Alkisah, seorang anak ditanya oleh ayahnya. Sang ayah adalah seorang alim besar pada zamannya.
“Ingin jadi apakah kau ketika besar nanti?”
“Aku ingin menjadi sepertimu” jawab si anak.
“Salah besar anakku, bercita-citalah untuk meniru Imam Ja’far Shadiq. Dengan begitu, walaupun 1 % cita-citamu itu tercapai, engkau sudah jauh lebih baik dariku”.
“Ingin jadi apakah kau ketika besar nanti?”
“Aku ingin menjadi sepertimu” jawab si anak.
“Salah besar anakku, bercita-citalah untuk meniru Imam Ja’far Shadiq. Dengan begitu, walaupun 1 % cita-citamu itu tercapai, engkau sudah jauh lebih baik dariku”.
***
Cerita di atas menggambarkan sebuah tradisi keilmuan dalam mazhab Ahlul Bait. Tentu yang dimaksud dengan Ahlul Bait di sini adalah mazhab Syi’ah Imamiyyah. Walaupun saya pribadi cenderung memisahkan antara kedua istilah itu. Ahlul Bait adalah pusaka peninggalan Rasulullah untuk umatnya, karena itu ia tidak terbatas hanya kepada Syi’ah saja.
Dari cerita di atas terlihat betapa besar pengaruh para Imam Ahlul Bait kepada para pengikutnya. Imam Ja’far Shadiq, misalnya, meninggalkan khazanah keilmuan yang banyak untuk para pengikutnya. Pada masa beliaulah “universitas Islam” pertama didirikan. Abu Hanifah, salah seorang murid Imam Ja’far Shadiq, bahkan dididik dalam suasana toleransi dan pluralitas bermazhab yang tak terbatas. Bahkan para zindiq pun waktu itu mewarisi dan menikmati wacana intelektual yang beragam.
Namun, sepeninggal Imam Ja’far Shadiq, seiring dengan naiknya kekhalifahan ‘Abbasiyyah ke tampuk pemerintahan, tradisi itu perlahan-lahan memudar. Masing-masing mazhab pemikiran berkembang sendiri-sendiri, hingga zaman keemasan Andalusia, dengan Ibn ‘Arabi sebagai contoh didikan masa itu. Syeikh Muhyiddin Ibn al-‘Arabi, alim Andalusia yang dimakamkan di Rukn al-Din, Damaskus hidup di tengah masa yang dipenuhi perdebatan yang sengit antara penganut Islam dan Nasrani, antara Mu’tazilah dan Asy’ariah, antara para ahli fikih, filsafat, dan tasauf. Semua perdebatan itu menimbulkan bekas yang mendalam pada dirinya sebagaimana dikatakan oleh Abu al-‘Ala ‘Afifi, “Inna li Ibn ‘Arabi `fi kulli mu’askarin qadamun” (Nashr Hamid Abu Zayd, Falsafah al-Ta`wil, Dirasatun fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhy al-Din bin ‘Arabi, 1996)
Dalam Syi’ah sendiri, pengaruh para Imam yang dominan memberikan ruang interpretasi yang terbatas bagi para pengikutnya. Beberapa kisah diskusi Imam dan sahabatnya menggambarkan hal itu. Toh, tidak ada kekhawatiran yang berarti. Karena orang Syi’ah percaya bahwa sang Imam adalah pewaris mutlak kenabian. Kepada mereka juga berlaku ayat, “Fa mâ atâkum al-rasûlu fakhudzûhu, wa ma nahâkum ‘anhu fantahû”. Ucapan mereka, tingkah laku dan perbuatan mereka adalah divinely intervened uswatun hasanah.
Demikian berlanjut hingga zaman Imam keduabelas, Imam Mahdi al-Muntazhar. Pada 229 H, setelah Imam Mahdi menjalani ghaybat al-sughra, naib keempat Imam, Ali bin Muhammad Simmari mengabarkan periode ghaybat al-kubra yang akan dijalani Imam. Setelah itu, kontak langsung dengan sumber wahyu terputus. Tidak dapat lagi masyarakat awam menanyakan persoalan-persoalan mereka. Sejak itulah, ruang interpretasi dibuka sebebas-bebasnya. Sejak itu pulalah dimulai tradisi keilmuan yang baru dalam khazanah Ahlul Bait. Tradisi ini sekaligus mewariskan sebuah hierarki intelektual yang menjadi jenjang yang tak dapat begitu saja diabaikan. Mungkin periode setelah ghaybat al-kubra ini bisa dikatakan sebagai kelahiran dunia intelektual Syi’ah.
Sejak itu, pintu ijtihad dibuka lebar-lebar. Nama-nama seperti Syeikh Kulayni (329 H), Syeikh Shaduq (381 H), Syeikh Mufid, Syeikh Anshari, Syeikh Tabarsi, dan sederet nama lain muncul ke permukaan. Beberapa nama terakhir bahkan muncul pada abad ke 19 dan 20. Periode pengumpulan hadis para Imam oleh ulama di atas menggiring pada tahap berikutnya: masa ijtihad dan pengeluaran fatwa. Sepeninggal Imam Mahdi, masyarakat awam merujuk pada ulama yang memenuhi kriteria yang disebutkan Imam sebagai penerusnya: alim, adil, mukhalifun li hawahu (menentang hawa nafsunya, yang senantiasa memelihara kesucian dirinya), faqihun fi al-dîn (faham permasalahan agama), ârif bi muqtadhiyati zamânihi (mengenali tantangan dan kebutuhan zaman) dan sebagainya. Pada periode ini mencuat dua nama besar: Syeikh Mufid dan Syahid Tsani. Buku Syahid Tsani, Lum’at al-Dimasyqiyyah, menjadi kitab standar yang digunakan oleh para calon mujtahid.
