Ilustrasi [dari ramadhanislam.wordpress.com]
Setiap agama mengajak ummatnya untuk berbahagia. Bahkan di dalam Islam, memilih kebahagiaan adalah sebuah kewajiban. Uniknya, ajakan untuk memilih kebahagiaan tersebut disandingkan dengan ajakan untuk melakukan salat, puncak penghambaan kepada Tuhan. Lalu bagaimana caranya? Ustadz Miftah Fauzi Rakhmat memberikan jawaban di dalam tulisan berikut. Semula merupakan makalah yang disampaikan di dalam pertemuan Uskup se-Indonesia Ramadhan 1433 (2012) lalu. [majulah-ijabi.org]
****
****
Happy families are all alike; every unhappy family is unhappy in its own way. (Leo Tolstoy, Anna Karenina)
Ketika setahun lalu, Romo Surip mengundang saya untuk berbicara tentang peranan Al-Kitab dalam Keluarga Muslim, kalimat yang segera saya ingat adalah kutipan pertama dari Tolstoy di atas. “Keluarga yang bahagia seluruhnya serupa; tapi setiap keluarga yang tidak bahagia, tidak bahagia dalam cara yang berbeda.”
Tentu setiap ajaran mengajak umatnya untuk berbahagia. Baik dalam kehidupan pribadi, karir maupun rumah tangga. Dalam Islam, ajakan untuk berbahagia itu adalah sebuah kewajiban. Setiap hari, dalam lima kesempatan Umat Islam diseru untuk berbahagia: “Hayya ‘ala al-falaah”. Marilah menuju kebahagiaan. Kalimat itu dikumandangkan setiap adzan, diulangi dua kali, disandingkan dengan kewajiban untuk shalat menghadap Tuhan. Kebahagiaan bukan sekadar state of mind. Kebahagiaan adalah sebuah pilihan. Kita wajib memilih bahagia.
Kalau pada kenyataannya ada yang tidak bahagia, di manakah peran kitab suci? Adakah salah dalam memaknai? Berbeda dalam menyikapi? Seperti kata Tolstoy: every unhappy family is unhappy in its own way.
Keluarga adalah dasar sebuah masyarakat. Baik dan buruknya satu jemaat ditentukan oleh keluarga. Umat Islam diwajibkan Al-Qur’an untuk membimbing keluarga mereka menuju jalan Tuhan: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...” (QS. Al-Tahrim [66]:6) Meski setiap jiwa kembali pada tuhannya sendiri-sendiri, “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat sendiri-sendiri.” (QS. Maryam [19]:95), tetapi pada tengkuk setiap mukmin ada kewajiban untuk menyelamatkan keluarganya dari api neraka, menjauhkan mereka dari perbuatan yang dilarang Tuhan, dan mengantarkan dan membimbing mereka di jalan kebaikan, agar berkumpul dalam sebuah reuni agung, di kampung keabadian, di surga Tuhan. “(Yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya, dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan) “Salaamun ‘alaikum bima shabartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Al-Ra’du [13] 23-24)
Al-Quran menjanjikan Surga ‘Adn (Eden) sebagai tempat berkumpul keluarga di akhirat nanti. Syaratnya hanya satu: yang saleh di antara mereka. Kebaikan dan kesalehanlah yang akan mengantarkan sebuah keluarga untuk tetap bersama, baik di dunia maupun di alam sana.
Di sinilah agama memainkan peran, karena paradigma kebaikan dan kebahagiaan itu bisa tidak sama. Mari kita mulai dari perjalanan terbentuknya sebuah keluarga, dan kita lihat bagaimana perbedaan penafsiran itu dapat terjadi—secara khusus—di kalangan Kaum Muslimin.
Pernikahan. Pernikahan dianggap sakral dalam Islam. Al-Qur’an menyebutnya sebagai mitsaqan ghalizan. Terjemahan Departemen Agama menggunakan beberapa istilah untuk itu: “perjanjian yang teguh, kokoh, kuat”. Saya menerjemahkannya “perjanjian yang berat”.
Hanya tiga kali kata itu digunakan dalam Al-Quran. Pertama, ketika Allah Swt mengambil sumpah dan janji para nabi ulul ‘azmi (nabi-nabi yang mendapat risalah dan tanggungjawab yang lebih besar dari nabi-nabi yang lainnya): “Dan [ingatlah] ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan darimu (Ya Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.”
