Allahyarham KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat
Di batas kota, mereka meninggalkan Nabi saw sempoyongan. Dengan tertatih-tatih, hampir merayap, akhirnya Nabi saw mulia menjatuhkan dirinya di bawah pohon anggur di kebun Utbah dan Syaibah (kedua-duanya) anak Rabiah. Zaid dengan setia mengikuti darah merah yang ditinggalkan kaki-kaki kekasihnya. Keduanya bersandar ke dinding kebun, kelelahan, kesakitan, dan kelaparan. Di tengah-tengah keheningan, terdengar suara yang menyayat hati, lembut dan gemetar. Suara itu datang dari sesosok tubuh dengan kaki-kaki yang berlumuran darah, tubuh yang basah keringat, dan pipi yang digenangi air mata.
Berdakwah ke kabilah Tsaqif di Thaif.[1]
Nabi saw menyebut tahun kesepuluh dari kenabian sebagai ‘Aam al-Huzn, tahun duka cita. Kini tidak ada lagi dua pilar utama dakwah Nabi: Pendamping setianya yang selalu menggembirakannya dan paman perkasa yang senantiasa membelanya. Tetapi sebagaimana ia janjikan kepada pamannya, apapun yang menimpanya, bahkan sekiranya mereka letakkan mentari di tangan kanannya dan rembulan di tangan kirinya, ia tidak akan menghentikannya, kecuali maut menjemputnya. Ia panggil anak asuhnya, yang ia cintai dan mencintainya, Zaid bin Haritsah.
Pada usia delapan tahun Zaid dijual di pasar budak Ukazh. Ia dibeli oleh saudara Khadijah, yang memberikannya pada Khadijah. Karena ketinggian budinya dan kemuliaan akhlaknya, ia hadiahkan kepada suaminya, Sayyidul Anam. Puluhan tahun setelah itu, ayahnya mendengar tentang anaknya yang hilang dalam serbuan perampok ke desanya. Ayah dan pamannya menyeberang sahara, menemui Nabi dengan membawa uang tebusan.. “Panggil dia. Suruh ia memilih. Jika ia memilih kalian ambillah, tidak perlu ada tebusan. Bila ia memlih aku, demi Allah, aku tidak bisa memaksa orang yang memilih aku, ” ujar Nabi saw. Dengan segala hormat, dengan pandangan penuh kasih, Zaid melirik ke hadirat Nabi, “Demi Allah, ya Rasul Allah, engkau sama bagiku seperti ayah dan pamanku. Aku tidak akan memilih siapa pun selainmu?” Ayahnya terkejut, “Engkau pilih perbudakan daripada kebebasan? Engkau pilih dia di atas pamanmu dan ayahmu.” Benar. Zaid telah memilih diperbudak Tuhan daripada diperbudak sesama budak Tuhan. Lebih dari itu, hatinya sudah dipersembahkan untuk manusia yang sangat dicintainya, Sang Nabi saw.
Ia sampaikan kepada Zaid bahwa tanah Makkah tidak lagi aman baginya. Setiap hari ia diancam maut dari orang-orang di sekitarnya. “Tidak pernah orang Quraisy berani memcelakakannku sampai pamanku meninggalkan aku.” Tidak pernah juga Nabi saw sedih berkepanjangan sampai Khadijah kembali kepada Yang Mahakasih. Ia jelaskan bahwa ia bermaksud untuk berdakwah kepada kabilah Tsaqif di tanah Thaif. Bukankah Thaif dan Makkah waktu itu adalah dua negeri yang banyak penghuninya dan punya tokoh-tokoh besarnya? Bukankah di antara dua negeri itu ada persaingan perebutan pengaruh keagamaan: Sebagaimana di Makkah ada berhala Hubal, di Thaif ada al-Lata, dan di lembah Nakhlah, tidak jauh dari Thaif ada al-‘Uzza. Kedua penduduk Makkah dan Thaif membanggakan kaumnya dan membesarkan tokoh-tokohnya. Penistaan mereka terhadap agama Nabi saw dikutip dalam al-Quran, “Dan mereka berkata” Mengapa Al-Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif)? (Al-Zukhruf 31)”. Nabi berharap jika tokoh-tokoh kabilah itu masuk Islam, Nabi mendapat kekuatan besar untuk menghadapi kezaliman tokoh-tokoh Quraisy.
