Aris Thofira
Orang bertanya kepada ketua Mahkamah Syar'iyah Agung Ja'fariyah di Beirut, Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah, yang merupakan tokoh penting dalam mazhab Syi'ah. Mereka menanyakan mengapa hanya peristiwa Karbala yang diperingati secara khusus untuk mengenang Imam Husain saja? Mengapa tidak memperingati kakeknya Muhammad atau ayahnya Ali? Apakah Husain itu lebih penting daripada kakeknya dan ayahnya itu?
Orang bertanya kepada ketua Mahkamah Syar'iyah Agung Ja'fariyah di Beirut, Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah, yang merupakan tokoh penting dalam mazhab Syi'ah. Mereka menanyakan mengapa hanya peristiwa Karbala yang diperingati secara khusus untuk mengenang Imam Husain saja? Mengapa tidak memperingati kakeknya Muhammad atau ayahnya Ali? Apakah Husain itu lebih penting daripada kakeknya dan ayahnya itu?
Syeikh Muhammad Jawad Mughniyah memberikan jawaban yang dimuat panjang lebar dalam majalah Risalah Al-Islam Juli tahun 1959. Artikel yang berjudul "Syi'ah dan Hari Asyura" itu menjelaskan duduk perkara yang sebenarnya menurut paham Syi'ah. Orang-orang Syi'ah tidak melebihkan seorang juapun daripada Rasulullah. Mereka menganggap Nabi Muhammad adalah sebaik-baik makhluk Tuhan dengan tidak ada kecualinya. Sesudah Nabi Muhammad tidak ada yang lebih mulia daripada Ali bin Abi Thalib. Ali bin Abi Thalib itu pernah membanggakan dirinya dengan berkata, "Aku adalah seorang tukang tambal sepatu Rasulullah". Memang Syi'ah Imamiyah menganggap bahwa Muhammad Saw itu tidak ada yang menyainginya dalam keagungan, malaikatpun tidak, bahkan rasul-rasul lainpun tidak. Bahwa Ali bin Abi Thalib hanyalah khalifah yang berhak sesudah ia wafat, dan Ali bin Abi Thalib adalah keluarga dan sahabatnya yang terbaik. Adapun penghormatan terhadap Imam Husain pada tiap-tiap tahun selama sepuluh hari berturut-turut di Karbala, yang terkenal dengan Asyura, tidak lain maksudnya untuk mempertahankan dan mengabadikan pendirian itu serta melaksanakannya dalam bentuk tindakan yang kelihatan. (Abubakar Aceh, Syi'ah Rasionalisme dalam Islam, hal 80)
Sesudah dibantai dengan jenis kekejaman yang sukar dicari tandingannya dalam peradaban umat manusia, penggalan kepala Sayidina Husein, putra Fatimah, putri Muhammad Rasulullah SAW, diarak, diseret dengan kuda sampai sejauh 1.300 kilometer. Wallahu 'a'lam. Ada yang bilang ke Syria, tetapi pasti pembantaian sesama Muslim itu terjadi di Karbala. Orang yang mencintai beliau bisakah menangis hanya dengan mengucurkan air mata dan bukan darah? Jutaan pencintanya memukul-mukul dada mereka agar terasa derita itu hingga ke jantung dan menggelegak ke lubuk jiwa. Ribuan lainnya membawa cambuk besi atau apa saja yang bisa melukai badan mereka agar kucuran darah itu membuat mereka tidak merasa jadi siapa pun kecuali Imam Husain sendiri. Orang yang mencintai melarutkan eksistensinya, melebur, hilang dirinya, dirinya sirna, menjadi orang yang dicintainya. Keperihan maut Husain itulah yang menjadi sumber kebesaran jemaah Syiah di dunia. Duka yang mendalam atas apa yang dialami cucu Nabi itulah yang membuat kaum Syi'ah menyerahkan hatinya dengan sangat penuh perasaan kepada komitmen ahlulbait, keluarga Nabi. ( Emha Ainun Nadjib, Jejak Tinju Pak Kyai, hal. 124)
Di Tanah Jawa, Syekh Siti Jenar merupakan sosok yang mengambil semangat Al-Husain dalam usaha melakukan dakwah bil hikmah. Dengan membawa tanah Karbala yang dia peroleh dari mertuanya di Baghdad, dia membabat alas Jawa dan melakukan ritual Bhumisoda. Siti Jenar memiliki semangat Al-Husain dan pengikut setianya yang menyucikan tanah Nainawa dari unsur kemunafikan penduduk di sekitar Nainawa (Neniveh) dengan darah syahadahnya. Bhumisoda adalah penumbalan tanah Jawa dengan tanah Karbala untuk menetralisir tanah Jawa dari unsur negatif para pengikut Bhairawatantra sebagai penghuni sebelumnya. Dari aspek sosial, Siti Jenar membuka tanah baru dengan nama-nama sesuai dengan kultur tanahnya, dari Lemah Abang, Tanah Abang, Sitijenar, Kajenar, Sitibrit, dan lain-lain (kita bisa menemukan nama-nama daerah itu saat melintasi pantai utara dan pedalaman Jawa). Lemah Abang adalah simbol kemerdekaan, kebebasan, keadilan dan kesetaraan. Tatanan yang dibangun Syekh Siti Jenar adalah masyarakat - sesuai konsep dari Nabi: manusia seperti gigi sisir, sederajat - dengan membongkar tatanan lama, konsep raja-kawula. (Agus Sunyoto: 2004).
