
Peziarah Karbala (Sumber: ISNA)
[Narasi Arba’in 1434 H]
Miftah F. Rakhmat
Ya Rasulallah, kini, inilah kami…yang berharap mendapat kebahagiaan seperti Salman. Tapi kami tidak menjelajah lembah untuk mencarimu. Kami tidak tinggalkan keluarga kami untuk tersungkur di hadapanmu… masihkah mungkin kami mencium khatamun nubuwwah? Barangkali kisah ‘Adas lebih cocok bagi kami. Ia berikan setandan anggur kepadamu dan engkau perkenankan ia mencium kepalamu. Setelah ia melihat engkau dihujani batu dan disakiti…
Miftah F. Rakhmat
Ya Rasulallah, kini, inilah kami…yang berharap mendapat kebahagiaan seperti Salman. Tapi kami tidak menjelajah lembah untuk mencarimu. Kami tidak tinggalkan keluarga kami untuk tersungkur di hadapanmu… masihkah mungkin kami mencium khatamun nubuwwah? Barangkali kisah ‘Adas lebih cocok bagi kami. Ia berikan setandan anggur kepadamu dan engkau perkenankan ia mencium kepalamu. Setelah ia melihat engkau dihujani batu dan disakiti…
Ya Rasulallah, kemudian kami lihat sejarah. Hujan batu itu ternyata bagian tak terpisahkan dari dirimu, dari keluargamu. Ahlul Baitmu bagian tak terpisahkan dari dirimu. Mereka juga Ya Rasul yang tak henti dianiaya dan disakiti. Apakah itu artinya, setiap saat terbuka bagi kami peluang untuk meraih kemuliaan seperti Adas? Bila Adas mengusap darah yang mengalir dari kaki sucimu. Memberikan setandan anggur kepadamu. Setiap satu dari keluargamu memberikan pada kami kesempatan untuk berkhidmat kepadamu. Bagaimanakah kami akan mengusap darah mereka? Anggur yang bagaimanakah yang akan kami hadiahkan untuk mereka…
Bila mengenang setiap derita mereka saja tak mampu kami ikuti…bila kami hanya mengingat mereka pada saat-saat seperti ini. Bagaimana mungkin Ya Nabi…bila jejak darah mereka senantiasa mengalirkan tangisan duka di pelupuk mata…
Hari ini, Ya Rasulallah, kami beranikan diri kami berziarah kepadamu. Menyampaikan duka cita dan cinta kami. Empatpuluh hari berlalu sudah, sejak peristiwa tak tertahankan raga itu. Maafkan kami Ya Rasulallah, bila tak mampu mempertahankan air mata duka itu. Tidak seperti As-Sajjad.
Sejak kepergian Al-Husain, As-Sajjad tak henti berduka dan menangis. Baka Aliyyubnul Husain as ‘isyriina sanatan ma wudhi’a bayna yadayhi tha’aamun illa bakaa. Ali ibnil Husain menangis untuk Husain… duapuluh tahun lamanya. Tidaklah makanan dihidangkan di hadapannya, kecuali ia menangis mengingatnya. Tidaklah minuman ditawarkan kepadanya, kecuali ia menangis karenanya. Duapuluh tahun lamanya…
Dan As-Sajjad bukan yang pertama.
Ketika Amirul Mukminin bersama para sahabatnya sampai di Karbala. Ia berhenti. Butiran-butiran air suci menggenang di pelupuk matanya. Ia mengitari padang yang gersang itu. Berulang kali berhenti dan wajahnya penuh duka. Tak henti-henti ia berkata: “Di sini kelak kuda-kuda ditambatkan. Di sini kelak tubuh-tubuh itu berjatuhan. Di sini api membakar tenda peristirahatan…” Lalu ia mengambil segenggam tanah dan berkata, “…bahagialah engkau tanah, yang di atasmu kelak darah suci tertumpah…” lalu ia usapkan ke wajahnya…
Dan Amirul Mukminin bukan yang pertama.