Demi menghindari kecurigaan dan kejaran kaumnya, Nabi berangkat pada waktu subuh. Ia tidak membawa kendaraan supaya orang tidak menduga ia akan bepergian jauh. Ia tidak membawa para pahlawan Bani Hasyim seperti Hamzah bin Abdul Muthalib; ia juga tidak membawa pemuda Ali yang paling ditakuti di antara anak-muda Makkah. Ia membawa budak yang sudah dibebaskannya, Zaid bin Haritsah. Ia menempuh perjalanan sejauh 100 km dengan berjalan kaki, menaiki bukit-bukit yang mengitari Makkah. Harapan akan dukungan kabilah-kabilah Thaif menepiskan kelelahan fisiknya. Tetapi pada setiap perkampungan yang didatanginya dakwahnya ditolak. Pada hari kesepuluh di Thaif ia mendatangi tempat berkumpulnya para elit Thaif dari dua kabilah: kabilah Bani Malik dan Bani ‘Amr. Di situ sudah hadir Abd Yalil, Mas’ud, dan Habib dari Bani ‘Amr.
Dengan takzim, Nabi saw menyampaikan pokok-pokok ajaran Islam. Tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad itu utusannya. Begitu Nabi usai bicara, muka-muka ramah untuk tamu sebagai tradisi Arab waktu itu berubah menjadi masam. Habib bin ‘Amr berteriak, “Jika benar-benar Allah mengutusmu, wahai Muhammad, aku akan sobekkan tirai penutup Ka’bah. Abd Yalil menimpali: “Demi Allah, aku tidak akan bicara dengan kamu sekiranya pun engkau benar utusan Tuhan, seperti yang kau katakan. Terlalu berbahaya jika aku bicara kepadamu padahal engkau Utusan Allah. Jika engkau berdusta, tidak layak juga bagiku bicara kepadamu. Sambil tertawa mengejek Mas’ud berkata nyinyir: Apakah Tuhan tidak punya orang lain yang lebih baik untuk dijadikan utusan-Nya.
Mereka akhirnya mengusir Nabi, memerintahkannya segera meninggalkan Thaif, dengan ejekan dan cemoohan, sebagai penyebar kesesatan. Mereka menggerakkan massa yang bodoh (sufaha) untuk membentuk barisan di kedua sisi jalan utama. Setiap kali Nabi melewatinya, mereka meneriakkan kecaman dan makian. Setiap Nabi saw mengangkat atau meletakkan kakinya yang mulia mereka melemparinya dengan batu. Ketika Nabi saw jatuh terduduk karena ditimpa batu besar yang menimpa kakinya, mereka mengangkatnya kembali dan melemparinya lagi sambil menertawakannya. Kedua kaki Nabi saw berubah merah dangan lumuran darah yang terus mengalir dengan segar. Zaid bin Haritsah berusaha melindungi Nabi dengan seluruh anggota badannya. Luka-luka merobek badannya dan kepalanya.
Di batas kota, mereka meninggalkan Nabi saw sempoyongan. Dengan tertatih-tatih, hampir merayap, akhirnya Nabi saw mulia menjatuhkan dirinya di bawah pohon anggur di kebun Utbah dan Syaibah (kedua-duanya) anak Rabiah. Zaid dengan setia mengikuti darah merah yang ditinggalkan kaki-kaki kekasihnya. Keduanya bersandar ke dinding kebun, kelelahan, kesakitan, dan kelaparan. Di tengah-tengah keheningan, terdengar suara yang menyayat hati, lembut dan gemetar. Suara itu datang dari sesosok tubuh dengan kaki-kaki yang berlumuran darah, tubuh yang basah keringat, dan pipi yang digenangi air mata. Dari bawah pohon anggur, suaranya naik ke langit.
