Anggota Dewan Syura IJABI
Baiti jannati. Surga itu rumah sendiri. Maka bidadari yang seharusnya dirindukan adalah istri sendiri. Pasangan surgawi selayaknya adalah suami sendiri. Dan wildanun mukhalladun adalah anak-anak kita sendiri. Meski kelak, mereka mungkin bukan anak-anak lagi, melainkan hamba-hamba Allah Ta’ala yang sama dengan kita. Orangtua kita adalah hamba Allah Ta'ala yang sama dengan kita. Lalu, kenikmatan surgawi seperti apakah yang mungkin dinikmati bersama sebagai keluarga?
Allahumma shalli ‘ala Muhammad wa Ali Muhammad
Masih tentang bidadari. Siapakah yang akan menemani, sekiranya ke surga nanti?
Pernah seorang kawan bertanya tentang surga. Kepadanya saya cerita tentang asal kata surga. Dalam bahasa Arab, surga itu jannah. Ia satu akar kata dengan jin, junnah, janna, majnun dan sebagainya. Jin adalah makhluk tak terlihat. Junnah artinya perisai. Janna itu menyelimuti. Dan majnun dikatakan bagi orang yang akal (sehat)nya tertutupi. Maka, surga adalah sesuatu yang tak terlihat, terlindungi, terselimuti dan tertutupi. Bagaimana mungkin kita akan memahaminya. Dengan kata lain, apa pun yang kita bayangkan tentang surga…ia jauh lebih indah dari itu. Jauh, dan jauh lebih indah!
Lalu, kawan saya masuk dalam diskusi tentang surga itu sendiri. Apakah surga itu makhluk tuhan atau bukan? Bila ia makhluk (karena diciptakan Allah Ta’ala), maka bila kita ibadah berharap surga, kita masih ibadah mengharapkan makhluk. Dan dari semua makhluk Allah Ta’ala…siapakah yang paling wajib dirindukan dan diharapkan?
Ya, surga memang perkara hari akhir nanti. Tapi ia masuk dalam setiap perbincangan keagamaan. Ia akan menggerakan setiap orang yang beragama dalam beramal. Bahkan, banyak tindakan didasarkan oleh harapan akan surga. Contohnya, beroleh 72 bidadari yang masyhur itu. Kita lupa, sebelum sampai di surga ada alam yang disebut dengan barzakh. Ada alam perhitungan. Ada saat mempertanggungjawabkan perbuatan. Kita kira, barzakh akan kita lalui secepat kilat…lalu bersiap beroleh nikmat. Bayangkan kita dan Amirul Mu’minin Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah. Beliau merintih di hadapan pusara Baginda Nabi Saw dan berkata, “Aduhai…betapa sedikitnya perbekalan. Alangkah panjangnya perjalanan…” Perjalanan mana yang dimaksudkan Imam? Perjalanan kembali menuju Tuhan. Ah, bila kekasih Rasulullah Saw menangis perih seperti itu, apatah lagi nasib orang sepertiku. Bahkan membincangkan surga tak pantas untukku.
Tetapi, selalu ada cercah cahaya pembangkit semangat itu. Makin lama makin kuat, makin membersitkan semburat harap. Dan ia ternyata dekat. Bukan di sudut terpencil nan jauh, bukan di gegap gempita saling menyahut. Tidak, ia teramat dekat. Dekat sejak dahulu, dekat juga kini. Dan bukankah pertolongan Tuhan memang teramat dekat? Memang selalu dekat.
Apa jalan Tuhan itu? Mereka yang dihadirkan Tuhan dalam hidup kita. Orangtua, keluarga, istri, anak-anak dan kerabat. Merekalah sesungguhnya sarana kita menjemput akhirat. Bukankah surga di bawah telapak kaki ibu? Bukankah ridho orangtua adalah ridho Sang Mahakuasa? Bukankah ayah satu di antara pintu surga? Bukankah syukur pada Tuhan disandingkan dengan berterima kasih pada orangtua. Bukankah berkhidmat di tengah keluarga diganjar pahala teramat besarnya.