Sejak saat itu pula, segala hal-hal yang berhubungan dengan ilmu, menjadi wahana dominasi ulama. Terjadi dikotomi yang jelas antara “ulama” di satu sisi, dan “awam” di sisi lain.
Demikian berlangsung, sampai dasawarsa terakhir abad ke-19 ketika Ayatullah Shirazi memberi fatwa pelarangan tembakau, sebagai upaya melawan penjajah kolonial Inggris dan Rusia. Fatwa Ayatullah Shirazi itu menandai dibukanya satu fase baru dalam dunia keilmuan Ahlul Bait, ialah fase marja’iyyah. Dikotomi ulama dan awam itu, pada fase marja’iyyah ditandai dengan perbedaan yang jelas antara marja dan muqallid. Marja’ secara harfiah berarti “yang dirujuk”, dan muqallid berarti “yang mengikuti”.
Meskipun pembahasan seputar “keharusan bertaklid” atau klasifikasi umat ke dalam “muqallid, muhtâth, atau mujtahid” sudah tercantum dalam kitab-kitab abad 19 seperti dalam Al-‘Urwah al-Wutsqa, karya Muhammad Kazhim al-Thabathaba’i, atau bahkan Lum’ah Dimasyqiyyah, karya Syahid Tsani yang sekarang menjadi standar pengantar fikih di hawzah di Iran, institusi “marja’iyyah” sendiri mungkin baru “resmi” berdiri ketika Sayyid Muhsin al-Hakim mendirikan sebuah lembaga untuk menginstitusionalisasikan distribusi khumus sebagai bentuk pendidikan gratis pada para pelajar di Najaf. Institut itu bernama “Al-Marja’iyyah al-Diniyyah al-‘Ammah” (Chibli Mallat, the Renewal of Islamic Law, 1995).
Beragam debat seputar marja’iyyah masih berlangsung hingga kini. Walaupun konsep marja’iyyah adalah sesuatu yang bersifat fikih, tetapi ia sangat berpengaruh membentuk budaya intelektual di kalangan Ahlul Bait.
Sengaja saya berangkat dari hierarkhi intelektual itu untuk menggambarkan secara global khazanah literatur Ahlul Bait dewasa ini. Proses yang tidak mudah untuk menjadi seorang mujtahid atau ulama, secara tidak langsung menghambat perkembangan dunia pemikiran Syi’ah. Maksud saya, awam, masyarakat kebanyakan akan langsung merujuk pada para ulama dalam bidang apapun, apalagi dalam bidang fikih yang menjadi spesialisasi mereka. Penambahan gelar “ayatullah”, “shahib al-fadhilah” “dâma zilluh” dan lain sebagainya di belakang nama sang pengarang adalah jaminan akan substansi buku yang berbobot. Taruhlah, misalnya, dua buku tentang filsafat. Yang satu ditulis oleh Ayatullah Muhammad Ashari dan yang lain ditulis oleh hanya “Abu Ali Akbar” saja. Walau kedua penulis itu ternyata sama, masyarakat Syi’ah akan memilih yang pertama. Ini, sekali lagi diakibatkan oleh hierarki yang berkembang turun temurun tadi.
Di satu sisi, situasi seperti ini akan menghasilkan buku-buku yang berkualitas. Warisan intelektual Syi’ah adalah legasi yang bisa dinikmati sepanjang masa. Tengoklah buku-buku Mulla Shadra, yang walaupun tak bergelar “ayatullah” seperti zaman sekarang ini (karena dulu mungkin belum populer) tetapi tetap melewati jalur-jalur standar seorang mujtahid. Ibnu Sina, seorang Syi’ah Ismailiyyah, juga menghasilkan karya-karya yang abadi sepanjang masa. Belum lagi warisan di bidang ‘irfan yang tak terhitung banyaknya. Mulla Faydh Kasyani dan Nashiruddin Thusi adalah sedikit contoh di antaranya.
Di sisi lain, hierarki itu sedikit banyak menghambat para pemikir muda. Mereka, biar bagaimana pun adalah murid para ayatullah senior itu. Sangat susah, dalam hierarkhi Syi’ah yang top down untuk “menentang” fatwa sang guru. Bukan hanya susah, kebanyakan murid adalah pelanjut dari guru mereka masing-masing. Karena itu, untuk menjembatani, atau menuju ke proses itu—sebagai salah satu cara legitimasi—para pemikir muda biasanya menyusun kitab (musannif) alih-alih menciptakannya (mu`allif). Maka bermunculanlah buku-buku hasil susunan para penulis muda. Buku demikian tak terhingga jumlahnya. Apalagi dengan sistem hawzah yang sekarang berkembang—khususnya untuk para santri asing—buku-buku standar itu diringkas dan dijadikan satu.
Masih ada jalan lain untuk memperoleh legitimasi masyarakat awam, ialah dengan menulis pada ratusan jurnal yang tersedia di tengah-tengah masyarakat. Jurnal-jurnal itu antara lain risalah al-tsaqalayn, al-hayat at-tayyibah, sophia perennis, âfâq wa turats, dan lain sebagainya. Para penulis muda itu antara lain Rasul Ja’fariyan, Thalib Sanjari, As’ad Abu Sa’id, ‘Irfan Mahmud dan sebagainya. Kebanyakan mereka masih menggunakan pola musannif dan bukan muallif.
