Ust. Miftah Fauzi Rakhmat
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma Shalli’ala Muhammad wa Ali Muhammad
Biarlah, dua langkah lagi wahai dunia...
Beri kesempatan ia dua langkah lagi. Biar kami memandang jejaknya lebih lama...
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma Shalli’ala Muhammad wa Ali Muhammad
Biarlah, dua langkah lagi wahai dunia...
Beri kesempatan ia dua langkah lagi. Biar kami memandang jejaknya lebih lama...
Sepasang suami istri teramat setia, menapaki tanah berdebu Arabia. Tapi tanah itu bukan tanah sembarang tanah, ia tanah yang sangat keras kulitnya, amat padat isinya. Di atas tanah itu ribuan hamba Allah berzikir memujaNya. Mereka berputar mengelilingi bangunan hitam di tengahnya. Inilah tempat yang tidak pernah berhenti dari ingatan pada Allah. Tiada seorang nabi pun diutus, melainkan ia pernah tawaf di sekitarnya.
Itulah lembah Makkah yang penuh berkah. Tempat bagi rumah Tuhan, Ka’bah Baitullah. Kini sepasang suami istri teramat setia itu, tertatih-tatih menyusurinya. Adalah Abu Thalib sang suami, pemegang kunci pintu rumah Tuhan, memapah sang istri, Fathimah binti Asad dengan jabang bayi yang dikandungnya, kini menempuh sembilan bulan di rahimnya.
Biarlah dua langkah lagi wahai dunia, berikan langkah pada kaki-kaki yang perkasa itu. Setelah tawaf mengelilingi rumah Tuhan, mereka berdua beristirahat.
Esok harinya, dengarkan riwayat dari Yazid bin Qan’ab: Aku tengah duduk bersama Abbas bin Abdil Muthallib dan sekelompok orang dari Bani Abdil ‘Uzza di samping Baitullah. Kemudian aku lihat Fathimah binti Asad datang. Ia melangkah menuju Baitullah, menghempaskan diri kepadanya seraya menyeru: “Duhai Tuhanku, aku beriman kepadaMu dan kepada apa yang diturunkan dari sisiMu. Percaya pada rasul dan kitabMu. Dan aku membenarkan ucapan datukku Ibrahim kekasihMu, bahwa dialah yang membangun rumah tua yang kokoh ini. Maka demi hak dia yang mendirikannya, dan demi hak dia yang ada dalam perutku. Mudahkan bagiku kelahirannya...”
Menurut Yazid bin Qan’ab: Tiba-tiba aku mendengar gemuruh, dan Baitullah telah terbuka dari arah belakang. Fathimah binti Asad memasukinya. Ia hilang dari pandangan kami, dan Baitullah kembali pada keadaannya semula, tertutup rapi dari sedia kala. Kami bergegas menuju pintu Ka’bah, berusaha membukanya. Tapi pintu itu tak bergeming. Kunci tak bergerak sedikitpun. Yakinlah kami bahwa ini ketentuan Tuhan. Berlalu tiga hari setelah itu, dan pada hari yang keempat Fathimah keluar dengan bayi merah di tangannya.[1]
Waktu itu, 13 Rajab, 30 tahun setelah peristiwa yang menggemparkan tahun gajah. Kabar bahagia segera disampaikan pada ayahnya. Rona sukacita terpancar jelas di mukanya. “Beri dia nama, abah...” ujar sang Ibu. Abu Thalib sang ayah berkata: “Kita tidak akan melakukan apa-apa, sebelum Muhammad putra Abdullah datang melihatnya...”
Duapuluh empat tahun sudah, Muhammad anak yatim Abdullah itu tinggal bersama Abu Thalib dan Fathimah binti Asad. Bagi sang nabi terakhir ini, merekalah orangtua yang membesarkan dan melindunginya. Abu Thalib dan Fathimah binti Asad tahu bagaimana Muhammad. Yang paling terpuji, yang paling berilmu, yang paling santun dan luhur akhlaknya. Adalah kemuliaan, menghadirkan jabang bayi itu untuk dipertemukan dengannya.