“Ya Allah, aku adukan kepada-Mu kelemahan kekuatanku, sedikitnya tenagaku, dan kehinaanku dalam pandangan manusia. Wahai yang paling penyayang dari semua yang menyayangi. Engkaulah Tuhan Pelindung orang-orang yang tertindas. Engkaulah Penjaga Pemelihara Perawat Pengayomku. Kepada siapa gerangan Engkau akan serahkan daku? Kepada keluarga jauh yang menyambutku dengan kebencian atau kepada musuh yang menzalimiku dengan kekuasaan yang Kauberikan? Ke mana pun terserah dikau, asalkan kau tidak murka kepadaku. Keridhaan-Mu lebih penting bagiku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang menerangi kegelapan dan mencerahkan dengan kebaikan urusan dunia dan akhirat dari turunnya kemurkaan-Mu kepadaku atau lepasnya kemarahan-Mu. Kecamlah daku sampai Kauridha. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali karena Allah.”
Setelah melepaskan lelah sebentar, setelah menikmati hidangan yang disajikan pelayan keluarga Rabiah yang beragama Nashrani, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Makkah. Ketika sampai di suatu tempat bernama Qarn al-Matsalib, ia mengangkat kepalanya ke langit. Ada mega yang menaunginya. Jibril menyeru dari balik awan: “Ya Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengarkan ucapan kaummu dan jawaban mereka atas panggilanmu. Allah telah mengutus malaikat gunung menerima perintah apa pun darimu.”
Malaikat gunung berseru dan mengucapkan salam kepada nabi saw:
“Ya Muhammad, Allah telah mengutusku. Allah telah mendengar omongan kaummu. Aku malaikat yang menggerakkan gunung-gunung. Dia yang Mahakuasa telah mengutusku untuk menerima perintahmu. Jika engkau mau, aku jatuhkan kedua gunung besar di atas kepala mereka atau aku datangkan gempa yang menggoncang tanah di bawah kaki mereka.”
Masih terdengar ejekan dan cemoohan mereka, masih basah darah yang membungkus kakinya, tapi ia menjawab lembut, selembut hatinya yang penuh kasih: “Jangan lakukan. Karena aku berharap dari sulbi-sulbi mereka akan keluar generasi yang menyembah Allah swt.”
Ia fokus pada misii hidupnya. Tidak ada sakit hati, tidak ada dendam. Ia tetap saja berbicara lembut dan menyebarkan cinta. Ia masih saja menebarkan senyumannya. Malaikat gunung berkata:
"Engkau seperti yang disebut Tuhanmu: Rauufun Rahiim. Sang Penyayang Sang Pengasih!" Dalam al-Quran, hanya kepada Nabi Muhammad saw, tidak kepada semua Nabi, dinisbahkan dua sifat Tuhan, Rauufun Rahiim. Dalam al-Quran kombinasi kedua sifat itu disebut sembilan kali, delapan kali kepada Allah dan satu kali kepada Sang Nabi. Walaupun para ahli bahasa berusaha membedakan di antara rauuf dan rahiim, jika digabungkan maka terjemahan yang tepat adalah cinta tak bersyarat, unconditional love, cinta “walaupun”, bukan cinta “karena”.
Penduduk Thaif menghinanya, memakinya, mencemoohnya, memperlakukannya lebih dari memperlakukan binatang, melemparinya dengan batu, mencederainya, tapi ia tidak ingin malaikat Gunung menjatuhkan bukit ke atas kepala mereka atau menggoncangkan bumi di bawah kaki mereka. Ia berharap Tuhan menyelamatkan mereka dan dari keturunannya ia berharap lahir generasi yang beriman kepadanya.
