Dewan Syura PP IJABI
Menarik untuk melihat menggali semangat Konferensi Asia Afrika yang baru saja selesai dihelat dengan biaya besar di Bandung dan Jakarta. Esensi dari pertemuan akbar ini adalah perlawanan terhadap kemapanan global. Dulu, mungkin ‘menampar’ wajah dua blok besar dunia. Lalu sekarang? (majulah-IJABI)
By: Miftah Fauzi Rakhmat
Bismillahirrahmanirrahim
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Sebagai warga Bandung, saya senang masyarakat Bandung bergeliat menyambut dan menyukseskan Konferensi Asia Afrika. Semangat kolektif itu sudah lama tak terlihat. Pak Wali dan serangkaian agenda kebudayaan sukses melibatkan partisipasi warga. Macet, tak apa kami maklum. Panas dan berdebu karena pembangunan, tak soal. Ini demi nama baik kota dan bangsa tercinta.
Dana sudah pasti sangat besar dikeluarkan untuk hajatan ini. Renovasi dan mempercantik kota. Perhelatan akbar ragam budaya. Pun, hal lain yang menyertainya. Bandung command center menurut Net TV menghabiskan 27 miliar. Jumlah yang sedikit untuk sebuah cita-cita besar. Perbaikan sekitar Gedung Merdeka—konon—menurut isu memakan dana 400 miliar. Saya tidak tahu persis. Yang jelas, selama dana itu dirasakan dan terlihat oleh rakyat, saya kira tak ada yang keberatan.
Saya justru tertarik untuk melihat seluruh ‘pengeluaran’ itu dalam konteks semangat Konferensi Asia Afrika. Esensi dari pertemuan akbar ini adalah perlawanan terhadap kemapanan global. Dulu, mungkin ‘menampar’ wajah dua blok besar dunia. Kerjasama Selatan-Selatan tentu pada saat yang sama menyisihkan Utara-Utara. Pesan yang disampaikan Presiden Jokowi pun jelas: kritik terhadap keanggotaan di Perserikatan Bangsa-bangsa dan lembaga-lembaga keuangan dunia. Para pemimpin negara-negara Selatan meneriakkan semangat perlawanan. Bagaimana negara-negara utara itu memandang Bandung dan semangat yang diteriakkannya?
Ambil contoh Palestina. Ia menjadi isu sentral perjuangan kemerdekaan. Tapi apa kelak tindak lanjutnya? Dr. Murtadha Mahtsuri, ulama besar Yaman yang syahid dalam sebuah bom bunuh diri ketika melaksanakan Shalat Jumat pernah melemparkan kritik keras pada bangsa-bangsa Arab. Bahwa mereka tidak bersatu dalam isu Palestina. Bahkan orang Palestinanya sendiri. Bagaimana negara-negara Asia Afrika dapat mendesak kemerdekaan Palestina. Misalnya, tidak terdengar dalam Konferensi apakah kemerdekaan Palestina itu adalah solusi dua negara (two nations state) yaitu Israel dan Palestina hidup berdampingan, bertetangga; ataukah Palestina merdeka artinya Israel angkat kaki dari peta Timur Tengah?
Atau tentang konflik antarnegara. Bukan rahasia lagi kalau kekuatan asing ikut bermain di kisruh pertikaian Suriah, Iraq, atau Bahrain. Juga koalisi negara-negara teluk yang membombardir negara Yaman berdaulat. Tidak juga terdengar suara dari Indonesia yang kedutaan besarnya bahkan menjadi korban ledakan. Lalu, di mana relevansi teriakan anti penjajahan itu?
Saya kadang terlalu jauh berharap. Tadinya, saya bayangkan ada penghargaan bagi tokoh-tokoh atau negara yang selama ini berdedikasi memperjuangkan kemerdekaan Palestina itu. Dr. Mahtsuri misalnya menyebut Rachel Corrie, relawan Amerika itu sebagai syahidah karena ia berdiri menghalangi buldozer Israel meratakan pemukiman Palestina. Ia gugur dilindas mesin bertenaga besar dan berbobot berat itu. Atau penghargaan pada Iran yang setiap tahun menggelar Konferensi untuk pembebasan Palestina. Hari Jumat terakhir bulan suci Ramadhan ditetapkan oleh Imam Khumaini, pendiri Republik Islam Iran itu sebagai hari Internasional Al-Quds. Di mana-mana diselenggarakan demo memperingati hari itu dan semangat Palestina kembali diteriakkan.
