Ramadhan adalah bulan mulia. Di bulan yang di dalamnya terdapat malam yang lebih mulia dari seribu bulan ini, juga terjadi beberapa peristiwa penting sepanjang sejarah Islam. Ustadz Miftah Fauzi Rakhmat menyarikan kejadian-kejadian tersebut di dalam catatan serial berikut. Diterjemahkan dari iShia Android, tetapi diperkaya dengan beberapa referensi untuk bacaan lanjutan.
1 Ramadhan
Imam Ridha as menerima bay'at umat sebagai wali 'ahad pd 201 H. (Tarikh Thabari 7:139; Bihar al-Anwar 49:129, 99:43, 95:25; 'Uyun Akhbar al-Ridha as, 1:273)
Kematian Marwan bin Hakam tahun 65 H di Damaskus. Ia berkuasa selama sembilan bulan. Marwan bin Hakam bin Abil 'Ash dijuluki "al-wazagh". Ia dan ayahnya terusir dan dikutuk lisan suci Nabi Saw. Ia menampakkan permusuhannya terhadap Nabi Saw, khususnya pd Imam Ali as. Perannya cukup sentral pada masa fitnah di zaman khalifah Utsman dan pembunuhan Thalhah pada perang Jamal. (Tarikh Thabari 4:474; Tarikh Dimasyq 57:236; Thabaqat al-Kubra Ibn Sa'ad 5:226; Al-Bidayah wal Nihayah Ibn Katsir 8:285)
Perang Tabuk tahun 9 H. Inilah perang terakhir Nabi Saw. Perang ini juga disebut "Al-Fadhihah" artinya "yang menyingkap" karena melalui ajakan perang ini terungkap siapa yang munafik dan mereka yang berencana membunuh Nabi Saw di antara bebukitan. Di sinilah Nabi mewasiatkan Imam Ali sebagai khalifah di Madinah. Karena tidak diajak oleh Nabi Saw, orang-orang munafik menyakiti Imam Ali dengan berbagai sebutan, hingga Nabi Saw bersabda: "Ya Ali, tidakkah engkau bahagia. Kedudukanmu terhadapku sama seperti Harun di samping Musa. Kecuali tiada lagi Nabi sepeninggalku. Engkaulah khalifahku di tengah umatku. Engkaulah saudaraku di dunia dan akhirat."
Sepulang dari Tabuk, empatpuluh orang munafik berniat menjatuhkan bebatuan yg sdh mereka kumpulkan di atas bukit untuk menggentarkan unta Nabi Saw. Di celah sempit antarbukit itu, unta yg ketakutan akan mencederai bahkan membunuh Nabi Saw. Tetapi ketika mereka berniat melakukan itu, tidaklah unta Nabi melangkah kecuali sangat perlahan, begitu perhatian, seolah ingin dengan segala daya, melindungi Nabi Saw dari reka perdaya orang-orang munafik. (Muntakhab al-Tawarikh, 60-61; Bihar al-Anwar 21:185-263; Muntaha al-Amal 1:91-93)
Wafatnya Sayyidah Nafisa binti Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib 'alaihimus salam. Suaminya adalah Ishaq bin Ja'far al-Shadiq 'alaihimas salam. Ibunya putri Abu al-Fadhl al-'Abbas. Ia wafat di Mesir, dan menjadi satu di antara tempat ziarah di Mesir. (Waqa'i al-Syuhur 187).
3 Ramadhan
Syahadah Sayyidah Fathimah sa menurut sebagian pendapat. (Bihar al-Anwar 22:168; Mustadrak al-Hakim 2:162).
Wafatnya Syaikh Mufid pada 413 H. Ulama fakih, ahli kalam, penulis banyak buku di zamannya. Lentera para pengikut Ahlul Bait as pasca ghaibat Imam. Beliau banyak menulis kitab berkenaan dengan penjelasan mazhab Ahlul Bait dan jawaban terhadap kritik-kritik tak semestinya pada mazhab Ahlul Bait. Ratusan makalah dan buku ditulisnya. Favorit saya, ketika beliau menjelaskan hadis "Kami pewaris para Nabi, yang kami tinggalkan shadaqah" justru untuk memperkuat posisi dan hak Sayyidah Fathimah terhadap tanah Fadak dan warisan. Ulama luar biasa!