Maka Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam pun datang memangkunya. Kain pembungkus itu pelan-pelan disingkapkannya. Dan bayi molek memandangnya bahagia. Seakan-akan binar matanya sudah berteriak: “Assalamu’alaika yabna ‘ammi, asyhadu an laa ilaaha ilallah wa asyhadu annaka rasulullah.”
Muhammad bin Abdillah memeluknya, mendekap erat bayi itu. Menjulurkan lidahnya yang suci, dan bayi itu dengan segera mengulumnya. Jauh sebelum seluruh kenikmatan duniawi, bayi itu telah mengecup kenikmatan surgawi. Air liur Nabi kini menjadi air liurnya. Bagian dari tubuhnya. Tak pernah terpisah, tak pernah habis. Berdetak di setiap pembuluh darahnya, mengalir di setiap urat dan nadinya. Kelak, ia berkata: “Wulidtu ‘ala al-fithrah, wa sabaqtu ila al-imani wal hijrah.” Aku dilahirkan dalam kesucian (dalam fitrah ketauhidan), dan aku mendahului siapapun dalam hijrah dan keimanan.” Kemudian Muhammad bin Abdillah shallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bergerak melangkah di sekitar rumah Tuhan... melangkahlah wahai kekasih Allah, biarlah dua langkah lagi, biar kami memandang jejakmu lebih lama.
Muhammad menamainya Ali.Ialah yang membesarkan dan mendidiknya. Dengan kasih sayang Abu Thalib dan Fathimah yang telah merawatnya, Muhammad tahu kini gilirannya untuk membalas kebaikan orangtua asuhnya. Ketika usaha Abu Thalib sedang menurun, Muhammad mengambil Ali dalam asuhannya: mendidik, membesarkan, merawat dan mengasihinya.
Belia Ali mengikuti Muhammad di setiap langkahnya. Ketika calon utusan terakhir ini menapaki terjalnya bukit hira, Ali kecil mengikutinya. Melangkahlah wahai kekasih Allah, biarlah dua langkah lagi, biar kami memandang jejakmu lebih lama. Ali bergegas mengikuti putra pamannya: pengasuh dan pembimbingnya. Hingga ketentuan ilahiah itu datang pada putra pamannya.
Kini, Muhammad bin Abdillah telah menjadi utusan Allah. Ali segera mengimaninya. Ialah muslim pertama. Mu’min setelah Khadijah. Tak sedikitpun keraguan pernah terbersit di hatinya. Lalu datang seluruh peristiwa itu: keimanan orang-orang Islam yang petama diuji. Mereka disiksa, disakiti, dianiaya. Dikucilkan, dihinakan, dihempaskan. Perlindungan Abu Thalib dan harta Sayyidah Khadijah menjadi penopang dakwah Nabi. Sehingga tiba saat ketika seluruh Bani Hasyim dibuang di lembah Yusuf, lembah Abu Thalib, tidak jauh dari rumah Tuhan itu. Lihatlah kawanan Basyim melangkah menjauhi rumah Tuhan, patuh pada kesepakatan ummah, karena mereka tidak ingin menyerahkah Muhammad Rasulullah. Pantaslah bila Tuhan agungkan mereka di atas umat yang lainnya.
Tiga tahun masanya dikucilkan di lembah. Ali yang berangkat di malam hari mencari yang berani melakukan transaksi, meski kerap orang-orang itu bersembunyi. Setelah dirobek plakat pemboikotan itu dengan titah Tuhan, melangkah mereka keluar lembah. Menurut Ali: “Ketika kami keluar dari lembah, satu-satunya yang kami miliki, adalah pakaian yang melekat di tubuh kami.”
Sungguh, kefakiran telah melekat pada dirimu sejak lama, duhai Imam kami.
