Angin revolusi yang berembus di Timur Tengah menghasilkan sesuatu yang kontradiktif dengan tuntutan revolusi: demokrasi, keadilan sosial, dan keadaban. Di Suriah dan Irak, angin revolusi menjelma menjadi sebuah gerakan yang menginisiasi terbentuknya “negara Islam”, yang dikenal dengan Islamic State in Iraq and The Syria (ISIS). Negara Islam ini direncanakan dapat diwujudkan di Irak dan Suriah. (majulah-IJABI)
Saat ini ISIS menjadi bahan perbincangan di dunia internasional karena menjadi antitesis revolusi. Bahkan ISIS dianggap lebih berbahaya ketimbang Al-Qaidah karena mempunyai ribuan personel pasukan perang, yang siap mendeklarasikan perang terhadap mereka yang dianggap bertentangan atau menentang berdirinya negara Islam.
ISIS didirikan pada April 2013 oleh Abu Bakar al-Baghdadi asal Samarra, Irak utara. Mereka terlibat dalam gerakan perlawanan terhadap Amerika Serikat sejak melakukan invasi pada 2003. Pada 2010, Al-Baghdadi dikabarkan menjadi pemimpin Al-Qaidah di Irak.
Kalangan muda di Irak dan Suriah kepincut terhadap ISIS karena memandang ISIS sebagai gerakan yang berorientasi pada perang dan perlawanan dengan menjadikan heroisme keagamaan sebagai pemantiknya.
Gerakan revolusi yang mulanya mempunyai misi mulia, yakni menggulingkan rezim otoriter, belakangan berubah menjadi tragedi. ISIS menjadi sebuah kekuatan baru yang siap melancarkan perlawanan sengit terhadap rezim yang berkuasa yang dianggap tidak mampu mengemban misi terbentuknya negara Islam. Ironisnya, mereka mengabsahkan kekerasan untuk menindas kaum minoritas dan menyerang rezim yang tidak sejalan dengan paradigma negara Islam.
Hingga saat ini, ISIS mempunyai pasukan dari Inggris, Prancis, Jerman, dan beberapa negara Eropa, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara Arab lainnya. Bahkan kelompok ini telah mendeklarasikan khilafah islamiyyah, dengan menjadikan Irak dan Suriah sebagai basis kekuatan utama. Di Suriah, mereka berhasil menduduki Kota Raqqa. Sedangkan di Irak kelompok ini menggunakan momentum pertarungan kaum Sunni dengan Syiah di Fallujah, bagian barat Provinsi Al-Anbar. Bahkan mereka dikabarkan telah menguasai Kota Ramadi, perbatasan yang dekat dengan Turki dan Suriah.
Kini ISIS menjadi bahan pembicaraan di seantero dunia Arab, bahkan dunia Islam. Mereka menjadi kekuatan politik baru yang siap melancarkan serangan yang jauh lebih brutal daripada Al-Qaidah. Sementara Al-Qaidah dikenal sebagai kelompok bawah tanah, yang pergerakannya cenderung tidak diketahui publik, ISIS menjadi kekuatan politik riil dengan ideologi yang jelas dan wilayah yang diduduki dengan cara-cara kekerasan.
Dunia memberikan perhatian khusus terhadap ISIS, khususnya Amerika Serikat. Secara pelan tapi pasti, mereka berhasil menguasai kota-kota penting di Irak dan Suriah. ISIS menjadi pusat episentrum dari gerakan-gerakan militan. Di samping itu, kelompok ini mempunyai sokongan dana yang lumayan besar dari para taipan minyak negara-negara Teluk, khususnya Arab Saudi dan Kuwait.
Pada mulanya, ISIS menjadikan perlawanan terhadap Bashar al-Assad di Suriah sebagai tujuan utama. Namun, belakangan, mereka mempunyai agenda yang jauh lebih besar daripada sekadar menggulingkan rezim otoriter Suriah, yang telah berkuasa lebih dari delapan dekade. Mereka ingin membangun mimpi lama: glorifikasi khilafah islamiyyah.
Dalam perjalanannya, ISIS berhasil menguasai ladang minyak di wilayah timur Suriah. Bahkan kelompok ini menjual minyak ke pemerintah Suriah. Saat ini mereka dipercaya mempunyai sumber dana yang berlimpah, sehingga mampu menguasai Kota Mosul, bagian utara Irak.