Para nabi yang disebut dalam ayat di atas adalah nabi-nabi yang ditinggikan derajatnya di atas para nabi yang lainnya.
Kedua, kata perjanjian yang berat itu disebut Al-Qur’an ketika Allah Swt mengambil sumpah Bani Israil dan Allah Ta’ala angkat bukit Sina di atas kepala mereka: “Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: “Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud” dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: “Janganlah kamu melanggar peraturan mengenari hari Sabtu” dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.”
Apa yang terjadi ketika Bani Israil melanggar perjanjian yang berat itu? “Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina.” (QS. Al-A’raf [7]:166).
Dan ketiga, Al-Qur’an menggunakan kata yang sama untuk menunjukkan pernikahan. “...Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. Al-Nisa [4]: 21)
Apa maknanya? Bagi Umat Islam, perjanjian pernikahan: ijab dan kabul sama beratnya dengan perjanjian Allah Ta’ala dengan para nabi ulul azmi, dan sama beratnya dengan perjanjian bani Israil ketika di atas mereka bukit Sina melayang menjadi saksi. Bila pernikahan itu dipelihara dengan baik, Allah Ta’ala akan muliakan keluarga itu di atas yang lainnya seperti Dia muliakan para nabi ulul ‘azmi di antara nabi yang lainnya. Bila seorang mukmin berlaku aniaya terhadap janjinya, terhadap akad nikahnya, Tuhan akan rendahkan ia seperti Bani Israil yang melanggar sumpah, dan menjadikan mereka “kera yang hina”.
Kehidupan berumah tangga. Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, pasca akad nikah itulah perbedaan paradigma dari penafsiran teks-teks kitab suci dan hadits Nabi terjadi. Semua Umat Islam sepakat bahwa keseluruhan kehidupan keluarga adalah ibadah. Tetapi, ada yang memandangnya dari perspektif kewajiban, dan yang lainnya perkhidmatan. Bagi yang pertama, yang dibicarakan adalah seputar hak dan kewajiban suami atau isteri. Di sinilah pembicaraan bahwa isteri harus taat pada suami, tidak boleh keluar rumah tanpa izinnya, dan hanya boleh berhias untuk suaminya. Semuanya berpegang pada dalil-dalil kitab suci dan hadits yang diperdebatkan penafsirannya. Ambillah contoh ayat “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki...” (QS. Al-Baqarah [2]:223). Sebagian menafsirkan ayat ini sebagai dalil otoritas laki-laki atas perempuan, diperkuat dengan ayat “Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)...” (QS. Al-Nisa [4]:34). Atau hadits yang berbunyi seperti ini: “Tidak ada lagi yang lebih memberikan makna bagi kehidupan mukmin setelah takwa kepada Allah selain isteri yang saleh—jika suami menyuruhnya, ia mematuhinya; jika suami memandangnya, ia membahagiakannya; jika suami mendesaknya, ia memenuhinya dengan perbuatan baik; jika suami jauh darinya, ia dengan setia menjaga kehormatan dirinya dan harta suaminya” (Al-Targhib wa al-Tarhib 3:41). Bagi paradigma ini, hubungan timbal balik antara isteri dan suami adalah hubungan hak dan kewajiban.
Pendapat yang kedua, adalah paradigma perkhidmatan. Mereka menafsirkan ayat “cocok-tanam” tadi sebagai ladang kebaikan. Bahwa setiap perbuatan baik di antara suami isteri dilipatgandakan Allah Swt. Tidak perlu jauh-jauh mencari lumbung kebaikan. Ia ada di samping kita. Ia pasangan hidup dan keluarga kita. Sesuai hadits Nabi Saw yang diketahui oleh hampir setiap muslim: Khairukum khairukum li ahli, wa ana khairukum fii ahli. Yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik (berkhidmat) kepada keluarganya. Dan aku yang paling baik berkhidmat pada keluargaku.
