Ketika kondisi di Irak semakin memanas paska pendudukan Amerika, khususnya rawannya hubungan mazhab-mazhab Islam di wilayah tersebut, ulama Irak dari mazhab Sunni maupun Syiah kemudian berkumpul di Makkah al-Mukarramah di bulan Ramadhan tahun 2006 untuk mendiskusikan masalah ini. Mereka kemudian menghasilkan sebuah deklarasi berikut ini:
Segala pujian dan kemuliaan adalah milik Tuhan yang Maha agung. Semoga salam dan berkah-Nya senantiasa dianugerahkan kepada Nabi Muhammad Saw., keluarga, dan para sahabatnya. Dengan mempertimbangkan (1) situasi yang terjadi sekarang ini di Irak, di mana pertumpahan darah, penjarahan hak milik, terjadi setiap hari; semuanya dengan mengatasnamakan Islam, dan (2) sejalan dengan anjuran dari Sekretaris Jenderal Organisasi Konferensi Islam, di bawah payung Akademi Fikih Internasional OKI (IIFA), maka kami, para ulama Irak, dari Mazhab Ahlus Sunnah dan Syi’ah, berkumpul di Makkah Al-Mukarramah, pada bulan Ramadhan 1427 (2006), setelah membicarakan perkembangan situasi di Irak dan prihatin terhadap nasib rakyatnya, serta masalah-masalah yang melingkupinya, dengan ini menyatakan DEKLARASI ini:
Para ulama yang menandatangani Deklarasi ini mengajak setiap ulama, intelektual, cendekiawan muslim di mana pun untuk turut serta mengambil bagian dalam niat ini, dan untuk mendakwahkannya kepada rakyat Irak di mana pun mereka berada, dan untuk berusaha mematuhi dan menjalankannya. Para ulama yang menandatangani Deklarasi ini berdoa semoga Allah, dengan (berkah) tanah dan tempat suci ini, melindungi dan menjaga keimanan setiap muslim, memastikan keselamatan tanah tumpah darah mereka, dan membawa negara Islam-Arab Irak keluar dari permasalahannya, dan menjadikan Irak sebagai benteng dan pilar kaum muslimin dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Doa terakhir dan abadi kami selamanya adalah bahwa puja dan puji senantiasa milik Allah, Tuhan Semesta Alam dan segala sesuatu di dalamnya.
Catatan:
[1] Dalam Terjemahan dan Tafsir Al-Quran Departemen Agama, pada akhir ayat di atas diberikan catatan kaki: ungkapan ini (kebinasaan) adalah ibarat dari orang-orang yang berusaha mengguncangkan iman orang-orang mukmin dan selalu mengadakan pengacauan.
[2] Maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu badan.
[3] Panggilan buruk adalah panggilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir, dan sebagainya.
- Jika salah seorang di antara kamu memanggil saudaranya : Kamu kafir, salah seorang di antara mereka akan menjadi kafir dan bertanggungjawab atasnya.
- Darah, harta benda, kehormatan, dan harga diri seorang Muslim adalah mulia berdasarkan firman Allah Swt. dalam Al-Quran: "Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya ialah jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutuknya serta menyediakan azab yang besar baginya." (QS Al-Nisa’ [4] : 93). Juga hadits Nabi Saw. : "Setiap Muslim adalah mulia darahnya, hartanya, kehormatan, dan harga dirinya. Karena itu, tidak seorang Muslim pun –baik Sunni ataupun Syi’ah– yang dapat ditumpahkan darahnya, dianiaya, diintimidasi, diteror, diambil harta miliknya atau dijatuhkan kehormatannya, atau diculik keberadaannya. Lebih jauh lagi, tidak seorang pun dari anggota keluarganya yang dapat dijadikan sandera dengan alasan perbedaan mazhab atau alasan agama lainnya. Siapa pun yang melakukan perbuatan sepeti itu, telah memisahkan dirinya dari kehormatan ummah (kaum Muslim), termasuk semua yang memegang otoritas di dalam Islam, para ulama, dan orang-orang yang beriman".
- Semua rumah peribadatan adalah mulia, baik masjid maupun rumah peribadatan agama dan kepercayaan lain. Karena itu, rumah peribadatan tidak boleh diserang, atau dijadikan alasan, ataupun menjadi tempat perlindungan bagi tindakan-tindakan yang bertentangan dengan aturan syariat kita yang mulia. Setiap tempat peribadatan itu harus diserahkan kepada para penganutnya dan diberikan kebebasan bagi mereka sesuai dengan prinsip fiqih Islam yang disepakati oleh semua mazhab di dalam Islam, yaitu: “Setiap hibah ataupun wakaf yang diserahkan untuk keperluan agama terikat dengan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemberinya.” Dan bahwa “Setiap syarat yang ditetapkan oleh pemberi mestilah diperlakukan sama seperti aturan secara syariat.” Dan bahwa “Sesuatu yang termasuk praktik dan kebiasaan haruslah dianggap sebagai bagian dari perjanjian.”