Dominasi hawzah (pesantren) sangat kuat dalam tradisi intelektual Syi’ah. Karena itu, sangat sulit bagi seorang Syari’ati atau Abdul Karim Shouroush untuk dapat menembus lingkaran elit itu. Syari’ati yang akrab dengan mahasiswa pada era sebelum revolusi mendapat ruang berbicara yang luas. Karena partisipasi para muridnya jugalah informasi yang disampaikan Syari’ati menembus ruang dan waktu. Walaupun kurang populer di masyarakat hawzah, Syari’ati mashur di kalangan universitas. Agaknya, untuk bidang keagamaan, para akademisi pun (khususnya dari kalangan universitas) masih mendapat kesulitan untuk menembus hiearkhi hawzah yang ada. Dr. Arif Zadeh, penulis buku Kamus ‘Irfan adalah contohya. Beliau yang berasal dari Universitas Teheran tetap harus “menimba” ilmu dulu di hawzah, sebelum akhirnya menerbitkan buku.
Lebih jauh, keterbatasan perkembangan ilmu itu tidak saja didominasi oleh dua kota Qum dan Najaf, tetapi juga oleh warisan keluarga. Beberapa keluarga ternama dalam Syi’ah adalah penyumbang besar khazanah literatur Syi’ah dewasa ini. Tengoklah misalnya, keluarga Shadr (Muhammad Baqir Shadr, Bintul Huda Shadr), keluarga Amili (Murtadha al-Askari al-Amili, Haydar Amili), keluarga Hakim (Muhsin al-Hakim, Murtadha al-Hakim) dan sebagainya.
Belakangan ini, literatur Syi’ah diwarnai oleh corakan yang beragam. Ja’far Subhani mencuat sebagai teolog dan ahli ilmu kalam, sedang rekannya Ibrahim Amini lebih pada masalah-masalah kekeluargaan. Mazâhiri sebagai ahli ilmu akhlak, dan Jawad serta Hasan Zadeh Amuli yang terkenal dalam ‘Irfan. Di bidang filsafat, Sayyid Kamal Haydari dan Taqi Mishbah Yazdi menempati urutan atas. Tentu, kita harus segera menambahkan gelaran “ayatullah” di depan nama-nama itu. Bagaimana halnya dengan bidang fikih? Fikih tentu adalah dominasi para ayatullah yang mencapai tataran itu setelah melewati serangkaian proses yang panjang. Di antara yang patut disebut adalah Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah yang banyak mengeluarkan terobosan baru dalam bidang fikih. Dalam bidang ushul, terobosan terakhir yang pernah meramaikan dunia pesantren Syi’ah diprakarsai oleh Syahid Sayyid Muhammad Baqir Shadr dengan bukunya, Ma’alim al-jadida fi al-ushul.
Tetapi, sumbangan terbesar bagi khazanah literatur Syi’ah adalah keberhasilan revolusi Islam di Iran. Dengan revolusi itu, tampil para penulis baru, angkatan kedua setelah Imam Khumaini. Sayang, kebanyakan mereka telah dipanggil Tuhan. Lihatlah Syahid Behesyti yang menguasai bahasa Perancis, Jerman, Inggris dan Belanda. Kenanglah Syahid Mustafa Khumaini yang menulis tafsir sufi al-Qur’an. Atau Syahid Musawi di Beirut yang meninggalkan naskah-naskah yang tak selesai. Syari’ati dan Muthahhari adalah contoh yang lebih kentara lagi. Tangan kasih Tuhan jelas lebih pantas untuk menerima keberadaan mereka daripada dunia yang fana ini.
Namun, ketiadaan mereka telah membuka kembali masalah lama dalam pengembangan khazanah literatur dan keilmuan Ahlul Bait dewasa ini: “dominasi” ulama, hirarki kesarjanaan, dan—salah satunya juga adalah—marja’iyyah. Apakah marja’iyyah mempersempit peluang untuk berbeda pendapat? Apakah karena seseorang patuh sebagai muqallid yang baik maka ia tak bisa mengambil alternatif dari marja’ yang lain?
Berikut beberapa kritik terhadap marja’iyyah yang umum dibicarakan. Marilah kita jadikan pembahasan ini diskusi yang menarik. Sebagaimana kita membuka pintu lebar-lebar bagi seorang muslim untuk mempertanyakan keislaman mereka, agar pada akhirnya ia dapat memahami Islam dan menjalaninya dengan lebih baik. Marilah juga kita buka lebar-lebar kritik kita terhadap paham-paham Syi’ah, dengan harapan kita dapat memahaminya jauh lebih baik dari apa yang mungkin sudah kita pelajari hingga saat ini.
Beberapa Kritik atas Marja’iyyah
1. Ada sekitar 100 tahun setelah ghaybah Imam Mahdi ketika masyarakat awam Syi’ah hanya merujuk kepada ulama saja, tanpa ada keharusan kepada satu marja’ tertentu, apalagi yang dibumbuhi syarat a’lamiyyah (yang paling berilmu. Siapakah yang menilainya?).
2. Tampaknya kemunculan institusionalisasi marja’iyyah didasarkan atas proses sosial politik yang menyertainya. Ayatullah Shirazi sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme; Ayatullah Muhsin Hakim untuk melembagakan pendistribusian khumus; dan Ayatullah al-Imam Ruhullah Khumaini sebagai salah satu bentuk “kontrol” terhadap keutuhan negara Islam yang beliau dirikan. Bayangkan bila terjadi banyak marja’ dan ternyata mereka tidak semuanya sepakat tentang bentuk yang pasti akan pemerintahan Islam dan undang-undang yang menyertainya.
3. Marja’iyyah menutup ruang untuk kritik. Dari hierarkhi yang sangat panjang, orang akan enggan untuk mengeritik ulama yang lebih senior, karena faktor keilmuan.