Nabi Saw pernah menegur seorang sahabat yang menghabiskan waktunya untuk beriktikaf, sehingga melupakan isterinya. Beliau Saw bersabda: “Duduknya seorang lelaki dengan isterinya—dengan maksud membahagiakan hatinya—itu lebih dicintai Allah dari iktikaf di masjidku ini.” (Mizan al-Hikmah, 4:287). Ketika pahala ibadah di masjid Nabawi dilipatgandakan Allah Swt, Islam memuliakan perkhidmatan suami untuk membahagiakan isteri dan keluarganya. Bagi seorang isteri ada hadits seperti ini: “Sekiranya seorang perempuan memindahkan satu barang di rumah suaminya dari satu tempat ke tempat yang lainnya demi kebaikan, Allah akan memperhatikannya. Siapa saja yang diperhatikan Allah, Dia tidak akan mengazabnya.” (Mizan al-Hikmah, 4:286). Menurut paradigma ini, suami istri “saling bersaing” berlomba dalam kebaikan: “...maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan...” (QS. Al-Baqarah, 2:148).
Apa jadinya bila seorang menyakiti satu sama lain? Bagi mereka dijanjikan siksa yang pedih. Rasulullah Saw bersabda: “Jika ada isteri yang menyakiti suaminya, Allah tidak akan menerima shalatnya dan semua amal salehnya sampai ia membantu suaminya dan membahagiakannya, walaupun ia berpuasa sepanjang masa...begitu pula seorang suami akan memikul dosa yang sama bila ia berbuat zalim dan menyakiti isterinya.” (Mizan al-Hikmah, 4: 286).
Terkadang terjadi ketimpangan dalam rumah tangga bila paradigma yang pertama terlalu dominan di antara suami dan isteri. Saya cenderung mengambil jalan tengah. Saya menyatukan keduanya: antara hak-kewajiban dan perkhidmatan. Sebagaimana khutbah terakhir Nabi Saw pada haji wada’, di padang Arafah yang gersang, ketika terik mentari membakar jemaah haji yang pertama dalam sejarah Islam:
“...Wahai manusia, takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan. Sesungguhnya kamu telah mengambil mereka sebagai isteri dengan amanah Allah. Kamu punya hak atas isterimu dan isterimu juga punya hak atas kamu. Ketahuilah, aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik terhadap isteri-isteri kalian. Mereka adalah penolong kalian. Mereka tidak memiliki apa-apa untuk dirinya dan kalian pun tidak memiliki apa pun dari mereka selain itu. Jika mereka patuh kepadamu, janganlah kamu berbuat aniaya kepada mereka.” (HR. Muslim dan Turmudzi)
Keluarga. Di dalam Islam, perkhidmatan terhadap keluarga dijanjikan keberkahan dan kebaikan yang banyak. Mendidik mereka, membesarkan mereka, membahagiakan mereka adalah termasuk peribadatan yang utama. Nabi Saw memuliakan putri beliau, Sayyidah Fathimah sa. Bila ia hendak bepergian, orang yang terakhir ia temui adalah putrinya. Sekembali pulang dari mana saja, orang pertama yang ia datangi adalah putrinya juga. Cucu-cucunya: Imam Hasan dan Imam Husain as sering bermain di pundak Nabi Saw. Ketika Umar bin Khattab, salah seorang sahabat Nabi melihat Nabi bermain kuda bersama kedua cucunya, Umar berkata: Hai anak, alangkah baiknya tungganganmu itu. Nabi Saw menjawab: “Alangkah baiknya para penunggangnya.”
Begitu giatnya Nabi Saw menumbuhkan kecintaan pada keluarga di tengah bangsa Arab yang berhati keras waktu itu. Di tengah kebiasaan mereka menguburkan hidup-hidup bayi perempuan, Nabi Saw memuliakan mereka: “Jika di sebuah rumah ada anak-anak perempuan, setiap hari turun ke rumah itu duabelas berkat dan rahmat. Tidak henti-hentinya para malaikat mengunjungi rumah itu. Mereka menuliskan untuk orangtuanya pahala ibadah satu tahun, untuk setiap hari dan malamnya.” (Jami’ al-Akhbar, 285/765). Dalam riwayat yang lain Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa membahagiakan anak-anak mereka, sampai (anak-anak itu) benar-benar bahagia, Allah Ta’ala akan memuliakan mereka sampai mereka benar-benar bahagia.” Nabi memuji sahabatnya Utsman bin Mazh’un ra, yang begitu mengasihi anak-anaknya, menciumi mereka dan memberi mereka kebahagiaan. “Ini rahmah. Ini kasih sayang” Kata Nabi Saw. Kebaikan Utsman bin Mazhun pada keluarganya itu adalah rahmat Allah Swt.