Lalu datang saat di malam hijrah, ketika Sang Nabi dengan merdu bersabda kepadanya: “Hai Ali, sesungguhnya Quraisy telah bersepakat untuk makar terhadapku dan membunuhku. Dan telah datang ketentuan dari Tuhanku, agar aku hijrah dari kampung kaumku. Berbaringlah engkau di atas tikarku, selimutkan jubah Hadhrami ini menutupimu. Sehingga dengan diammu tersembunyi dari mereka jejakku. Apa pendapatmu, apa yang akan kaulakukan?”
Ali bertanya: “Apakah engkau akan selamat dengan tidurku di peraduanmu ya Rasullah?” Nabi membenarkan. Ali tersenyum. Ia tertawa bahagia. Bergegas telungkup ia sujud tepekur ke bumi. Bersyukur kepada Allah atas berita keselamatan putra pamannya. Kemudian ia berkata: “Berangkatlah sesuai perintah yang datang kepadamu. Biarlah jadi tebusan bagimu, pendengaran dan penglihatanku, dan yang paling dalam dari sanubariku.” [2]
Malam itu telah terjadi transaksi suci. Seorang hamba menyerahkan seluruh hidupnya untuk keimanan. Seseorang yang berubah, dari manusia menjadi supra manusia. Dari yang sempurna menuju tingkat paripurna. Ali malam itu bukan lagi Ali yang sama. Ia siap menjadi tumbal pengganti, asalkan keselamatan senantiasa menyertai sang Nabi. Untuk peristiwa inilah turun ayat Al-Baqarah 207: “dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya untuk mencari ridha Allah...”
Tidurkah Ali di malam itu? Bagaimana mungkin itu terjadi. Sedangkan ia sadar benar para pembunuh mengintainya. Tapi ia diam tak bergerak. Adakah kepasrahan dan kesediaan berkorban yang jauh lebih besar dari ini?
Simak bagaimana kitab tafsir menyandingkan pengorbanannya dengan dua malaikat suci. Alkisah, Allah Ta’ala memanggil malaikat Jibrail dan Mikail: “Sungguh aku telah persaudarakan kamu berdua dan aku jadikan ajal seorang di antara kamu lebih panjang dari yang lainnya. Siapakah yang ingin memberikan umurnya hingga saudaranya hidup lebih lama?” Keduanya memilih hidup lebih lama dan tak ada yang memberikan bagi saudaranya. Suara kudus kembali terdengar: “Tidakkah kalian seperti Ali putra Abi Thalib. Aku persaudarakan ia dengan Muhammad. Dan Ali tidur di pembaringan Muhammad. Ia korbankan dirinya dan memberikan hidupnya untuk saudaranya. Turunlah kalian berdua ke bumi. Jaga ia dari musuh-musuhnya.” Maka Jibrail pun turun ke bumi. Dan Ali sedang berbaring di peraduan Nabi. Di dekat kaki Ali Jibrail berkata: “Selamat, selamat bagi orang sepertimu wahai putra Abu Thalib. Allah banggakan engkau di hadapan para malaikat.” [3]
Sebagaimana Tuhan banggakan ia di hadapan para malaikat, langkah-langkah Ali bertebaran di setiap halaman sejarah Islam.
Ia dipukuli dini hari itu. Diikat di kursi. Diinterogasi. Orang-orang Quraisy yang tertipu melampiaskan amukan, kesal dan amarah mereka pada Ali. Ali menerimanya tanpa mengaduh. Setiap pukulan itu membahagiakannya, karena langkah kaki Nabi semakin jauh. Seolah ia berkata: “Pukul aku lebih lama, biar sang Nabi melangkah lebih jauh lagi...”
Kelelahan, mereka biarkan Ali. “Tinggalkan dia,” kata seorang di antara mereka. “Ali tidak akan pernah memberitahukan, di mana Muhammad berada...mari kita kejar, mungkin masih belum jauh dia dari jarak pandang kita.”
