Pada dasarnya rumah berfungsi sebagai tempat tinggal. Bila rumah itu juga menjadi tempat diadakannya majelis-majelis ilmu, doa, menghidupkan peringatan keagamaan atau menjadi tempat mengurus baksos untuk fakir miskin dan anak yatim, itu rumah berkah namanya. Kita bekerja mencari nafkah, tapi bila dalam prosesnya kita dapat keluarga baru, jejaring baru, persaudaraan baru, maka pekerjaan kita lebih dari sekadar nafkah, di situ ada berkah. Handphone itu fungsinya memudahkan komunikasi dan mengakses beragam informasi, tapi bila digunakan untuk menyebarkan kebaikan, manfaat dan menciptakan kemaslahatan, maka di situ ada berkah.
Satu di antara faedah itu ingin saya bagikan. Belum lama ini saya menemukan pengakuan Ibnu al-Jauzi dalam kitabnya Shaid al-Khathir yang barangkali menghentak kesadaran kita. Begini, sepanjang hidupnya beliau bertemu dengan banyak ulama dengan karakter, kondisi dan tingkat keilmuan yang berbeda-beda. Ia banyak berinteraksi dan berguru kepada para ahli dari beragam bidang ilmu-ilmu keislaman. Tapi lihatlah apa kata beliau: wa kana anfa‘uhum li fi shuhbatihi al-‘amil minhum bi ‘ilmihi wa in kana ghairuhu a’lam minhu (orang yang paling memberi manfaat bagiku dalam hubunganku dengannya adalah orang yang paling mengamalkan ilmunya di antara mereka, meskipun ada ulama lain yang lebih berilmu darinya).
Saya memaknai “manfaat” yang dimaksud Ibnu al-Jauzi bukan hanya terkait wawasan dan pemahaman keilmuan yang dipelajarinya, tetapi juga manfaat berupa munculnya pengaruh yang kuat terhadap transformasi jiwa beliau, membentuk kemuliaan akhlak dan jati diri, dan menyempurnakan perjalanan penghambaan yang ditempuhnya. Melalui guru-guru yang paling mengamalkan ilmunya itulah beliau memperoleh bekal-bekal sejati dalam memahami dan menjalani kehidupan. Beliau menyerap kebijaksanaan dan kesadaran yang mendalam dari mereka. Seandainya manfaat yang dimaksud hanya soal teori-teori dan wacana keilmuan, lantas untuk apa Ibnu al-Jauzi bilang: wa in kana ghairuhu a’lam minhu (meskipun ada ulama lain yang lebih berilmu darinya)? Idealnya manfaat yang lebih didapatkan dari orang yang lebih berilmu. Tapi pengalaman Ibnu al-Jauzi justru berbeda. Ada apa? Ini lebih dari sekadar kecakapan intelektual. Ini tentang hembusan spiritual dan daya mistikal yang punya logika dan aturan mainnya tersendiri.
Ada yang menerjemahkan kata “anfa‘uhum” dalam pengakuan Ibnu al-Jauzi tersebut sebagai: yang paling banyak memberi manfaat. Bagi saya, tidak selamanya yang “banyak” itu tentang jumlah. Ia juga bisa hadir dalam bentuk satu kebaikan yang di kemudian hari tumbuh dan berkembang. Dari satu benih yang ditanam dalam jiwa tumbuh ratusan keindahan. Boleh jadi ada satu pelajaran berharga dari sang guru yang sangat berkesan bagi Ibnu al-Jauzi, membekas kuat dalam jiwanya, membangunkan dari tidur lelapnya, sehingga dari yang satu inilah beliau mengubah seluruh hidupnya. Satu yang menghentak ini mendorong beliau untuk memulai lembaran baru. Satu yang mengakar ini yang kemudian menentukan pandangan dan orientasi hidup serta model keberagamaannya.