Meskipun demikian, posisi ISIS tidak mudah. Mereka menghadapi dua tantangan serius. Pertama, tantangan dari dalam kelompok ekstremis dan radikal. Relasi antara ISIS dan Front Al-Nusra serta Al-Qaidah dikabarkan tidak baik. Kelompok ini, yang mulanya hanya menguasai wilayah Irak, belakangan merambah wilayah Suriah. Karena itu, mereka mendapatkan perlawanan yang kuat dari Front Al-Nusra, yang tidak mau basisnya dikuasai pihak lain. Al-Qaidah pun tidak rela ISIS melebarkan sayap kekuatannya di Suriah.
Kedua, Amerika Serikat dan negara-negara Eropa mulai khawatir terhadap kehadiran ISIS karena tidak tertutup kemungkinan akan memukul balik negara- negara Barat. Harus diakui, ISIS secara ideologis tidak berbeda dengan Al-Qaidah di Afganistan. Kelompok ini mulanya adalah kekuatan garda depan yang dilatih Amerika Serikat untuk melawan Uni Soviet, tetapi belakangan justru menjadi batu sandungan serius bagi Amerika.
Karena itu, fenomena ISIS menyimpan dilema yang cukup serius. Jika tidak diantisipasi dengan serius, ISIS akan menjadi “negara” dalam negara, yang akan menggunakan instabilitas sebagai pintu masuk untuk semakin memperkuat pengaruhnya di Timur Tengah. ISIS akan menjelma menjadi kekuatan politik tidak terbendung.
Kegagalan negara-negara Barat memastikan stabilitas politik di Irak dan Suriah akan menjadi amunisi yang empuk bagi ISIS untuk mengambil alih kekuasaan dari rezim yang semakin rapuh. Apalagi negara-negara Barat ditengarai terlibat dalam pengiriman senjata terhadap ISIS.
Amerika Serikat pun sekarang berada dalam dilema yang cukup serius. Di satu sisi Amerika Serikat ingin rezim Bashar al-Assad ditumbangkan. Tapi, di sisi lain, menyokong ISIS akan melahirkan dilema lain, yaitu menguatnya ekstremisme di Timur Tengah. Otoritarianisme politik dan otoritarianisme agama merupakan musuh bagi demokrasi dan tegaknya hak asasi manusia.
Pada akhirnya, Liga Arab harus mengambil sikap yang tegas terhadap ISIS. Mesir, sebagai negara yang relatif stabil secara politik, setelah terpilihnya Al-Sisi, harus mengambil langkah-langkah untuk menetralkan jejaring ISIS. Anggota ISIS harus disentuh dengan deradikalisasi, sebagaimana berhasil dilakukan oleh Al-Azhar sebagai corong moderasi Islam di dunia Arab. Mereka tidak bisa diperangi dengan senjata, melainkan dengan ideologi, yang dapat memperkuat solidaritas kebangsaan dan kemanusiaan. Mewujudkan hal tersebut tidaklah mudah, tapi dunia Arab mempunyai pengalaman bagus dalam melakukan deradikalisasi.
Catatan:
- Zuhairi Misrawi adalah alumni Departemen Akidah-Filsafat, Fakultas Ushuluddin, Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir (1995-2000). Telah menulis belasan buku tentang Islam di antaranya "Dari Syariat menuju Maqashid Syariat" (2003), Doktrin Islam Progresif (2004), Islam Melawan Terorisme (2004), Menggugat Tradisi: Pergulatan Pemikiran Anak Muda NU (2004), Paradigma Muslim Moderat; Nabi Muhammad SAW: Teladan bagi Humanisme-Religius dan Jejak-jejak Pemikiran Ibnu Rushd (2007), Al-Azhar, Menara Ilmu, Reformasi, dan Kiblat Keulamaan (2009), Mekkah, Kota Suci, Kekuasaan, dan Teladan Ibrahim (2010), Alquran Kitab Toleransi - Tafsir Tematik Islam Rahmatan Lil 'Alamin (2010), Pelangi Melbourne: Dua Dunia Satu Cinta, (2011),
- Sumber tulisan adalah dari majalah Detik edisi 137, 14-20 Juli 2014, hal. 71 - 75. Didownload tanggal 13 Juli 2014. Dimuat dengan izin dari penulis.
- Sumber gambar ilustrasi dari situs Pan Arabia Enquirer, diakses tanggal 13 Juli 2014 jam 23.00