Permasalahan dalam berbagai aspek kehidupan yang selama ini terjadi ujung-ujungnya berkutat pada masalah diri dan kualitas jiwa manusia. Kita ambil contoh kasus korupsi. Untuk mengatasi masalah ini beberapa solusi diusulkan: memperkuat penegakan hukum, transparansi, memperbaiki sistem, pendidikan anti korupsi dan peningkatan kesejahteraan pegawai. Saya termasuk orang yang percaya bahwa betapa pun semua solusi tersebut diupayakan terwujud dari tahun ke tahun, namun selama manusianya masih didominasi keburukan hawa nafsunya, cinta dunia, terpapar krisis dan buta spiritual, ya tetap saja korupsi akan terus bermunculan. Betapa pun idealnya suatu sistem negara/pemerintaham, namun selama aktor-aktor yang menjalankannya tidak mensucikan dirinya dan menyimpang dari fithrah ilahiyahnya, ya kejahatan dan pelanggaran akan tetap berjalan.
Hadis tersebut bukan berarti mengajak kita untuk meninggalkan segala sesuatu yang berkaitkan dengan materi, menjauhi segala keduniawian, lalu hanya fokus beribadah ritual dan menghadiri majelis ilmu-ilmu agama. Bukan pula mengecam orang-orang yang menekuni profesi dan bidang lain, bisnis, mendalami ilmu-ilmu sains, sosial, politik, ekomoni, humaniora, dan lain sebagainya. Tidak ada yang salah dengan semua ini. Justru agama sangat mengapresiasi kalau semua ini menjadi perantara yang dapat menghasilkan kebaikan dan kebermanfaatan untuk sesama makhluk-Nya, dan mengantarkan pada tujuan hidup kita yang sejati.
Lantas apa yang dimaksud jahil bil akhirah (bodoh urusan akhirat)? Apakah semua umat Islam harus menekuni ilmu-ilmu agama seperti ilmu tafsir, ilmu hadis, fiqih, ushul fiqih, ilmu kalam, perbandingan mazhab, dan seterusnya? Agar selamat dan tidak dibenci Tuhan, kita harus jadi ustadz, kyai, pengkaji ilmu agama. Benarkah?
Tidak begitu. Hadis tersebut merupakan kecaman kepada orang-orang yang pandai dan lihai dalam urusan dunia dan materi, namun di saat yang sama mereka jahil bil akhirah yakni dalam arti: mereka tidak mengetahui atau kesadarannya masih kurang tentang untuk apa diciptakan, dengan rambu-rambu apa ia harus menjalani kehidupan ini, kepada siapakah ia harus terpaut dan mengikatkan dirinya, ke mana arah dari seluruh perjalanan hidupnya, apa konsekuensi dari orientasi dan perbuatannya selama ini, niat apa yang harusnya mendasari setiap langkah dan perbuatannya, bagaimana menjadikan segala sesuatunya bermanfaat dan menghasilkan kebaikan abadi, siapakah dirinya, dimensi dan subtansi apa yang berada di balik jasad/fisiknya yang sebenarnya sangat mempengaruhinya dalam menilai, berucap, berbuat, dan bersikap, apa saja yang dapat menguatkan dan melemahkan jiwanya, apa saja yang dapat menghidupkan dan mematikan cahaya akal dan hatinya, serta nilai-nilai apa yang dapat menyempurnakan dan merusak hakikat kemanusiaannya.
Baca Juga : Jangan Berhenti Hadirkan Bukti
Semua poin tersebut saya masukkan dalam cakupan jahil bil akhirah. Jadi jahil bil akhirah itu bukan hanya soal mengimani adanya hari kebangkitan dan kehidupan setelah kehidupan dunia, surga, neraka, timbangan amal (mizan), jembatan (shirath) dan segala sistem di alam sana, tetapi juga tentang relasi manusia dengan nilai-nilai dan jalan ilahiyah selama menjalani kehidupan duniawinya. Nah, karena berbicara relasi, maka tidak bisa dilepaskan dari instrumen pengetahuan dan kesadaran manusia yang menghubungkannya yaitu akal, hati dan jiwa manusia.