****
Tak lama setelah itu. Perbendaharaan kota Makkah yang diamanatkan Nabi telah Ali kembalikan pada pemiliknya. Bila Muhammad Rasulullah Saw adalah al-amin penduduk Makkah, kepercayaan penduduk Makkah, maka Ali adalah al-amin Rasulullah Saw. Kepada Ali-lah Nabi menitipkan seluruh amanah yang dititipkan orang kepadanya, karena kepergiannya ke Madinah dirahasiakan dari siapa pun...kecuali Ali, orang yang dipercayainya.
Kini Ali memikul tugas baru. Ia berangkat menuju Madinah, dengan keluarga Nabi yang tersisa. Sayyidah Fathimah di antaranya. Ketika rombongan itu berangkat meninggalkan Makkah, sekelompok pemuda Quraisy mengejarnya. Tapi Ali menyambut mereka dengan pedangnya. Kali ini, Ali tidak terikat. Ia bersiap melepaskan pedang dari sarungnya. Tak ada yang menghalanginya untuk mengayunkannya. Tapi Ali tak pernah melepaskan pukulan pertama, dalam seluruh sejarah peperangannya. Ia menanti biar musuh yang pertama mendekatinya. Tetapi, melihat Ali siap di depan, tak seorang pun musuh berani mendekatinya. Telah termasyhur bagi mereka, keberanian dan kepiawaian Ali di medan laga. Waktu itu, duapuluh dua tahun usianya. Ia berada di puncak kemudaannya. Orang-orang Quraisy itu lari menjauhinya...
Maka dimulailah langkah panjang Ali. Menempuh perjalanan tanpa henti. Lebih dari empatratus enampuluh kilometer berjalan kaki. Padang pasir yang gersang, terik mentari panas yang membakar, dingin sahara yang mencengkeram...
Sandal Ali telah lama habis di perjalanan itu. Kini ia berjalan dengan telapak kakinya menjejak tanah. Tapi biarlah, biarlah ia melangkah lebih lama lagi. Biar kami melihat jejak kakinya. Ketika perlahan-lahan telapaknya melepuh, biarlah ia melangkah lebih lama lagi. Ketika kulitnya mengelupas, biarkan ia melangkah lebih lama lagi. Ketika darah mengalir, biarkan ia melangkah lebih lama lagi. Ketika kaki-kaki itu membengkak...biarlah ia melangkah lebih lama lagi...
Biarkan ia datang pada Nabi dengan seluruh luka dan peluh itu...
Dan di Quba, memang Nabi menantinya dengan penuh harap. Mengapa Sang Nabi menunggu di Quba, 15 kilometer dari Yatsrib? Mengapa ia tidak bersegera memasukinya, padahal penduduk Yatsrib begitu bersemangat menyambutnya? Sehingga mereka naik ke atas pohon kurma, melihat kapan Nabi akan bergerak menuju ke rumah-rumah mereka...
Tidak. Nabi Saw tidak ingin memasuki Madinah, tanpa Ali di sampingnya. Empat hari ia menunggu Ali. Dan ketika Ali datang dengan peluh dan luka itu. Nabi mendudukan Ali. Muhammad bin Abdillah Shallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, kemudian membasuh kedua tangan sucinya dengan air liurnya, dan ia membasuh luka Ali itu, lagi dan lagi. Dahulu air liur Nabi menjadi minuman pertamanya. Kini ia menjadi penyembuh lukanya, dan kelak penerang matanya... Ali dan air liur Nabi, tak terpisahkan selamanya...
Dua langkah lagi di Quba
Dua langkah lagi di Ummu Salamah
Dua langkah lagi di medan-medan pertempuran
Tiada langkah di pusara Rasul Saw dan Sayyidah
Tiada langkah di Bashrah, Kufah, dan Nahrawan, Shiifin, Jamal
Dua langkah lagi di malam terakhir...
