan rumahnya, dari keluarga dan ternaknya, karena merasa diri lebih saleh, lebih baik, lebih berada dalam petunjuk ketimbang orang yang lain itu. Wajarlah bila mereka tak sungkan-sungkan memukul, menerjang, bahkan menghabisi nyawa sesama saudaranya, karena besarnya ketakabburan telah menghilangkan kadar akalnya juga. Tidak aneh bila kemudian kita melihat ia menyakiti sesamanya, seraya mengucapkan kalimah jalalah itu. “Allah Akbar!” dan dia hancurkan saudaranya sesama manusia. Ketakabburan dapat menghilangkan keberkahan kehidupan.
Pernah Nabi Isa as menemui seorang rahib ahli ibadah. Ia berbincang dengannya. Di tengah perbincangan itu, lewatlah seorang pemuda yang dikenal dengan dosa dan kemaksiatannya. Melihat kedua alim itu, pemuda ini tertegun. Tak mampu melangkahkan kakinya. Ia berdoa pada Allah: “Ya Allah, aku malu melihat kedua orang saleh itu. Jangan tampakkan aibku di hadapan mereka. Sungguh aku bertaubat kepadamu.”
Di sisi lain, si rahib melihat pemuda itu berkata pada Tuhan: “Ya Allah, aku beribadah padaMu dan pemuda ini berbuat maksiat padaMu. Jangan Kaugabungkan aku di hari akhir bersamanya.” Kemudian turunlah kabar dari langit pada Nabi Isa as mengabarkan bahwa Tuhan telah mengijabah doa kedua hambanya: menerima taubat si pemuda, dan mengabarkan neraka pada si rahib. Amalan pemuda itu kepasrahan, sedangkan dosa ahli ibadah itu adalah ketakabburan. Allahu Akbar.
Ketiga, takbir kita gemakan untuk memuji Tuhan karena syariat agamanya yang sempurna. Bayangkan betapa besar manfaat puasa bagi tubuh dan jiwa. Hidupnya perekonomian karena sebulan beribadah pada Tuhan. Bayangkan manfaat tak terhingga dari ibadah haji. Dari persatuan dan persaudaraan kaum Muslimin. Dari daging dan sembelihan kita hari ini. Mengutip ayat Al-Qur’an: “Litukabbirullaha ‘ala maa haadakum wa la’allakum tasykurun...” Supaya kalian besarkan Allah atas petunjuknya bagi kalian dan agar kalian bersyukur. (QS. Al-Baqarah [2]: 185). Inilah agama yang ritual ibadahnya mendatangkan keberkahan dan manfaat tak terkira. Betapa banyak perut yang dikenyangkan, betapa banyak jiwa yang dibahagiakan.
Gemakanlah takbir itu dalam setiap keseharian kita. Memuji Allah dengan kepasrahan pada setiap ujiannya, bahkan sekiranya kita harus mengurbankan seluruh keinginan dan kehendak diri. Pujilah Allah dengan tidak pernah memandang diri lebih baik dari orang lain, dengan selalu melihat kebaikan pada orang di sekitar kita. Seperti riwayat Imam Husain as: “Yang disebut adab, ialah ketika kamu keluar dari rumah, kemudian kamu berjumpa dengan seseorang dan kamu melihat pada diri orang itu ada sesuatu yang membuatnya lebih baik dari kamu.” Terakhir, pujilah Allah dengan mensyukuri seluruh perintahNya dan mengamalkannya dengan sepenuh kepasrahan, kerendahan, dan niat untuk senantiasa mendekatkan diri kepadaNya dalam setiap keadaan.
Barakallahu lakum fil qur’anil karim, wa nafa’ni wa iyyakum bi ma fiihi minal ayaati wa dzikril hakim, innallaha sami’un ‘alim, wa shallahu ‘ala Sayyidina Muhammadin wa Alihith thaahirin...
