KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat
Ketua Dewan Syura IJABI
Ketua Dewan Syura IJABI
Berkata Qanbar, “Ya Amiral Mukminin, aku melihat engkau tidak menyisakan apa pun ketika engkau membagikan isi Baitul Mal. Maka aku ambilkan ini dari Baitul Mal untukmu.” “Celaka kamu, hai Qanbar,” bentak Imam Ali. “Celakalah kamu, hai Qanbar. Apakah kamu suka untuk memasukkan ke rumahku api yang besar.”
Ingin tahu bagaimana wara’ dilaksanakan dalam pemerintahan? Telaah apa yang dilakukan Khalifah Ali, ketika ia menegakkan kekuasaanya di tengah-tengah peradaban dunia; di negeri Iraq, tempat yang menyisakan warisan kebudayaan Babilonia.
Kepada Baitul Mal, badan logistik negara, dikirmkan tempayan demi tempayan berisi madu. Al-Hasan putra Ali menyuruh pelayannya, “Ya Qanbar, pergi ke Baitul Mal dan ambillah sekedar madu yang merupakan bagianku. Aku kedatangan tamu dan aku tidak punya apa pun untuk menjamunya. Jika Amirul Mukminin membagikan madu itu, ambillah seukuran hakku, dan kembalikan yang telah kauambil.” Qanbar melaksanakan apa yang diperintahkan tuannya.
Ketika Ali sang Khalifah datang, ia melihat tempayan-tempayan itu. Kelihatan sudah berkurang. Ia bertanya, “Hai Qanbar, celaka kamu, bicaralah yang benar. Kemana sebagaian madu ini.” Qanbar menjelaskan apa yang terjadi. Beliau murka sekali.
“Bawa kepadaku Al-Hasan!” Al-Hasan bersimpuh pada kakinya dan berkata dengan kalimat yang biasanya meredakan kemarahan Imam, “Demi hak Ja’far!” kemarahan Ali mereda, “Apa yang mendorongmu untuk mengambil madu sebelum pembagian?”
“Bukankah ada hakku di dalamnya?”
“Tetapi mengapa kamu menggunakannya sebelum kaum muslimin? Demi Allah, sekiranya aku tidak melihat Rasulullah saw menciumi mulutmu, aku akan memukulmu. Ambil lagi madumu itu dan curahkan pada tempayan sebelumnya.”
Lalu ia membagikannya kepada kaum muslimin. Ia menangis dengan tangisan yang keras, seraya berdoa:
“Ya Allah, ampunilah Al-Hasan karena ia tidak mengetahuinya. Kami dahulu bersama Rasulullah saw, membunuh saudara, orang-orang tua, paman-paman dan keluarga, semuanya karena mengharapkan rido Allah. Sebagian di antara kami memilih Allah dan Rasul-Nya daripada kepentingan dirinya. Ketika Allah melihat kejujuran kami, Allah timpakan pada musuh-musuh kami kekalahan dan kehinaan; Allah turunkan kepada kami kemenangan. Tegaklah Islam dengan perkasa di atas bumi dengan kuat. Sekiranya kami mempunyai apa yang kalian punyai hari ini, agama ini tidak akan tegak.”
Itulah wara’ dalam bentuknya yang paling jelas. Al-Hasan berhak mendapat bagian dari pada harta Baitul Mal. Tetapi Ali tidak ingin mendahulukan keluarganya di atas kaum muslimin lainnya. Ia sangat berhati-hati dalam urusan harta. Ia tahu bahwa Islam ditegakkan di atas kecintaan kepada Tuhan, bukan kecintaan pada kekayaan. Ia sangat menjaga supaya kekayaan yang ia gunakan adalah kekayaan yang diketahui dari mana sumbernya. Ia tahu orang menitipkan kekayaan pada pundaknya untuk ia berikan kepada yang berhak menerimanya.
Pada suatu hari Qanbar, pelayan setia Imam Ali, menemui Junjungannya. Ia berkata, “kiranya engkau berkenan melihat apa yang telah kami sembunyikan untukmu!” Qanbar mebawa Imam Ali ke rumahnya. Di depan rumahnya ia perlihatkan tumpukan emas dan perak.
Berkata Qanbar, “Ya Amiral Mukminin, aku melihat engkau tidak menyisakan apa pun ketika engkau membagikan isi Baitul Mal. Maka aku ambilkan ini dari Baitul Mal untukmu.” “Celaka kamu, hai Qanbar,” bentak Imam Ali. “Celakalah kamu, hai Qanbar. Apakah kamu suka untuk memasukkan ke rumahku api yang besar.”
Ia mengeluarkan pedangnya. Braak! Dengan beberapa kali tebasan, wada-wadah emas dan perak itu berhamburan. Ada yang pecah setengahnya, sepertiganya, dan seterusnya. Ia mengumpulkan orang dan berkata, “Bagilah dengan pembagian yang adil.”
Lalu, mana bagian sang Pemimpin? Pada waktu bulan puasa, diantarkan kepadanya kantung kecil yang diikat dengan sangat kuat. Kantong itu persiapan buka Imam Ali. Di dalamnya hanya ada masakan dari tepung. “Ya Amiral Mukminin. Apakah ini kebakhilan, sehingga kaukunci kantung makananmu?”, kata sahabatnya sambil bercanda.