4. Marja’iyyah tidak fleksibel. Keputusan seorang marja’ boleh jadi hanya didasarkan pada kondisi demografis tertentu.
5. Banyaknya metode istinbath (pengambilan keputusan) akan berakibat pada beragamnya hasil keputusan mujtahid.
6. Proses istinbath berdasar pada nash. Nash yang menjadi dasar hukum adalah nash yang dilahirkan dengan situasi sosial waktu itu. Terdapat jarak yang sangat jauh antara penetapan nash dengan situasi sekarang ini.
7. Menurut Syahid Baqir Shadr, seorang mujtahid bisa jatuh ke dalam lima kekeliruan (Ijtihad Dalam Sorotan, 1985):
8. Pada zaman Rasul kata “Ijtihad” tidak berarti sebuah proses pengambilan hukum. Hadis yang menunjukkan pujian Rasul atas ijtihad Mu’adz bin Jabal dicela oleh Ibn Hazm sebagai tidak shahih. Begitu pula sepeninggal nabi tercatat 32 kesalahan ijtihad yang dilakukan Abu Bakar; 109 Umar dan 29 ‘Utsman.
9. Sepeninggal Imam Mahdi as, komunitas Syi’ah terbagi ke dalam dua kelompok besar: akhbari dan ushuli. Faham ushuli kini mendominasi pemikiran dunia Syi’ah, terhitung sejak awal abad 19.
10. Zaman modern membutuhkan pengetahuan marja’ atas hal-hal yang berkembang dengan pesat.
Masih Pentingkah Ijtihad?
Tentu. Yang baru dibahas hanyalah kemusykilan sebuah proses ijtihad dan panjangnya hierarki untuk menjadi mujtahid. Karena berbagai kemusykilan itulah mungkin, sebagian ulama menutup pintu ijtihad. Apalagi setelah ada kecenderungan dalam sejarah bahwa ulama tertentu bisa dipesan untuk mengeluarkan fatwa. Tetapi, biar bagaimana pun kebutuhan umat untuk memperoleh jawaban dari Islam terus berkembang. Umat sekarang dihadapkan pada banyak tantangan: pengaruh Barat, tradisi kuno, permasalahan-permasalahan kontemporer seperti perkembangan ilmu teknologi, kesehatan, sains, dan sebagainya. Menghadapi kekhawatiran itu, sebagian ulama kontemporer berkumpul dan merumuskan pentingnya ijtihad. Di antara alasan pentingnya ijtihad: jauhnya dengan zaman tasyri’, syari’at disampaikan secara komprehensif, nash hanya memberikan kaidah umum, dan Islam sebagai risalah universal.
Solusi
Belakangan di dunia Syi’ah timbul pemikiran untuk membuat suatu institusi marja’iyyah internasional. Karena pola marja’iyyah sekarang sangat bergantung pada kondisi demografis dan banyak hal lainnya, maka diusulkan untuk dibentuk mu’assasah marja’iyyah, sebuah dewan yang terdiri dari kumpulan ulama besar (marja’) seluruh dunia, mewakili seluruh pengikut mazhab Syi’ah. Dewan ini kelak dipimpin oleh seorang juru bicara (semisal Paus di Vatikan). Dalam dewan ini dibagi tugas secara khusus kepada setiap marja’. Misalnya, ada yang menangani masalah ekonomi, ada yang khusus politik, dan ada yang khusus perkembangan teknologi, kedokteran dan berbagai bidang lain yang berkenaan dengan kehidupan umat sehari-hari..
Tetapi, ketika ide ini pertama kali dicetuskan Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah, beliau ditentang dengan keras, bahkan sempat dikafirkan. Karenanya, wacana marja’iyyah dan dekonstruksinya, mungkin masih hanya sebatas perubahan paradigma pemikiran saja. Terima kasih.
Miftah F. Rakhmat
*) Sebuah elaborasi lanjutan dari pengantar pada diskusi di Redaksi Mizan, 21 Juni 2000. Disampaikan lagi di IJABI, 21 November 2001. Tulisan ini belum pernah dipublikasikan karena keterbatasan (dan kekhawatiran) saya dalam bidang ini. Tapi saya beranikan diri dengan harapan akan menerima lebih banyak lagi ilmu dan pencerahan, dari mereka yang lebih mumpuni dalam bidang ini. Semoga Allah Ta’ala memanjangkan usia mereka dan memberikan kepada kami limpahan ilmu mereka. Semoga Allah Ta’ala mengampuni kekeliruan saya dan memaafkan keterbatasan saya dalam berusaha memahami ajaran agama-Nya. Wallâhul muwaffiq ila aqwami tharîq.
Cerita di atas menggambarkan sebuah tradisi keilmuan dalam mazhab Ahlul Bait. Tentu yang dimaksud dengan Ahlul Bait di sini adalah mazhab Syi’ah Imamiyyah. Walaupun saya pribadi cenderung memisahkan antara kedua istilah itu. Ahlul Bait adalah pusaka peninggalan Rasulullah untuk umatnya, karena itu ia tidak terbatas hanya kepada Syi’ah saja.
Dari cerita di atas terlihat betapa besar pengaruh para Imam Ahlul Bait kepada para pengikutnya. Imam Ja’far Shadiq, misalnya, meninggalkan khazanah keilmuan yang banyak untuk para pengikutnya. Pada masa beliaulah “universitas Islam” pertama didirikan. Abu Hanifah, salah seorang murid Imam Ja’far Shadiq, bahkan dididik dalam suasana toleransi dan pluralitas bermazhab yang tak terbatas. Bahkan para zindiq pun waktu itu mewarisi dan menikmati wacana intelektual yang beragam.