Bukankah dahulu engkau bersama para sahabatmu berjalan mengitari Madinah. Engkau lihat seorang anak kecil sedang bermain. Kemudian engkau berhenti. Menyapa anak kecil itu. Mengangkatnya di pangkuanmu, dan engkau ciumi dia, tepat di antara kedua matanya. Ah, bahagianya anak kecil itu… engkau limpahkan kepadanya kasih dan sayangmu. Seorang sahabat bertanya kepadamu mengapa engkau istimewakan anak kecil itu? Ya Rasulallah engkau berkata lembut: “Aku pernah melihatnya bermain dengan Husainku sayang. Lalu ia bersihkan debu yang melekat di telapak kaki Husain. Ia usapkan debu itu ke wajahnya. Tak lama kemudian Jibril datang mengabarkan, anak kecil itu nanti akan menjadi penolongku Husainku di Karbala. Aku mencintainya karena kecintaannya kepada Husainku sayang…”
Ya Rasulallah…kami ini juga para pecinta Husainmu. Kami juga akan usapkan bekas pijakan Husainmu di atas kepala kami, pada wajah kami, pada kedua tangan kami. Ketika sujud merebahan diri di hadapan kebesaran Tuhan, kami letakkan dahi kami di atas tanah Husainmu sayang. Jika kelak berpulang ke haribaan, tanah Karbala akan diusapkan di pipi kami dan menyertai kami di pembaringan… Ya Rasulallah, kami pun mencintai Husainmu sayang. Limpahkan kasih dan sayangmu pada kami. Meski raga kami tak hadir di Karbala, tapi hati kami, telinga kami, dan mata kami telah menjawab seruan Sayyidus Syuhada…
Ya Rasulallah, izinkan kami menyampaikan salam pada Husainmu sayang…
Assalaamu ‘alaika Ya Abaa ‘Abdillah, shalallahu ‘alaika ‘adada maa fii ‘ilmillahi labbayk. Labbayka daa’iyallahi labbayka. In kaana lam yujibka badani ‘indastighatsatika wa lisaani ‘indastinshaarika, faqad ajaabaka qalbi wa sam’i, wa bashari…subhaana rabbina in kaana wa’du rabbina lamaf’uulaa…
****
Ya Rasulallah, kini, inilah kami…bukan Salmanmu, bukan Adasmu…tapi kami punya tekad dan cinta seperti mereka. Bila mereka mencintaimu, kami mencintaimu dan mencintai jejak-jejak kaki keluargamu. Ah, bahagianya kami jika sebutir debu yang mereka pijak, hinggap melayang di hati kami.
Ya Rasulallah, kami mencintai Husainmu sayang, dan kami bukan yang pertama menangisinya. Bagaimana kami tidak menangis untuk Husainmu. Ketika Al-Hasan terbaring tanpa daya dan racun sudah menjalar di seluruh tubuhnya, Husainmu duduk di sampingnya. Ia menangis. Husainmu menangis ya Rasulallah. Melihat Husainmu menangis, Al-Hasan bertanya lembut: “Mengapa engkau menangis saudaraku?” Husainmu berkata: “Bagaimana mungkin aku tidak menangis, padahal saudaraku diracun dan disakiti…” Al-Hasan menjawab: “Walaupun aku mereka racun, tapi kini, apa pun yang kuinginkan aku dapatkan. Keluargaku berkumpul bersamaku. Bila aku kehausan, mereka memberiku minuman…tapi…laa yawmin ka yawmika ya Aba ‘Abdillah…tiada hari seperti hari mu Ya Aba ‘Abdillah. Berkumpul di sekitarmu nanti tigapuluh ribu orang yang mengaku umat kakekmu, dan mereka bersekutu untuk membunuhmu dan menumpahkan darahmu…air pun ditahan darimu…tiada hari sepertimu ya Aba ‘Abdillah…”
Tiada pernah akan ada hari seperti harimu Ya Aba ‘Abdillah…
Adakah hari seperti Al-Husain…? Laa yawmin ka yawmika ya Aba ‘Abdillah…tidak ada hari seperti harimu Ya Aba ‘Abdillah…
Zainab, saudari tersayang, mempersembahkan kedua putranya untuk gugur di medan juang. Ketika keduanya syahid, Al-Husain menggendongnya, membawanya ke depan tenda. Meletakkan kedua jasad itu perlahan. Semua perempuan menjerit. Mereka menangis. Tapi Zainab tak tampak di tengah-tengah mereka…ketika seorang bertanya kepadanya mengapa ia tak menjemput jasad putranya, Zainab berkata: “Aku tak ingin Husain melihatku berduka…”
Ah, ya Aba ‘Abdillah, tiada hari seperti harimu Ya Husainna…!
****
Zainabun fii thufuufi tunaadi…ya abna ummi sada’ta fuaadi,
Zainab pun memanggil Syi’ah Ali, Lihatlah Al-Husain putra Nabi
waa Husayna wa ghariibah waa syahiidah…
Setiap kali kita berjanji
Membela Husain yang tersakiti
Adakah kita kan menepati
Bila Karbala datang kembali
Darah Husain…Jiwa Husain…berartikah?