Sayang, saya tidak mendengar berita tentang itu pada perhelatan akbar ini. Atau misalnya penghargaan pada tokoh-tokoh pembebasan yang memerdekakan bangsa mereka, bukan saja dari penjajahan bangsa lain, tapi juga dari penjajahan bangsa sendiri. Misalnya, Imam Khumaini. Ia menjadi ikon dan suara umat tertindas dunia. Ia bebaskan negaranya dari cengkeraman kapitalisme global. Bukankah itu kritik Pak Presiden dan negara-negara KAA. Iran dapat menjadi contoh keberlepasan dari kebergantungan pada ekonomi dunia. Pasca revolusi, ia diboikot dan dikenakan sanksi. Apa akibatnya? Negara berusaha mandiri. Produk dalam negeri digenjot tiada henti. Rakyat bangga buatan sendiri. Dan kini, mereka menjadi satu di antara negara kuat dunia. Mungkin, satu-satunya perwakilan negara ‘kecil’ yang duduk setara dengan bangsa-bangsa ‘Utara’ itu. Kemenangan terakhir mereka dalam diskusi nuklir 5+1 mengukuhkan pencapaian mereka.
Tapi tidak…tidak ada penghargaan itu. Mungkin dalam wajah-wajah tokoh yang menghias sekitar Gedung Merdeka? Saya tidak tahu. Yang saya lihat dari media, ada wajah Pak Harto, Raja Fahd, Jawaharlal Nehru dan tokoh-tokoh lainnya. Adakah gambar Imam Khumaini? Sebagian elemen masyarakat Bandung bahkan menganggap Imam Khumaini sebagai tokoh kesesatan. Ungkapan yang sangat bertentangan dengan semangat Asia Afrika, dengan cita-cita Bandung untuk menjadi kota penjunjung tinggi HAM dan welas asih. Bila setelah KAA, masih ada teriak sesat dan anti kemajemukan, mereka belum bergerak dari KAA 60 tahun lalu itu. Dua tahun terakhir, tekanan terhadap kelompok minoritas cukup kencang di Bandung. Dua minggu terakhir sepi, bahkan padam sama sekali. Mengapa? Karena ia tak sesuai dengan semangat konferensi ini. Seorang di antara pemimpin Jawa Barat yang pernah mengenakan kaos anti kelompok minoritas saya yakin tidak berani bersuara lagi tentang itu. Setidaknya, tidak pada momen KAA seperti ini.
Sehari sebelum puncak KAA, saya membaca ulasan Meidyatama Suryodiningrat di The Jakarta Post. Para tokoh dan bintang KAA 1955 justru banyak yang ’menghilang’ tidak lama setelah acara besar itu. Pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo, Ketua Pelaksana KAA, justru bubar empat bulan setelah KAA. Sir John Kotelawala dari Srilanka kalah dalam pemilu dan tak lagi kembali ke percaturan politik setelahnya. Kwame Nkrumah dari Ghana, mendeklarasikan diri sebagai Presiden seumur hidup pada 1964 dan diturunkan oleh kudeta dua tahun setelahnya. Bung Karno, ditetapkan sebagai tahanan rumah pada 1967. Semangat Bandung sepertinya mengendap beberapa lama.
Menarik juga untuk melihat bahwa pada KAA yang pertama, hanya enam negara yang berasal dari Afrika. Dua di antaranya mengidentikkan diri dengan dunia Arab: Mesir dan Libya. Empat lainnya: Ethiopia, Liberia, Ghana, dan Sudan. Dua di antara mereka bahkan belum merdeka. Kini, lebih banyak bangsa yang hadir. Yang dulu datang dengan kain putih sudah punya bendera. Robert Mugabe hadir sebagai presiden negara tertua dan masa kepemimpinan terlama: tujuh periode.
Karena itu, Dasasila Bandung masih sangat relevan. Relevan ketika konteks polarisasi dunia muncul tidak dalam bentuk wajah, tapi kepentingan. Bukan lagi melawan negara yang dianggap adidaya, tapi melawan ketidakadilan. Mampukah semangat itu diteriakkan lebih luas? Sanggupkah ia membantu menyelesaikan kepentingan internasional yang bermain di Suriah, di Palestina, di Yaman, di Bahrain, di Sudan, di Tunisia, di negara-negara yang penuh konflik di Asia dan Afrika.
Mata internasional, para pemangku kepentingan itu, sedang terpaku pada Bandung. Mereka tidak diundang sebagai peserta. Dari kedutaan-kedutaan mereka di negeri ini, kabar konferensi disampaikan ke dunia. Akankah ia lebih dari sekadar semangat? Akankah Bung Karno, Nehru, Nasser, Enlai, U Nu dan Bogra hadir kembali? Akankah Palestina dikenang tidak hanya sepuluh tahun sekali?
Para pemimpin dunia, teriakan dari Gedung Merdeka adalah teriakan kelompok-kelompok terpinggirkan sepanjang sejarah. Di gedung yang sama, saya pernah jadi moderator, menerjemahkan utusan berbagai negara yang berkumpul untuk meneriakkan suara kelompok kecil itu. Semangat yang sama yang akan tetap abadi selamanya, melampaui semua kemeriahan, pesta budaya dan kesemarakkan. Semangat yang harus tetap menyala, kapan pun, di mana pun.
Wahai pemimpin dunia yang kini hadir di Gedung Merdeka, kami menunggu, kapan Historical Walk itu menghadirkan Palestina merdeka di antara kita...?!?