Catatan:
[1] Elal al-Syarayi’ Syaikh Shaduq halaman 56; Bihar al-Anwar ‘Allamah Majlisi 8:35; Kasyf al-Ghummah al-Arbili 1:82; Rawdhat al-wa’izhin al-Nisyaburi 67
[2] Musnad Ahmad 1:331, Tafsir al-Thabari 9: 140, Mustadrak al-Hakim 3:4
[3] Usud al-Ghabah 4:25, Syawahid al-Tanzil 1:98, Mustadrak al-Hakim 3:132, Tafsir al-Kabir al-Fakhr al-Razi 5: 204, Tafsir al-Thabari 9:140, Yanabi’ al-Mawaddah 92, Musnad Ahmad 1:33
Itulah lembah Makkah yang penuh berkah. Tempat bagi rumah Tuhan, Ka’bah Baitullah. Kini sepasang suami istri teramat setia itu, tertatih-tatih menyusurinya. Adalah Abu Thalib sang suami, pemegang kunci pintu rumah Tuhan, memapah sang istri, Fathimah binti Asad dengan jabang bayi yang dikandungnya, kini menempuh sembilan bulan di rahimnya.
Biarlah dua langkah lagi wahai dunia, berikan langkah pada kaki-kaki yang perkasa itu. Setelah tawaf mengelilingi rumah Tuhan, mereka berdua beristirahat.
Esok harinya, dengarkan riwayat dari Yazid bin Qan’ab: Aku tengah duduk bersama Abbas bin Abdil Muthallib dan sekelompok orang dari Bani Abdil ‘Uzza di samping Baitullah. Kemudian aku lihat Fathimah binti Asad datang. Ia melangkah menuju Baitullah, menghempaskan diri kepadanya seraya menyeru: “Duhai Tuhanku, aku beriman kepadaMu dan kepada apa yang diturunkan dari sisiMu. Percaya pada rasul dan kitabMu. Dan aku membenarkan ucapan datukku Ibrahim kekasihMu, bahwa dialah yang membangun rumah tua yang kokoh ini. Maka demi hak dia yang mendirikannya, dan demi hak dia yang ada dalam perutku. Mudahkan bagiku kelahirannya...”
Menurut Yazid bin Qan’ab: Tiba-tiba aku mendengar gemuruh, dan Baitullah telah terbuka dari arah belakang. Fathimah binti Asad memasukinya. Ia hilang dari pandangan kami, dan Baitullah kembali pada keadaannya semula, tertutup rapi dari sedia kala. Kami bergegas menuju pintu Ka’bah, berusaha membukanya. Tapi pintu itu tak bergeming. Kunci tak bergerak sedikitpun. Yakinlah kami bahwa ini ketentuan Tuhan. Berlalu tiga hari setelah itu, dan pada hari yang keempat Fathimah keluar dengan bayi merah di tangannya.[1]
Waktu itu, 13 Rajab, 30 tahun setelah peristiwa yang menggemparkan tahun gajah. Kabar bahagia segera disampaikan pada ayahnya. Rona sukacita terpancar jelas di mukanya. “Beri dia nama, abah...” ujar sang Ibu. Abu Thalib sang ayah berkata: “Kita tidak akan melakukan apa-apa, sebelum Muhammad putra Abdullah datang melihatnya...”
Duapuluh empat tahun sudah, Muhammad anak yatim Abdullah itu tinggal bersama Abu Thalib dan Fathimah binti Asad. Bagi sang nabi terakhir ini, merekalah orangtua yang membesarkan dan melindunginya. Abu Thalib dan Fathimah binti Asad tahu bagaimana Muhammad. Yang paling terpuji, yang paling berilmu, yang paling santun dan luhur akhlaknya. Adalah kemuliaan, menghadirkan jabang bayi itu untuk dipertemukan dengannya.
Maka Muhammad bin Abdillah shallallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam pun datang memangkunya. Kain pembungkus itu pelan-pelan disingkapkannya. Dan bayi molek memandangnya bahagia. Seakan-akan binar matanya sudah berteriak: “Assalamu’alaika yabna ‘ammi, asyhadu an laa ilaaha ilallah wa asyhadu annaka rasulullah.”