Wa Husaina…Wa ghariiba…Wa Syahiidah…
Zainabun fii thufuufi tunaadi…ya abna ummi sada’ta fuaadi,
Zainab pun memanggil Syi’ah Ali, Lihatlah Al-Husain putra Nabi
waa Husayna wa ghariibah waa syahiidah…
Sungguh…tiada hari seperti harimu Ya Aba ‘Abdillah…
****
Ya Rasulallah, memang takkan pernah ada hari seperti hari Husainmu sayang.
Betapa tidak, ya Rasulallah…ketika dahulu detik-detik terakhir dadamu terasa berat, matamu menutup lambat…ah aku tidak ingin mengingat saat-saat penuh duka itu. Dahulu, ketika sudah dekat waktu perjumpaan dengan Tuhanmu, dadamu berat dan mata menutup lambat…kemudian didatangkan di hadapanmu Al-Hasan dan Al-Husain, kedua putra yang sangat kausayang. Matamu terbuka lebar, dan senyum kebahagiaan tersungging di wajahmu yang suci. Wajah al-Hasan dan al-Husain untuk terakhir kali kausaksikan… tiada hari seperti Al-Husain… pada saat terakhirnya menutup mata, yang ia saksikan muka si durjana. Dadanya pun terasa berat, karena si laknat itu duduk di atas tubuh sucinya, bersiap menebas kepalanya…
Assalaamu’alaika ya Aba ‘Abdillah…wa ‘alal arwaahhilatii hallat bifinaaa`ik, ‘alaika minni salaamullaahi abadan…maa baqiitu wa baqiyal lailu wan nahaari…wa laa ja’alahullahu achiral ‘ahdi minna liziyaaratikum. Assalaaamu ‘alal Husain…assalaamu ‘ala ‘Ali ibnil Husain…assalaamu ‘ala awlaadil Husain…Assalaamu ‘ala ashaabil Husain…wa rahmatullahi wa barakaatuhu…
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar Rahmah…
Akhirnya, tiba juga saatnya kami kisahkan padamu, apa yang terjadi setelah Karbala. Setelah Al-Husain berjuang, setelah ia gugur bersimbah darah. Anak-anak Bani Hasyim tertawan. Perempuannya terbelenggu. Bila para syuhada yang gugur di Karbala, beroleh salam dan doa dari Sayyidus Syuhada. Tubuh mereka yang tersungkur, dibawa Al-Husain ke tenda peristirahatan. Siapa yang mengangkat jasad suci Al-Husain? Setelah ruh sucinya terbang ke langit tinggi…
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar Rahmah…
Betapa kami tidak mengiris pilu. Setiap ada orang yang meninggal di antara kami, kami antarkan mereka dengan penuh perkhidmatan. Kami mandikan, kami kafani, kami shalatkan, kami antarkan mereka ke pekuburan. Bagaimana dahulu Husainmu sayang…? Ia tertahan dari semua itu.
Ahlul Baitmu diarak memasuki kota Kufah. Di sana sudah menyambut Ibnu Ziyad laknatullah. Penduduk Kufah mencemooh mereka, padahal karena undangan merekalah, Al-Husain membelah sahara menemui mereka. Melihat As-Sajjad datang, Ibnu Ziyad berdiri menantang: “Siapakah kamu?” As-Sajjad menjawab, “Ana Aliyyibnil Husain” Akulah Ali putra Al-Husain. “Bukankah Ali putra Al-Husain sudah terbunuh?” As-Sajjad menjawab, “Itu saudaraku…”
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar Rahmah…
Keluargamu dipermalukan. Dijadikan bahan hujatan dan cemoohan. Sebagian di antara mereka tetap berdiri, menjaga ‘izzah keluargamu yang suci. Kelak, sepulang sebagian mereka ke Madinah, Rubab, istri Husainmu sayang sering terlihat berdiri di bawah terik matahari Madinah, berlama-lama. Ia menangis terisak-isak. Seseorang datang kepadanya dan berkata, “Duhai junjunganku, kemarilah. Jangan berlama-lama di bawah panas matahari. Duduklah di bawah teduh pohon kurma ini.” Rubab menolak. Tangisannya makin menjadi. Ia berkata: “Bagaimana mungkin aku duduk tenang di bawah teduh pohon kurma, sedang tubuh Sayyidus Syuhada terpanggang di atas panas pasir Karbala, dibakar terik sinar sang surya…tiga hari lamanya. Tanpa kafan, tanpa pelindung. Bagaimana mungkin aku akan berlindung di bawah teduh pohon kurma…”
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar rahmah…
Itulah yang terjadi setelah Asyura. Setelah tiga hari keluargamu yang suci dipermalukan di istana Kufah, datang sebuah titah: arak mereka ke Istana Bani Umayyah.