Namun, sepeninggal Imam Ja’far Shadiq, seiring dengan naiknya kekhalifahan ‘Abbasiyyah ke tampuk pemerintahan, tradisi itu perlahan-lahan memudar. Masing-masing mazhab pemikiran berkembang sendiri-sendiri, hingga zaman keemasan Andalusia, dengan Ibn ‘Arabi sebagai contoh didikan masa itu. Syeikh Muhyiddin Ibn al-‘Arabi, alim Andalusia yang dimakamkan di Rukn al-Din, Damaskus hidup di tengah masa yang dipenuhi perdebatan yang sengit antara penganut Islam dan Nasrani, antara Mu’tazilah dan Asy’ariah, antara para ahli fikih, filsafat, dan tasauf. Semua perdebatan itu menimbulkan bekas yang mendalam pada dirinya sebagaimana dikatakan oleh Abu al-‘Ala ‘Afifi, “Inna li Ibn ‘Arabi `fi kulli mu’askarin qadamun” (Nashr Hamid Abu Zayd, Falsafah al-Ta`wil, Dirasatun fi Ta’wil al-Qur’an ‘inda Muhy al-Din bin ‘Arabi, 1996)
Dalam Syi’ah sendiri, pengaruh para Imam yang dominan memberikan ruang interpretasi yang terbatas bagi para pengikutnya. Beberapa kisah diskusi Imam dan sahabatnya menggambarkan hal itu. Toh, tidak ada kekhawatiran yang berarti. Karena orang Syi’ah percaya bahwa sang Imam adalah pewaris mutlak kenabian. Kepada mereka juga berlaku ayat, “Fa mâ atâkum al-rasûlu fakhudzûhu, wa ma nahâkum ‘anhu fantahû”. Ucapan mereka, tingkah laku dan perbuatan mereka adalah divinely intervened uswatun hasanah.
Demikian berlanjut hingga zaman Imam keduabelas, Imam Mahdi al-Muntazhar. Pada 229 H, setelah Imam Mahdi menjalani ghaybat al-sughra, naib keempat Imam, Ali bin Muhammad Simmari mengabarkan periode ghaybat al-kubra yang akan dijalani Imam. Setelah itu, kontak langsung dengan sumber wahyu terputus. Tidak dapat lagi masyarakat awam menanyakan persoalan-persoalan mereka. Sejak itulah, ruang interpretasi dibuka sebebas-bebasnya. Sejak itu pulalah dimulai tradisi keilmuan yang baru dalam khazanah Ahlul Bait. Tradisi ini sekaligus mewariskan sebuah hierarki intelektual yang menjadi jenjang yang tak dapat begitu saja diabaikan. Mungkin periode setelah ghaybat al-kubra ini bisa dikatakan sebagai kelahiran dunia intelektual Syi’ah.
Sejak itu, pintu ijtihad dibuka lebar-lebar. Nama-nama seperti Syeikh Kulayni (329 H), Syeikh Shaduq (381 H), Syeikh Mufid, Syeikh Anshari, Syeikh Tabarsi, dan sederet nama lain muncul ke permukaan. Beberapa nama terakhir bahkan muncul pada abad ke 19 dan 20. Periode pengumpulan hadis para Imam oleh ulama di atas menggiring pada tahap berikutnya: masa ijtihad dan pengeluaran fatwa. Sepeninggal Imam Mahdi, masyarakat awam merujuk pada ulama yang memenuhi kriteria yang disebutkan Imam sebagai penerusnya: alim, adil, mukhalifun li hawahu (menentang hawa nafsunya, yang senantiasa memelihara kesucian dirinya), faqihun fi al-dîn (faham permasalahan agama), ârif bi muqtadhiyati zamânihi (mengenali tantangan dan kebutuhan zaman) dan sebagainya. Pada periode ini mencuat dua nama besar: Syeikh Mufid dan Syahid Tsani. Buku Syahid Tsani, Lum’at al-Dimasyqiyyah, menjadi kitab standar yang digunakan oleh para calon mujtahid.
Sejak saat itu pula, segala hal-hal yang berhubungan dengan ilmu, menjadi wahana dominasi ulama. Terjadi dikotomi yang jelas antara “ulama” di satu sisi, dan “awam” di sisi lain.
Demikian berlangsung, sampai dasawarsa terakhir abad ke-19 ketika Ayatullah Shirazi memberi fatwa pelarangan tembakau, sebagai upaya melawan penjajah kolonial Inggris dan Rusia. Fatwa Ayatullah Shirazi itu menandai dibukanya satu fase baru dalam dunia keilmuan Ahlul Bait, ialah fase marja’iyyah. Dikotomi ulama dan awam itu, pada fase marja’iyyah ditandai dengan perbedaan yang jelas antara marja dan muqallid. Marja’ secara harfiah berarti “yang dirujuk”, dan muqallid berarti “yang mengikuti”.
Meskipun pembahasan seputar “keharusan bertaklid” atau klasifikasi umat ke dalam “muqallid, muhtâth, atau mujtahid” sudah tercantum dalam kitab-kitab abad 19 seperti dalam Al-‘Urwah al-Wutsqa, karya Muhammad Kazhim al-Thabathaba’i, atau bahkan Lum’ah Dimasyqiyyah, karya Syahid Tsani yang sekarang menjadi standar pengantar fikih di hawzah di Iran, institusi “marja’iyyah” sendiri mungkin baru “resmi” berdiri ketika Sayyid Muhsin al-Hakim mendirikan sebuah lembaga untuk menginstitusionalisasikan distribusi khumus sebagai bentuk pendidikan gratis pada para pelajar di Najaf. Institut itu bernama “Al-Marja’iyyah al-Diniyyah al-‘Ammah” (Chibli Mallat, the Renewal of Islamic Law, 1995).