Di zaman modern ini, ada kisah Imam Khumaini ra, pendiri Republik Islam Iran. Konon, Imam kedatangan putri dan menantunya. Biasanya mereka datang bersama anak-anaknya yang masih kecil. Kali ini tidak. Imam bertanya tentang mereka, cucu-cucunya. Putri dan menantunya itu menjawab: “Abah, mereka sedang lincah-lincahnya, dan Abah sudah sepuh. Kami kuatir bila mereka bermain bersamamu, mereka akan melelahkanmu.” Imam menjawab seraya menegur dengan santun: “Maukah kamu, aku tukarkan seluruh karya hidupku, seluruh amalan dan pahala yang mungkin Allah Ta’ala berikan untukku, dengan kesabaranmu mendidik anak-anakmu.” Mendidik dan membahagiakan anak-anak, mendapatkan janji kebahagiaan dan keberkahan dalam kehidupan yang tak terkira. Bagi perempuan, bahkan ketika ia mengandungkan anaknya: “Ketika seorang perempuan mengandung, ia seperti orang yang puasa, terjaga semalaman beribadah pada Allah, dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwanya.” (Bihar al-Anwar, 101:106)
Terakhir, saya kembali pada judul makalah ini: Sakinah, mawaddah, wa rahmah. Tiga kata itu diambil dari ayat: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ruum [30]: 21).
Bila ada orang Islam menikah, atau bila mereka ditanya apa yang diinginkan dari sebuah keluarga, mereka akan menjawab dengan tiga kata itu: Sakinah, mawaddah dan rahmah. Tahukah mereka apa makna dari ketiga kata itu? Biasanya bila ditanya, mereka akan menjawab: “Ya, pokoknya...bahagia gitu deh.”
Secara sederhana, sakinah berasal dari kata sakana yaskunu sakanan, yang artinya diam. Rumah atau tempat tinggal dalam bahasa Arab disebut maskan, dari kata yang sama. Singkatnya, suami-istri-anak yang sakinah adalah dia yang senang menghabiskan banyak waktu bersama keluarganya, a family man. Dari waktu yang digunakan bersama keluarga inilah muncul ketenteraman, kebahagiaan.
Mawaddah dari kata wadda yawuddu wuddan, yang artinya kerinduan yang sangat. Di antara nama Allah Ta’ala yang indah adalah: al-wadud, yang maha merindukan. Bayangkanlah bila kita bepergian, dan muncul keinginan untuk kembali ke kampung halaman. Mawaddah adalah kerinduan yang besar terhadap keluarga, terhadap isteri dan anak-anak yang ditinggalkan.
Rahmah, adalah juga sifat Tuhan, sumber kasih dan sayang. Ibaratnya, Tuhan mengasihi dan menyayangi semua makhluk, bahkan mereka yang terang-terangan bermaksiat kepada-Nya. Bila seseorang atau keluarga sampai pada tahap ini, terbuka luas pintu maaf mereka. Meraka akan tetap mengasihi dan mencintai keluarga mereka, apa pun perbuatan tidak pantas yang mungkin pernah mereka lakukan dalam kekhilafan mereka.
Menurut QS. Ruum [30]:21 di atas, yang bisa kita lakukan adalah berusaha untuk “sakinah”. Mawaddah dan rahmah adalah anugerah Allah yang diberikan pada mereka yang berusaha keras untuk sampai di sakinah itu. Sakinah adalah usaha. Mawaddah dan rahmah adalah anugerah.
Untuk itu, kali lain kita berjumpa seorang muslim dan mendoakan kebahagiaan mereka, marilah kita ucapkan “Semoga sakinah, mawaddah wa rahmah” dengan makna yang dikandung dalam kata-kata itu. Terima kasih
(Bandung, 13 Ramadhan 1433 H)
Ketika setahun lalu, Romo Surip mengundang saya untuk berbicara tentang peranan Al-Kitab dalam Keluarga Muslim, kalimat yang segera saya ingat adalah kutipan pertama dari Tolstoy di atas. “Keluarga yang bahagia seluruhnya serupa; tapi setiap keluarga yang tidak bahagia, tidak bahagia dalam cara yang berbeda.”