Berita duka cita bagi keluarga Al-Husain yang tersisa, tapi juga berita gembira bagi mereka. Betapa tidak, dalam perjalanan menuju Syam, mereka singgah di Karbala. Sekali lagi berhadapan dengan padang penuh derita. Dengan kenangan yang menyimpan jutaan duka. Tapi kini, mereka punya kesempatan untuk mengebumikan jasad Husainmu sayang. Setelah tiga hari dibiarkan tanpa kafan, Ali bin Husain menggendong tubuh mulia itu. Ya Imam…betapa berat derita yang kaupikul. Pantaslah kau menangis duapuluh tahun lamanya…
As-Sajjad menggali tanah dengan tangan beliau sendiri. Keluarga yang tersisa tak kuasa menahan duka. Mereka menangis dan mengalunkan munajat cinta. Doa kerinduan. Doa kehilangan. Di dalam pusara, As-Sajjad tepekur begitu lama. Apa yang menahannya begitu lama…?
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar rahmah…kelak, para imam dari keluargamu mengajarkan pada kami bagaimana caranya mengantarkan jenazah ke pekuburan. Begitu penuh dengan penghormatan. Begitu takzim, khidmat dan memuliakan. Bila ada jenazah dibaringkan di liang lahat, hadapkan wajahnya ke arah kiblat. Buka sedikit kain kafannya. Sentuhkan pipinya yang satu ke tanah, dan cium pipinya yang lain. Kemudian balurkan tanah di atasnya dengan penuh kelembutan…
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar rahmah…pantaslah As-Sajjad berlama-lama di bawah sana. Di pusara Sayyidus Syuhada…Bagaimana ia harus memberikan penghormatan yang terakhir. Wajah yang mana yang harus ia hadapkan ke Baitullah? Pipi yang mana yang harus ia sentuhkan ke tanah? Kepala yang mana yang harus dengan lembut ia baringkan…kepala mana yang harus ia cium penuh keharuan? Ya Rasulallah, ya Nabiyyar rahmah…kepala itu terhunus di atas tombak yang terpancang…salam bagimu ya Aba ‘Abdillah…
Seseorang memeriksa As-Sajjad, seakan ingin memaksanya untuk cepat naik ke atas. Khalifah tak bisa menunggu pikirnya. Tapi tiba-tiba ia tertegun. Ia tak sanggup berkata sepatah kata pun. Di bawah sana, di dalam lahat yang mendekap tubuh suci Sayyidus Syuhada…ada As-Sajjad bergelimang tangis dan doa. Ia sedang memberikan penghormatan yang terakhir…pelan-pelan, dengan penuh pengkhidmatan, As-Sajjad mengecup lingkar leher Al-Husain…leher itu ya Nabiyallah, yang sering engkau cium. Leher itu ya Rasulallah yang sangat engkau kenal. Kini As-Sajjad menciumi leher bersimbah darah itu, sedikit demi sedikit, sekecup demi sekecup, melingkar, dari titik yang satu bertemu dengan titik yang lainnya…pantaslah ia berlama-lama di bawah sana…
Ya Rasulallah…ya Nabiyyar rahmah…salam dan shalawat kami kepadamu. Begitulah As-Sajjad dan Ahlu Bait yang tersisa, menyampaikan salam perpisahan dengan jasad suci Sayyidus Syuhada. Maka mereka pun membelah malam, menjelajah sahara tak berbintang. Kaki mereka lembab dan menghitam. Tubuh mengurus dan kesakitan. Punggung melengkung karena belenggu dan lecutan. Setelah ratusan kilometer. Setelah beberapa tempat peristirahatan, tibalah mereka di Syam.
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar rahmah…pastilah engkau ingat. Dahulu, ketika engkau melalui gang-gang sempit dan kecil di Makkah, seorang kafir kerap melemparimu kepalamu dengan sampah. Dari atas rumah, ia taburkan debu-debu tanah. Engkau tidak marah kepadanya. Engkau pulang ke rumah. Di sana sudah menunggu Ummu Abiha, dengan sentuhan penuh keibuan, ia bersihkan debu-debu itu. Ia usap kotoran di wajahmu. Ia bersihkan luka di punggungmu.
