Orang yang memilih mencari nafkah dengan berprofesi sebagai pembantu rumah tangga itu bukan berarti dia berubah menjadi makhluk yang tidak punya hak dan perasaan. Dia tetaplah manusia sama seperti dirimu yang harus dimuliakan dan dijaga hak-haknya. Inna akramakum ‘indallahi atqakum (QS. Al-Hujurat: 13). Di mata Allah, yang membedakan dirimu dengan dia adalah tingkat ketakwaan.
(Makarim al-Akhlaq karya al-Kharaithi, halaman 170, no. 513)
Inilah teladan akhlak Baginda Rasulullah Muhammad SAW dalam memuliakan dan menjaga adab bahkan terhadap pembantu. Beliau SAW tidak pernah membedakan-bedakan cara bersikapnya berdasarkan materi, ketenaran dan status sosial orang itu. Beliau SAW juga tidak pernah malu, gengsi, apalagi sampai merasa harga dirinya jatuh hanya karena berteman, duduk bercengkerama dan makan bersama para pembantu dan fakir miskin yang mungkin di zaman sekarang mereka akan dipandang rendah dan dianggap enteng oleh sebagian orang-orang kaya, para pejabat, dan oleh orang-orang yang angkuh, merasa besar diri, merasa sebagai pemilik sejati atas nikmat yang Allah limpahkan kepadanya, yang lupa diri, yang terjebak dalam pola pikir materialis, yang jauh dari perkumpulan orang-orang saleh, yang masa bodoh dengan hal-hal yang berkaitan dengan tazkiyatun nafs dan suluk (penyucian diri dan jalan penyempurnaan diri), atau yang batinnya kering dari kelembutan dan sentuhan-sentuhan spiritual.
Selain itu, Baginda Rasulullah Muhammad SAW juga berpesan,
(Syu‘ab al-Iman, jilid 6, halaman 372)
Hadis-hadis ini mengingatkan bahwa bila seseorang punya wewenang atas orang lain, dalam konteks ini pembantu atau bawahan, itu bukan berarti ia boleh memperlakukan dan bersikap kepada mereka semau-maunya. Posisimu sebagai pemberi upah (gaji) itu bukan berarti kau boleh menyakiti perasaan pembantu dengan perangai yang buruk, kata-kata yang tidak beradab dan merendahkan. Posisimu sebagai majikan bukan berarti kau boleh menekan atau memaksanya untuk menuruti semua hawa nafsumu dan egomu, atau kau memarahinya seenaknya dan membentak-bentak sambil berteriak di dalam rumah atas kesalahan dan kekhilafan dia untuk hal-hal yang sepele atau detail-detail pekerjaan yang sebenarnya tidak perlu direspon dengan sikap seperti itu. Semua ada tempat dan kadarnya. Mempekerjakan bukan berarti menghilangkan ketenangan dan kebahagiaan orang itu.
Baca Juga : Dari Sinilah, Kami Mulai Berjalan
Seakan tak ada ruang untuk empati, kendali diri dan mendengar hati nurani. Pemuliaan, penghormatan, keramahan dan kehati-hatian dalam bersikap hanya berlaku untuk keluarganya, rekan kerja dan bisnisnya, teman bergaulnya dan orang-orang yang melebihi dirinya secara materi atau status sosial. Adapun untuk orang-orang di bawahnya, ia bersikap seenaknya. Masa bodoh apa yang mereka rasakan, yang penting dirinya didengarkan dan kemauannya dituruti. Lebih miris lagi, ada kecenderungan majikan merasa tidak bersalah dan tetap membusungkan dada setelah memperlakukan pembantu atau orang kecil dengan cara-cara yang tidak mengenakkan hati. Gengsi meminta maaf kepada orang yang bekerja melayani dirinya.
Padahal orang yang memilih mencari nafkah dengan berprofesi sebagai pembantu rumah tangga itu bukan berarti dia berubah menjadi makhluk yang tidak punya hak dan perasaan. Dia tetaplah manusia sama seperti dirimu yang harus dimuliakan dan dijaga hak-haknya. Inna akramakum ‘indallahi atqakum (QS. Al-Hujurat: 13). Di mata Allah, yang membedakan dirimu dengan dia adalah tingkat ketakwaan. Bercerminlah pada akhlak Baginda Rasulullah Muhammad SAW. Beliau memperlakukan pembantu dan fakir miskin sedemikian rupa sehingga mereka seperti keluarga beliau sendiri. Beliau menghadirkan kebahagiaan dan ketenangan kepada orang-orang yang ingin melayani beliau. Akhlak yang sangat indah ini kemudian terwariskan dan termanifestasi dalam kehidupan para Imam Ahlul Bait as.
Baca Juga : Jangan Berhenti Hadirkan Bukti
Diriwayatkan bahwa Imam Ja’far al-Shadiq as mengutus seorang pembantu untuk suatu keperluan. Pembantu itu lambat melakukannya (atau telat pulang). Imam Ja’far al-Shadiq as keluar mengikuti jejaknya hingga beliau menemukannya sedang tidur. Mungkin ia capek setelah perjalanannya. Yang beliau lakukan bukan memarahi atau membentaknya dengan cara yang tidak beradab. Beliau justru duduk di dekat kepala pembantunya sambil mengipas-ngipasinya hingga akhirnya ia bangun. Lalu beliau pun mengingatkan kepadanya, masing-masing punya hak, siang untuk apa dan malam untuk apa (Al-Kafi, jilid 2, halaman 112).
Demikian. Semoga bermanfaat dan diluaskan berkahnya. Shalawat dan al-Fatihah 🤲🙏
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Aali Muhammad wa ‘ajjil farajahum...