Waktu berlalu begitu cepat. Tak terasa 4 Nopember 2013 menjadi akhir tahun 1434H. Adakah yang telah kita capai tahun ini? Kita harus selalu bersyukur, dan banyak juga yang harus dipelajari. Berikut catatan kecil akhir tahun dari Ustadz Miftah Fauzi Rakhmat.
Dalam namaNya sebaik awal mula. Salam shalawat untuk sebaik-baik yang tercipta. Dan para teladan suci sepanjang sejarah manusia.
Bagaimana bila sesuatu tak seperti kelihatannya? Senyum orang di sampingmu tak berarti senyum di hatinya. Barang yang kau rasa milikmu sama sekali bukan kepunyaanmu. Bagaimana bila semua wajah, hanyalah topeng untuk menyembunyikan amarah, keluh kesah, sekian gundah dan gelisah? Bagaimana bila ternyata Rahwana rupawan rupa. Dan Sinta sebenarnya jatuh hati padanya? Bagaimana bila Rama yang telah merebut cinta sejati itu dan memisahkannya selama-lamanya...
Bagaimana bila kita mengubah sudut pandang, sedikit saja. Tak perlu seratus delapan puluh derajat, cukup bergeser nol koma sekian saja. Lihat beragam peristiwa setahun ini dan berikan pemaknaan yang berbeda dari yang sudah kita berikan sebelumnya. Seperti Nasruddin Khoja. Satu saat, ia duduk di depan teras, memandangi jemurannya di atas atap sana.. Angin kencang berhembus tiba-tiba, menerbangkan pakaiannya jauh ke ujung sana, menghilang di balik gumpalan mega... Nasruddin segera berteriak: "Alhamdulillah!" Kawan yang duduk di sampingnya bertanya, "Bajumu hilang dan kau mengucap syukur pada Tuhan?" Nasruddin menjawab, "Tentu. Tidak dapatkah kau bayangkan, bila angin itu menerbangkan pakaianku dan aku ada di dalamnya?"
Menggeser posisi itu tak sesulit yang dikira. Yang terbenam membatu adalah kaki yang menghunjam bumi. Di lingkarnya ada gembok teramat tua berkarat. Aku tak mau mengubah tempat berdiriku. Aku tak mau memandang sudut lain tatapku. Aku tak sudi melangkah, aku pantang berbenah. Bukankah dengan langkah ini telah kulalui berbagai lembah. Asam garamku lebih banyak dari peluh dan keringatmu. Aku, aku, dan kau akan tetap jadi kau. Aku takkan menjadi dirimu, dan kau takkan bisa jadi aku.
Maka saat amarahku memuncak, itu untuk kebaikanmu, bukan kebaikanku. Kala suaraku meninggi, itu karena aku sayang kamu, bukan diriku. Waktu aku memaksakan kehendakku, semata untukmu...tidak pernah untukku...
Airmata ini menetes, karenamu. Peluh ini mengalir, bagimu. Aku jauh darimu agar aku dekat denganmu. Aku kehilangan senyummu karena tak ingin melihat tangismu. Aku tak mendengar suaramu karena tak berharap dukamu. Aku pergi meninggalkanmu untuk kembali padamu. Seluruh waktuku, semua untukmu, hanya kamu...tidak pernah untukku...
Bagaimana bila sesuatu tak seperti kelihatannya? Bagaimana bila Rahwana rupawan rupa, dan Sinta jatuh cinta kepadanya. Bagaimana bila Rama yang memutuskan cinta sejati itu dan memisahkan mereka selama-lamanya...?
Bagaimana bila semua kamu itu untukku? Bagaimana bila hadirku baru berarti dalam dirimu? Bagaimana bila wujudku ada dalam keberadaanmu. Maka amarahku itu karena kekurangan diriku. Suaraku meninggi karena kelemahanku. Aku paksakan kehendakku karena keterbatasanku.
Aku menangis karena rapuhku. Aku berpeluh karena harapku. Aku jauh karena maluku. Aku tak melihat senyummu karena ketidakmampuan membahagiakanmu. Aku tak mendengar suaramu, karena setiap nadanya tusukan dalam batinku, betapa hinanya diriku di hadapanmu. Aku meninggalkanmu untuk lari dari diriku...
Pandanglah sekilas, tataplah lebih lama. Resapi maknanya dalam-dalam di relung jiwa. Untuk apakah semua waktu? Untuk nirwana yang dijanjikan di atas sana? Ia sudah disiapkan untuk kita. Kapan saja dapat memasukinya. Asalkan gembok berkarat itu kau hancurkan dengan kampak di tanganmu. Tebas kakimu. Jangan lagi melangkah dengan keduanya. Biarkan darah penderitaan mengalir deras darinya, dan burung-burung gagak berterbangan di atas kepalamu. Menanti saat untuk mematukmu.
Kemana kau kan berlari, karena perjalanan itu di dalam diri? Bila buta mata hati, gelap langkah sesudah mati. Bergeserlah sejenak. Lihat jejak kaki di belakang, sejauh apakah kita berjalan? Atau selama ini kita hanya mematung, dan berkhayal terbang di antara awan. Aku dan kamu takkan menyatu, bila gerak tak pernah padu. Karena selama ini aku hadir untuk diriku, bukan untukmu.
Bagaimana bila sesuatu tak seperti kelihatannya? Bagaimana bila Rahwana rupawan rupa, dan Sinta jatuh cinta kepadanya. Bagaimana bila Rama yang memutuskan cinta sejati itu dan menghancurkan mereka selama-lamanya...?