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar rahmah…bagaimana kami tak menangis pilu. Ketika Ahlul Baitmu yang tersisa, melangkah memasuki jalanan kota Damaskus, tertawan dan teraniaya…dari atas rumah-rumah, penduduk melempari mereka dengan sampah. Debu dan tanah ditaburkan di atas mereka. Bukan saja itu Ya Rasulallah…sebagian melempari mereka dengan kayu dan batu. Cemoohan tak berhenti diteriakan. Seseorang menaburkan bubuk api di atas kepala As-Sajjad…dan oh…tangan As-Sajjad yang terbelenggu tak mampu menepisnya. Ya Rasulallah…api itu menjalar membakar janggut As-Sajjad yang mulia, naik ke atas dan membakar sebagian dari serbannya. Pada akhirnya, api itu sampai di kepalanya…
Tiada yang memadamkannya ya Rasulallah…tiada Ummu Abiha di sana…
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar rahmah…duka cita dan cinta kami bagimu dan Ahli Baitmu.
Kami tidak punya kegigihan seperti Salman, ketulusan seperti Adas…tapi kami punya kecintaan pada Husainmu sayang.
Terangi jiwa kami dengan cahaya Muhammadi. Lembutkan hati kami dengan sinar Fatimi. Tanamkan dalam dada kami keberanian Haydari. Anugerahkan pada kami kesabaran Mujtabawi…dan karuniakan pada kami kesempatan untuk mengakhiri hidup kami dengan teladan Husaini…
Bila mengenang setiap derita mereka saja tak mampu kami ikuti…bila kami hanya mengingat mereka pada saat-saat seperti ini. Bagaimana mungkin Ya Nabi…bila jejak darah mereka senantiasa mengalirkan tangisan duka di pelupuk mata…
Hari ini, Ya Rasulallah, kami beranikan diri kami berziarah kepadamu. Menyampaikan duka cita dan cinta kami. Empatpuluh hari berlalu sudah, sejak peristiwa tak tertahankan raga itu. Maafkan kami Ya Rasulallah, bila tak mampu mempertahankan air mata duka itu. Tidak seperti As-Sajjad.
Sejak kepergian Al-Husain, As-Sajjad tak henti berduka dan menangis. Baka Aliyyubnul Husain as ‘isyriina sanatan ma wudhi’a bayna yadayhi tha’aamun illa bakaa. Ali ibnil Husain menangis untuk Husain… duapuluh tahun lamanya. Tidaklah makanan dihidangkan di hadapannya, kecuali ia menangis mengingatnya. Tidaklah minuman ditawarkan kepadanya, kecuali ia menangis karenanya. Duapuluh tahun lamanya…
Dan As-Sajjad bukan yang pertama.
Ketika Amirul Mukminin bersama para sahabatnya sampai di Karbala. Ia berhenti. Butiran-butiran air suci menggenang di pelupuk matanya. Ia mengitari padang yang gersang itu. Berulang kali berhenti dan wajahnya penuh duka. Tak henti-henti ia berkata: “Di sini kelak kuda-kuda ditambatkan. Di sini kelak tubuh-tubuh itu berjatuhan. Di sini api membakar tenda peristirahatan…” Lalu ia mengambil segenggam tanah dan berkata, “…bahagialah engkau tanah, yang di atasmu kelak darah suci tertumpah…” lalu ia usapkan ke wajahnya…
Dan Amirul Mukminin bukan yang pertama.
Bukankah dahulu engkau bersama para sahabatmu berjalan mengitari Madinah. Engkau lihat seorang anak kecil sedang bermain. Kemudian engkau berhenti. Menyapa anak kecil itu. Mengangkatnya di pangkuanmu, dan engkau ciumi dia, tepat di antara kedua matanya. Ah, bahagianya anak kecil itu… engkau limpahkan kepadanya kasih dan sayangmu. Seorang sahabat bertanya kepadamu mengapa engkau istimewakan anak kecil itu? Ya Rasulallah engkau berkata lembut: “Aku pernah melihatnya bermain dengan Husainku sayang. Lalu ia bersihkan debu yang melekat di telapak kaki Husain. Ia usapkan debu itu ke wajahnya. Tak lama kemudian Jibril datang mengabarkan, anak kecil itu nanti akan menjadi penolongku Husainku di Karbala. Aku mencintainya karena kecintaannya kepada Husainku sayang…”
Ya Rasulallah…kami ini juga para pecinta Husainmu. Kami juga akan usapkan bekas pijakan Husainmu di atas kepala kami, pada wajah kami, pada kedua tangan kami. Ketika sujud merebahan diri di hadapan kebesaran Tuhan, kami letakkan dahi kami di atas tanah Husainmu sayang. Jika kelak berpulang ke haribaan, tanah Karbala akan diusapkan di pipi kami dan menyertai kami di pembaringan… Ya Rasulallah, kami pun mencintai Husainmu sayang. Limpahkan kasih dan sayangmu pada kami. Meski raga kami tak hadir di Karbala, tapi hati kami, telinga kami, dan mata kami telah menjawab seruan Sayyidus Syuhada…
Ya Rasulallah, izinkan kami menyampaikan salam pada Husainmu sayang…
Assalaamu ‘alaika Ya Abaa ‘Abdillah, shalallahu ‘alaika ‘adada maa fii ‘ilmillahi labbayk. Labbayka daa’iyallahi labbayka. In kaana lam yujibka badani ‘indastighatsatika wa lisaani ‘indastinshaarika, faqad ajaabaka qalbi wa sam’i, wa bashari…subhaana rabbina in kaana wa’du rabbina lamaf’uulaa…
****
Ya Rasulallah, kini, inilah kami…bukan Salmanmu, bukan Adasmu…tapi kami punya tekad dan cinta seperti mereka. Bila mereka mencintaimu, kami mencintaimu dan mencintai jejak-jejak kaki keluargamu. Ah, bahagianya kami jika sebutir debu yang mereka pijak, hinggap melayang di hati kami.
