Saya meyakini bahwa orang yang sangat fokus pada semesta dirinya, yang selalu terhubung dengan efek-efek yang hadir dalam jiwanya dan yang kesadarannya lebih peka terhadap hal-hal yang bersifat batin, itu biasanya lebih mawas diri, lebih berhati-hati, dan lebih mampu terjaga dari ketercelinciran. Kata Rumi: ke mana aku harus berlari, bila perjalanan itu ada di dalam diri
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Aali Sayyidina Muhammad wa ‘ajjil farajahum
Diriwayatkan dari Imam Ja’far al-Shadiq as:
📚 ‘Iqab al-A’mal, juz 2, halaman 109, no. 165.
Menarik, hanya niat tetapi bisa berpengaruh pada rezeki. Menurut ‘Allamah Muhammad Shanqur ‘Ali Haidar, kepala Hauzah al-Huda di Bahrain, sekadar niat saja melakukan dosa itu sudah termasuk su‘ul khuluq (akhlak buruk) dalam kebersamaan kita dengan Allah SWT. Mengapa demikian? Karena seakan-akan Allah SWT tidak memperhatikan dan mengabaikan apa yang tersimpan dalam batin kita yang paling dalam. Seakan-akan yang tersembunyi dalam dirinya tidak ada hisabnya sehingga merasa bebas dan enteng saat membatin. Karena niat buruk itu termasuk su‘ul khuluq, maka akan memberikan bekas-bekas negatif pada jiwa. Ia meninggalkan kegelapan pada jiwa.
Makanya, kegelapan yang dihasilkan dari hanya sekadar niat buruk itu sudah mampu menghalangi seorang hamba dari sebagian rezeki-rezeki Ilahi khususnya rezeki yang berdimensi ruhaniah/batiniyah, seperti menghalangi bashirah (mata batin) untuk dapat lebih tajam dan menyerap cahaya, menghalangi akal untuk lebih menyempurna, menghalangi hati untuk lebih bersih dan selamat, menghalangi jiwa untuk lebih tenang dan memancarkan kebaikan, menghalangi akhlak dan malakah diri untuk lebih dapat mencapai kemuliaan-kemuliaan, menghalangi seorang hamba untuk lebih dapat menemukan dan memahami keindahan serta hikmah ilahi dalam liku-liku kehidupan.
Bukankah semua yang disebutkan itu juga termasuk rezeki bahkan penentu utama dalam perjalanan hakiki seorang hamba? Bukankah apa yang ada dalam hati, jiwa, pikiran dan akhlak itu semua merupakan faktor penentu bahagia atau tidak bahagianya seseorang dalam berinteraksi dengan apa-apa yang ada di sekitarnya dan bagaimana ia terpengaruh olehnya?
Karena itu, mulailah dari keselamatan niat, keselamatan batin. Dari sinilah kita berangkat. Di antara cara untuk mengikis bisikan-bisikan niat yang menyimpang adalah dengan menghadirkan lawannya. Maksudnya, biasakanlah menyisipkan kesalehan dalam niat-niat kita. Ini berdasarkan pesan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa Aalihi wa sallam kepada Abu Dzar al-Ghifari:
📚 Makarim al-Akhlaq, al-Thabarsi, halaman 464.
Apa itu niat saleh? Seluruh hidup kita diniatkan untuk meraih ridha Allah SWT. Apa yang hendak dipikirkan, diucapkan dan dilakukan kita niatkan sebagai wasilah (perantara) untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Tidak ada yang keluar dari koridor penghambaan.
Memasukkan niat saleh meskipun pada perbuatan-perbuatan atau gerak-gerik yang bagi sebagian orang mungkin dianggap remeh atau biasa-biasa saja karena sudah menjadi keseharian dan kebiasaan. Misalnya ketika ingin duduk, berdiri, memasuki ruangan, menghadiri undangan, menggunakan barang-barang, ingin menyampaikan pendapat, menunjukkan sikap, ingin menyapa, ingin mengapresiasi, membuka lock-password gadget, mengetik di media sosial, membuat grup atau menjadi penghubung dua pihak untuk urusan-urusan yang baik, berbagi tulisan-tulisan yang bermanfaat, dan seterusnya.
