KH. Dr. Jalaluddin Rakhmat
Ketua Dewan Syura IJABI
Ketua Dewan Syura IJABI
Nabi saw bertanya lagi: Ya Abu Dzar, bagaimana pendapatmu jika kematian menjadi wabah yang menyerang setiap orang dan rumah menjadi kuburan. Apa yang akan kamu lakukan? Aku berkata: Allah dan RasulNya lebih tahu. Nabi bersabda: Bersabarlah.
Siapa tak kenal Abu Dzar. Dialah penunggang kuda yang cekatan dan pemain pedang yang tak terkalahkan. Dia menghadang pedagang kaya di jalan dan membagikan hasil hadangannya untuk fakir miskin. Ia mempersembahkan hidupnya untuk wong cilik. Anis, adiknya, melihat Nabi Muhammad saw membagi-bagikan makanan kepada orang miskin. Ia melapor kepada Abu Dzar: Aku melihat di Makkah ada orang yang agamanya seperti kamu.
Berhari-hari, di samping Ka’bah ia menanti Sang Nabi. Mempertahankan hidupnya hanya dengan mereguk air zamzam. Ia berbaiat di hadapan Nabi saw dengan satu kalimat. Ia jadikan itu sebagai misi hidupnya. Apa pun resikonya. Kalimat Nabi itu komitmennya: Qulil Haqq wa in Kana Murra! Katakan kebenaran walaupun pahit.
Sahabatnya Abu Darda membangun rumah besar setelah ia menjadi pegawai kerajaan. Abu Dzar yang tetap hidup sederhana sampai akhir hayatnya menegurnya dengan lembut, “Kaubebankan batu-bata di atas pundak orang-orang kecil.” Di depan pintu istana Muawiyah, Abu Dzar berteriak dengan keras, “Dan orang-orang yang menumpuk emas dan perak dan tidak membelanjakannya di jalan Allah, gembirakan mereka dengan siksa yang pedih.” (Al-Taubah 34). Ia ditangkap sebagai provokator. Dengan ringan ia berkata, “Sejak kapan aku dilarang, membaca Al-Quran?”.
Pada suatu hari, di bukit Aqabah, usai melempar jumrah, ia duduk. Karena ia sahabat Nabi Saw, ratusan jemaah haji mengelilinginya. Mereka menunggu kalimat-kalimat yang akan disampaikannya. Bukankah Nabi saw pernah berkata tentang dirinya: “Di atas permukaan bumi, di bawah langit, tidak ada lidah yang lebih jujur dari lidah Abu Zar.”
Tiba-tiba Abu Dzar menarik salah seorang di antara pendengarnya. “Kamu bekerja memata-mataiku. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, sekiranya kamu letakkan pedang di atas leherku agar aku berhenti menyampaikan kalimat yang aku dengar dari Rasulullah Saw, aku akan tetap menyampaikannya.”
Nabi Saw mengabarkan kepadanya tentang kemelut politik sepeninggalnya. Bakal muncul penguasa-penguasa yang zalim. Bakal terjadi bahwa menyampaikan kebenaran bukan saja pahit tapi dianggap dosa. Mengkritik penguasa akan dianggap menista agama. Pada saat seperti itu, bukankah orang Islam harus merebut kekuasaan, memegang jabatan. Abu Dzar dengan santun bertanya, “Ya Rasulallah, mengapa tidak kau berikan jabatan kepadaku.” Bertahun-tahun ia masih mendengar suara lembut itu. “Ia menepuk bahuku,” tutur Abu Dzar, “dan berkata- wahai Abu Dzar, engkau lemah. Jabatan itu amanah. Di hari kiamat ia kan jadi kehinaan dan penyesalan. Kecuali orang yang mengambil dan melaksanakannya dengan hak.”
Ia teringat pula pada peristiwa lainnya: Pada suatu hari Rasul Allah Saw mengendarai keledainya dan aku mengikuti di belakangnya. Ia bertanya kepadaku: Ya Abu Dzar, bagaimana pendapatmu, ketika masyarakat ditimpa kelaparan yang berat. Kamu tidak mampu berdiri dari tempat tidurmu untuk ke masjid. Apa yang kamu lakukan? Aku berkata: Allah dan RasulNya lebih tahu. Nabi Saw bersabda: Jagalah kehormatan dirimu.