Muhammad bin Abdillah memeluknya, mendekap erat bayi itu. Menjulurkan lidahnya yang suci, dan bayi itu dengan segera mengulumnya. Jauh sebelum seluruh kenikmatan duniawi, bayi itu telah mengecup kenikmatan surgawi. Air liur Nabi kini menjadi air liurnya. Bagian dari tubuhnya. Tak pernah terpisah, tak pernah habis. Berdetak di setiap pembuluh darahnya, mengalir di setiap urat dan nadinya. Kelak, ia berkata: “Wulidtu ‘ala al-fithrah, wa sabaqtu ila al-imani wal hijrah.” Aku dilahirkan dalam kesucian (dalam fitrah ketauhidan), dan aku mendahului siapapun dalam hijrah dan keimanan.” Kemudian Muhammad bin Abdillah shallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam bergerak melangkah di sekitar rumah Tuhan... melangkahlah wahai kekasih Allah, biarlah dua langkah lagi, biar kami memandang jejakmu lebih lama.
Muhammad menamainya Ali.Ialah yang membesarkan dan mendidiknya. Dengan kasih sayang Abu Thalib dan Fathimah yang telah merawatnya, Muhammad tahu kini gilirannya untuk membalas kebaikan orangtua asuhnya. Ketika usaha Abu Thalib sedang menurun, Muhammad mengambil Ali dalam asuhannya: mendidik, membesarkan, merawat dan mengasihinya.
Belia Ali mengikuti Muhammad di setiap langkahnya. Ketika calon utusan terakhir ini menapaki terjalnya bukit hira, Ali kecil mengikutinya. Melangkahlah wahai kekasih Allah, biarlah dua langkah lagi, biar kami memandang jejakmu lebih lama. Ali bergegas mengikuti putra pamannya: pengasuh dan pembimbingnya. Hingga ketentuan ilahiah itu datang pada putra pamannya.
Kini, Muhammad bin Abdillah telah menjadi utusan Allah. Ali segera mengimaninya. Ialah muslim pertama. Mu’min setelah Khadijah. Tak sedikitpun keraguan pernah terbersit di hatinya. Lalu datang seluruh peristiwa itu: keimanan orang-orang Islam yang petama diuji. Mereka disiksa, disakiti, dianiaya. Dikucilkan, dihinakan, dihempaskan. Perlindungan Abu Thalib dan harta Sayyidah Khadijah menjadi penopang dakwah Nabi. Sehingga tiba saat ketika seluruh Bani Hasyim dibuang di lembah Yusuf, lembah Abu Thalib, tidak jauh dari rumah Tuhan itu. Lihatlah kawanan Basyim melangkah menjauhi rumah Tuhan, patuh pada kesepakatan ummah, karena mereka tidak ingin menyerahkah Muhammad Rasulullah. Pantaslah bila Tuhan agungkan mereka di atas umat yang lainnya.
Tiga tahun masanya dikucilkan di lembah. Ali yang berangkat di malam hari mencari yang berani melakukan transaksi, meski kerap orang-orang itu bersembunyi. Setelah dirobek plakat pemboikotan itu dengan titah Tuhan, melangkah mereka keluar lembah. Menurut Ali: “Ketika kami keluar dari lembah, satu-satunya yang kami miliki, adalah pakaian yang melekat di tubuh kami.”
Sungguh, kefakiran telah melekat pada dirimu sejak lama, duhai Imam kami.
Lalu datang saat di malam hijrah, ketika Sang Nabi dengan merdu bersabda kepadanya: “Hai Ali, sesungguhnya Quraisy telah bersepakat untuk makar terhadapku dan membunuhku. Dan telah datang ketentuan dari Tuhanku, agar aku hijrah dari kampung kaumku. Berbaringlah engkau di atas tikarku, selimutkan jubah Hadhrami ini menutupimu. Sehingga dengan diammu tersembunyi dari mereka jejakku. Apa pendapatmu, apa yang akan kaulakukan?”