Imam tertawa. Kemudian berkata, “Atau karena hal yang lain. Aku menguncinya karena aku tidak ingin masuk ke dalam perutku makanan yang tidak jelas asal-usulnya.”
Itulah wara’ pada Penguasa yang adil!
Kepada Baitul Mal, badan logistik negara, dikirmkan tempayan demi tempayan berisi madu. Al-Hasan putra Ali menyuruh pelayannya, “Ya Qanbar, pergi ke Baitul Mal dan ambillah sekedar madu yang merupakan bagianku. Aku kedatangan tamu dan aku tidak punya apa pun untuk menjamunya. Jika Amirul Mukminin membagikan madu itu, ambillah seukuran hakku, dan kembalikan yang telah kauambil.” Qanbar melaksanakan apa yang diperintahkan tuannya.
Ketika Ali sang Khalifah datang, ia melihat tempayan-tempayan itu. Kelihatan sudah berkurang. Ia bertanya, “Hai Qanbar, celaka kamu, bicaralah yang benar. Kemana sebagaian madu ini.” Qanbar menjelaskan apa yang terjadi. Beliau murka sekali.
“Bawa kepadaku Al-Hasan!” Al-Hasan bersimpuh pada kakinya dan berkata dengan kalimat yang biasanya meredakan kemarahan Imam, “Demi hak Ja’far!” kemarahan Ali mereda, “Apa yang mendorongmu untuk mengambil madu sebelum pembagian?”
“Bukankah ada hakku di dalamnya?”
“Tetapi mengapa kamu menggunakannya sebelum kaum muslimin? Demi Allah, sekiranya aku tidak melihat Rasulullah saw menciumi mulutmu, aku akan memukulmu. Ambil lagi madumu itu dan curahkan pada tempayan sebelumnya.”
Lalu ia membagikannya kepada kaum muslimin. Ia menangis dengan tangisan yang keras, seraya berdoa:
“Ya Allah, ampunilah Al-Hasan karena ia tidak mengetahuinya. Kami dahulu bersama Rasulullah saw, membunuh saudara, orang-orang tua, paman-paman dan keluarga, semuanya karena mengharapkan rido Allah. Sebagian di antara kami memilih Allah dan Rasul-Nya daripada kepentingan dirinya. Ketika Allah melihat kejujuran kami, Allah timpakan pada musuh-musuh kami kekalahan dan kehinaan; Allah turunkan kepada kami kemenangan. Tegaklah Islam dengan perkasa di atas bumi dengan kuat. Sekiranya kami mempunyai apa yang kalian punyai hari ini, agama ini tidak akan tegak.”
Itulah wara’ dalam bentuknya yang paling jelas. Al-Hasan berhak mendapat bagian dari pada harta Baitul Mal. Tetapi Ali tidak ingin mendahulukan keluarganya di atas kaum muslimin lainnya. Ia sangat berhati-hati dalam urusan harta. Ia tahu bahwa Islam ditegakkan di atas kecintaan kepada Tuhan, bukan kecintaan pada kekayaan. Ia sangat menjaga supaya kekayaan yang ia gunakan adalah kekayaan yang diketahui dari mana sumbernya. Ia tahu orang menitipkan kekayaan pada pundaknya untuk ia berikan kepada yang berhak menerimanya.
Pada suatu hari Qanbar, pelayan setia Imam Ali, menemui Junjungannya. Ia berkata, “kiranya engkau berkenan melihat apa yang telah kami sembunyikan untukmu!” Qanbar mebawa Imam Ali ke rumahnya. Di depan rumahnya ia perlihatkan tumpukan emas dan perak.
Berkata Qanbar, “Ya Amiral Mukminin, aku melihat engkau tidak menyisakan apa pun ketika engkau membagikan isi Baitul Mal. Maka aku ambilkan ini dari Baitul Mal untukmu.” “Celaka kamu, hai Qanbar,” bentak Imam Ali. “Celakalah kamu, hai Qanbar. Apakah kamu suka untuk memasukkan ke rumahku api yang besar.”
Ia mengeluarkan pedangnya. Braak! Dengan beberapa kali tebasan, wada-wadah emas dan perak itu berhamburan. Ada yang pecah setengahnya, sepertiganya, dan seterusnya. Ia mengumpulkan orang dan berkata, “Bagilah dengan pembagian yang adil.”
Lalu, mana bagian sang Pemimpin? Pada waktu bulan puasa, diantarkan kepadanya kantung kecil yang diikat dengan sangat kuat. Kantong itu persiapan buka Imam Ali. Di dalamnya hanya ada masakan dari tepung. “Ya Amiral Mukminin. Apakah ini kebakhilan, sehingga kaukunci kantung makananmu?”, kata sahabatnya sambil bercanda.
Imam tertawa. Kemudian berkata, “Atau karena hal yang lain. Aku menguncinya karena aku tidak ingin masuk ke dalam perutku makanan yang tidak jelas asal-usulnya.”
Itulah wara’ pada Penguasa yang adil!