Beragam debat seputar marja’iyyah masih berlangsung hingga kini. Walaupun konsep marja’iyyah adalah sesuatu yang bersifat fikih, tetapi ia sangat berpengaruh membentuk budaya intelektual di kalangan Ahlul Bait.
Sengaja saya berangkat dari hierarkhi intelektual itu untuk menggambarkan secara global khazanah literatur Ahlul Bait dewasa ini. Proses yang tidak mudah untuk menjadi seorang mujtahid atau ulama, secara tidak langsung menghambat perkembangan dunia pemikiran Syi’ah. Maksud saya, awam, masyarakat kebanyakan akan langsung merujuk pada para ulama dalam bidang apapun, apalagi dalam bidang fikih yang menjadi spesialisasi mereka. Penambahan gelar “ayatullah”, “shahib al-fadhilah” “dâma zilluh” dan lain sebagainya di belakang nama sang pengarang adalah jaminan akan substansi buku yang berbobot. Taruhlah, misalnya, dua buku tentang filsafat. Yang satu ditulis oleh Ayatullah Muhammad Ashari dan yang lain ditulis oleh hanya “Abu Ali Akbar” saja. Walau kedua penulis itu ternyata sama, masyarakat Syi’ah akan memilih yang pertama. Ini, sekali lagi diakibatkan oleh hierarki yang berkembang turun temurun tadi.
Di satu sisi, situasi seperti ini akan menghasilkan buku-buku yang berkualitas. Warisan intelektual Syi’ah adalah legasi yang bisa dinikmati sepanjang masa. Tengoklah buku-buku Mulla Shadra, yang walaupun tak bergelar “ayatullah” seperti zaman sekarang ini (karena dulu mungkin belum populer) tetapi tetap melewati jalur-jalur standar seorang mujtahid. Ibnu Sina, seorang Syi’ah Ismailiyyah, juga menghasilkan karya-karya yang abadi sepanjang masa. Belum lagi warisan di bidang ‘irfan yang tak terhitung banyaknya. Mulla Faydh Kasyani dan Nashiruddin Thusi adalah sedikit contoh di antaranya.
Di sisi lain, hierarki itu sedikit banyak menghambat para pemikir muda. Mereka, biar bagaimana pun adalah murid para ayatullah senior itu. Sangat susah, dalam hierarkhi Syi’ah yang top down untuk “menentang” fatwa sang guru. Bukan hanya susah, kebanyakan murid adalah pelanjut dari guru mereka masing-masing. Karena itu, untuk menjembatani, atau menuju ke proses itu—sebagai salah satu cara legitimasi—para pemikir muda biasanya menyusun kitab (musannif) alih-alih menciptakannya (mu`allif). Maka bermunculanlah buku-buku hasil susunan para penulis muda. Buku demikian tak terhingga jumlahnya. Apalagi dengan sistem hawzah yang sekarang berkembang—khususnya untuk para santri asing—buku-buku standar itu diringkas dan dijadikan satu.
Masih ada jalan lain untuk memperoleh legitimasi masyarakat awam, ialah dengan menulis pada ratusan jurnal yang tersedia di tengah-tengah masyarakat. Jurnal-jurnal itu antara lain risalah al-tsaqalayn, al-hayat at-tayyibah, sophia perennis, âfâq wa turats, dan lain sebagainya. Para penulis muda itu antara lain Rasul Ja’fariyan, Thalib Sanjari, As’ad Abu Sa’id, ‘Irfan Mahmud dan sebagainya. Kebanyakan mereka masih menggunakan pola musannif dan bukan muallif.
Dominasi hawzah (pesantren) sangat kuat dalam tradisi intelektual Syi’ah. Karena itu, sangat sulit bagi seorang Syari’ati atau Abdul Karim Shouroush untuk dapat menembus lingkaran elit itu. Syari’ati yang akrab dengan mahasiswa pada era sebelum revolusi mendapat ruang berbicara yang luas. Karena partisipasi para muridnya jugalah informasi yang disampaikan Syari’ati menembus ruang dan waktu. Walaupun kurang populer di masyarakat hawzah, Syari’ati mashur di kalangan universitas. Agaknya, untuk bidang keagamaan, para akademisi pun (khususnya dari kalangan universitas) masih mendapat kesulitan untuk menembus hiearkhi hawzah yang ada. Dr. Arif Zadeh, penulis buku Kamus ‘Irfan adalah contohya. Beliau yang berasal dari Universitas Teheran tetap harus “menimba” ilmu dulu di hawzah, sebelum akhirnya menerbitkan buku.
Lebih jauh, keterbatasan perkembangan ilmu itu tidak saja didominasi oleh dua kota Qum dan Najaf, tetapi juga oleh warisan keluarga. Beberapa keluarga ternama dalam Syi’ah adalah penyumbang besar khazanah literatur Syi’ah dewasa ini. Tengoklah misalnya, keluarga Shadr (Muhammad Baqir Shadr, Bintul Huda Shadr), keluarga Amili (Murtadha al-Askari al-Amili, Haydar Amili), keluarga Hakim (Muhsin al-Hakim, Murtadha al-Hakim) dan sebagainya.