Ketika ia sampai kepada lembah di antara Thaif dan Makkah, di antara lembah Lembah Yamani dan Syami, di tengah kegelapan malam, serombongan jin dengan khidmat mendengarkan lantunan suci dari bibir manusia suci:
Dialah yang Mahakasih, (dari kasih-Nya) Dia ajarkan al-Quran. Dia ciptakan insan. Dia ajarkan kemampuan memberikan penerangan. (dari kasih-Nya) Dan mentari serta bulan beredar dalam perhitungan. Dan gemintang serta pepohonan persembahkan kebaktian.
Catatan Kaki
[1] Hadis-hadis tentang perjalanan Rasulullah saw ke Thaif dan doanya di sana sangat masyhur, diriwayatkan dalam Bukhari, Kitab Bad’ al-Khalq, 2990; Muslim, Kitab al-Jihad 3344: al-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath 8:370; ; al-Mukhtar 9:179; Ibn ‘Adi, al-Kamil 7:269; Shahih ibn Hiban 6561; Ibn Asakir 49:152; al-Khatib, Al-Jami’ li-Akhlaq al-Rawi 2:275; Ibn Khuzaimah, 1:111; beserta kitab-kitab tarikh seperti Ibn Hisyam, Tahdzib al-Sirah 1:421; dan (untuk mengetahui letak juz dan halamannya, lihat www. islamport.com, jika mencari “أشكو ضعفَ”) Al-Kamil fi al-Tarikh, al-Bidayah wa al-Nihayah, Dzayl Mir-at al-Zaman, al-Muntazam fi Tarikh al-muluk wa al-Umam, Tarikh al-Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk wa Shilat Tarikh al-Thabari, Hayat al-Shahabah. Tetapi ucapan malaikat gunung saya temukan dalam Tafsir Ibn Abi Hatim 1:169, Tafsir al-Durr al-Mantsyur 7:614 dan Shahabat Rasul Allah: Mawaqif wa Mawa’izh 3:50. Tulisan di sini diambil dari buku yang disebut terakhir.
Nabi saw menyebut tahun kesepuluh dari kenabian sebagai ‘Aam al-Huzn, tahun duka cita. Kini tidak ada lagi dua pilar utama dakwah Nabi: Pendamping setianya yang selalu menggembirakannya dan paman perkasa yang senantiasa membelanya. Tetapi sebagaimana ia janjikan kepada pamannya, apapun yang menimpanya, bahkan sekiranya mereka letakkan mentari di tangan kanannya dan rembulan di tangan kirinya, ia tidak akan menghentikannya, kecuali maut menjemputnya. Ia panggil anak asuhnya, yang ia cintai dan mencintainya, Zaid bin Haritsah.
Pada usia delapan tahun Zaid dijual di pasar budak Ukazh. Ia dibeli oleh saudara Khadijah, yang memberikannya pada Khadijah. Karena ketinggian budinya dan kemuliaan akhlaknya, ia hadiahkan kepada suaminya, Sayyidul Anam. Puluhan tahun setelah itu, ayahnya mendengar tentang anaknya yang hilang dalam serbuan perampok ke desanya. Ayah dan pamannya menyeberang sahara, menemui Nabi dengan membawa uang tebusan.. “Panggil dia. Suruh ia memilih. Jika ia memilih kalian ambillah, tidak perlu ada tebusan. Bila ia memlih aku, demi Allah, aku tidak bisa memaksa orang yang memilih aku, ” ujar Nabi saw. Dengan segala hormat, dengan pandangan penuh kasih, Zaid melirik ke hadirat Nabi, “Demi Allah, ya Rasul Allah, engkau sama bagiku seperti ayah dan pamanku. Aku tidak akan memilih siapa pun selainmu?” Ayahnya terkejut, “Engkau pilih perbudakan daripada kebebasan? Engkau pilih dia di atas pamanmu dan ayahmu.” Benar. Zaid telah memilih diperbudak Tuhan daripada diperbudak sesama budak Tuhan. Lebih dari itu, hatinya sudah dipersembahkan untuk manusia yang sangat dicintainya, Sang Nabi saw.