Khutbah kedua
Alhamdulillah, alladzi haadana lihadza wa ma kunna linahtadiya law laa an hadaanallah wa shallallahu ‘ala nabiyyihi nabiyyil mushtafa wa ‘ala aalihi ahlis shidqi wal wafaa
Allahu akbar 5 x wa lillahil hamd
Hadirin dan hadirat, ‘aidin dan ‘aidat, yang hari ini berbahagia dan berhari raya...
Marilah kita berlepas dari tanah lapang ini dengan memperbanyak takbir dan melepaskan ketakabburan itu. Seperti Ibrahim as yang mengurbankan yang dicintainya. Seperti Ismail as yang pasrah pada ketentuan Tuhannya. Seperti Siti Hajar yang tak lelah berjuang di tengah seluruh penderitaannya. Seperti orang-orang saleh sepanjang sejarah, yang memberikan segalanya. Meneladani Ibrahim, Ismail dan Hajar ‘alaihimus salam, patuhlah pada seluruh perintah Tuhan, pasrahlah pada setiap keadaan, berusahalah menghadapi setiap tantangan... seperti Ibrahim, Ismail dan Hajar, setelah seluruh ujian dan kepasrahan itu, Allah Ta’ala menerima keikhlasan dan ketaatan mereka, seraya mengganti sembelihan mereka dengan pengurbanan yang jauh lebih besar lagi. Wa fadaynaahu bi dzibhin ‘azhim, dan Kami tebus anak itu dengan sembelihan yang agung. (QS. Al-Shaafaat [37[ : 107).
‘Azhim, agung adalah sifat Allah Swt. Shadaqallahul ‘aliyyul ‘azhim. Kali ini, kata ‘azhim disifatkan pada sembelihan pengganti kepasrahan kedua nabi besar itu. Adakah ini pertanda akhir dari ujian? Ataukah masih ada cobaan yang jauh lebih besar lagi bagi keturunan keluarga bapak para nabi ini? Mungkinkah sembelihan yang agung itu adalah darah yang kelak tertumpah, untuk membela kemuliaan agama Allah.
Marilah kita akhiri ibadah kita kali ini dengan menyatakan diri pasrah kepadaNya. Semoga hilang seluruh kehendak diri, terkubur ego dan ambisi pribadi. Marilah kita sampaikan betapa lemahnya kita, betapa rentannya kita, betapa bergantungnya kita kepada kasih sayang dan kesempurnaan Tuhan semesta alam...
بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَٰنِ الرَّحِيمِ
Bismillāhir raḥmāni raḥīm
Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih Lagi Maha Penyayang
اَللّٰهُمَّ صَلِّ عَلٰى مُحَمَّدٍ وَآلِ مُحَمَّدٍ وَاجْعَلْ لِيْ مِنْ أَمْرِيْ فَرَجًا وَمَخْرَجًا وَارْزُقْنِيْ مِنْ حَيْثُ أَحْتَسِبُ وَمِنْ حَيْثُ لَا أَحْتَسِبُ
Allāhumma ṣallī ʻalā muḥammadiw waʹāli muḥammadiw wajʻallī minʹamrī farajaw wa makhrajaw warzuqnī min ḥaiṡu aḥtasibu wa min ḥaiṡu lā aḥtasib
Ya Allah, limpahkanlah salawat atas Muhammad dan keluarganya, mudahkanlah segala urusanku dan curahkanlah rezeki atasku, baik yang kuduga maupun yang tak kuduga.