Ya Rasulallah, kami mencintai Husainmu sayang, dan kami bukan yang pertama menangisinya. Bagaimana kami tidak menangis untuk Husainmu. Ketika Al-Hasan terbaring tanpa daya dan racun sudah menjalar di seluruh tubuhnya, Husainmu duduk di sampingnya. Ia menangis. Husainmu menangis ya Rasulallah. Melihat Husainmu menangis, Al-Hasan bertanya lembut: “Mengapa engkau menangis saudaraku?” Husainmu berkata: “Bagaimana mungkin aku tidak menangis, padahal saudaraku diracun dan disakiti…” Al-Hasan menjawab: “Walaupun aku mereka racun, tapi kini, apa pun yang kuinginkan aku dapatkan. Keluargaku berkumpul bersamaku. Bila aku kehausan, mereka memberiku minuman…tapi…laa yawmin ka yawmika ya Aba ‘Abdillah…tiada hari seperti hari mu Ya Aba ‘Abdillah. Berkumpul di sekitarmu nanti tigapuluh ribu orang yang mengaku umat kakekmu, dan mereka bersekutu untuk membunuhmu dan menumpahkan darahmu…air pun ditahan darimu…tiada hari sepertimu ya Aba ‘Abdillah…”
Tiada pernah akan ada hari seperti harimu Ya Aba ‘Abdillah…
Adakah hari seperti Al-Husain…? Laa yawmin ka yawmika ya Aba ‘Abdillah…tidak ada hari seperti harimu Ya Aba ‘Abdillah…
Zainab, saudari tersayang, mempersembahkan kedua putranya untuk gugur di medan juang. Ketika keduanya syahid, Al-Husain menggendongnya, membawanya ke depan tenda. Meletakkan kedua jasad itu perlahan. Semua perempuan menjerit. Mereka menangis. Tapi Zainab tak tampak di tengah-tengah mereka…ketika seorang bertanya kepadanya mengapa ia tak menjemput jasad putranya, Zainab berkata: “Aku tak ingin Husain melihatku berduka…”
Ah, ya Aba ‘Abdillah, tiada hari seperti harimu Ya Husainna…!
****
Zainabun fii thufuufi tunaadi…ya abna ummi sada’ta fuaadi,
Zainab pun memanggil Syi’ah Ali, Lihatlah Al-Husain putra Nabi
waa Husayna wa ghariibah waa syahiidah…
Setiap kali kita berjanji
Membela Husain yang tersakiti
Adakah kita kan menepati
Bila Karbala datang kembali
Darah Husain…Jiwa Husain…berartikah?
Wa Husaina…Wa ghariiba…Wa Syahiidah…
Zainabun fii thufuufi tunaadi…ya abna ummi sada’ta fuaadi,
Zainab pun memanggil Syi’ah Ali, Lihatlah Al-Husain putra Nabi
waa Husayna wa ghariibah waa syahiidah…
Sungguh…tiada hari seperti harimu Ya Aba ‘Abdillah…
****
Ya Rasulallah, memang takkan pernah ada hari seperti hari Husainmu sayang.