Dalam namanya sebaik akhir kata. Semua rindu hanya untuknya sebaik manusia, dan teladan suci sepanjang masa. Bila hadirku untuk dirimu. Cukuplah itu. Biarkan burung gagak menyambarku, dan untuk setiap hentakannya, kugumamkan namamu. Karena engkau dariku, dan aku menujumu...((Walhamdulillahi rabbil 'aalamin))
Bagaimana bila sesuatu tak seperti kelihatannya? Senyum orang di sampingmu tak berarti senyum di hatinya. Barang yang kau rasa milikmu sama sekali bukan kepunyaanmu. Bagaimana bila semua wajah, hanyalah topeng untuk menyembunyikan amarah, keluh kesah, sekian gundah dan gelisah? Bagaimana bila ternyata Rahwana rupawan rupa. Dan Sinta sebenarnya jatuh hati padanya? Bagaimana bila Rama yang telah merebut cinta sejati itu dan memisahkannya selama-lamanya...
Bagaimana bila kita mengubah sudut pandang, sedikit saja. Tak perlu seratus delapan puluh derajat, cukup bergeser nol koma sekian saja. Lihat beragam peristiwa setahun ini dan berikan pemaknaan yang berbeda dari yang sudah kita berikan sebelumnya. Seperti Nasruddin Khoja. Satu saat, ia duduk di depan teras, memandangi jemurannya di atas atap sana.. Angin kencang berhembus tiba-tiba, menerbangkan pakaiannya jauh ke ujung sana, menghilang di balik gumpalan mega... Nasruddin segera berteriak: "Alhamdulillah!" Kawan yang duduk di sampingnya bertanya, "Bajumu hilang dan kau mengucap syukur pada Tuhan?" Nasruddin menjawab, "Tentu. Tidak dapatkah kau bayangkan, bila angin itu menerbangkan pakaianku dan aku ada di dalamnya?"
Menggeser posisi itu tak sesulit yang dikira. Yang terbenam membatu adalah kaki yang menghunjam bumi. Di lingkarnya ada gembok teramat tua berkarat. Aku tak mau mengubah tempat berdiriku. Aku tak mau memandang sudut lain tatapku. Aku tak sudi melangkah, aku pantang berbenah. Bukankah dengan langkah ini telah kulalui berbagai lembah. Asam garamku lebih banyak dari peluh dan keringatmu. Aku, aku, dan kau akan tetap jadi kau. Aku takkan menjadi dirimu, dan kau takkan bisa jadi aku.
Maka saat amarahku memuncak, itu untuk kebaikanmu, bukan kebaikanku. Kala suaraku meninggi, itu karena aku sayang kamu, bukan diriku. Waktu aku memaksakan kehendakku, semata untukmu...tidak pernah untukku...
Airmata ini menetes, karenamu. Peluh ini mengalir, bagimu. Aku jauh darimu agar aku dekat denganmu. Aku kehilangan senyummu karena tak ingin melihat tangismu. Aku tak mendengar suaramu karena tak berharap dukamu. Aku pergi meninggalkanmu untuk kembali padamu. Seluruh waktuku, semua untukmu, hanya kamu...tidak pernah untukku...
Bagaimana bila sesuatu tak seperti kelihatannya? Bagaimana bila Rahwana rupawan rupa, dan Sinta jatuh cinta kepadanya. Bagaimana bila Rama yang memutuskan cinta sejati itu dan memisahkan mereka selama-lamanya...?
Bagaimana bila semua kamu itu untukku? Bagaimana bila hadirku baru berarti dalam dirimu? Bagaimana bila wujudku ada dalam keberadaanmu. Maka amarahku itu karena kekurangan diriku. Suaraku meninggi karena kelemahanku. Aku paksakan kehendakku karena keterbatasanku.
Aku menangis karena rapuhku. Aku berpeluh karena harapku. Aku jauh karena maluku. Aku tak melihat senyummu karena ketidakmampuan membahagiakanmu. Aku tak mendengar suaramu, karena setiap nadanya tusukan dalam batinku, betapa hinanya diriku di hadapanmu. Aku meninggalkanmu untuk lari dari diriku...
Pandanglah sekilas, tataplah lebih lama. Resapi maknanya dalam-dalam di relung jiwa. Untuk apakah semua waktu? Untuk nirwana yang dijanjikan di atas sana? Ia sudah disiapkan untuk kita. Kapan saja dapat memasukinya. Asalkan gembok berkarat itu kau hancurkan dengan kampak di tanganmu. Tebas kakimu. Jangan lagi melangkah dengan keduanya. Biarkan darah penderitaan mengalir deras darinya, dan burung-burung gagak berterbangan di atas kepalamu. Menanti saat untuk mematukmu.
Kemana kau kan berlari, karena perjalanan itu di dalam diri? Bila buta mata hati, gelap langkah sesudah mati. Bergeserlah sejenak. Lihat jejak kaki di belakang, sejauh apakah kita berjalan? Atau selama ini kita hanya mematung, dan berkhayal terbang di antara awan. Aku dan kamu takkan menyatu, bila gerak tak pernah padu. Karena selama ini aku hadir untuk diriku, bukan untukmu.
Bagaimana bila sesuatu tak seperti kelihatannya? Bagaimana bila Rahwana rupawan rupa, dan Sinta jatuh cinta kepadanya. Bagaimana bila Rama yang memutuskan cinta sejati itu dan menghancurkan mereka selama-lamanya...?
Dalam namanya sebaik akhir kata. Semua rindu hanya untuknya sebaik manusia, dan teladan suci sepanjang masa. Bila hadirku untuk dirimu. Cukuplah itu. Biarkan burung gagak menyambarku, dan untuk setiap hentakannya, kugumamkan namamu. Karena engkau dariku, dan aku menujumu...((Walhamdulillahi rabbil 'aalamin))