Di antara kepedihan yang tak terbayangkan, lahirlah doa-doa yang tak sekadar mengungkapkan kepasrahan, melainkan juga menanamkan keberanian. Shahifah Sajjadiyah, untaian doa yang dipanjatkan oleh Imam Ali Zainal Abidin as, bukan sekadar kumpulan harapan, tetapi sebuah warisan spiritual yang mengajarkan bagaimana menghadapi hidup dengan keteguhan, tanpa kehilangan kelembutan hati.
Di antara kepedihan yang tak terbayangkan, lahirlah doa-doa yang tak sekadar mengungkapkan kepasrahan, melainkan juga menanamkan keberanian. Shahifah Sajjadiyah, untaian doa yang dipanjatkan oleh Imam Ali Zainal Abidin as, bukan sekadar kumpulan harapan, tetapi sebuah warisan spiritual yang mengajarkan bagaimana menghadapi hidup dengan keteguhan, tanpa kehilangan kelembutan hati.
Imam Ali Zainal Abidin as adalah cahaya yang tersisa dari Karbala. Dalam usia mudanya, ia menyaksikan ayahnya, Imam Husain as, berdiri tegak di tengah padang tandus, menantang kezaliman yang menggulung umat dalam gelombang ketakutan. Ia melihat tubuh-tubuh suci bergelimpangan, mendengar jeritan yang mengiris langit, dan merasakan debu Karbala menyatu dengan air matanya.
Namun, Karbala tidak menghancurkannya. Karbala menempanya. Dibawa sebagai tawanan ke istana Yazid, ia berdiri dengan tubuh lemah tetapi dengan suara yang membuat musuhnya gemetar:
"Wahai manusia! Aku adalah putra Husain yang dibantai di Karbala. Aku adalah keturunan Muhammad, yang dihinakan oleh penguasa zalim. Katakan padaku, di dunia ini, siapakah yang lebih sengsara daripada aku?"
Dan dalam kalimat yang sederhana itu, Yazid kalah. Tidak dengan pedang, tetapi dengan kebenaran yang tak bisa ditundukkan.
Setelah peristiwa itu, ia kembali ke Madinah. Tidak ada pasukan yang ia kumpulkan. Tidak ada dendam yang ia kobarkan. Yang ia tinggalkan adalah doa. Doa yang ia rangkai menjadi Shahifah Sajjadiyah.
Baca Juga : Dari Mana Kita Seharusnya Berangkat ?
Doa yang Melembutkan Hati, Doa yang Mengokohkan Jiwa
Shahifah Sajjadiyah bukan hanya sekadar kumpulan doa. Ia adalah cerminan jiwa seorang kekasih Tuhan yang hatinya dipenuhi luka, tetapi tetap mengalirkan cinta.
Ada doa yang begitu lembut, yang mengajarkan bagaimana manusia merendahkan dirinya di hadapan Tuhan:
"Ya Allah, betapa sering aku meminta sesuatu yang tidak pantas untukku, tetapi Kau tetap memberinya. Betapa sering aku lupa pada-Mu, tetapi Kau tetap mengingatku. Betapa sering aku menjauh, tetapi Kau tetap mendekat..."
Ada juga doa yang membakar semangat perlawanan, mengajarkan bahwa seorang mukmin tidak boleh tunduk pada kezaliman:
"Ya Allah, kuatkan orang-orang yang berjuang di jalan-Mu. Jangan biarkan mereka gentar menghadapi ancaman. Jangan biarkan mereka terlena oleh dunia. Jadikan mereka lisan kebenaran yang menyingkap kebatilan."
Imam Zainal Abidin as tidak berdoa untuk kehancuran musuh-musuhnya. Ia berdoa agar mereka mendapat hidayah. Ia tidak meminta Tuhan untuk menurunkan azab, tetapi meminta agar umat diselamatkan dari kezaliman.
Keteladanan dalam Akhlak: Kasih Sayang bagi Semua
Keteguhan hati Imam Zainal Abidin as tidak hanya tampak dalam doanya, tetapi juga dalam sikapnya terhadap sesama, bahkan terhadap musuhnya.
Suatu hari, seorang lelaki dari keluarga Bani Umayyah menghina dan mencacinya di hadapan banyak orang. Para pengikut Imam ingin membalas, tetapi Imam justru mendekati lelaki itu dengan lembut dan berkata:
"Jika semua yang kau katakan benar, semoga Allah mengampuniku. Jika semua yang kau katakan salah, semoga Allah mengampunimu."
Lelaki itu terdiam. Tak ada kata-kata yang bisa ia ucapkan selain permintaan maaf.
Mengulurkan Tangan kepada yang Membenci
Di Madinah, ada seorang pelayan yang sering mencuri dari rumah Imam. Ketika pelayan itu tertangkap, Imam hanya tersenyum dan berkata:
"Jika kau butuh sesuatu, mintalah. Aku akan memberimu lebih dari yang kau curi."
Pelayan itu menangis, bersimpuh, dan sejak hari itu mengabdikan dirinya dengan penuh cinta.
Berdoa untuk yang Menyakitinya
Seseorang pernah bertanya kepada Imam, mengapa ia tetap mendoakan kebaikan bagi mereka yang menzaliminya. Imam menjawab dengan tenang:
"Jika aku mendoakan keburukan bagi mereka, apa bedanya aku dengan mereka?"
Inilah keteguhan sejati. Bukan hanya melawan kezaliman dengan kata-kata, tetapi juga dengan hati yang tetap bersih dari kebencian.
Shahifah Sajjadiyah: Warisan yang Tak Lekang oleh Waktu
Hari ini, di dunia yang masih dipenuhi kezaliman, di zaman ketika kebohongan sering lebih nyaring daripada kebenaran, Shahifah Sajjadiyah tetap menjadi cahaya.
Bagi mereka yang tertindas, ia adalah suara yang menenangkan.
Bagi mereka yang kehilangan harapan, ia adalah tangan yang mengangkat.
Bagi mereka yang ingin melawan kezaliman, ia adalah pedoman yang meneguhkan.
Shahifah Sajjadiyah mengajarkan bahwa doa bukan sekadar permohonan, tetapi juga kekuatan.
Doa bukan sekadar kata-kata, tetapi juga jalan menuju perubahan.
Dan di antara lembaran-lembaran doa yang tersisa dari pewaris Karbala ini, ada satu pelajaran yang tak boleh dilupakan:
Seorang mukmin tidak pernah tunduk pada kezaliman. Tidak dengan pedang, tetapi dengan hati yang tetap teguh dan doa yang tetap mengalir.
* Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Shahifah Sajjadiyah : Warisan yang Tak Lekang Oleh Waktu"