Betapa tidak, ya Rasulallah…ketika dahulu detik-detik terakhir dadamu terasa berat, matamu menutup lambat…ah aku tidak ingin mengingat saat-saat penuh duka itu. Dahulu, ketika sudah dekat waktu perjumpaan dengan Tuhanmu, dadamu berat dan mata menutup lambat…kemudian didatangkan di hadapanmu Al-Hasan dan Al-Husain, kedua putra yang sangat kausayang. Matamu terbuka lebar, dan senyum kebahagiaan tersungging di wajahmu yang suci. Wajah al-Hasan dan al-Husain untuk terakhir kali kausaksikan… tiada hari seperti Al-Husain… pada saat terakhirnya menutup mata, yang ia saksikan muka si durjana. Dadanya pun terasa berat, karena si laknat itu duduk di atas tubuh sucinya, bersiap menebas kepalanya…
Assalaamu’alaika ya Aba ‘Abdillah…wa ‘alal arwaahhilatii hallat bifinaaa`ik, ‘alaika minni salaamullaahi abadan…maa baqiitu wa baqiyal lailu wan nahaari…wa laa ja’alahullahu achiral ‘ahdi minna liziyaaratikum. Assalaaamu ‘alal Husain…assalaamu ‘ala ‘Ali ibnil Husain…assalaamu ‘ala awlaadil Husain…Assalaamu ‘ala ashaabil Husain…wa rahmatullahi wa barakaatuhu…
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar Rahmah…
Akhirnya, tiba juga saatnya kami kisahkan padamu, apa yang terjadi setelah Karbala. Setelah Al-Husain berjuang, setelah ia gugur bersimbah darah. Anak-anak Bani Hasyim tertawan. Perempuannya terbelenggu. Bila para syuhada yang gugur di Karbala, beroleh salam dan doa dari Sayyidus Syuhada. Tubuh mereka yang tersungkur, dibawa Al-Husain ke tenda peristirahatan. Siapa yang mengangkat jasad suci Al-Husain? Setelah ruh sucinya terbang ke langit tinggi…
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar Rahmah…
Betapa kami tidak mengiris pilu. Setiap ada orang yang meninggal di antara kami, kami antarkan mereka dengan penuh perkhidmatan. Kami mandikan, kami kafani, kami shalatkan, kami antarkan mereka ke pekuburan. Bagaimana dahulu Husainmu sayang…? Ia tertahan dari semua itu.
Ahlul Baitmu diarak memasuki kota Kufah. Di sana sudah menyambut Ibnu Ziyad laknatullah. Penduduk Kufah mencemooh mereka, padahal karena undangan merekalah, Al-Husain membelah sahara menemui mereka. Melihat As-Sajjad datang, Ibnu Ziyad berdiri menantang: “Siapakah kamu?” As-Sajjad menjawab, “Ana Aliyyibnil Husain” Akulah Ali putra Al-Husain. “Bukankah Ali putra Al-Husain sudah terbunuh?” As-Sajjad menjawab, “Itu saudaraku…”
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar Rahmah…
Keluargamu dipermalukan. Dijadikan bahan hujatan dan cemoohan. Sebagian di antara mereka tetap berdiri, menjaga ‘izzah keluargamu yang suci. Kelak, sepulang sebagian mereka ke Madinah, Rubab, istri Husainmu sayang sering terlihat berdiri di bawah terik matahari Madinah, berlama-lama. Ia menangis terisak-isak. Seseorang datang kepadanya dan berkata, “Duhai junjunganku, kemarilah. Jangan berlama-lama di bawah panas matahari. Duduklah di bawah teduh pohon kurma ini.” Rubab menolak. Tangisannya makin menjadi. Ia berkata: “Bagaimana mungkin aku duduk tenang di bawah teduh pohon kurma, sedang tubuh Sayyidus Syuhada terpanggang di atas panas pasir Karbala, dibakar terik sinar sang surya…tiga hari lamanya. Tanpa kafan, tanpa pelindung. Bagaimana mungkin aku akan berlindung di bawah teduh pohon kurma…”
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar rahmah…
Itulah yang terjadi setelah Asyura. Setelah tiga hari keluargamu yang suci dipermalukan di istana Kufah, datang sebuah titah: arak mereka ke Istana Bani Umayyah.
Berita duka cita bagi keluarga Al-Husain yang tersisa, tapi juga berita gembira bagi mereka. Betapa tidak, dalam perjalanan menuju Syam, mereka singgah di Karbala. Sekali lagi berhadapan dengan padang penuh derita. Dengan kenangan yang menyimpan jutaan duka. Tapi kini, mereka punya kesempatan untuk mengebumikan jasad Husainmu sayang. Setelah tiga hari dibiarkan tanpa kafan, Ali bin Husain menggendong tubuh mulia itu. Ya Imam…betapa berat derita yang kaupikul. Pantaslah kau menangis duapuluh tahun lamanya…
As-Sajjad menggali tanah dengan tangan beliau sendiri. Keluarga yang tersisa tak kuasa menahan duka. Mereka menangis dan mengalunkan munajat cinta. Doa kerinduan. Doa kehilangan. Di dalam pusara, As-Sajjad tepekur begitu lama. Apa yang menahannya begitu lama…?
