Senin 5 November 2012, Universitas Muslim di Makassar Sulawesi Selatan membuat tonggak sejarah penting dalam sejarah persatuan mazhab-mazhab Islam di Indonesia. Universitas swasta terbesar di Indonesia Timur ini melaksanakan seminar internasional persatuan Islam dengan menghadirkan beberapa ulama dari mazhab Sunni dan Syiah. Seminar ini juga diakhiri dengan penandatanganan deklarasi bersama untuk persatuan mazhab-mazhab Islam. Kami menerima laporan dan foto berikut ini langsung dari Akbar Hamdan di Makassar. Sebagian besar laporan ini telah dimuat di Harian Fajar 6 November 2012 di halaman 1 [majulah-ijabi.org]
Wamenag, Prof. Dr. Nazaruddin Umar membuka seminar
Indonesia sebagai negeri berpenduduk Islam terbesar di dunia seharusnya mengambil peran sentral dalam tugas-tugas pengembangan Islam. Negeri ini dipandang mampu untuk mengambil alih tugas yang selama ini melekat pada negara-negara Timur Tengah karena ditunjang oleh banyak faktor. Diantaranya Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam dan jauh dari Israel yang menjadi pusat konflik.
Namun untuk mewujudkan hal itu, muslim di Indonesia harus bersatu padu. Perselisihan pendapat dalam mazhab jangan dibesar-besarkan. Sebaliknya, persamaan yang jauh lebih banyak lah yang harus ditonjolkan. Dua kubu terbesar dalam Islam, Sunni - Syiah harus menciptakan suasana yang saling menghargai dan menghilangkan fanatisme. Dan tokoh-tokoh panutan pada kedua mazhab tersebut yang semestinya dijadikan acuan dalam menilai ajaran kedua mazhab, bukannya dari kelompok-kelompok radikal atau sempalan.
Demikian menjadi poin penting yang disampaikan para pemateri dalam Seminar Internasional Persatuan Umat Islam Dunia, di Auditorium Al Jibra, Universitas Muslim Indonesia, Senin 5 November. Para pemateri yang hadir adalah Wakil Menteri Agama RI Prof Dr Nasaruddin Umar yang sekaligus membuka seminar, Sekretaris Jenderal Majma' Taqrib Baynal Madzahib (Lembaga Pendekatan Antar Mazhab) Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri, Ulama Sunni yang menjadi penasehat Presiden Republik Islam Iran Mahmoud Ahmadinejad, Syekh Maulawi Ishak Madani, Ketua MUI Pusat Prof Dr KH Umar Shihab, Ketua Dewan Pakar dan Cendikiawan Muslim Dunia Prof Dr KH Hasyim Muzadi serta Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Prof Dr KH Din Syamsuddin. Seminar tersebut turut dihadiri Duta Besar Republik Islam Iran Mahmoud Farazandeh beserta sejumlah atasenya, tokoh-tokoh Islam di Sulsel dan para aktivis muslim Sunni mau pun Syiah.
Namun untuk mewujudkan hal itu, muslim di Indonesia harus bersatu padu. Perselisihan pendapat dalam mazhab jangan dibesar-besarkan. Sebaliknya, persamaan yang jauh lebih banyak lah yang harus ditonjolkan. Dua kubu terbesar dalam Islam, Sunni - Syiah harus menciptakan suasana yang saling menghargai dan menghilangkan fanatisme. Dan tokoh-tokoh panutan pada kedua mazhab tersebut yang semestinya dijadikan acuan dalam menilai ajaran kedua mazhab, bukannya dari kelompok-kelompok radikal atau sempalan.
Demikian menjadi poin penting yang disampaikan para pemateri dalam Seminar Internasional Persatuan Umat Islam Dunia, di Auditorium Al Jibra, Universitas Muslim Indonesia, Senin 5 November. Para pemateri yang hadir adalah Wakil Menteri Agama RI Prof Dr Nasaruddin Umar yang sekaligus membuka seminar, Sekretaris Jenderal Majma' Taqrib Baynal Madzahib (Lembaga Pendekatan Antar Mazhab) Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri, Ulama Sunni yang menjadi penasehat Presiden Republik Islam Iran Mahmoud Ahmadinejad, Syekh Maulawi Ishak Madani, Ketua MUI Pusat Prof Dr KH Umar Shihab, Ketua Dewan Pakar dan Cendikiawan Muslim Dunia Prof Dr KH Hasyim Muzadi serta Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Prof Dr KH Din Syamsuddin. Seminar tersebut turut dihadiri Duta Besar Republik Islam Iran Mahmoud Farazandeh beserta sejumlah atasenya, tokoh-tokoh Islam di Sulsel dan para aktivis muslim Sunni mau pun Syiah.
Beberapa Tokoh dan Ulama Islam Yang Menjadi Narasumber di Seminar UMI
Rektor UMI, Prof Dr Masrurah Mukhtar di awal seminar berharap seminar itu akan menjadi momentum untuk merekatkan kembali kelompok-kelompok Islam yang selama ini berselisih. Jika umat Islam sudah bersatu, maka cita-cita tertinggi Islam sebagai Rahmatan lil Alamin bakal terwujud.