Ali bertanya: “Apakah engkau akan selamat dengan tidurku di peraduanmu ya Rasullah?” Nabi membenarkan. Ali tersenyum. Ia tertawa bahagia. Bergegas telungkup ia sujud tepekur ke bumi. Bersyukur kepada Allah atas berita keselamatan putra pamannya. Kemudian ia berkata: “Berangkatlah sesuai perintah yang datang kepadamu. Biarlah jadi tebusan bagimu, pendengaran dan penglihatanku, dan yang paling dalam dari sanubariku.” [2]
Malam itu telah terjadi transaksi suci. Seorang hamba menyerahkan seluruh hidupnya untuk keimanan. Seseorang yang berubah, dari manusia menjadi supra manusia. Dari yang sempurna menuju tingkat paripurna. Ali malam itu bukan lagi Ali yang sama. Ia siap menjadi tumbal pengganti, asalkan keselamatan senantiasa menyertai sang Nabi. Untuk peristiwa inilah turun ayat Al-Baqarah 207: “dan di antara manusia ada yang mengorbankan dirinya untuk mencari ridha Allah...”
Tidurkah Ali di malam itu? Bagaimana mungkin itu terjadi. Sedangkan ia sadar benar para pembunuh mengintainya. Tapi ia diam tak bergerak. Adakah kepasrahan dan kesediaan berkorban yang jauh lebih besar dari ini?
Simak bagaimana kitab tafsir menyandingkan pengorbanannya dengan dua malaikat suci. Alkisah, Allah Ta’ala memanggil malaikat Jibrail dan Mikail: “Sungguh aku telah persaudarakan kamu berdua dan aku jadikan ajal seorang di antara kamu lebih panjang dari yang lainnya. Siapakah yang ingin memberikan umurnya hingga saudaranya hidup lebih lama?” Keduanya memilih hidup lebih lama dan tak ada yang memberikan bagi saudaranya. Suara kudus kembali terdengar: “Tidakkah kalian seperti Ali putra Abi Thalib. Aku persaudarakan ia dengan Muhammad. Dan Ali tidur di pembaringan Muhammad. Ia korbankan dirinya dan memberikan hidupnya untuk saudaranya. Turunlah kalian berdua ke bumi. Jaga ia dari musuh-musuhnya.” Maka Jibrail pun turun ke bumi. Dan Ali sedang berbaring di peraduan Nabi. Di dekat kaki Ali Jibrail berkata: “Selamat, selamat bagi orang sepertimu wahai putra Abu Thalib. Allah banggakan engkau di hadapan para malaikat.” [3]
Sebagaimana Tuhan banggakan ia di hadapan para malaikat, langkah-langkah Ali bertebaran di setiap halaman sejarah Islam.
Ia dipukuli dini hari itu. Diikat di kursi. Diinterogasi. Orang-orang Quraisy yang tertipu melampiaskan amukan, kesal dan amarah mereka pada Ali. Ali menerimanya tanpa mengaduh. Setiap pukulan itu membahagiakannya, karena langkah kaki Nabi semakin jauh. Seolah ia berkata: “Pukul aku lebih lama, biar sang Nabi melangkah lebih jauh lagi...”
Kelelahan, mereka biarkan Ali. “Tinggalkan dia,” kata seorang di antara mereka. “Ali tidak akan pernah memberitahukan, di mana Muhammad berada...mari kita kejar, mungkin masih belum jauh dia dari jarak pandang kita.”
****
Tak lama setelah itu. Perbendaharaan kota Makkah yang diamanatkan Nabi telah Ali kembalikan pada pemiliknya. Bila Muhammad Rasulullah Saw adalah al-amin penduduk Makkah, kepercayaan penduduk Makkah, maka Ali adalah al-amin Rasulullah Saw. Kepada Ali-lah Nabi menitipkan seluruh amanah yang dititipkan orang kepadanya, karena kepergiannya ke Madinah dirahasiakan dari siapa pun...kecuali Ali, orang yang dipercayainya.