- Kejahatan yang dilakukan dengan mengatasnamakan (atau terjadi karena alasan) perbedaan mazhab, seperti yang sekarang ini terjadi di Irak, adalah termasuk mereka yang jatuh ke dalam “kerusakan dan kebinasaan di bumi” perbuatan yang telah dilarang di dalam Al-Quran sesuai firman Allah Swt: "Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang, dan Allah tidak menyukai kebinasaan" (QS. Al-Baqarah [2]: 205)[1] Penyampaian alasan perbedaan mazhab—apa pun bentuknya—tidak dapat menjustifikasi pembunuhan atau penyerangan, meskipun seorang di antara pengikut mazhab tertentu melakukan tindakan yang harus dihukum karena: "…dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain"(QS. Al-An’am [6]: 164)
- Setiap tindakan yang menyulut provokasi berkenaan dengan masalah-masalah sensitif seputar etnis, mazhab, letak geografis, atau perbedaan bahasa harus dijauhi dan dihindarkan. Begitu juga pelabelan (menyebut kelompok tertentu dengan nama-nama yang tidak baik), pelecehan, pergunjingan, atau fitnah yang dibuat oleh satu kelompok untuk menyerang kelompok lainnya harus ditiadakan. Perbuatan seperti ini dihitung perbuatan kekufuran, sesuai ayat Al-Quran: "…dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri[2] dan janganlah kamu panggil-memanggil dengan gelar-gelar yang buruk. Seburuk-buruk panggilan ialah (panggilan) yang buruk sesudah iman[3] dan barang siapa yang tidak bertobat, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Hujurât [49]:11)
- Ada hal-hal tertentu dan prinsip-prinsip dasar yang harus senantiasa dikedepankan, termasuk di dalamnya adalah persatuan, persaudaraan, ukhuwwah, dan saling menasihati dalam kebaikan dan kebenaran. Semua ini harus dilindungi dan dijaga dari upaya apa pun untuk meruntuhkannya. Sungguh Allah Ta’ala telah berfirman: "Sesungguhnya umatmu ini adalah umat yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku." (QS. Al-Anbiyâ` [21]:92). Karena itu, adalah wajib bagi setiap muslim untuk berhati-hati dan bersikap waspada terhadap upaya-upaya untuk memecah belah persatuan, menghembuskan nafas permusuhan dan kebencian, yang dapat menghancurkan ikatan persaudaraan ilahiah di antara mereka.
- Setiap muslim, baik Sunni maupun Syi’ah, sama-sama teraniaya dan bersama-sama bersatu berjuang menentang penjajahan dan ketidakadilan, sesuai dengan anjuran ayat: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran, dan permusuhan. Dia memberi pelajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran." (QS. Al-Nahl [16]: 90) Dengan demikian, semua upaya kita seharusnya diarahkan pada tujuan untuk menghentikan ketidakadilan, lebih khusus lagi terutama pada membebaskan sandera dan tawanan tak berdosa, baik muslim maupun non-muslim dan mengembalikan mereka yang terasing dan terusir dari rumah-rumah mereka.
- Dengan ini para ulama hendak mengingatkan pemerintah Irak akan tugasnya untuk menyediakan perlindungan, keamanan, dan sarana-prasarana kehidupan yang layak bagi setiap rakyat Irak, dan untuk menjunjung tinggi keadilan, terutama dengan membebaskan para tawanan tak berdosa, dengan membawa masalah pada pengadilan yang tepat, cepat dan jujur, dan menjatuhkan hukuman pada mereka yang telah terbukti bersalah, dengan senantiasa memperhatikan persamaan dan kesederajatan hak di antara setiap rakyatnya.
- Para ulama Sunni dan Syi’ah sepakat untuk mendukung setiap kegiatan yang ditujukan untuk membangun rekonsiliasi (perdamaian) nasional, sesuai dengan ayat Al-Quran: "…dan perdamaian itu lebih baik…" (QS. Al-Nisâ` [4]: 128), "… dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa…" (QS. Al-Mâ`idah [5]: 2)
- Karena itu, setiap muslim—baik Sunni maupun Syi’ah—akan bersatu padu untuk membela kemerdekaan, persatuan, dan integritas wilayah Irak; menyadari dan mewujudkan kemerdekaan berkehendak rakyat Irak, untuk bersama-sama memberikan kontribusi dalam kegiatan militer, ekonomi, politik sesuai dengan kemampuannya, untuk membangun negara Irak demi mengakhiri pendudukan dan mengembalikan kemapanan serta mengukuhkan peranan dalam pembangunan kehidupan kemanusiaan dan kebudayaan Arab-Islam Irak.
Para ulama yang menandatangani Deklarasi ini mengajak setiap ulama, intelektual, cendekiawan muslim di mana pun untuk turut serta mengambil bagian dalam niat ini, dan untuk mendakwahkannya kepada rakyat Irak di mana pun mereka berada, dan untuk berusaha mematuhi dan menjalankannya. Para ulama yang menandatangani Deklarasi ini berdoa semoga Allah, dengan (berkah) tanah dan tempat suci ini, melindungi dan menjaga keimanan setiap muslim, memastikan keselamatan tanah tumpah darah mereka, dan membawa negara Islam-Arab Irak keluar dari permasalahannya, dan menjadikan Irak sebagai benteng dan pilar kaum muslimin dalam menghadapi musuh-musuhnya.
Doa terakhir dan abadi kami selamanya adalah bahwa puja dan puji senantiasa milik Allah, Tuhan Semesta Alam dan segala sesuatu di dalamnya.
Catatan:
[1] Dalam Terjemahan dan Tafsir Al-Quran Departemen Agama, pada akhir ayat di atas diberikan catatan kaki: ungkapan ini (kebinasaan) adalah ibarat dari orang-orang yang berusaha mengguncangkan iman orang-orang mukmin dan selalu mengadakan pengacauan.
[2] Maksudnya ialah mencela antara sesama mukmin karena orang-orang mukmin seperti satu badan.
[3] Panggilan buruk adalah panggilan kepada seseorang yang sudah beriman dengan kata-kata: hai fasik, hai kafir, dan sebagainya.