Tentu setiap ajaran mengajak umatnya untuk berbahagia. Baik dalam kehidupan pribadi, karir maupun rumah tangga. Dalam Islam, ajakan untuk berbahagia itu adalah sebuah kewajiban. Setiap hari, dalam lima kesempatan Umat Islam diseru untuk berbahagia: “Hayya ‘ala al-falaah”. Marilah menuju kebahagiaan. Kalimat itu dikumandangkan setiap adzan, diulangi dua kali, disandingkan dengan kewajiban untuk shalat menghadap Tuhan. Kebahagiaan bukan sekadar state of mind. Kebahagiaan adalah sebuah pilihan. Kita wajib memilih bahagia.
Kalau pada kenyataannya ada yang tidak bahagia, di manakah peran kitab suci? Adakah salah dalam memaknai? Berbeda dalam menyikapi? Seperti kata Tolstoy: every unhappy family is unhappy in its own way.
Keluarga adalah dasar sebuah masyarakat. Baik dan buruknya satu jemaat ditentukan oleh keluarga. Umat Islam diwajibkan Al-Qur’an untuk membimbing keluarga mereka menuju jalan Tuhan: “Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...” (QS. Al-Tahrim [66]:6) Meski setiap jiwa kembali pada tuhannya sendiri-sendiri, “Dan tiap-tiap mereka akan datang kepada Allah pada hari kiamat sendiri-sendiri.” (QS. Maryam [19]:95), tetapi pada tengkuk setiap mukmin ada kewajiban untuk menyelamatkan keluarganya dari api neraka, menjauhkan mereka dari perbuatan yang dilarang Tuhan, dan mengantarkan dan membimbing mereka di jalan kebaikan, agar berkumpul dalam sebuah reuni agung, di kampung keabadian, di surga Tuhan. “(Yaitu) surga ‘Adn yang mereka masuk ke dalamnya bersama-sama dengan orang-orang yang saleh dari bapak-bapaknya, isteri-isterinya, dan anak cucunya, sedang malaikat-malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu; (sambil mengucapkan) “Salaamun ‘alaikum bima shabartum”. Maka alangkah baiknya tempat kesudahan itu.” (QS. Al-Ra’du [13] 23-24)
Al-Quran menjanjikan Surga ‘Adn (Eden) sebagai tempat berkumpul keluarga di akhirat nanti. Syaratnya hanya satu: yang saleh di antara mereka. Kebaikan dan kesalehanlah yang akan mengantarkan sebuah keluarga untuk tetap bersama, baik di dunia maupun di alam sana.
Di sinilah agama memainkan peran, karena paradigma kebaikan dan kebahagiaan itu bisa tidak sama. Mari kita mulai dari perjalanan terbentuknya sebuah keluarga, dan kita lihat bagaimana perbedaan penafsiran itu dapat terjadi—secara khusus—di kalangan Kaum Muslimin.
Pernikahan. Pernikahan dianggap sakral dalam Islam. Al-Qur’an menyebutnya sebagai mitsaqan ghalizan. Terjemahan Departemen Agama menggunakan beberapa istilah untuk itu: “perjanjian yang teguh, kokoh, kuat”. Saya menerjemahkannya “perjanjian yang berat”.
Hanya tiga kali kata itu digunakan dalam Al-Quran. Pertama, ketika Allah Swt mengambil sumpah dan janji para nabi ulul ‘azmi (nabi-nabi yang mendapat risalah dan tanggungjawab yang lebih besar dari nabi-nabi yang lainnya): “Dan [ingatlah] ketika Kami mengambil perjanjian dari nabi-nabi dan darimu (Ya Muhammad), dari Nuh, Ibrahim, Musa dan Isa putera Maryam, dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang teguh.”
Para nabi yang disebut dalam ayat di atas adalah nabi-nabi yang ditinggikan derajatnya di atas para nabi yang lainnya.