اَللّٰهُمَّ ارْزُقْنَا تَوْفِيْقَ الطَّاعَةِ وَبُعْدَ الْمَعْصِيَّةِ وَصِدْقَ النِّيَّةِ وَعِرْفَانَ الْحُرْمَةِ
Allāhummarzuqnā taufīqaṭṭāʻati wabuʻdal maʻṣiyyati wa ṣidqanniyyati waʻirfān alḥurmah
Ya Allah, karuniakanlah kepada kami kemudahan untuk taat, menjauhi maksiat, ketulusan niat, dan mengetahui kemuliaan
وَأَكْرِمْنَا بِالْهُدٰى وَالْإِسْتِقَامَةِ
Waʹakrimnā bilhudā walʹistiqāmah
Muliakanlah kami dengan hidayah dan kemuliaan
وَسَدِّدْ أَلْسِنَتَنَا بِالصَّوَابِ وَالْحِكْمَةِ
Wasaddid alsinatanā biṣ ṣawābi wal ḥikmah
Luruskanlah lidah kami dnegan kebenaran dan hikmah
وَامْلَأْ قُلُوْبَنَا بِالْعِلْمِ وَالْمَعْرِفَةِ
Wamlaʹqulūbanā bilʻilmi wal maʻrifah
Penuhilah kalbu kami dengan ilmu dan makrifat (pengetahuan)
وَطَهِّرْ بُطُوْنَنَا مِنَ الْحَرَامِ وَالشُّبْهَةِ
Wa ṭahhir buṭūnanā minal ḥarāmi wasy syubhah
Sucikanlah perut kami dari haram dan syubhat
وَاكْفُفْ أَيْدِيَنَا عَنِ الظُّلْمِ وَالسِّرْقَةِ
Wakfuf aidiyanā ʻaniẓẓulmi was sirqah
Tahanlah tangan kami dari kezaliman dan pencurian
وَاغْضُضْ أَبْصَارَنَا عَنِ الْفُجُوْرِ وَالْخِيَانَةِ
Wagḍuḍ abṣāranā ʻanillagwi wal gībah
Tundukkanlah pandangan kami dari kejahatan dan pengkhianatan
وَاسْدُدْ أَسْمَاعَنَا عَنِ اللَّغْوِ وَالْغِيْبَةِ
Wasdud asmā ʻanāʻanillagwi wal gībah
Palingkanlah pendengaran kami dari ucapan sia-sia dan ghibah
وَتَفَضَّلْ عَلٰى عُلَمَائِنَا بِالزُّهْدِ وَالنَّصِيْحَةِ
Wa tafaḍḍal ʻalā ʻulamāʹinā bizzuhdi wan naṣīḥah
Dan karuniakanlah kepada ulama kami kezuhudan dan nasihat,
وَعَلَى الْمُتَعَلِّمِيْنَ بِالْجُهْدِ وَالرَّغْبَةْ
Wa ʻalal mutaʻallimīna bil juhdi war ragbah
Kepada para pelajar kesungguhan dan semangat,
وَعَلَى الْمُسْتَمِعِيْنَ بِالْإِتِّبَاعِ وَالْمَوْعِظَةِ
Wa ʻalal mustamiʻīna bil ittibāʻi wal mauʻiẓah
Kepada para pendengar kepatuhan dan kesadaran,
وَعَلٰى مَرْضَى الْمُسْلِمِيْنَ بِالشِّفَاءِ وَالرَّاحَةِ
Wa ʻalā marḍal muslimīna bisy syifāʹi warrāḥah
Kepada Muslimin yang sakit kesembuhan dan ketenangan,
وَعَلٰى مَوْتَاهُمْ بِالرَّأْفَةِ وَالرَّحْمَةِ
Wa ʻalā mautāhum bir raʹfati war raḥmah
Kepada mereka yang sudah meninggal dunia kasih sayang dan rahmat,
وَعَلٰى مَشَايِخِنَا بِالْوَقَارِ وَالسَّكِيْنَةِ
Wa ʻalā masyāyikhinā bil waqāri was sakīnah
Kepada orang-orang tua kami kewibawaan dan ketenteraman,
وَعَلَى الشَّبَابِ بِالْإِنَابَةِ وَالتَّوْبَةِ
Wa ʻalasy syabābi bil inābati wat taubah
Kepada para pemuda kami kembali (ke jalan Allah) dan taubat,
وَعَلَى النِّسَاءِ بِالْحَيَاءِ وَالْعِفَّةِ