"Impian kami dan impian kita semua adalah terciptanya dunia Muslim yang bersatu dan menjadi kekuatan yang membawa kedamaian kepada dunia," katanya.
Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi dan kekuatan dahsyat untuk mengembalikan kejayaan Islam, seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Namun dia mengingatkan kekuatan itu tidak akan pernah terwujud jika sesama muslim sendiri masih berkubang dalam suasana saling menyalahkan dan mengkafirkan.
Umar Shihab juga menyerukan pentingnya kelompok-kelompok Islam yang berbeda untuk saling mempelajari khazanah mazhab masing-masing. Menurutnya, hanya dengan saling belajar, maka akan tercipta saling memahami.
"Ada dua masalah yang menyebabkan Islam terpecah, yakni kebodohan dan fanatisme. Itu yang harus kita lawan," kata kakak kandung Prof Dr KH Quraish Shihab ini.
Umar juga meluruskan bahwa MUI pusat pernah mengeluarkan fatwa bahwa Syiah adalah ajaran sesat. Dia mengakui pada tahun 1984 lalu pernah ada rekomendasi dari MUI untuk mewaspadai ajaran Syiah karena berbeda dengan Sunni yang dianut mayoritas muslim Indonesia. Tetapi rekomendasi itu bukan lah fatwa sesat. Itu pun rekomendasi tersebut dianggap sudah tidak sesuai dengan konteks saat ini.
Dia mengingatkan, ulama-ulama sedunia sudah sejak lama dan masih terus menggagas persatuan Sunni-Syiah. Diantara yang paling terkenal adalah Amman Message di mana Indonesia ikut terlibat di dalamnya.
"Kalau Syiah sesat, maka seminar semacam ini pasti akan dilarang (oleh negara)," tegasnya.
"Impian kami dan impian kita semua adalah terciptanya dunia Muslim yang bersatu dan menjadi kekuatan yang membawa kedamaian kepada dunia," katanya.
Nasaruddin Umar menjelaskan bahwa sebagai negeri berpenduduk muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki potensi dan kekuatan dahsyat untuk mengembalikan kejayaan Islam, seperti yang pernah terjadi di masa lalu. Namun dia mengingatkan kekuatan itu tidak akan pernah terwujud jika sesama muslim sendiri masih berkubang dalam suasana saling menyalahkan dan mengkafirkan.
Umar Shihab juga menyerukan pentingnya kelompok-kelompok Islam yang berbeda untuk saling mempelajari khazanah mazhab masing-masing. Menurutnya, hanya dengan saling belajar, maka akan tercipta saling memahami.
"Ada dua masalah yang menyebabkan Islam terpecah, yakni kebodohan dan fanatisme. Itu yang harus kita lawan," kata kakak kandung Prof Dr KH Quraish Shihab ini.
Umar juga meluruskan bahwa MUI pusat pernah mengeluarkan fatwa bahwa Syiah adalah ajaran sesat. Dia mengakui pada tahun 1984 lalu pernah ada rekomendasi dari MUI untuk mewaspadai ajaran Syiah karena berbeda dengan Sunni yang dianut mayoritas muslim Indonesia. Tetapi rekomendasi itu bukan lah fatwa sesat. Itu pun rekomendasi tersebut dianggap sudah tidak sesuai dengan konteks saat ini.
Dia mengingatkan, ulama-ulama sedunia sudah sejak lama dan masih terus menggagas persatuan Sunni-Syiah. Diantara yang paling terkenal adalah Amman Message di mana Indonesia ikut terlibat di dalamnya.
"Kalau Syiah sesat, maka seminar semacam ini pasti akan dilarang (oleh negara)," tegasnya.
Ayatullah Ali Taskhiri dan Syekh Maulawi Ishak Madani mengapit Prof. Dr. Umar Syihab
Syekh Maulawi Ishak Madani mengatakan dalam Mazhab Sunni dan mazhab Syiah masih terdapat oknum atau bahkan kelompok yang seringkali mengklaim kebenaran mazhabnya. Namun yang disayangkan, pendapat dari kelompok ini yang seringkali dijadikan sandaran untuk menilai sebuah mazhab.
Dia mencontohkan, Syiah seringkali dituding memiliki ajaran yang mencaci sahabat Nabi saw atau memiliki Alquran yang berbeda. Syekh Maulawi yang merupakan Ulama Sunni di Iran ini pun mengatakan semua itu hanya propaganda dari orang-orang yang disebut Ahmaq (bodoh).
"Iran adalah representasi negara Syiah terbesar di dunia. Tapi 30 tahun saya tinggal di sana sebagai Sunni, tak pernah sekali pun saya melihat televisi atau mendengar radio yang menyebarkan kebencian terhadap Sahabat Nabi Muhammad saw. Dan kami (Sunni) diperlakukan secara terhormat oleh mayoritas Syiah di sana," kuncinya.
Sementara Din Syamsuddin mendorong perlunya dialog antara mazhab. Pasalnya, persamaan di dalam kelompok-kelompok Islam sesungguhnya jauh lebih banyak dibandingkan perbedaannya.