Berikut penjelasannya. Pertama, Nabi Saw wajib menjelaskan hukum. Apalagi kepada orang yang terkena kewajiban hukum itu. Hadis bahwa "Para Nabi tidak mewariskan" diriwayatkan oleh Khalifah Abu Bakar, sedangkan keluarga Nabi sendiri yg terkena kewajiban hukum itu, tidak pernah mendengar dari Nabi Saw. Sekiranya benar, pastilah Nabi menyampaikan pada keluarga terlebih dahulu sebelum pada yang lain.
Kedua, tentang dalil-dalil yg digunakan Sayyidah Fathimah sa dari ayat-ayat Al-Quran bahwa para Nabi pun mewariskan. (QS. Al-Naml 16, Maryam: 6).
Nah, yang ketiga yang menarik, tentang i'rab, cara baca hadis itu. Ini berkenaan dengan pengetahuan terhadap bahasa Arab.
Hadis itu berbunyi: “Nahnu ma’asyir al-Anbiya, la nuurits. Ma taraknahu shadaqah.” Kami kelompok para Nabi (atau kami ini para Nabi). Kami tidak mewariskan. Apa yang kami tinggalkan .... sedekah.” Saya mengosongkan yang titik empat dalam penerjemahan karena di situlah kuncinya.
Yang beranggapan bahwa Nabi tidak mewariskan apa pun, membaca ujung ayat itu “shadaqatun”. Sebenarnya, konteks hadis itu--sekiranya sanadnya pun kuat--seharusnya dibaca “shadaqatan”. Dengan nasb/fathah, bukan rafa'/dhammah.
Mengapa demikian, karena fungsi ma mawshul pada kata “ma taraknah” yang mensyaratkan kesinambungan. Begitu pula pembacaan nasb lebih sesuai dengan sistematika bahasa Qurani.
Karena itu, penerjemahan dan cara baca yang lebih tepat adalah, “Kami kelompok para nabi. Kami tidak mewariskan apa yang sudah kami tinggalkan SEBAGAI sedekah." Segala sesuatu yg sudah dihibahkan, disedekahkan, diberikan, diwakafkan, tidak boleh diberikan kepada ahli waris siapa pun.
Rujukan hadis “Nahnu ma'asyir al-Anbiya” Musnad Ahmad, 1:4-dst disebutkan tigabelas kali; Shahih Muslim 5:154, kitab al-Jihad; Shahih Bukhari 4:71, kitab al-Jihad bab Fardh al-Khums.
Kesesuaian terhadap sistematika Bahasa Arab itulah yg dibuktikan Syaikh Mufid. Catatan beliau tentang ‘mengusap kaki’ dan lain-lainnya juga menggunakan metodologi yang sama. Kemampuan Syaikh Mufid qs terhadap Bahasa Arab memang luar biasa, sehingga beliau menggunakan dalil-dalil penguat pendapat lain, justru untuk memperkuat pendapatnya. Itu kelebihan Syaikh Mufid.
Sebagian mengkritik Syaikh Mufid dengan mengatakan, “Kalau cara bacanya begitu, itu berlaku umum, bukan hanya untuk Nabi saja.”
Syaikh Mufid kemudian menjelaskan bahwa benar keterangan itu berlaku umum, dan para nabi memperkuat kedudukan mereka sebagai teladan bagi umat. Bahwa mereka lebih wajib menjalankan hukum sebelum yang lain-lainnya. Bahwa mereka adalah pengamalan perintah-perintah Ilahiah itu. Kemudian Syaikh Mufid mengutip Surat al-Nazi'at ayat 45, bahwa Nabi Saw itu "inna maa anta mundziru man yakhsyaaha." Engkau (Ya Rasulallah) hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari kebangkitan). Bukankah Nabi justru adalah pembawa peringatan bagi SEMUAnya...termasuk mereka yg tidak kenal dan tidak merasa takut dengan itu.
