Anggota Dewan Syura IJABI
"...Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa…" (QS. Al-Baqarah [2]:185). Kalimat yang saya cetak tebal bisa juga diterjemahkan, "barangsiapa di antaramu yang menyaksikan bulan, maka hendaklah ia berpuasa". Tetapi bulan yang dimaksud bukanlah bulan benda langit, melainkan bulan sebagai waktu. Bagaimana ‘menyaksikan’ bulan? Kita akan kembali pada dua pendapat itu: hisab dan rukyat.
Menarik memang. Penanggalan ibadah kaum Muslimin ditandai dengan perubahan bulan. Terkadang sebulan 29 hari, bisa juga digenapkan 30 hari. Uniknya, hanya sidang itsbat bulan Ramadhan yang ditunggu. Pada penanggalan lainnya, libur-libur merah seperti Isra Mi’raj, Mawlid Nabi Saw, tahun baru Islam… tidak ada kekuatiran seputar perbedaan itu. Apalagi bila jatuh pada libur panjang dan cuti bersama, hampir dipastikan semua ikut keputusan Pemerintah tentang itu.
Tentu ada rahasia mengapa Islam menggunakan penanggalan berdasarkan bulan ini. Ayat al-Qur’an yang mengisahkan tentang bulan ini termaktub dalam ayat-ayat puasa: "Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan Al-Qur’an, sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda. Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa… " (QS. Al-Baqarah [2]:185). Kalimat yang saya cetak tebal bisa juga diterjemahkan, "barangsiapa di antaramu yang menyaksikan bulan, maka hendaklah ia berpuasa". Tetapi bulan yang dimaksud bukanlah bulan benda langit, melainkan bulan sebagai waktu. Bagaimana ‘menyaksikan’ bulan? Kita akan kembali pada dua pendapat itu: hisab dan rukyat.
Yang menarik lagi, ada penulis Mesir yang meneliti jumlah kata dalam Al-Qur’an. Di antara temuannya, kata ‘hidup’ yang sama jumlahnya dengan kata ‘mati’. Kata ‘dunia’ dengan ‘akhirat’. Begitu pula kata ‘setan’ dengan ‘malaikat’. Kata ‘bulan’ dalam bentuk tunggal disebut 12 kali dalam Al-Qur’an, sebanyak jumlah bilangan bulan dalam setahun. Kata ’al-sa’at’ yang berarti waktu atau jam disebut sebanyak 24 kali. Nah, berapa kalikah Al-Qur’an menyebut kata ‘hari’? Jawabannya: 365! Lho, itu kan jumlah sehari dalam setahun. Benar, tapi perhatikan, jumlah itu berdasarkan perhitungan peredaran matahari, bukan bulan. Menarik bukan?
Apa pun, serba-serbi bulan suci di kita punya negeri. Alhamdulillah, dengan penghormatan pada perbedaan, tahun ini kita mengawali bulan suci hampir serentak pada hari yang sama. Negeri ini sudah terbiasa saling menghomati, diajarkan untuk menghargai. Karena ketidakbi(a)saan memahami pendapat yang berbeda, akan berujung pada intoleransi. Tidak jarang, berakhir pada laku keji. Akibatnya, hilang empati.
Tahun ini, hampir semua serentak berpuasa pada hari yang sama. Ini kabar gembira. Bukan hanya untuk kita. Tapi juga untuk para malaikat. Kebayang kan, bila awal puasa berbeda, maka para malaikat yang kelak bertugas untuk ‘turun’ di malam-malam ganjil sepuluh hari yang terakhir akan kebingungan. Mereka harus turun mengikuti perhitungan siapa? Mungkin perhitungan semuanya. Sehingga ‘Arasy Allah Ta’ala sepi pada hari-hari itu, karena malaikat ‘lembur’ mengisi setiap kemungkinan malam qadar yang tersedia. Apalagi, fajar dunia berputar dari ujung timur ke ujung barat. Begitu selesai fajar di tepi barat, mulai lagi malam di ujung berikutnya. Begitukah?
Ah, Mahasuci Allah Ta’ala dari apa pun yang disifatkan.
Serba-serbi bulan suci di kita punya negeri. Kali lain mencari hilal, mari ingat para malaikat yang juga menunggu keputusan.
Semoga kedamaian senantiasa menyertai.