Wa ʻalan nisāʹi bil ḥayāʹi wal ʻiffah
Kepada para wanita rasa malu dan kesucian,
وَعَلَى الْأَغْنِيَاءِ بِالتَّوَاضُعِ وَالسَّعَةِ
Wa ʻalal agniyāʹi bit tawāḍuʻi was saʻah
Kepada orang-orang kaya kerendahan diri dan kelapangan (rezeki),
وَعَلَى الْفُقَرَاءِ بِالصَّبْرِ وَالْقَنَاعَةِ
Wa ʻalal fuqarāʹi biṣ ṣabri wal qanāʻah
Kepada orang-orang miskin kesabaran dan qana’ah (rasa terima),
وَعَلَى الْغُزَاةِ بِالنَّصْرِ وَالْغَلَبَةِ
Wa ʻalal guzāti bin naṣri wal galabah
Kepada para pejuang kemenangan dan penaklukan
وَعَلَى الْأُسَرَاءِ بِالْخَلَاصِ وَالرَّاحَةِ
Wa ʻalal usarāʹi bil khalāṣi war rāḥah
Kepada para tawanan kebebasan dan ketenangan,
وَعَلَى الْأُمَرَاءِ بِالْعَدْلِ وَالشَّفَقَةِ
Wa ʻalal ʹumarāʹi bil ʻadli wasy syafaqah
Kepada para pemimpin bertindak adil dan kasih sayang,
وَعَلَى الرَّعِيَّةِ بِالْإِنْصَافِ وَحُسْنِ السِّيْرَةِ
Wa ʻalar raʻiyyati bil inṣāfi wa ḥusnis sīrah
Dan kepada rakyat dengan kejujuran dan kebaikan akhlak,
وَبَارِكْ لِلْحُجَّاجِ وَالزُّوَّارَ فِي الزَّادِ وَالنَّفَقَةِ
Wa bāriklil ḥujjāji waz zuwwāri fiz zādi wan nafaqah
Berkahilah para jamaah haji dan penziarah dalam bekal dan nafkah,
وَاقْضِ مَا أَوْجَبْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ الْحَجِّ وَالْعُمْرَةِ
Waqḍimā aujabta ʻalaihim minal ḥajji wal ʻumrah
Dan sempurnakanlah haji dan umrah yang telah kauwajibkan bagi mereka,
بِفَضْلِكَ وَرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
Bi faḍlika wa raḥmatika yā arḥamar rāḥimīn
Dengan karunia dan rahmat-Mu, wahai yang Lebih Pengasih dari para pengasih.
سُبْحَانَ رَبِّكَ رَبِّ الْعِزَّةِ عَمَّا يَصِفُونَ [٣٧:١٨٠]
Subḥāna rabbika rabbil ʻizzati ʻammāyaṣifūn
Maha Suci Tuhanmu Yang Mahaperkasa dari apa yang mereka katakan. (QS Aṣ-Ṣāffāt (37):180)
وَسَلَامٌ عَلَى الْمُرْسَلِينَ [٣٧:١٨١]
Wasalāmun ʻalal mursalīn
Dan kesejahteraan dilimpahkan atas para rasul. (QS Aṣ-Ṣāffāt (37):181)
وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ [٣٧:١٨٢]
Wal ḥamdu lillāhi rabbil ʻālamīn
Dan segala puji bagi Allah Tuhan seru sekalian alam. (QS Aṣ-Ṣāffāt (37):182
*) Khutbah Idul Adha, Miftah F. Rakhmat, disampaikan di Hotel Horizon Bandung, 10 Dzulhijjah 1433 H.
Catatan:
[1] Kanz al-‘Ummal, ‘Allamah Muttaqi al-Hindi hadis no. 24094
[2] Idem, hadis no. 18103
[3] Qishas al-Abrar, Syahid Muthahhari, halaman 10-11
[4] Kanz al-‘Ummal, ‘Allamah Muttaqi al-Hindi, hadis no. 7749, 7729
[5] Ghurar al-Hikam, riwayat no. 2609, 1968, 2898
[6] Al-Bihar, 83:209