Baca Juga : Jangan Terpecah Karena Hasutan
Satu pelajaran yang berkesan yang kemudian efeknya bertahan lama dan berkembang itu setara bahkan melampaui yang “banyak”. Sesuatu yang dipandang sedikit namun berkesinambungan mendapat tempat istimewa dalam agama ini. Baginda Rasulullah Muhammad SAW bersabda: Ahabbul a’mali Ilallahi adwamuha wa in qalla. Amal yang paling dicintai Allah adalah yang dilakukan berkesinambungan walaupun sedikit. Karena, yang dawamlah yang akan membentuk malakah (sesuatu yang melekat, bagian tak terpisahkan dari jiwa). Sebaliknya, boleh jadi ada banyak pelajaran/wacana intelektual yang diterima namun efeknya datang lalu singgah sebentar, dan akhirnya pergi begitu saja. Tidak bertahan lama. Faktornya tidak selalu berpulang pada penerima, tapi juga terkait aspek terdalam dari diri orang yang mengajarkannya.
Saya sangat percaya keberkahan seorang guru yang mengamalkan ilmunya. Guru yang betul-betul mengamalkan ilmunya, khususnya pengamalan yang berkaitan dengan penyucian diri, ketulusan, kesetiaan, keadilan (termasuk adil sejak dalam pikiran), kerendahhatian, akhlak, menjaga lisan, empati dan cinta kasih, itu lebih kuat pengaruhnya dalam membentuk manusia sejati. Guru yang seperti ini, meskipun yang disampaikannya hal-hal normatif yang sudah sering kita dengar, ia tetap menimbulkan efek spiritual atau kesan berbeda yang membekas dalam jiwa.
Sebut saja para ulama arif teladan seperti Imam Khomeini, Rahbar Sayyid ‘Ali Khamenei, ‘Allamah Sayyid Muhammad Husein Thabathabai, Ayatullah Hasan Zadeh Amuli, Ayatullah Muhammadi Taqi Bahjat, Ayatullah Ibrahim Amini, Ayatullah Jawadi Amuli dan Ayatullah Muhammad Taqi Mishbah Yazdi. Simaklah pesan-pesan yang mereka kumandangkan lewat lisan dan tulisannya. Sebagiannya barangkali terdengar sederhana, normatif, biasa-biasa saja, dan sudah sering disampaikan oleh para dai dan ulama lainnya, seperti pesan seputar takwa, iman, dan amal saleh, tetapi karena pada sosok yang mengucapkannya melekat kesalehan zhahir dan batin, ada pengamalan ilmu yang ketat dan konsisten dalam kehidupan sehari-harinya, maka para pendengar bisa merasakan ada semacam kekuatan spiritual yang meresap dalam kata-kata yang disampaikannya. Yang seperti inilah yang akan betul-betul memancarkan dan membangkitkan nilai-nilai ilahiyah. Yang selama ini kita sebut berkah menemukan perwujudannya pada sosok seperti mereka.
Misal ada dua guru menyampaikan ilmu dan pesan yang sama, tapi bagi muridnya guru pertamalah yang lebih berkesan/terasa di hatinya. Guru pertama berhasil mengantarkannya pada perubahan. Bukan guru kedua. Padahal subtansi yang disampaikan sama. Yakinlah di balik itu ada berkah dari mengamalkan ilmu. Boleh jadi yang pertama lebih tulus, atau lebih jernih dalam niatnya. Boleh jadi yang pertama lebih menjaga lisannya terhadap keluarganya. Lisannya terjaga dari menyakiti perasaan sesama. Saya teringat pesan Ayatullah Jawadi Amuli, yang intinya: Jangan kotori lisan dan mulut kita dengan syubhat dan segala yang diharamkan. Sebab, betapa pun mulianya suatu ucapan namun bila mengalir dari saluran yang kotor, maka tidak berpengaruh.