Kedua, kata perjanjian yang berat itu disebut Al-Qur’an ketika Allah Swt mengambil sumpah Bani Israil dan Allah Ta’ala angkat bukit Sina di atas kepala mereka: “Dan telah Kami angkat ke atas (kepala) mereka bukit Thursina untuk (menerima) perjanjian (yang telah kami ambil dari) mereka. Dan kami perintahkan kepada mereka: “Masukilah pintu gerbang itu sambil bersujud” dan Kami perintahkan (pula) kepada mereka: “Janganlah kamu melanggar peraturan mengenari hari Sabtu” dan Kami telah mengambil dari mereka perjanjian yang kokoh.”
Apa yang terjadi ketika Bani Israil melanggar perjanjian yang berat itu? “Maka tatkala mereka bersikap sombong terhadap apa yang mereka dilarang mengerjakannya, Kami katakan kepadanya: “Jadilah kamu kera yang hina.” (QS. Al-A’raf [7]:166).
Dan ketiga, Al-Qur’an menggunakan kata yang sama untuk menunjukkan pernikahan. “...Dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu perjanjian yang kuat.” (QS. Al-Nisa [4]: 21)
Apa maknanya? Bagi Umat Islam, perjanjian pernikahan: ijab dan kabul sama beratnya dengan perjanjian Allah Ta’ala dengan para nabi ulul azmi, dan sama beratnya dengan perjanjian bani Israil ketika di atas mereka bukit Sina melayang menjadi saksi. Bila pernikahan itu dipelihara dengan baik, Allah Ta’ala akan muliakan keluarga itu di atas yang lainnya seperti Dia muliakan para nabi ulul ‘azmi di antara nabi yang lainnya. Bila seorang mukmin berlaku aniaya terhadap janjinya, terhadap akad nikahnya, Tuhan akan rendahkan ia seperti Bani Israil yang melanggar sumpah, dan menjadikan mereka “kera yang hina”.
Kehidupan berumah tangga. Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, pasca akad nikah itulah perbedaan paradigma dari penafsiran teks-teks kitab suci dan hadits Nabi terjadi. Semua Umat Islam sepakat bahwa keseluruhan kehidupan keluarga adalah ibadah. Tetapi, ada yang memandangnya dari perspektif kewajiban, dan yang lainnya perkhidmatan. Bagi yang pertama, yang dibicarakan adalah seputar hak dan kewajiban suami atau isteri. Di sinilah pembicaraan bahwa isteri harus taat pada suami, tidak boleh keluar rumah tanpa izinnya, dan hanya boleh berhias untuk suaminya. Semuanya berpegang pada dalil-dalil kitab suci dan hadits yang diperdebatkan penafsirannya. Ambillah contoh ayat “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki...” (QS. Al-Baqarah [2]:223). Sebagian menafsirkan ayat ini sebagai dalil otoritas laki-laki atas perempuan, diperkuat dengan ayat “Kaum lelaki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)...” (QS. Al-Nisa [4]:34). Atau hadits yang berbunyi seperti ini: “Tidak ada lagi yang lebih memberikan makna bagi kehidupan mukmin setelah takwa kepada Allah selain isteri yang saleh—jika suami menyuruhnya, ia mematuhinya; jika suami memandangnya, ia membahagiakannya; jika suami mendesaknya, ia memenuhinya dengan perbuatan baik; jika suami jauh darinya, ia dengan setia menjaga kehormatan dirinya dan harta suaminya” (Al-Targhib wa al-Tarhib 3:41). Bagi paradigma ini, hubungan timbal balik antara isteri dan suami adalah hubungan hak dan kewajiban.
Pendapat yang kedua, adalah paradigma perkhidmatan. Mereka menafsirkan ayat “cocok-tanam” tadi sebagai ladang kebaikan. Bahwa setiap perbuatan baik di antara suami isteri dilipatgandakan Allah Swt. Tidak perlu jauh-jauh mencari lumbung kebaikan. Ia ada di samping kita. Ia pasangan hidup dan keluarga kita. Sesuai hadits Nabi Saw yang diketahui oleh hampir setiap muslim: Khairukum khairukum li ahli, wa ana khairukum fii ahli. Yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik (berkhidmat) kepada keluarganya. Dan aku yang paling baik berkhidmat pada keluargaku.