Ia sampaikan kepada Zaid bahwa tanah Makkah tidak lagi aman baginya. Setiap hari ia diancam maut dari orang-orang di sekitarnya. “Tidak pernah orang Quraisy berani memcelakakannku sampai pamanku meninggalkan aku.” Tidak pernah juga Nabi saw sedih berkepanjangan sampai Khadijah kembali kepada Yang Mahakasih. Ia jelaskan bahwa ia bermaksud untuk berdakwah kepada kabilah Tsaqif di tanah Thaif. Bukankah Thaif dan Makkah waktu itu adalah dua negeri yang banyak penghuninya dan punya tokoh-tokoh besarnya? Bukankah di antara dua negeri itu ada persaingan perebutan pengaruh keagamaan: Sebagaimana di Makkah ada berhala Hubal, di Thaif ada al-Lata, dan di lembah Nakhlah, tidak jauh dari Thaif ada al-‘Uzza. Kedua penduduk Makkah dan Thaif membanggakan kaumnya dan membesarkan tokoh-tokohnya. Penistaan mereka terhadap agama Nabi saw dikutip dalam al-Quran, “Dan mereka berkata” Mengapa Al-Quran ini tidak diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Makkah dan Thaif)? (Al-Zukhruf 31)”. Nabi berharap jika tokoh-tokoh kabilah itu masuk Islam, Nabi mendapat kekuatan besar untuk menghadapi kezaliman tokoh-tokoh Quraisy.
Demi menghindari kecurigaan dan kejaran kaumnya, Nabi berangkat pada waktu subuh. Ia tidak membawa kendaraan supaya orang tidak menduga ia akan bepergian jauh. Ia tidak membawa para pahlawan Bani Hasyim seperti Hamzah bin Abdul Muthalib; ia juga tidak membawa pemuda Ali yang paling ditakuti di antara anak-muda Makkah. Ia membawa budak yang sudah dibebaskannya, Zaid bin Haritsah. Ia menempuh perjalanan sejauh 100 km dengan berjalan kaki, menaiki bukit-bukit yang mengitari Makkah. Harapan akan dukungan kabilah-kabilah Thaif menepiskan kelelahan fisiknya. Tetapi pada setiap perkampungan yang didatanginya dakwahnya ditolak. Pada hari kesepuluh di Thaif ia mendatangi tempat berkumpulnya para elit Thaif dari dua kabilah: kabilah Bani Malik dan Bani ‘Amr. Di situ sudah hadir Abd Yalil, Mas’ud, dan Habib dari Bani ‘Amr.
Dengan takzim, Nabi saw menyampaikan pokok-pokok ajaran Islam. Tidak ada Tuhan kecuali Allah dan Muhammad itu utusannya. Begitu Nabi usai bicara, muka-muka ramah untuk tamu sebagai tradisi Arab waktu itu berubah menjadi masam. Habib bin ‘Amr berteriak, “Jika benar-benar Allah mengutusmu, wahai Muhammad, aku akan sobekkan tirai penutup Ka’bah. Abd Yalil menimpali: “Demi Allah, aku tidak akan bicara dengan kamu sekiranya pun engkau benar utusan Tuhan, seperti yang kau katakan. Terlalu berbahaya jika aku bicara kepadamu padahal engkau Utusan Allah. Jika engkau berdusta, tidak layak juga bagiku bicara kepadamu. Sambil tertawa mengejek Mas’ud berkata nyinyir: Apakah Tuhan tidak punya orang lain yang lebih baik untuk dijadikan utusan-Nya.