Kebangkitan Islam
Adapun Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri dan Hasyim Muzadi lebih menggambarkan situasi dunia Islam dewasa ini. Ali Taskhiri yang juga penasehat Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Al Udzma Sayyid Ali Khamanei mengatakan saat ini telah terjadi gejala kebangkitan Islam di negara-negara berpenduduk Muslim.
Menurutnya, era kebangkitan Islam sudah berada di depan mata. Masyarakat muslim di dunia juga sudah menyadari bahwa Barat lah yang selama ini berperan dalam memecah belah Islam, baik dari luar mau pun dari dalam. "Tujuan mereka memisahkan kita, dan memisahkan urusan agama dan urusan umum. Tetapi kita tidak akan membiarkan hal itu terjadi," kata Taskhiri.
Hasyim Muzadi juga mengingatkan kapitalisme sudah mulai mengalami kegoyahan. Di Amerika dan Eropa, masyarakatnya sudah menyadari betapa buruknya sistim kapital itu sendiri. Dan di Timur Tengah, tengah terjadi suksesi kepemimpinan dari pemimpin-pemimpin yang pro barat, kini digantikan oleh pemimpin-pemimpin dari kelompok Islam.
Hanya saja, kata dia, yang perlu diwaspadai oleh negara ini adalah pemikiran Barat yang mulai meracuni seluruh sendi, mulai ekonomi, politik, hukum hingga budaya. Untuk menanggulangi problematika tersebut, maka umat Islam perlu tampil untuk melakukan pembenahan
Dia mencontohkan, ekonomi Indonesia yang cenderung memisahkan kekayaan alam dengan rakyat harus diubah dengan keadilan ekonomi. Politik yang kini transaksional dijadikan politik yang amanah. Hukum juga harus berlandaskan keadilan bagi seluruh elemen masyarakat. Dan yang tak kalah pentingnya adalah budaya, di mana kaum muslim harus membentengi masyarakat dari budaya Barat yang dapat merusak akhlak.
Dia mencontohkan, Syiah seringkali dituding memiliki ajaran yang mencaci sahabat Nabi saw atau memiliki Alquran yang berbeda. Syekh Maulawi yang merupakan Ulama Sunni di Iran ini pun mengatakan semua itu hanya propaganda dari orang-orang yang disebut Ahmaq (bodoh).
"Iran adalah representasi negara Syiah terbesar di dunia. Tapi 30 tahun saya tinggal di sana sebagai Sunni, tak pernah sekali pun saya melihat televisi atau mendengar radio yang menyebarkan kebencian terhadap Sahabat Nabi Muhammad saw. Dan kami (Sunni) diperlakukan secara terhormat oleh mayoritas Syiah di sana," kuncinya.
Sementara Din Syamsuddin mendorong perlunya dialog antara mazhab. Pasalnya, persamaan di dalam kelompok-kelompok Islam sesungguhnya jauh lebih banyak dibandingkan perbedaannya.
Kebangkitan Islam
Adapun Ayatullah Muhammad Ali Taskhiri dan Hasyim Muzadi lebih menggambarkan situasi dunia Islam dewasa ini. Ali Taskhiri yang juga penasehat Pemimpin Tertinggi Iran, Ayatullah Al Udzma Sayyid Ali Khamanei mengatakan saat ini telah terjadi gejala kebangkitan Islam di negara-negara berpenduduk Muslim.
Menurutnya, era kebangkitan Islam sudah berada di depan mata. Masyarakat muslim di dunia juga sudah menyadari bahwa Barat lah yang selama ini berperan dalam memecah belah Islam, baik dari luar mau pun dari dalam. "Tujuan mereka memisahkan kita, dan memisahkan urusan agama dan urusan umum. Tetapi kita tidak akan membiarkan hal itu terjadi," kata Taskhiri.
Hasyim Muzadi juga mengingatkan kapitalisme sudah mulai mengalami kegoyahan. Di Amerika dan Eropa, masyarakatnya sudah menyadari betapa buruknya sistim kapital itu sendiri. Dan di Timur Tengah, tengah terjadi suksesi kepemimpinan dari pemimpin-pemimpin yang pro barat, kini digantikan oleh pemimpin-pemimpin dari kelompok Islam.
Hanya saja, kata dia, yang perlu diwaspadai oleh negara ini adalah pemikiran Barat yang mulai meracuni seluruh sendi, mulai ekonomi, politik, hukum hingga budaya. Untuk menanggulangi problematika tersebut, maka umat Islam perlu tampil untuk melakukan pembenahan
Dia mencontohkan, ekonomi Indonesia yang cenderung memisahkan kekayaan alam dengan rakyat harus diubah dengan keadilan ekonomi. Politik yang kini transaksional dijadikan politik yang amanah. Hukum juga harus berlandaskan keadilan bagi seluruh elemen masyarakat. Dan yang tak kalah pentingnya adalah budaya, di mana kaum muslim harus membentengi masyarakat dari budaya Barat yang dapat merusak akhlak.