Paska Siti Jenar, beberapa abad kemudian, lahir pergerakan perlawanan yang diilhami oleh semangat Al-Husain di Nainawa, yaitu Perang Jawa (1825-1830) dengan tokoh utama Pangeran Diponegoro. Spirit Al-Husain menjadi semangat pendorong bagi laskar Diponegoro dalam melawan kolonialisme Belanda, dengan pekikan slogan dari pangeran Diponegoro, seperti yang tertulis dalam Babadnya oleh R. Ng. Yosodipuro II:
"Den siro poro satrio nagari metaram nagarining Jawi hingdodotiro, sumimpin watak, wantune Sayyidina NGALI, sumimpin kawicaksanane Sayyidina KASAN, sumimpin kakendelane Sayyidina KUSEN. Den seksenono, hing wanci SURO, LONDO bakal den siro sirnaake soko tanah jawa. Krana sinurung pangribawaning para satrianing MUKHAMAD yoiku NGALI, KASAN, KUSEN. Siro podho lumaksanana yudha kairing takbir lan solawat, yen siro guguring bantala cinandra, guguring sakabate sayyidina KUSEN ing NAINAWA (KARBALA)"
(Wahai kalian para ksatria negeri Mataram Negeri Jawa di hati kalian, dipimpin oleh watak keberanian Sayidina Ali, Dipimpin oleh kebijaksanaan Sayidina Hasan, dipimpin keberanian Sayidina Husain. Saksikanlah, pada saat bulan Muharram (Suro), Belanda akan kalian sirnakan dari Tanah Jawa. Karena didorong oleh kewibawaan para Ksatria Muhammad yaitu Ali, Hasan, Husain. Laksanakanlah perang, dengan iringan Takbir dan Shalawat. Jika kalian gugur dalam berperang, maka kalian akan gugur seperti gugurnya Sahabat Sayidina Husain di Nainawa).
Namun, ketika semangatnya telah menginspirasi gerakan-gerakan revolusi di seluruh dunia yang tertindas oleh kuasa despotisme, ada usaha untuk mendistorsikan sejarah perjuangan Imam Husain di Karbala. Di Jawa, sejarah Imam Husain menjadi semakin terpinggirkan, hanya menjadi klangenan, dan hanya simbol-simbol seperti bubur suro atau rebo wekasan yang masih kita lihat. Dan sejarah Imam Husain di Nainawa telah bergeser menjadi hanya sekedar dongeng sebelum tidur untuk anak-anak, bukan lagi sebagai eulogi perrlawanan.