Mereka akhirnya mengusir Nabi, memerintahkannya segera meninggalkan Thaif, dengan ejekan dan cemoohan, sebagai penyebar kesesatan. Mereka menggerakkan massa yang bodoh (sufaha) untuk membentuk barisan di kedua sisi jalan utama. Setiap kali Nabi melewatinya, mereka meneriakkan kecaman dan makian. Setiap Nabi saw mengangkat atau meletakkan kakinya yang mulia mereka melemparinya dengan batu. Ketika Nabi saw jatuh terduduk karena ditimpa batu besar yang menimpa kakinya, mereka mengangkatnya kembali dan melemparinya lagi sambil menertawakannya. Kedua kaki Nabi saw berubah merah dangan lumuran darah yang terus mengalir dengan segar. Zaid bin Haritsah berusaha melindungi Nabi dengan seluruh anggota badannya. Luka-luka merobek badannya dan kepalanya.
Di batas kota, mereka meninggalkan Nabi saw sempoyongan. Dengan tertatih-tatih, hampir merayap, akhirnya Nabi saw mulia menjatuhkan dirinya di bawah pohon anggur di kebun Utbah dan Syaibah (kedua-duanya) anak Rabiah. Zaid dengan setia mengikuti darah merah yang ditinggalkan kaki-kaki kekasihnya. Keduanya bersandar ke dinding kebun, kelelahan, kesakitan, dan kelaparan. Di tengah-tengah keheningan, terdengar suara yang menyayat hati, lembut dan gemetar. Suara itu datang dari sesosok tubuh dengan kaki-kaki yang berlumuran darah, tubuh yang basah keringat, dan pipi yang digenangi air mata. Dari bawah pohon anggur, suaranya naik ke langit.
“Ya Allah, aku adukan kepada-Mu kelemahan kekuatanku, sedikitnya tenagaku, dan kehinaanku dalam pandangan manusia. Wahai yang paling penyayang dari semua yang menyayangi. Engkaulah Tuhan Pelindung orang-orang yang tertindas. Engkaulah Penjaga Pemelihara Perawat Pengayomku. Kepada siapa gerangan Engkau akan serahkan daku? Kepada keluarga jauh yang menyambutku dengan kebencian atau kepada musuh yang menzalimiku dengan kekuasaan yang Kauberikan? Ke mana pun terserah dikau, asalkan kau tidak murka kepadaku. Keridhaan-Mu lebih penting bagiku. Aku berlindung dengan cahaya wajah-Mu yang menerangi kegelapan dan mencerahkan dengan kebaikan urusan dunia dan akhirat dari turunnya kemurkaan-Mu kepadaku atau lepasnya kemarahan-Mu. Kecamlah daku sampai Kauridha. Tidak ada daya dan kekuatan kecuali karena Allah.”
Setelah melepaskan lelah sebentar, setelah menikmati hidangan yang disajikan pelayan keluarga Rabiah yang beragama Nashrani, Nabi melanjutkan perjalanan menuju Makkah. Ketika sampai di suatu tempat bernama Qarn al-Matsalib, ia mengangkat kepalanya ke langit. Ada mega yang menaunginya. Jibril menyeru dari balik awan: “Ya Muhammad, sesungguhnya Allah telah mendengarkan ucapan kaummu dan jawaban mereka atas panggilanmu. Allah telah mengutus malaikat gunung menerima perintah apa pun darimu.”
Malaikat gunung berseru dan mengucapkan salam kepada nabi saw:
“Ya Muhammad, Allah telah mengutusku. Allah telah mendengar omongan kaummu. Aku malaikat yang menggerakkan gunung-gunung. Dia yang Mahakuasa telah mengutusku untuk menerima perintahmu. Jika engkau mau, aku jatuhkan kedua gunung besar di atas kepala mereka atau aku datangkan gempa yang menggoncang tanah di bawah kaki mereka.”