Nabi Saw pernah menegur seorang sahabat yang menghabiskan waktunya untuk beriktikaf, sehingga melupakan isterinya. Beliau Saw bersabda: “Duduknya seorang lelaki dengan isterinya—dengan maksud membahagiakan hatinya—itu lebih dicintai Allah dari iktikaf di masjidku ini.” (Mizan al-Hikmah, 4:287). Ketika pahala ibadah di masjid Nabawi dilipatgandakan Allah Swt, Islam memuliakan perkhidmatan suami untuk membahagiakan isteri dan keluarganya. Bagi seorang isteri ada hadits seperti ini: “Sekiranya seorang perempuan memindahkan satu barang di rumah suaminya dari satu tempat ke tempat yang lainnya demi kebaikan, Allah akan memperhatikannya. Siapa saja yang diperhatikan Allah, Dia tidak akan mengazabnya.” (Mizan al-Hikmah, 4:286). Menurut paradigma ini, suami istri “saling bersaing” berlomba dalam kebaikan: “...maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan...” (QS. Al-Baqarah, 2:148).
Apa jadinya bila seorang menyakiti satu sama lain? Bagi mereka dijanjikan siksa yang pedih. Rasulullah Saw bersabda: “Jika ada isteri yang menyakiti suaminya, Allah tidak akan menerima shalatnya dan semua amal salehnya sampai ia membantu suaminya dan membahagiakannya, walaupun ia berpuasa sepanjang masa...begitu pula seorang suami akan memikul dosa yang sama bila ia berbuat zalim dan menyakiti isterinya.” (Mizan al-Hikmah, 4: 286).
Terkadang terjadi ketimpangan dalam rumah tangga bila paradigma yang pertama terlalu dominan di antara suami dan isteri. Saya cenderung mengambil jalan tengah. Saya menyatukan keduanya: antara hak-kewajiban dan perkhidmatan. Sebagaimana khutbah terakhir Nabi Saw pada haji wada’, di padang Arafah yang gersang, ketika terik mentari membakar jemaah haji yang pertama dalam sejarah Islam:
“...Wahai manusia, takutlah kepada Allah dalam urusan perempuan. Sesungguhnya kamu telah mengambil mereka sebagai isteri dengan amanah Allah. Kamu punya hak atas isterimu dan isterimu juga punya hak atas kamu. Ketahuilah, aku wasiatkan kepada kalian untuk berbuat baik terhadap isteri-isteri kalian. Mereka adalah penolong kalian. Mereka tidak memiliki apa-apa untuk dirinya dan kalian pun tidak memiliki apa pun dari mereka selain itu. Jika mereka patuh kepadamu, janganlah kamu berbuat aniaya kepada mereka.” (HR. Muslim dan Turmudzi)
Keluarga. Di dalam Islam, perkhidmatan terhadap keluarga dijanjikan keberkahan dan kebaikan yang banyak. Mendidik mereka, membesarkan mereka, membahagiakan mereka adalah termasuk peribadatan yang utama. Nabi Saw memuliakan putri beliau, Sayyidah Fathimah sa. Bila ia hendak bepergian, orang yang terakhir ia temui adalah putrinya. Sekembali pulang dari mana saja, orang pertama yang ia datangi adalah putrinya juga. Cucu-cucunya: Imam Hasan dan Imam Husain as sering bermain di pundak Nabi Saw. Ketika Umar bin Khattab, salah seorang sahabat Nabi melihat Nabi bermain kuda bersama kedua cucunya, Umar berkata: Hai anak, alangkah baiknya tungganganmu itu. Nabi Saw menjawab: “Alangkah baiknya para penunggangnya.”
Begitu giatnya Nabi Saw menumbuhkan kecintaan pada keluarga di tengah bangsa Arab yang berhati keras waktu itu. Di tengah kebiasaan mereka menguburkan hidup-hidup bayi perempuan, Nabi Saw memuliakan mereka: “Jika di sebuah rumah ada anak-anak perempuan, setiap hari turun ke rumah itu duabelas berkat dan rahmat. Tidak henti-hentinya para malaikat mengunjungi rumah itu. Mereka menuliskan untuk orangtuanya pahala ibadah satu tahun, untuk setiap hari dan malamnya.” (Jami’ al-Akhbar, 285/765). Dalam riwayat yang lain Nabi Saw bersabda: “Barangsiapa membahagiakan anak-anak mereka, sampai (anak-anak itu) benar-benar bahagia, Allah Ta’ala akan memuliakan mereka sampai mereka benar-benar bahagia.” Nabi memuji sahabatnya Utsman bin Mazh’un ra, yang begitu mengasihi anak-anaknya, menciumi mereka dan memberi mereka kebahagiaan. “Ini rahmah. Ini kasih sayang” Kata Nabi Saw. Kebaikan Utsman bin Mazhun pada keluarganya itu adalah rahmat Allah Swt.