Geertz menuliskan peristiwa Asyura berdasar dongeng yang sudah jauh dari proporsionalitas sejarah aslinya, meski diakuinya, sejarah Asyura berbeda di tiap tempat, sebagai berikut:
"10 Suro: untuk menghormati Hasan dan Husein, keduanya cucu Nabi, yang menurut cerita ingin mengadakan slametan untuk Nabi Muhammad ketika beliau sedang berperang melawan kaum kafir. Mereka membawa beras (dimana mereka memperoleh beras di negeri Arab tidak dipersoalkan) ke sungai untuk dicuci, tetapi kuda musuh menghampiri dan menendang beras itu ke sungai. Kedua anak itu menangis dan kemudian memungut beras yang telah bercampur pasir dan kerikil. Namun mereka memasaknya juga menjadi bubur. Dengan demikian slametan ini ditandai oleh dua mangkuk bubur - yang satu dengan kerikil dan pasir di dalamnya untuk dimakan para cucu, dan satunya lagi dengan kacang dan potongan ubi goreng untuk melambangkan ketidakmurnian, yang akan dimakan oleh orang dewasa..." (Clifford Geertz, Religion of Java, hal : 105)
Sepanjang sejarah, umat Islam menerima sejarahnya sebagai sesuatu yang final, apa adanya, apa yang sebenarnya (Das Sein). Kalangan Syi'ah menerima sejarah sebagai apa yang seharusnya (Das Sholen). Sepanjang sejarah pula, kalangan Syi'ah berusaha untuk mensebenarkan apa yang seharusnya, bukan menseharuskan apa yang sebenarnya.
Wallahu 'a'lam bish shawab
Mojokuto, Rebo Wekasan, 9 Januari 2013
Aris Thofira
Pengurus IJABI dan Penggiat Kajian Islam Jawa
Sesudah dibantai dengan jenis kekejaman yang sukar dicari tandingannya dalam peradaban umat manusia, penggalan kepala Sayidina Husein, putra Fatimah, putri Muhammad Rasulullah SAW, diarak, diseret dengan kuda sampai sejauh 1.300 kilometer. Wallahu 'a'lam. Ada yang bilang ke Syria, tetapi pasti pembantaian sesama Muslim itu terjadi di Karbala. Orang yang mencintai beliau bisakah menangis hanya dengan mengucurkan air mata dan bukan darah? Jutaan pencintanya memukul-mukul dada mereka agar terasa derita itu hingga ke jantung dan menggelegak ke lubuk jiwa. Ribuan lainnya membawa cambuk besi atau apa saja yang bisa melukai badan mereka agar kucuran darah itu membuat mereka tidak merasa jadi siapa pun kecuali Imam Husain sendiri. Orang yang mencintai melarutkan eksistensinya, melebur, hilang dirinya, dirinya sirna, menjadi orang yang dicintainya. Keperihan maut Husain itulah yang menjadi sumber kebesaran jemaah Syiah di dunia. Duka yang mendalam atas apa yang dialami cucu Nabi itulah yang membuat kaum Syi'ah menyerahkan hatinya dengan sangat penuh perasaan kepada komitmen ahlulbait, keluarga Nabi. ( Emha Ainun Nadjib, Jejak Tinju Pak Kyai, hal. 124)
Di Tanah Jawa, Syekh Siti Jenar merupakan sosok yang mengambil semangat Al-Husain dalam usaha melakukan dakwah bil hikmah. Dengan membawa tanah Karbala yang dia peroleh dari mertuanya di Baghdad, dia membabat alas Jawa dan melakukan ritual Bhumisoda. Siti Jenar memiliki semangat Al-Husain dan pengikut setianya yang menyucikan tanah Nainawa dari unsur kemunafikan penduduk di sekitar Nainawa (Neniveh) dengan darah syahadahnya. Bhumisoda adalah penumbalan tanah Jawa dengan tanah Karbala untuk menetralisir tanah Jawa dari unsur negatif para pengikut Bhairawatantra sebagai penghuni sebelumnya. Dari aspek sosial, Siti Jenar membuka tanah baru dengan nama-nama sesuai dengan kultur tanahnya, dari Lemah Abang, Tanah Abang, Sitijenar, Kajenar, Sitibrit, dan lain-lain (kita bisa menemukan nama-nama daerah itu saat melintasi pantai utara dan pedalaman Jawa). Lemah Abang adalah simbol kemerdekaan, kebebasan, keadilan dan kesetaraan. Tatanan yang dibangun Syekh Siti Jenar adalah masyarakat - sesuai konsep dari Nabi: manusia seperti gigi sisir, sederajat - dengan membongkar tatanan lama, konsep raja-kawula. (Agus Sunyoto: 2004).