Masih terdengar ejekan dan cemoohan mereka, masih basah darah yang membungkus kakinya, tapi ia menjawab lembut, selembut hatinya yang penuh kasih: “Jangan lakukan. Karena aku berharap dari sulbi-sulbi mereka akan keluar generasi yang menyembah Allah swt.”
Ia fokus pada misii hidupnya. Tidak ada sakit hati, tidak ada dendam. Ia tetap saja berbicara lembut dan menyebarkan cinta. Ia masih saja menebarkan senyumannya. Malaikat gunung berkata:
"Engkau seperti yang disebut Tuhanmu: Rauufun Rahiim. Sang Penyayang Sang Pengasih!" Dalam al-Quran, hanya kepada Nabi Muhammad saw, tidak kepada semua Nabi, dinisbahkan dua sifat Tuhan, Rauufun Rahiim. Dalam al-Quran kombinasi kedua sifat itu disebut sembilan kali, delapan kali kepada Allah dan satu kali kepada Sang Nabi. Walaupun para ahli bahasa berusaha membedakan di antara rauuf dan rahiim, jika digabungkan maka terjemahan yang tepat adalah cinta tak bersyarat, unconditional love, cinta “walaupun”, bukan cinta “karena”.
Penduduk Thaif menghinanya, memakinya, mencemoohnya, memperlakukannya lebih dari memperlakukan binatang, melemparinya dengan batu, mencederainya, tapi ia tidak ingin malaikat Gunung menjatuhkan bukit ke atas kepala mereka atau menggoncangkan bumi di bawah kaki mereka. Ia berharap Tuhan menyelamatkan mereka dan dari keturunannya ia berharap lahir generasi yang beriman kepadanya.
Ketika ia sampai kepada lembah di antara Thaif dan Makkah, di antara lembah Lembah Yamani dan Syami, di tengah kegelapan malam, serombongan jin dengan khidmat mendengarkan lantunan suci dari bibir manusia suci:
Dialah yang Mahakasih, (dari kasih-Nya) Dia ajarkan al-Quran. Dia ciptakan insan. Dia ajarkan kemampuan memberikan penerangan. (dari kasih-Nya) Dan mentari serta bulan beredar dalam perhitungan. Dan gemintang serta pepohonan persembahkan kebaktian.
Catatan Kaki
[1] Hadis-hadis tentang perjalanan Rasulullah saw ke Thaif dan doanya di sana sangat masyhur, diriwayatkan dalam Bukhari, Kitab Bad’ al-Khalq, 2990; Muslim, Kitab al-Jihad 3344: al-Thabrani, al-Mu’jam al-Awsath 8:370; ; al-Mukhtar 9:179; Ibn ‘Adi, al-Kamil 7:269; Shahih ibn Hiban 6561; Ibn Asakir 49:152; al-Khatib, Al-Jami’ li-Akhlaq al-Rawi 2:275; Ibn Khuzaimah, 1:111; beserta kitab-kitab tarikh seperti Ibn Hisyam, Tahdzib al-Sirah 1:421; dan (untuk mengetahui letak juz dan halamannya, lihat www. islamport.com, jika mencari “أشكو ضعفَ”) Al-Kamil fi al-Tarikh, al-Bidayah wa al-Nihayah, Dzayl Mir-at al-Zaman, al-Muntazam fi Tarikh al-muluk wa al-Umam, Tarikh al-Thabari, Tarikh al-Rusul wa al-Muluk wa Shilat Tarikh al-Thabari, Hayat al-Shahabah. Tetapi ucapan malaikat gunung saya temukan dalam Tafsir Ibn Abi Hatim 1:169, Tafsir al-Durr al-Mantsyur 7:614 dan Shahabat Rasul Allah: Mawaqif wa Mawa’izh 3:50. Tulisan di sini diambil dari buku yang disebut terakhir.
Kunjungan