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar rahmah…kelak, para imam dari keluargamu mengajarkan pada kami bagaimana caranya mengantarkan jenazah ke pekuburan. Begitu penuh dengan penghormatan. Begitu takzim, khidmat dan memuliakan. Bila ada jenazah dibaringkan di liang lahat, hadapkan wajahnya ke arah kiblat. Buka sedikit kain kafannya. Sentuhkan pipinya yang satu ke tanah, dan cium pipinya yang lain. Kemudian balurkan tanah di atasnya dengan penuh kelembutan…
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar rahmah…pantaslah As-Sajjad berlama-lama di bawah sana. Di pusara Sayyidus Syuhada…Bagaimana ia harus memberikan penghormatan yang terakhir. Wajah yang mana yang harus ia hadapkan ke Baitullah? Pipi yang mana yang harus ia sentuhkan ke tanah? Kepala yang mana yang harus dengan lembut ia baringkan…kepala mana yang harus ia cium penuh keharuan? Ya Rasulallah, ya Nabiyyar rahmah…kepala itu terhunus di atas tombak yang terpancang…salam bagimu ya Aba ‘Abdillah…
Seseorang memeriksa As-Sajjad, seakan ingin memaksanya untuk cepat naik ke atas. Khalifah tak bisa menunggu pikirnya. Tapi tiba-tiba ia tertegun. Ia tak sanggup berkata sepatah kata pun. Di bawah sana, di dalam lahat yang mendekap tubuh suci Sayyidus Syuhada…ada As-Sajjad bergelimang tangis dan doa. Ia sedang memberikan penghormatan yang terakhir…pelan-pelan, dengan penuh pengkhidmatan, As-Sajjad mengecup lingkar leher Al-Husain…leher itu ya Nabiyallah, yang sering engkau cium. Leher itu ya Rasulallah yang sangat engkau kenal. Kini As-Sajjad menciumi leher bersimbah darah itu, sedikit demi sedikit, sekecup demi sekecup, melingkar, dari titik yang satu bertemu dengan titik yang lainnya…pantaslah ia berlama-lama di bawah sana…
Ya Rasulallah…ya Nabiyyar rahmah…salam dan shalawat kami kepadamu. Begitulah As-Sajjad dan Ahlu Bait yang tersisa, menyampaikan salam perpisahan dengan jasad suci Sayyidus Syuhada. Maka mereka pun membelah malam, menjelajah sahara tak berbintang. Kaki mereka lembab dan menghitam. Tubuh mengurus dan kesakitan. Punggung melengkung karena belenggu dan lecutan. Setelah ratusan kilometer. Setelah beberapa tempat peristirahatan, tibalah mereka di Syam.
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar rahmah…pastilah engkau ingat. Dahulu, ketika engkau melalui gang-gang sempit dan kecil di Makkah, seorang kafir kerap melemparimu kepalamu dengan sampah. Dari atas rumah, ia taburkan debu-debu tanah. Engkau tidak marah kepadanya. Engkau pulang ke rumah. Di sana sudah menunggu Ummu Abiha, dengan sentuhan penuh keibuan, ia bersihkan debu-debu itu. Ia usap kotoran di wajahmu. Ia bersihkan luka di punggungmu.
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar rahmah…bagaimana kami tak menangis pilu. Ketika Ahlul Baitmu yang tersisa, melangkah memasuki jalanan kota Damaskus, tertawan dan teraniaya…dari atas rumah-rumah, penduduk melempari mereka dengan sampah. Debu dan tanah ditaburkan di atas mereka. Bukan saja itu Ya Rasulallah…sebagian melempari mereka dengan kayu dan batu. Cemoohan tak berhenti diteriakan. Seseorang menaburkan bubuk api di atas kepala As-Sajjad…dan oh…tangan As-Sajjad yang terbelenggu tak mampu menepisnya. Ya Rasulallah…api itu menjalar membakar janggut As-Sajjad yang mulia, naik ke atas dan membakar sebagian dari serbannya. Pada akhirnya, api itu sampai di kepalanya…
Tiada yang memadamkannya ya Rasulallah…tiada Ummu Abiha di sana…
Ya Rasulallah, ya Nabiyyar rahmah…duka cita dan cinta kami bagimu dan Ahli Baitmu.
Kami tidak punya kegigihan seperti Salman, ketulusan seperti Adas…tapi kami punya kecintaan pada Husainmu sayang.
Terangi jiwa kami dengan cahaya Muhammadi. Lembutkan hati kami dengan sinar Fatimi. Tanamkan dalam dada kami keberanian Haydari. Anugerahkan pada kami kesabaran Mujtabawi…dan karuniakan pada kami kesempatan untuk mengakhiri hidup kami dengan teladan Husaini…