Belakangan ini, literatur Syi’ah diwarnai oleh corakan yang beragam. Ja’far Subhani mencuat sebagai teolog dan ahli ilmu kalam, sedang rekannya Ibrahim Amini lebih pada masalah-masalah kekeluargaan. Mazâhiri sebagai ahli ilmu akhlak, dan Jawad serta Hasan Zadeh Amuli yang terkenal dalam ‘Irfan. Di bidang filsafat, Sayyid Kamal Haydari dan Taqi Mishbah Yazdi menempati urutan atas. Tentu, kita harus segera menambahkan gelaran “ayatullah” di depan nama-nama itu. Bagaimana halnya dengan bidang fikih? Fikih tentu adalah dominasi para ayatullah yang mencapai tataran itu setelah melewati serangkaian proses yang panjang. Di antara yang patut disebut adalah Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah yang banyak mengeluarkan terobosan baru dalam bidang fikih. Dalam bidang ushul, terobosan terakhir yang pernah meramaikan dunia pesantren Syi’ah diprakarsai oleh Syahid Sayyid Muhammad Baqir Shadr dengan bukunya, Ma’alim al-jadida fi al-ushul.
Tetapi, sumbangan terbesar bagi khazanah literatur Syi’ah adalah keberhasilan revolusi Islam di Iran. Dengan revolusi itu, tampil para penulis baru, angkatan kedua setelah Imam Khumaini. Sayang, kebanyakan mereka telah dipanggil Tuhan. Lihatlah Syahid Behesyti yang menguasai bahasa Perancis, Jerman, Inggris dan Belanda. Kenanglah Syahid Mustafa Khumaini yang menulis tafsir sufi al-Qur’an. Atau Syahid Musawi di Beirut yang meninggalkan naskah-naskah yang tak selesai. Syari’ati dan Muthahhari adalah contoh yang lebih kentara lagi. Tangan kasih Tuhan jelas lebih pantas untuk menerima keberadaan mereka daripada dunia yang fana ini.
Namun, ketiadaan mereka telah membuka kembali masalah lama dalam pengembangan khazanah literatur dan keilmuan Ahlul Bait dewasa ini: “dominasi” ulama, hirarki kesarjanaan, dan—salah satunya juga adalah—marja’iyyah. Apakah marja’iyyah mempersempit peluang untuk berbeda pendapat? Apakah karena seseorang patuh sebagai muqallid yang baik maka ia tak bisa mengambil alternatif dari marja’ yang lain?
Berikut beberapa kritik terhadap marja’iyyah yang umum dibicarakan. Marilah kita jadikan pembahasan ini diskusi yang menarik. Sebagaimana kita membuka pintu lebar-lebar bagi seorang muslim untuk mempertanyakan keislaman mereka, agar pada akhirnya ia dapat memahami Islam dan menjalaninya dengan lebih baik. Marilah juga kita buka lebar-lebar kritik kita terhadap paham-paham Syi’ah, dengan harapan kita dapat memahaminya jauh lebih baik dari apa yang mungkin sudah kita pelajari hingga saat ini.
Beberapa Kritik atas Marja’iyyah
1. Ada sekitar 100 tahun setelah ghaybah Imam Mahdi ketika masyarakat awam Syi’ah hanya merujuk kepada ulama saja, tanpa ada keharusan kepada satu marja’ tertentu, apalagi yang dibumbuhi syarat a’lamiyyah (yang paling berilmu. Siapakah yang menilainya?).
2. Tampaknya kemunculan institusionalisasi marja’iyyah didasarkan atas proses sosial politik yang menyertainya. Ayatullah Shirazi sebagai bentuk perlawanan terhadap kolonialisme; Ayatullah Muhsin Hakim untuk melembagakan pendistribusian khumus; dan Ayatullah al-Imam Ruhullah Khumaini sebagai salah satu bentuk “kontrol” terhadap keutuhan negara Islam yang beliau dirikan. Bayangkan bila terjadi banyak marja’ dan ternyata mereka tidak semuanya sepakat tentang bentuk yang pasti akan pemerintahan Islam dan undang-undang yang menyertainya.
3. Marja’iyyah menutup ruang untuk kritik. Dari hierarkhi yang sangat panjang, orang akan enggan untuk mengeritik ulama yang lebih senior, karena faktor keilmuan.
4. Marja’iyyah tidak fleksibel. Keputusan seorang marja’ boleh jadi hanya didasarkan pada kondisi demografis tertentu.
5. Banyaknya metode istinbath (pengambilan keputusan) akan berakibat pada beragamnya hasil keputusan mujtahid.
6. Proses istinbath berdasar pada nash. Nash yang menjadi dasar hukum adalah nash yang dilahirkan dengan situasi sosial waktu itu. Terdapat jarak yang sangat jauh antara penetapan nash dengan situasi sekarang ini.
7. Menurut Syahid Baqir Shadr, seorang mujtahid bisa jatuh ke dalam lima kekeliruan (Ijtihad Dalam Sorotan, 1985):
- Justifikasi, Shadr menyebutnya dengan tabrir al-waqi’ (pembenaran realitas). Misalnya, ketika di masyarakat Islam berkembang bunga bank, seorang mujtahid harus “menundukkan” nash yang tidak mengenal bunga bank ke dalam penafsiran yang sesuai. Jadi, bukannya mengubah realitas untuk tunduk pada nash. Bunga bank, misalnya, dihalalkan karena riba yang dilarang dalam Al-Qur’an adalah adh’âf mudhafa’ât (berlipat ganda). Batasan “berlipat ganda” pun kemudian harus dirumuskan. Padahal dalam ayat lain disebutkan, “…jika kamu bertobat, maka bagimu pokok harta kamu, kamu tidak menganiaya dan tidak dianiaya…” (Q.S. Al-Baqarah: 279).
- Interpolasi, Shadr menyebutnya dengan damj al-nash dhimna ithar al-khash (memasukkan nash ke dalam kerangka tertentu). Misalnya, seorang mujtahid yang berusaha menafsirkan kata-kata dalam nash dengan pengertian mutakhir yang ia pahami dari istilah modern sesuai ilmu pengetahuan yang berkembang.