Allah SWT berfirman: “Ya’maluna zhahiran minal hayatid dunya wa hum ‘anil akhirati hum ghafilun”. Mereka hanya mengetahui yang zhahir dari kehidupan dunia, sedangkan terhadap akhirat mereka lalai (QS. Ar-Rum: 7). Menarik, dalam ayat ini zhahir dunia disandingkan dengan akhirat, bukan dengan batin dunia. Ini isyarat bahwa akhirat tidak hanya soal alam kehidupan selanjutnya. Ia juga mencakup dimensi batin dari dunia ini. Menurut Ayatullah Jawadi Amuli, penyebutan “akhirat” di ayat ini merupakan batin dunia itu sendiri (Tafsir Tasnim, jilid 1, halaman 462).
Dengan menyadari eksistensi batin dunia dan memberikan perhatian khusus kepadanya, insya Allah manusia akan lebih berhati-hati, lebih terjaga, dan mendasarkan seluruh hidupnya dengan niat dan spirit yang bernilai abadi bahkan ketika ia melakukan hal-hal yang mungkin dipandang remeh dan biasa-biasa saja, sehingga seluruh perjalanan hidupnya dan apa yang mengaktual dari dirinya selama di dunia ini membuahkan kebaikan dan manfaat untuk kehidupan akhiratnya kelak.
Kalau kita renungkan lebih dalam lagi, sepertinya sebagian besar masalah, kejahatan, perbuatan buruk dan kekacauan di bumi ini, jika dirunut hingga akar-akarnya, itu disebabkan manusia kurangnya pengetahuan mereka perihal “bodoh urusan akhirat” dan ketidakpedulian terhadap relasi diri manusia dengan batin dunia. Yang mana hal ini berpusat pada diri pengetahuan dan kesadaran manusia.
Permasalahan dalam berbagai aspek kehidupan yang selama ini terjadi ujung-ujungnya berkutat pada masalah diri dan kualitas jiwa manusia. Kita ambil contoh kasus korupsi. Untuk mengatasi masalah ini beberapa solusi diusulkan: memperkuat penegakan hukum, transparansi, memperbaiki sistem, pendidikan anti korupsi dan peningkatan kesejahteraan pegawai. Saya termasuk orang yang percaya bahwa betapa pun semua solusi tersebut diupayakan terwujud dari tahun ke tahun, namun selama manusianya masih didominasi keburukan hawa nafsunya, cinta dunia, terpapar krisis dan buta spiritual, ya tetap saja korupsi akan terus bermunculan. Betapa pun idealnya suatu sistem negara/pemerintaham, namun selama aktor-aktor yang menjalankannya tidak mensucikan dirinya dan menyimpang dari fithrah ilahiyahnya, ya kejahatan dan pelanggaran akan tetap berjalan.
Nah, petuah Imam ‘Ali bin Husain Zainal ‘Abidin as menemukan relevansinya. Kata beliau: al-khair kulluhu shiyanatul insan nafsah. Seluruh kebaikan terletak pada penjagaan dan pemeliharan manusia terhadap dirinya sendiri (Tuhaf al-‘Uqul, halaman 199). Bayangkan, seluruh kebaikan! Benihnya terhampar pada semesta jiwa manusia. Dalam ungkapan Imam Khomeini qs: muqaddimah segala sesuatu adalah penyucian diri. Jadi, ada yang tidak beres dalam diri manusia. Ada bagian subtansial dari diri manusia yang cenderung diabaikan bahkan dirusak. Kebodohan macam ini dibenci Tuhan, selain karena berdampak pada kehidupan akhiratnya, juga karena menimbulkan masalah-masalah di muka bumi dari ruang lingkup yang kecil hingga skala besar.
Dengan demikian, bodoh akhirat bukan hanya soal bagaimana manusia menjadikan niat dan perbuatannya bernilai abadi, berkesinambungan sampai di alam akhirat, tetapi juga bagaimana agar manusia tidak menimbulkan kerusakan dan keburukan di muka bumi. Jadi, melek ukhrawi itu pagar diri. Melek ukhrawi itu berimplikasi pada kehidupan saat ini. Semakin ukhrawi seorang hamba, harusnya semakin ia menjelma dalam beragam rupa kebaikan, manfaat, kesejahteraan, dan maslahat bagi sesama makhluk-Nya. Semakin ukhrawi justru semakin membumi. Semakin ia menebarkan kebahagiaan dan keselamatan.
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad wa ‘ajjil farajahum...