Kini Ali memikul tugas baru. Ia berangkat menuju Madinah, dengan keluarga Nabi yang tersisa. Sayyidah Fathimah di antaranya. Ketika rombongan itu berangkat meninggalkan Makkah, sekelompok pemuda Quraisy mengejarnya. Tapi Ali menyambut mereka dengan pedangnya. Kali ini, Ali tidak terikat. Ia bersiap melepaskan pedang dari sarungnya. Tak ada yang menghalanginya untuk mengayunkannya. Tapi Ali tak pernah melepaskan pukulan pertama, dalam seluruh sejarah peperangannya. Ia menanti biar musuh yang pertama mendekatinya. Tetapi, melihat Ali siap di depan, tak seorang pun musuh berani mendekatinya. Telah termasyhur bagi mereka, keberanian dan kepiawaian Ali di medan laga. Waktu itu, duapuluh dua tahun usianya. Ia berada di puncak kemudaannya. Orang-orang Quraisy itu lari menjauhinya...
Maka dimulailah langkah panjang Ali. Menempuh perjalanan tanpa henti. Lebih dari empatratus enampuluh kilometer berjalan kaki. Padang pasir yang gersang, terik mentari panas yang membakar, dingin sahara yang mencengkeram...
Sandal Ali telah lama habis di perjalanan itu. Kini ia berjalan dengan telapak kakinya menjejak tanah. Tapi biarlah, biarlah ia melangkah lebih lama lagi. Biar kami melihat jejak kakinya. Ketika perlahan-lahan telapaknya melepuh, biarlah ia melangkah lebih lama lagi. Ketika kulitnya mengelupas, biarkan ia melangkah lebih lama lagi. Ketika darah mengalir, biarkan ia melangkah lebih lama lagi. Ketika kaki-kaki itu membengkak...biarlah ia melangkah lebih lama lagi...
Biarkan ia datang pada Nabi dengan seluruh luka dan peluh itu...
Dan di Quba, memang Nabi menantinya dengan penuh harap. Mengapa Sang Nabi menunggu di Quba, 15 kilometer dari Yatsrib? Mengapa ia tidak bersegera memasukinya, padahal penduduk Yatsrib begitu bersemangat menyambutnya? Sehingga mereka naik ke atas pohon kurma, melihat kapan Nabi akan bergerak menuju ke rumah-rumah mereka...
Tidak. Nabi Saw tidak ingin memasuki Madinah, tanpa Ali di sampingnya. Empat hari ia menunggu Ali. Dan ketika Ali datang dengan peluh dan luka itu. Nabi mendudukan Ali. Muhammad bin Abdillah Shallahu ‘alaihi wa alihi wa sallam, kemudian membasuh kedua tangan sucinya dengan air liurnya, dan ia membasuh luka Ali itu, lagi dan lagi. Dahulu air liur Nabi menjadi minuman pertamanya. Kini ia menjadi penyembuh lukanya, dan kelak penerang matanya... Ali dan air liur Nabi, tak terpisahkan selamanya...
Dua langkah lagi di Quba
Dua langkah lagi di Ummu Salamah
Dua langkah lagi di medan-medan pertempuran
Tiada langkah di pusara Rasul Saw dan Sayyidah
Tiada langkah di Bashrah, Kufah, dan Nahrawan, Shiifin, Jamal
Dua langkah lagi di malam terakhir...
Catatan:
[1] Elal al-Syarayi’ Syaikh Shaduq halaman 56; Bihar al-Anwar ‘Allamah Majlisi 8:35; Kasyf al-Ghummah al-Arbili 1:82; Rawdhat al-wa’izhin al-Nisyaburi 67
[2] Musnad Ahmad 1:331, Tafsir al-Thabari 9: 140, Mustadrak al-Hakim 3:4
[3] Usud al-Ghabah 4:25, Syawahid al-Tanzil 1:98, Mustadrak al-Hakim 3:132, Tafsir al-Kabir al-Fakhr al-Razi 5: 204, Tafsir al-Thabari 9:140, Yanabi’ al-Mawaddah 92, Musnad Ahmad 1:33