Fajruddin Muchtar
Pengurus Bidang Dakwah PP IJABI
Kita ditarik ke dalam pertengkaran tak berujung, dibuat saling membenci, hingga kehilangan fokus terhadap apa yang benar-benar penting: membebaskan Palestina. Padahal menurut QS Ali Imran 100-101, permusuhan dan perpecahan kaum muslimin adalah tanda kekufuran.
Memang, dulunya, mereka pernah hidup dalam dendam yang panjang. Perang Bu’ats, yang terjadi bertahun-tahun sebelum Islam datang, adalah puncak permusuhan mereka. Darah telah tumpah, keluarga tercerai-berai, dan luka lama belum sepenuhnya sembuh. Tapi rasulullah datang membawa mereka dalam satu ikatan. Mereka menjadi saudara, bukan lagi musuh.
Namun mengapa terjadi perubahan drastis? adakah seseorang telah membuka kembali luka lama dan menuangkan cuka pada luka itu?
Di saat genting kabar sampai kepada Rasulullah ﷺ. Dengan langkah cepat, beliau datang ke tengah mereka. Wajahnya penuh ketegasan, suaranya menggelegar, tapi ada kesedihan di dalamnya.
"𝑨𝒑𝒂𝒌𝒂𝒉 𝒌𝒂𝒍𝒊𝒂𝒏 𝒎𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒂𝒌𝒂𝒏 𝒌𝒆𝒎𝒃𝒂𝒍𝒊 𝒌𝒆𝒑𝒂𝒅𝒂 𝒌𝒆𝒃𝒊𝒂𝒔𝒂𝒂𝒏 𝒋𝒂𝒉𝒊𝒍𝒊𝒂𝒉, 𝒑𝒂𝒅𝒂𝒉𝒂𝒍 𝒂𝒌𝒖 𝒎𝒂𝒔𝒊𝒉 𝒂𝒅𝒂 𝒅𝒊 𝒕𝒆𝒏𝒈𝒂𝒉 𝒌𝒂𝒍𝒊𝒂𝒏?"
Seketika, suasana berubah. Aus dan Khazraj yang tadi siap berperang saling menatap. Napas mereka masih memburu, tapi kali ini bukan karena amarah—melainkan kesadaran. Mereka telah tertipu. Genderang perang dipupus hari itu.
Siapa yang memulai semua ini?
Adalah 𝑺𝒚𝒂𝒔 𝒃𝒊𝒏 𝑸𝒂𝒊𝒔—seorang Yahudi tua yang tak senang melihat persatuan Islam. Ia tahu, jika kaum Muslimin bersatu, tak akan ada yang bisa menghentikan mereka. Maka ia menyusun rencana. Ia keliling ke suku Aus lalu ke Khazraj untuk mengadu domba, mengungkit luka lama, menyalakan api yang hampir padam. Ia tahu, Islam sangat susah dihancurkan dari luar. Islam hanya bisa dihancurkan jika umatnya diadu domba.
Di tengah-tengah suku Aus dan Khazraz, Syas bin Qais meniupkan cerita tentang Perang Bu’ats, perang besar antar suku Aus dan Khazraj. Dibisikan ke dalam nadi suku suku dan mengingatkan tentang siapa yang dulu membunuh siapa, siapa yang lebih berhak atas kehormatan, siapa yang harus menuntut balas. Suara itu merayap ke dalam hati mereka, menghanguskan persaudaraan yang baru saja tumbuh. Hingga akhirnya, pedang hampir terhunus.
Hari itu, Syas bin Qais hampir berhasil.
Lalu Allah menurunkan firman-Nya:
Syas bin Qais sudah lama mati. Tetapi strateginya tidak pernah benar-benar hilang.
Hari ini, kita melihatnya terjadi lagi. Setingnya bukan di Madinah, tapi di Palestina dan seluruh dunia. Bukan dengan mengungkit Perang Bu’ats, tapi dengan narasi-narasi sektarian yang menyesatkan dan menyulut konflik.
Issu yang sekarang dimainkan adalah apapun yang dilakukan syia hanyalah drama. Palestina dijadikan seolah-olah medan perang Sunni, sehingga jika ada kaum Syiah yang membantu, itu disebut pentas aksi tipu-tipu.
Jika Iran mengirim dukungan, itu dicurigai sebagai agenda terselubung. Jika Hizbullah melawan Israel, mereka tidak disebut sebagai pejuang, tapi dianggap bermain peran demi kepentingan politiknya sendiri.
Narasi ini bukan sekadar muncul begitu saja. Ia diproduksi secara sistematis, disebarkan di seluruh dunia, bahkan oleh orang Islam sendiri. Kita dibuat untuk saling curiga, diajari untuk melihat sesama Muslim sebagai ancaman, bukan sebagai saudara.
Hasilnya? Kita menjadi lemah. Kita sibuk mempertanyakan niat saudara kita sendiri, sementara penjajah terus memperluas wilayahnya. Kita lebih tertarik memperdebatkan mazhab mana yang lebih layak membela Palestina, daripada bersatu melawan musuh yang nyata.
Dan inilah yang mereka inginkan. Mereka ingin kita lupa bahwa Palestina bukan sekadar konflik Sunni atau Syiah. Palestina adalah simbol perlawanan umat Islam. Sejak dulu, yang berdiri membela bukan hanya satu kelompok, tapi seluruh kaum Muslimin. Dari Hasan al-Banna hingga Imam Khomeini, dari faksi-faksi di Gaza hingga para pejuang di Lebanon, semuanya berada di garis depan perjuangan.
Tapi kita dipaksa untuk melupakan itu.
Kita ditarik ke dalam pertengkaran tak berujung, dibuat saling membenci, hingga kehilangan fokus terhadap apa yang benar-benar penting: membebaskan Palestina. padahal menurut ayat di atas, permusuhan dan perpecahan kaum muslimin adalah tanda kekufuran.
Dulu Syas bin Qais, hanyalah seorang tua renta, hari ini Syas bin Qais modern memiliki alat yang jauh lebih canggih: televisi, portal berita, media sosial—semuanya dikuasai oleh kepentingan yang sama. bukankan kita sama mengalami, berita berita anti Israel dibungkam?
Lihat juga bagaimana berita disusun. Jika ada perlawanan dari Palestina, mereka menulisnya sebagai serangan. Jika Israel membombardir Gaza, mereka menyebutnya sebagai respons keamanan. Jika ada pemimpin Muslim berbicara tentang persatuan, media menampilkan dia sebagai ancaman.
Syas bin Qais modern tak perlu lagi turun langsung ke lapangan untuk memecah belah umat. Cukup dengan satu berita, satu potongan video yang dipelintir, satu tagar di media sosial—dan umat Islam mulai saling curiga.
Seperti Syas bin Qais yang dulu mengadu domba Aus dan Khazraj, ada mereka yang hari ini ingin umat islam terus bertengkar, agar mereka bisa menjajah tanpa perlawanan.
Jika kita jatuh ke dalam perangkap itu, kita kehilangan kebersamaan, harga diri, bahkan keimanan kita sendiri, dan Palestina akan hilang.