Dalam pandangan Ibn Arabi, makrifat bukanlah sesuatu yang selesai, tetapi sebuah perjalanan tanpa akhir. Bahkan para nabi dan wali Allah senantiasa mengalami peningkatan dalam makrifat mereka terhadap Allah. Oleh karena itu, ketika Rasulullah saw menyatakan: Kami tidak mengenal-Mu, ini menandakan bahwa bahkan makrifat seorang nabi pun tidak dapat mencakup seluruh hakikat Tuhan.
( Dewan Syuro IJABI )
Al-Junaid al-Baghdadi berkata: "Mengenal Allah adalah dengan mengetahui bahwa engkau tidak akan pernah mampu mengenal-Nya secara sempurna."
Para arif memandang ibadah bukan sekadar ritual lahiriah, tetapi penyerahan total jiwa kepada Allah. Dalam makna sufistik/irfani, ibadah sejati bukan hanya shalat dan puasa, tetapi peniadaan diri (fana’) dan kebersatuan dengan kehendak Ilahi (baqa’). Oleh karena itu, meskipun manusia telah beribadah sepanjang hidupnya, ia tetap merasa bahwa ibadahnya tidak sebanding dengan keagungan Tuhan.
Baca Juga : Akhlak Terhadap Pembantu dan Haknya
Imam Ali Zainal Abidin dalam Munajat al-‘Arifin berkata: "Bagaimana aku dapat bersyukur kepada-Mu, sedangkan syukurku sendiri adalah nikmat dari-Mu?"
Ini menunjukkan bahwa setiap amal ibadah pun adalah anugerah Tuhan, bukan hasil kemampuan manusia sendiri.
Dalam pandangan Ibn Arabi, makrifat bukanlah sesuatu yang selesai, tetapi sebuah perjalanan tanpa akhir. Bahkan para nabi dan wali Allah senantiasa mengalami peningkatan dalam makrifat mereka terhadap Allah. Oleh karena itu, ketika Rasulullah saw menyatakan: Kami tidak mengenal-Mu, ini menandakan bahwa bahkan makrifat seorang nabi pun tidak dapat mencakup seluruh hakikat Tuhan.
Ibadah ritual atau non ritual bukan hanya kewajiban, tetapi ekspresi cinta yang dalam kepada Allah (mahabbah). Seperti yang dikatakan oleh Rabiah al-Adawiyah: "Aku tidak menyembah-Mu karena takut neraka atau mengharap surga, tetapi karena aku mencintai-Mu."
Cinta kepada Allah selalu menuntut lebih dari sekadar ibadah formal. Ibadah sejati adalah kehadiran hati yang total di hadapan-Nya.
Seorang arif semakin dekat kepada Allah, semakin ia merasa rendah dan tak berharga di hadapan-Nya. Para wali Allah sering kali menangis dalam doa, bukan karena dosa, tetapi karena merasa belum menyembah-Nya dengan layak.
Jalaluddin Rumi menggambarkan ini dengan indah:
"Aku mengetuk pintu-Mu, dan semakin aku dekat, semakin aku sadar bahwa pintu itu tidak pernah tertutup."
Artinya, semakin seseorang mencapai kedekatan kepada Allah, semakin ia sadar bahwa jalan menuju-Nya masih panjang.
Hadis tersebut mengajarkan kerendahan hati, kesadaran akan keterbatasan manusia, serta makna ibadah yang lebih dalam sebagai perjalanan tanpa akhir dalam mengenal Allah. Seseorang tidak akan pernah merasa cukup dalam makrifat dan ibadahnya karena Allah selalu lebih agung dari segala yang bisa dipikirkan atau dirasakan.
Oleh karena itu, semakin seseorang mengenal Allah, semakin ia merasa dirinya tidak tahu apa-apa, dan semakin ia beribadah, semakin ia merasa ibadahnya tidak cukup.