Baca Juga:
Sejarah Di Hari-Hari Ramadhan: Tanggal 1 - 3
Sejarah Di Hari-Hari Ramadhan: Tanggal 4 - 10
Sejarah Di Hari-Hari Ramadhan: Tanggal 12 - 14
15 Ramadhan
16 Ramadhan
Imam Ridha as menerima bay'at umat sebagai wali 'ahad pd 201 H. (Tarikh Thabari 7:139; Bihar al-Anwar 49:129, 99:43, 95:25; 'Uyun Akhbar al-Ridha as, 1:273)
Kematian Marwan bin Hakam tahun 65 H di Damaskus. Ia berkuasa selama sembilan bulan. Marwan bin Hakam bin Abil 'Ash dijuluki "al-wazagh". Ia dan ayahnya terusir dan dikutuk lisan suci Nabi Saw. Ia menampakkan permusuhannya terhadap Nabi Saw, khususnya pd Imam Ali as. Perannya cukup sentral pada masa fitnah di zaman khalifah Utsman dan pembunuhan Thalhah pada perang Jamal. (Tarikh Thabari 4:474; Tarikh Dimasyq 57:236; Thabaqat al-Kubra Ibn Sa'ad 5:226; Al-Bidayah wal Nihayah Ibn Katsir 8:285)
Perang Tabuk tahun 9 H. Inilah perang terakhir Nabi Saw. Perang ini juga disebut "Al-Fadhihah" artinya "yang menyingkap" karena melalui ajakan perang ini terungkap siapa yang munafik dan mereka yang berencana membunuh Nabi Saw di antara bebukitan. Di sinilah Nabi mewasiatkan Imam Ali sebagai khalifah di Madinah. Karena tidak diajak oleh Nabi Saw, orang-orang munafik menyakiti Imam Ali dengan berbagai sebutan, hingga Nabi Saw bersabda: "Ya Ali, tidakkah engkau bahagia. Kedudukanmu terhadapku sama seperti Harun di samping Musa. Kecuali tiada lagi Nabi sepeninggalku. Engkaulah khalifahku di tengah umatku. Engkaulah saudaraku di dunia dan akhirat."
Sepulang dari Tabuk, empatpuluh orang munafik berniat menjatuhkan bebatuan yg sdh mereka kumpulkan di atas bukit untuk menggentarkan unta Nabi Saw. Di celah sempit antarbukit itu, unta yg ketakutan akan mencederai bahkan membunuh Nabi Saw. Tetapi ketika mereka berniat melakukan itu, tidaklah unta Nabi melangkah kecuali sangat perlahan, begitu perhatian, seolah ingin dengan segala daya, melindungi Nabi Saw dari reka perdaya orang-orang munafik. (Muntakhab al-Tawarikh, 60-61; Bihar al-Anwar 21:185-263; Muntaha al-Amal 1:91-93)
Wafatnya Sayyidah Nafisa binti Hasan bin Zaid bin Hasan bin Ali bin Abi Thalib 'alaihimus salam. Suaminya adalah Ishaq bin Ja'far al-Shadiq 'alaihimas salam. Ibunya putri Abu al-Fadhl al-'Abbas. Ia wafat di Mesir, dan menjadi satu di antara tempat ziarah di Mesir. (Waqa'i al-Syuhur 187).
3 Ramadhan
Syahadah Sayyidah Fathimah sa menurut sebagian pendapat. (Bihar al-Anwar 22:168; Mustadrak al-Hakim 2:162).
Wafatnya Syaikh Mufid pada 413 H. Ulama fakih, ahli kalam, penulis banyak buku di zamannya. Lentera para pengikut Ahlul Bait as pasca ghaibat Imam. Beliau banyak menulis kitab berkenaan dengan penjelasan mazhab Ahlul Bait dan jawaban terhadap kritik-kritik tak semestinya pada mazhab Ahlul Bait. Ratusan makalah dan buku ditulisnya. Favorit saya, ketika beliau menjelaskan hadis "Kami pewaris para Nabi, yang kami tinggalkan shadaqah" justru untuk memperkuat posisi dan hak Sayyidah Fathimah terhadap tanah Fadak dan warisan. Ulama luar biasa!