- Manipulasi, Shadr menyebutnya dengan tajrid al-dalil al-syar’i min zhurufih wa syuruthih (melepaskan dalil syar’i dari situasi dan kondisinya). Salah satu contoh kekeliruan ini ialah memahami taqrir. Taqrir adalah sunnah nabawiah yang dinyatakan dengan diam. Diamnya Nabi diartikan sebagai kebolehan. Taqrir bisa pada amalan tertentu ataupun yang umum. Tetapi, hadis yang menjadi taqrir tidak bisa menjadi sunnah kecuali dengan tiga syarat: harus terjadi di zaman Nabi; harus diyakini tidak ada larangan syari’at tentangnya; dan harus diketahui berbagai kondisi dan situasi ketika terjadi taqrir.
- Subyektifikasi, Shadr menyebutnya dengan ittikhadz mauqif mu’ayyan bi shurah musabaqah tujah al-nash (mengambil sikap tertentu [prematur?] terhadap nash). Dua orang mujtahid akan mencoba memahami nash yang sama, tetapi dengan kecederungan yang berbeda. Yang satu, misalnya, menyorotinya dari aspek sosial dan yang lain dari sisi hukum Islam dan ketatanegaraan. Kedua sikap itu akan menghasilkan keputusan yang berbeda.
- Inakurasi, yang ini tambahan dari Ustad Jalaluddin Rakhmat. Menurutnya, seorang mujtahid bisa merujuk pada nash yang tidak valid atau tidak relevan. Misalnya, nash dirujuk, dijadikan premis utama untuk premis-premis berikutnya. Tidak diteliti dulu apakah nash itu relevan untuk premis berikutnya.
8. Pada zaman Rasul kata “Ijtihad” tidak berarti sebuah proses pengambilan hukum. Hadis yang menunjukkan pujian Rasul atas ijtihad Mu’adz bin Jabal dicela oleh Ibn Hazm sebagai tidak shahih. Begitu pula sepeninggal nabi tercatat 32 kesalahan ijtihad yang dilakukan Abu Bakar; 109 Umar dan 29 ‘Utsman.
9. Sepeninggal Imam Mahdi as, komunitas Syi’ah terbagi ke dalam dua kelompok besar: akhbari dan ushuli. Faham ushuli kini mendominasi pemikiran dunia Syi’ah, terhitung sejak awal abad 19.
10. Zaman modern membutuhkan pengetahuan marja’ atas hal-hal yang berkembang dengan pesat.
Masih Pentingkah Ijtihad?
Tentu. Yang baru dibahas hanyalah kemusykilan sebuah proses ijtihad dan panjangnya hierarki untuk menjadi mujtahid. Karena berbagai kemusykilan itulah mungkin, sebagian ulama menutup pintu ijtihad. Apalagi setelah ada kecenderungan dalam sejarah bahwa ulama tertentu bisa dipesan untuk mengeluarkan fatwa. Tetapi, biar bagaimana pun kebutuhan umat untuk memperoleh jawaban dari Islam terus berkembang. Umat sekarang dihadapkan pada banyak tantangan: pengaruh Barat, tradisi kuno, permasalahan-permasalahan kontemporer seperti perkembangan ilmu teknologi, kesehatan, sains, dan sebagainya. Menghadapi kekhawatiran itu, sebagian ulama kontemporer berkumpul dan merumuskan pentingnya ijtihad. Di antara alasan pentingnya ijtihad: jauhnya dengan zaman tasyri’, syari’at disampaikan secara komprehensif, nash hanya memberikan kaidah umum, dan Islam sebagai risalah universal.
Solusi
Belakangan di dunia Syi’ah timbul pemikiran untuk membuat suatu institusi marja’iyyah internasional. Karena pola marja’iyyah sekarang sangat bergantung pada kondisi demografis dan banyak hal lainnya, maka diusulkan untuk dibentuk mu’assasah marja’iyyah, sebuah dewan yang terdiri dari kumpulan ulama besar (marja’) seluruh dunia, mewakili seluruh pengikut mazhab Syi’ah. Dewan ini kelak dipimpin oleh seorang juru bicara (semisal Paus di Vatikan). Dalam dewan ini dibagi tugas secara khusus kepada setiap marja’. Misalnya, ada yang menangani masalah ekonomi, ada yang khusus politik, dan ada yang khusus perkembangan teknologi, kedokteran dan berbagai bidang lain yang berkenaan dengan kehidupan umat sehari-hari..
Tetapi, ketika ide ini pertama kali dicetuskan Sayyid Muhammad Husain Fadhlullah, beliau ditentang dengan keras, bahkan sempat dikafirkan. Karenanya, wacana marja’iyyah dan dekonstruksinya, mungkin masih hanya sebatas perubahan paradigma pemikiran saja. Terima kasih.
Miftah F. Rakhmat
*) Sebuah elaborasi lanjutan dari pengantar pada diskusi di Redaksi Mizan, 21 Juni 2000. Disampaikan lagi di IJABI, 21 November 2001. Tulisan ini belum pernah dipublikasikan karena keterbatasan (dan kekhawatiran) saya dalam bidang ini. Tapi saya beranikan diri dengan harapan akan menerima lebih banyak lagi ilmu dan pencerahan, dari mereka yang lebih mumpuni dalam bidang ini. Semoga Allah Ta’ala memanjangkan usia mereka dan memberikan kepada kami limpahan ilmu mereka. Semoga Allah Ta’ala mengampuni kekeliruan saya dan memaafkan keterbatasan saya dalam berusaha memahami ajaran agama-Nya. Wallâhul muwaffiq ila aqwami tharîq.