Selama ini semua perbuatan tersebut mungkin dilakukan begitu saja tanpa diiringi niat penghambaan. Sadarilah hal-hal itu pun bisa menjadi jalan mendekatkan diri kepada Allah. Saudara, di mata Tuhan semua kebaikan adalah ibadah. Di sinilah pentingnya perhatian dan kesadaran yang lebih sehubungan dengan hal-hal yang bersifat batin, realitas non-materi di balik apa yang dapat ditangkap indera fisik kita.
Padahal menyisipkan niat saleh dalam perbuatan-perbuatan semacam itu pun memiliki efek-efek rohani yang baik dan luar biasa bagi kesehatan jiwa dan akal kita. Niat saleh membantu kita membentuk benteng pertahanan diri agar kita lebih terjaga dari ketergelinciran. Tergelincir dalam berpikir, berucap dan berbuat. Saya meyakini bahwa orang yang sangat fokus pada semesta dirinya, yang selalu terhubung dengan efek-efek yang hadir dalam jiwanya dan yang kesadarannya lebih peka terhadap hal-hal yang bersifat batin, itu biasanya lebih mawas diri, lebih berhati-hati, dan lebih mampu terjaga dari ketercelinciran. Kata Rumi: ke mana aku harus berlari, bila perjalanan itu ada di dalam diri.
Niat juga sangat teramat penting karena ia membentuk bahkan menentukan nilai dan citra diri kita di alam yang lebih tinggi. Dengan niat kita merajut benang-benang jati diri kita di alam kehidupan yang lain. Niat yang selama ini tak terlihat di alam dunia memiliki penjelmaan di sana. Di akhir surah Yasin disebutkan: malakutu kulli syai'. Segala sesuatu ada bentuk lainnya. Ada gambaran lainnya. Seperti apa jiwa kita, dengan apa jiwa kita menempuh perjalanan selanjutnya, itulah hakikat diri kita.
‘Allamah Murtadha Muthahhari dalam bukunya Thaharah al-Ruh menjelaskan posisi niat bagi perbuatan itu seperti ruh bagi jasmani. Jasmani yang kosong dari ruh tidaklah berdaya. Ia tidak bisa bergerak dan melakukan penyempurnaan. Perbuatan tanpa niat tidaklah menghasilkan efek penyempurnaan bagi manusia. Ia tidak menjelma sesuai yang diharapkan.
Dengan membiasakan niat saleh, insya Allah kita tercegah dari melakukan sesuatu yang alih-alih itu perbuatan baik tetapi justru berangkat dari keakuan kita, perbuatan yang ujung-ujungnya ingin menampakkan atau memuaskan “aku”-nya kita. Begitu pun dalam berkata-kata, kita ingin menyampaikan sesuatu yang alih-alih isinya mengandung kebaikan dan kebenaran, tetapi berkahnya bisa hilang bahkan nilai ruhaninya akan terhijab jika semua itu berangkat dari keakuan.
Sebagai orang tua atau guru, saudara berhak menasehati anak yang berbuat tidak layak. Atau memarahinya bila ia nakal dan melampaui batas. Mengajarkan kebaikan dan kebenaran tentu mulia di sisi Tuhan. Tetapi bila dalam proses mendidik itu saudara digerogoti niat atau ada dorongan batin yang tipis-tipis untuk memuaskan “aku”-nya saudara, misalnya ingin melampiaskan superioritas posisi dan dominasi di hadapan anak itu, saat itulah apa yang saudara sampaikan kepadanya bisa jadi berkahnya hilang.
Imam ‘Ali bin Abi Thalib as mengingatkan: ‘inda fasadin niyyah tartafi‘ul barakah (Ghurar al-Hikam, no. 6228). Pada niat yang fasad, berkah terangkat. Kata fasad dalam bahasa Arab bermakna: rusak, busuk. Sesuatu bisa rusak dan membusuk bila terkontaminasi atau tercampur dengan faktor lain yang dapat merusaknya. Buah-buahan busuk sebab udara yang terlalu lembab sehingga menjadi tempat tumbuhnya bakteri dan jamur. Perbuatan baik tercabut berkahnya bila tercemari orientasi yang tidak diridhai Tuhan, semisal memuaskan keakuan itu. Dalam bahasa Arab, kata berkah juga bermakna menetapnya sesuatu. Maka, nasehat tidak menetap dan membekas pada jiwa seseorang boleh jadi disebabkan niat si pengajar yang tercemari. Kadang ini tak disadari.