Kita mengira, selama ini kewajiban merekalah berkhidmat pada kita. Kewajiban orangtua membesarkan menyayangi kita. Kewajiban suami, istri dan anak-anak untuk berkhidmat pada kita. Kita keliru. Jalan menuju surga terbentang melalui mereka. Para teladan suci telah menggariskan, “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik pada keluarga. Dan aku paling baik pada keluargaku.” “Seburuk-buruknya bekal untuk kembali, adalah berbuat zalim pada sesama hamba.” Lebih buruk lagi bila yang dizalimi itu adalah keluarga sendiri.
Ya, karena ia dekat, justru ia teramat berat. Karena ia dekat, terkadang ia terlewat. Tidak kita perhatikan. Sering kita lupakan.
Itulah mengapa Baginda Nabi Saw mengajarkan pada kita ungkapan, “Baiti Jannati.” Rumahku surgaku. Surga diperoleh di rumah, diawali di rumah, dipertahankan di rumah. Bukan nanti, tetapi sekarang ini juga. Rumah adalah cerminan masa depan di hari akhir nanti. Bila kita rasakan kebahagiaan, karunia Allah Ta’ala menanti di hadapan. Bila yang kita semai penderitaan, bila yang kita tabur umpatan dan makian, bila yang kita pupuk kecurigaan dan persaingan…sudah jelas terbayang apa yang kelak dinantikan.
Baiti Jannati bukan nanti. Ia sekarang ini.
Itulah mengapa rumah yang baik adalah rumah yang mengantarkan ke surga. Seorang sahabat punya rumah besar, ia dikunjungi seorang teladan suci. Padanya sang teladan berkata, “Maukah kau rumahmu ini juga jadi rumahmu di surga?” Lalu sang teladan mewasiatkan agar rumah itu jadi tempat orang miskin, tempat berbagi, tempat mengaji, tempat penuh berkah untuk sesama. Itulah mengapa juga keluarga dijanjikan Allah Ta’ala dipertemukan di surga, “Surga ‘Adn, mereka masuk ke dalamnya bersama dengan orang yang shalih dari nenek moyangnya, pasangan-pasangannya (azwaaj), dan anak cucunya. Sedang para malaikat masuk ke tempat-tempat mereka dari semua pintu.” (QS. Ar-Ra’du [13]:23).
Allah Ta’ala menjanjikan sebuah reuni agung di kampung keabadian. Orang saleh diantarkan masuk surga bersama nenek moyang, pasangan dan anak cucu. Bahagianya mereka berkumpul dalam kesalehan dan peribadatan Tuhan. Bila di tengah keluarga kini kita tidak menemukan kebahagiaan, bagaimana mungkin bahagia nanti bila kembali dipertemukan? Bila sekarang tak saling merindukan, bagaimana mungkin kelak sukacita dipersatukan? Bahagia di sana diawali dari sini. Bahagia kelak disemai sejak kini.
Bahagia dan surga itu dekat, ia di rumah sendiri. Kita serahkan pada Allah Ta’ala tentang janji 72 bidadari. Bila karena janji itu kita lupa rumah sendiri, tak peduli pada keluarga sendiri, alih-alih sampai di surga…pertanggungjawaban berat justru menanti kita.
Baiti jannati. Surga itu rumah sendiri. Maka bidadari yang seharusnya dirindukan adalah istri sendiri. Pasangan surgawi selayaknya adalah suami sendiri. Dan wildanun mukhalladun adalah anak-anak kita sendiri. Meski kelak, mereka mungkin bukan anak-anak lagi, melainkan hamba-hamba Allah Ta’ala yang sama dengan kita. Orangtua kita adalah hamba Allah Ta'ala yang sama dengan kita. Lalu, kenikmatan surgawi seperti apakah yang mungkin dinikmati bersama sebagai keluarga?
Salam bulan suci. Mari doakan kebaikan keluarga, umat dan negeri!
@miftahrakhmat
"Keluarga bukanlah pengalih perhatian dari pekerjaan yang lebih besar. Merekalah pekerjaan yang paling besar." -refrase dari John Trainer