Paska Siti Jenar, beberapa abad kemudian, lahir pergerakan perlawanan yang diilhami oleh semangat Al-Husain di Nainawa, yaitu Perang Jawa (1825-1830) dengan tokoh utama Pangeran Diponegoro. Spirit Al-Husain menjadi semangat pendorong bagi laskar Diponegoro dalam melawan kolonialisme Belanda, dengan pekikan slogan dari pangeran Diponegoro, seperti yang tertulis dalam Babadnya oleh R. Ng. Yosodipuro II:
"Den siro poro satrio nagari metaram nagarining Jawi hingdodotiro, sumimpin watak, wantune Sayyidina NGALI, sumimpin kawicaksanane Sayyidina KASAN, sumimpin kakendelane Sayyidina KUSEN. Den seksenono, hing wanci SURO, LONDO bakal den siro sirnaake soko tanah jawa. Krana sinurung pangribawaning para satrianing MUKHAMAD yoiku NGALI, KASAN, KUSEN. Siro podho lumaksanana yudha kairing takbir lan solawat, yen siro guguring bantala cinandra, guguring sakabate sayyidina KUSEN ing NAINAWA (KARBALA)"
(Wahai kalian para ksatria negeri Mataram Negeri Jawa di hati kalian, dipimpin oleh watak keberanian Sayidina Ali, Dipimpin oleh kebijaksanaan Sayidina Hasan, dipimpin keberanian Sayidina Husain. Saksikanlah, pada saat bulan Muharram (Suro), Belanda akan kalian sirnakan dari Tanah Jawa. Karena didorong oleh kewibawaan para Ksatria Muhammad yaitu Ali, Hasan, Husain. Laksanakanlah perang, dengan iringan Takbir dan Shalawat. Jika kalian gugur dalam berperang, maka kalian akan gugur seperti gugurnya Sahabat Sayidina Husain di Nainawa).
Namun, ketika semangatnya telah menginspirasi gerakan-gerakan revolusi di seluruh dunia yang tertindas oleh kuasa despotisme, ada usaha untuk mendistorsikan sejarah perjuangan Imam Husain di Karbala. Di Jawa, sejarah Imam Husain menjadi semakin terpinggirkan, hanya menjadi klangenan, dan hanya simbol-simbol seperti bubur suro atau rebo wekasan yang masih kita lihat. Dan sejarah Imam Husain di Nainawa telah bergeser menjadi hanya sekedar dongeng sebelum tidur untuk anak-anak, bukan lagi sebagai eulogi perrlawanan.
Geertz menuliskan peristiwa Asyura berdasar dongeng yang sudah jauh dari proporsionalitas sejarah aslinya, meski diakuinya, sejarah Asyura berbeda di tiap tempat, sebagai berikut:
"10 Suro: untuk menghormati Hasan dan Husein, keduanya cucu Nabi, yang menurut cerita ingin mengadakan slametan untuk Nabi Muhammad ketika beliau sedang berperang melawan kaum kafir. Mereka membawa beras (dimana mereka memperoleh beras di negeri Arab tidak dipersoalkan) ke sungai untuk dicuci, tetapi kuda musuh menghampiri dan menendang beras itu ke sungai. Kedua anak itu menangis dan kemudian memungut beras yang telah bercampur pasir dan kerikil. Namun mereka memasaknya juga menjadi bubur. Dengan demikian slametan ini ditandai oleh dua mangkuk bubur - yang satu dengan kerikil dan pasir di dalamnya untuk dimakan para cucu, dan satunya lagi dengan kacang dan potongan ubi goreng untuk melambangkan ketidakmurnian, yang akan dimakan oleh orang dewasa..." (Clifford Geertz, Religion of Java, hal : 105)
Sepanjang sejarah, umat Islam menerima sejarahnya sebagai sesuatu yang final, apa adanya, apa yang sebenarnya (Das Sein). Kalangan Syi'ah menerima sejarah sebagai apa yang seharusnya (Das Sholen). Sepanjang sejarah pula, kalangan Syi'ah berusaha untuk mensebenarkan apa yang seharusnya, bukan menseharuskan apa yang sebenarnya.
Wallahu 'a'lam bish shawab
Mojokuto, Rebo Wekasan, 9 Januari 2013
Aris Thofira
Pengurus IJABI dan Penggiat Kajian Islam Jawa