Dalam buku Kidung Angklung di Tanah Persia, halaman 15, guru kita K.H. Miftah Fauzi Rakhmat menjelaskan bahwa berkah itu added value. Ada nilai tambah terhadap sesuatu. Ada muatan tambahan di luar fungsi dasarnya. “Bila makanan mengenyangkan, ia menjalankan fungsinya. Bila makanan itu juga menyembuhkan, itu berkah namanya”, mengutip Allah yarham K.H. Jalaluddin Rakhmat.
Pada dasarnya rumah berfungsi sebagai tempat tinggal. Bila rumah itu juga menjadi tempat diadakannya majelis-majelis ilmu, doa, menghidupkan peringatan keagamaan atau menjadi tempat mengurus baksos untuk fakir miskin dan anak yatim, itu rumah berkah namanya. Kita bekerja mencari nafkah, tapi bila dalam prosesnya kita dapat keluarga baru, jejaring baru, persaudaraan baru, maka pekerjaan kita lebih dari sekadar nafkah, di situ ada berkah. Handphone itu fungsinya memudahkan komunikasi dan mengakses beragam informasi, tapi bila digunakan untuk menyebarkan kebaikan, manfaat dan menciptakan kemaslahatan, maka di situ ada berkah.
Baca Juga : Jangan Berhenti Hadirkan Bukti
Seorang guru tugasnya memberikan ilmu. Tapi bila ia juga menjadi sahabat, pelindung, pengayom, pembimbing dan pendukung, maka guru itu menjadi berkah bagi muridnya. Demikian halnya, suara dan goresan pena para ulama menjadi medium transmisi ilmu pengetahuan. Tapi bila di balik suara dan tulisannya terselip daya spiritual yang mempengaruhi batin pendengar dan pembacanya sehingga mengantarkannya pada perubahan dan kemaslahatan eksistensial, maka di situ ada berkah.
Saya tidak sedang mengajak saudara untuk menyelidiki dan membandingkan siapa di antara para guru kita yang lebih saleh dan mengamalkan ilmunya. Kita tidak bersama mereka 24 jam. Kita tidak tahu semua yang tersimpan dalam batin mereka. Kita tidak berhak untuk itu. Yang hendak ditegaskan adalah adanya faktor-faktor spiritual yang memainkan peran penting dalam memberikan pengaruh dalam proses pembelajaran dan pembentukan manusia. Pengajaran bukan hanya soal transfer ilmu, keluasan wawasan, kecakapan intelektual, metode dan kepiawaian berkomunikasi. Ia melibatkan pancaran dan kekuatan jiwa manusia yang diperoleh dengan cara merealisasikan nilai-nilai luhur yang diketahuinya. Dan ini bagian dari takwa.
Terakhir saya ingin ngalap berkah pesan-pesan indah Allah yarham K.H. Jalaluddin Rakhmat yang relevan dengan pembicaraan kita. Pesan berikut masing-masing dimuat dalam buku-buku karyanya :
- Guru sejati bukan hanya menjadikan ilmu sebagai pengetahuan, tetapi juga hikmah yang membimbing perilaku
- Guru sejati bukan hanya membangkitkan akal, tetapi juga mencerdaskan hati dan mengarahkan manusia menuju jalan Tuhan
- Guru sejati hadir bukan sekadar untuk mengajarkan pelajaran, tetapi juga untuk menyalakan pelita kehidupan
- Guru sejati tidak hanya mengajarkan ilmu, tetapi juga menunjukkan teladan hidup. Mereka adalah cahaya di kegelapan, jembatan menuju keabadian
- Guru sejati menanamkan nilai-nilai yang menjadikan muridnya manusia sejati
- Guru sejati membuat manusia menemukan arah dan tujuan hidupnya yang hakiki
- Guru sejati membuat manusia belajar memahami kehidupan, mencintai kemanusiaan, dan mendekatkan diri kepada Allah SWT
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad wa ‘ajjil farajahum...