Berikut penjelasannya. Pertama, Nabi Saw wajib menjelaskan hukum. Apalagi kepada orang yang terkena kewajiban hukum itu. Hadis bahwa "Para Nabi tidak mewariskan" diriwayatkan oleh Khalifah Abu Bakar, sedangkan keluarga Nabi sendiri yg terkena kewajiban hukum itu, tidak pernah mendengar dari Nabi Saw. Sekiranya benar, pastilah Nabi menyampaikan pada keluarga terlebih dahulu sebelum pada yang lain.
Kedua, tentang dalil-dalil yg digunakan Sayyidah Fathimah sa dari ayat-ayat Al-Quran bahwa para Nabi pun mewariskan. (QS. Al-Naml 16, Maryam: 6).
Nah, yang ketiga yang menarik, tentang i'rab, cara baca hadis itu. Ini berkenaan dengan pengetahuan terhadap bahasa Arab.
Hadis itu berbunyi: “Nahnu ma’asyir al-Anbiya, la nuurits. Ma taraknahu shadaqah.” Kami kelompok para Nabi (atau kami ini para Nabi). Kami tidak mewariskan. Apa yang kami tinggalkan .... sedekah.” Saya mengosongkan yang titik empat dalam penerjemahan karena di situlah kuncinya.
Yang beranggapan bahwa Nabi tidak mewariskan apa pun, membaca ujung ayat itu “shadaqatun”. Sebenarnya, konteks hadis itu--sekiranya sanadnya pun kuat--seharusnya dibaca “shadaqatan”. Dengan nasb/fathah, bukan rafa'/dhammah.
Mengapa demikian, karena fungsi ma mawshul pada kata “ma taraknah” yang mensyaratkan kesinambungan. Begitu pula pembacaan nasb lebih sesuai dengan sistematika bahasa Qurani.
Karena itu, penerjemahan dan cara baca yang lebih tepat adalah, “Kami kelompok para nabi. Kami tidak mewariskan apa yang sudah kami tinggalkan SEBAGAI sedekah." Segala sesuatu yg sudah dihibahkan, disedekahkan, diberikan, diwakafkan, tidak boleh diberikan kepada ahli waris siapa pun.
Rujukan hadis “Nahnu ma'asyir al-Anbiya” Musnad Ahmad, 1:4-dst disebutkan tigabelas kali; Shahih Muslim 5:154, kitab al-Jihad; Shahih Bukhari 4:71, kitab al-Jihad bab Fardh al-Khums.
Kesesuaian terhadap sistematika Bahasa Arab itulah yg dibuktikan Syaikh Mufid. Catatan beliau tentang ‘mengusap kaki’ dan lain-lainnya juga menggunakan metodologi yang sama. Kemampuan Syaikh Mufid qs terhadap Bahasa Arab memang luar biasa, sehingga beliau menggunakan dalil-dalil penguat pendapat lain, justru untuk memperkuat pendapatnya. Itu kelebihan Syaikh Mufid.
Sebagian mengkritik Syaikh Mufid dengan mengatakan, “Kalau cara bacanya begitu, itu berlaku umum, bukan hanya untuk Nabi saja.”
Syaikh Mufid kemudian menjelaskan bahwa benar keterangan itu berlaku umum, dan para nabi memperkuat kedudukan mereka sebagai teladan bagi umat. Bahwa mereka lebih wajib menjalankan hukum sebelum yang lain-lainnya. Bahwa mereka adalah pengamalan perintah-perintah Ilahiah itu. Kemudian Syaikh Mufid mengutip Surat al-Nazi'at ayat 45, bahwa Nabi Saw itu "inna maa anta mundziru man yakhsyaaha." Engkau (Ya Rasulallah) hanyalah pemberi peringatan bagi siapa yang takut kepadanya (hari kebangkitan). Bukankah Nabi justru adalah pembawa peringatan bagi SEMUAnya...termasuk mereka yg tidak kenal dan tidak merasa takut dengan itu.
Baca Juga:
Sejarah Di Hari-Hari Ramadhan: Tanggal 1 - 3
Sejarah Di Hari-Hari Ramadhan: Tanggal 4 - 10
Sejarah Di Hari-Hari Ramadhan: Tanggal 12 - 14
15 Ramadhan
16 Ramadhan