Niat saleh mengajarkan agar semua yang dilakukan bukan diarahkan untuk “aku”-nya kita. Semua dimensi zhahir dan batin kita harus diabdikan kepada-Nya. Dengan melakukannya demi ridha Sang Pemilik Keabadian, kita berharap efek dan hasilnya pun abadi dalam perjalanan kita selanjutnya. Firman Allah SWT ini:
Mari mentadabburi ayat yang sangat teramat sering dibacakan ini. Dalam ayat ini digunakan kata “khalqtu” (Aku menciptakan). Berbicara tentang penciptaan itu berarti terkait wujud, eksistensi kita. Keberadaan kita itu sendiri. Jadi menurut ayat itu bukan hanya gerak kita yang harus diarahkan sebagai penghambaan, tetapi bahkan wujud kita itu sendiri tidak boleh keluar dari koridor penghambaan.
Bagaimana caranya? Jawabannya ada dalam ayat itu juga. Pola ayat tersebut sama dengan kalimat agung “La ilaha illa Allah” (Tidak ada tuhan selain Allah) yang sering dibaca. Dalam kalimat tahlil, kita menegasikan dulu dengan kata “tidak”, setelah seluruh tuhan-tuhan palsu dinafikan barulah kita berikrar bahwa hanya Allah SWT sebagai Tuhan yang hakiki.
Nah, dalam ayat tersebut juga dinegasikan dulu seluruh tujuan penciptaan selain menghamba-beribadah, setelah itu barulah ditetapkan bahwa menghamba-beribadah merupakan tujuan hakiki eksistensi kita, maksud keberadaan kita itu sendiri.
Mengapa penegasian dulu? Bukankah bisa langsung mengafirmasi? Ini tentang ikhlash. Dalam bahasa Arab, kata ikhlash terambil dari khalish yang berarti: bebas dari sesuatu, jernih, murni, tidak bercampur dengan sesuatu yang lain. Tidak dikatakan ikhlash bila masih bercampur. Dalam perjalanan menghamba yang begitu panjang dan penuh rintangan ini kita berupaya agar niat dan dorongan batin tidak boleh bercampur dengan “aku”-nya kita. Menghamba adalah perjalanan mengikis keakuan di hadapan-Nya. Ketika iblis menentang perintah Tuhan dengan berkata “aku lebih baik dari dia (Adam)”, sebenarnya dosa pertama iblis bukan takabbur. Dosa pertama iblis mengucapkan “aku” di hadapan Tuhan. Kata pertama yang dia ucapkan adalah “aku”. Baru setelah itu dia berkata “lebih baik dari dia (Adam)”. Jadi takabbur itu dosa kedua, sedang dosa pertamanya adalah karena ia memulai sesuatu dari keakuannya. Konon iblis itu terkenal sebagai ahli ibadah jutaan tahun tahun lamanya, tetapi dengan seluruh ibadahnya dia tidak menjadi ‘abd (hamba sejati). “Aku”-nya menjadi hijab penghalang mencapai maqam ‘abd. Ibadahnya tidak ikhlash—dengan mengacu pada makna ikhlash secara bahasa tadi—karena bercampur dengan “aku”-nya. Artinya, ibadah yang sejati adalah ibadah yang minus keakuan diri.
Betapapun mulianya suatu ucapan dan perbuatan, jangan sampai ujung-ujungnya bercampur untuk tujuan “aku” itu. Bukankah Rasulullah Muhammad SAW mengajarkan doa ini kepada Sayyidah Fathimah al-Zahra’ as:
Doa itu tercatat dalam kitab al-Mustadrak ‘ala al-Shahihain, jilid 1, halaman 730, riwayat no. 2000
Salah satu tafsir kalimat “wa la takilni ila nafsi tharfata ‘ainin” (jangan Engkau serahkan diriku kepada diriku sendiri walau hanya sekejap mata) adalah bahwa segala sesuatunya harus berawal dari Tuhan dan berakhir pada Tuhan, dan niat itulah penentunya. Jadi, membiasakan niat saleh merupakan wasilah (perantara) agar kita bergerak dari apa yang aku inginkan menuju apa yang Dia inginkan. Itulah ‘abd, penghambaan sejati. Ia yang bergerak dari “kesempurnaan” sebatas menurut persepsi “aku” menuju kesempurnaan hakiki yang nirbatas. Proses penyempurnaan yang tidak mengenal akhir, kata guruku.
Semoga berkah dan bermanfaat. Mohon doanya.
Allahumma shalli ‘ala Sayyidina Muhammad wa Aali Sayyidina Muhammad wa ‘ajjil farajahum...