Di zaman modern ini, ada kisah Imam Khumaini ra, pendiri Republik Islam Iran. Konon, Imam kedatangan putri dan menantunya. Biasanya mereka datang bersama anak-anaknya yang masih kecil. Kali ini tidak. Imam bertanya tentang mereka, cucu-cucunya. Putri dan menantunya itu menjawab: “Abah, mereka sedang lincah-lincahnya, dan Abah sudah sepuh. Kami kuatir bila mereka bermain bersamamu, mereka akan melelahkanmu.” Imam menjawab seraya menegur dengan santun: “Maukah kamu, aku tukarkan seluruh karya hidupku, seluruh amalan dan pahala yang mungkin Allah Ta’ala berikan untukku, dengan kesabaranmu mendidik anak-anakmu.” Mendidik dan membahagiakan anak-anak, mendapatkan janji kebahagiaan dan keberkahan dalam kehidupan yang tak terkira. Bagi perempuan, bahkan ketika ia mengandungkan anaknya: “Ketika seorang perempuan mengandung, ia seperti orang yang puasa, terjaga semalaman beribadah pada Allah, dan berjuang di jalan Allah dengan harta dan jiwanya.” (Bihar al-Anwar, 101:106)
Terakhir, saya kembali pada judul makalah ini: Sakinah, mawaddah, wa rahmah. Tiga kata itu diambil dari ayat: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir.” (QS. Ruum [30]: 21).
Bila ada orang Islam menikah, atau bila mereka ditanya apa yang diinginkan dari sebuah keluarga, mereka akan menjawab dengan tiga kata itu: Sakinah, mawaddah dan rahmah. Tahukah mereka apa makna dari ketiga kata itu? Biasanya bila ditanya, mereka akan menjawab: “Ya, pokoknya...bahagia gitu deh.”
Secara sederhana, sakinah berasal dari kata sakana yaskunu sakanan, yang artinya diam. Rumah atau tempat tinggal dalam bahasa Arab disebut maskan, dari kata yang sama. Singkatnya, suami-istri-anak yang sakinah adalah dia yang senang menghabiskan banyak waktu bersama keluarganya, a family man. Dari waktu yang digunakan bersama keluarga inilah muncul ketenteraman, kebahagiaan.
Mawaddah dari kata wadda yawuddu wuddan, yang artinya kerinduan yang sangat. Di antara nama Allah Ta’ala yang indah adalah: al-wadud, yang maha merindukan. Bayangkanlah bila kita bepergian, dan muncul keinginan untuk kembali ke kampung halaman. Mawaddah adalah kerinduan yang besar terhadap keluarga, terhadap isteri dan anak-anak yang ditinggalkan.
Rahmah, adalah juga sifat Tuhan, sumber kasih dan sayang. Ibaratnya, Tuhan mengasihi dan menyayangi semua makhluk, bahkan mereka yang terang-terangan bermaksiat kepada-Nya. Bila seseorang atau keluarga sampai pada tahap ini, terbuka luas pintu maaf mereka. Meraka akan tetap mengasihi dan mencintai keluarga mereka, apa pun perbuatan tidak pantas yang mungkin pernah mereka lakukan dalam kekhilafan mereka.
Menurut QS. Ruum [30]:21 di atas, yang bisa kita lakukan adalah berusaha untuk “sakinah”. Mawaddah dan rahmah adalah anugerah Allah yang diberikan pada mereka yang berusaha keras untuk sampai di sakinah itu. Sakinah adalah usaha. Mawaddah dan rahmah adalah anugerah.
Untuk itu, kali lain kita berjumpa seorang muslim dan mendoakan kebahagiaan mereka, marilah kita ucapkan “Semoga sakinah, mawaddah wa rahmah” dengan makna yang dikandung dalam kata-kata itu. Terima kasih
(Bandung, 13 Ramadhan 1433 H)