Nabi saw bertanya lagi: Ya Abu Dzar, bagaimana pendapatmu jika kematian menjadi wabah yang menyerang setiap orang dan rumah menjadi kuburan. Apa yang akan kamu lakukan? Aku berkata: Allah dan RasulNya lebih tahu. Nabi Saw bersabda: Bersabarlah.
Nabi Saw bertanya lagi: Ya Abu Dzar, bagaimana pendapatmu jika terjadi saling membunuh di tengah-tengah masyarakat, sehingga bebatuan tenggelam dalam darah. Apa yang akan kamu lakukan? Aku berkata: Allah dan RasulNya lebih tahu. Nabi Saw bersabda, “Duduklah di rumahmu dan kunci pintunya” Aku berkata: Jika aku harus pergi? Nabi Saw berkata: Datangilah orang-orang yang kamu adalah bagian dari mereka. Aku berkata: Apakah aku perlu membawa senjata? Nabi bersabda: Jika begitu, maka kamu sama saja dengan mereka. Tetapi jika kamu takut melihat kilatan pedang, tutupkan serban kamu ke mukamu sampai dia membawa dosanya dan dosa kamu!
Kalimat terakhir adalah ucapan Habil ketika Qabil mau membunuhnya, “Jika kamu julurkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku. Aku tidak akan menggerakkan tanganku untuk membunuhmu. Sungguh, aku takut kepada Allah seru sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali membawa dosaku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka. Demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim” (Al-Maidah 28-29)
Berhari-hari, di samping Ka’bah ia menanti Sang Nabi. Mempertahankan hidupnya hanya dengan mereguk air zamzam. Ia berbaiat di hadapan Nabi saw dengan satu kalimat. Ia jadikan itu sebagai misi hidupnya. Apa pun resikonya. Kalimat Nabi itu komitmennya: Qulil Haqq wa in Kana Murra! Katakan kebenaran walaupun pahit.
Sahabatnya Abu Darda membangun rumah besar setelah ia menjadi pegawai kerajaan. Abu Dzar yang tetap hidup sederhana sampai akhir hayatnya menegurnya dengan lembut, “Kaubebankan batu-bata di atas pundak orang-orang kecil.” Di depan pintu istana Muawiyah, Abu Dzar berteriak dengan keras, “Dan orang-orang yang menumpuk emas dan perak dan tidak membelanjakannya di jalan Allah, gembirakan mereka dengan siksa yang pedih.” (Al-Taubah 34). Ia ditangkap sebagai provokator. Dengan ringan ia berkata, “Sejak kapan aku dilarang, membaca Al-Quran?”.
Pada suatu hari, di bukit Aqabah, usai melempar jumrah, ia duduk. Karena ia sahabat Nabi Saw, ratusan jemaah haji mengelilinginya. Mereka menunggu kalimat-kalimat yang akan disampaikannya. Bukankah Nabi saw pernah berkata tentang dirinya: “Di atas permukaan bumi, di bawah langit, tidak ada lidah yang lebih jujur dari lidah Abu Zar.”
Tiba-tiba Abu Dzar menarik salah seorang di antara pendengarnya. “Kamu bekerja memata-mataiku. Demi yang jiwaku ada di tangan-Nya, sekiranya kamu letakkan pedang di atas leherku agar aku berhenti menyampaikan kalimat yang aku dengar dari Rasulullah Saw, aku akan tetap menyampaikannya.”
Nabi Saw mengabarkan kepadanya tentang kemelut politik sepeninggalnya. Bakal muncul penguasa-penguasa yang zalim. Bakal terjadi bahwa menyampaikan kebenaran bukan saja pahit tapi dianggap dosa. Mengkritik penguasa akan dianggap menista agama. Pada saat seperti itu, bukankah orang Islam harus merebut kekuasaan, memegang jabatan. Abu Dzar dengan santun bertanya, “Ya Rasulallah, mengapa tidak kau berikan jabatan kepadaku.” Bertahun-tahun ia masih mendengar suara lembut itu. “Ia menepuk bahuku,” tutur Abu Dzar, “dan berkata- wahai Abu Dzar, engkau lemah. Jabatan itu amanah. Di hari kiamat ia kan jadi kehinaan dan penyesalan. Kecuali orang yang mengambil dan melaksanakannya dengan hak.”
Ia teringat pula pada peristiwa lainnya: Pada suatu hari Rasul Allah Saw mengendarai keledainya dan aku mengikuti di belakangnya. Ia bertanya kepadaku: Ya Abu Dzar, bagaimana pendapatmu, ketika masyarakat ditimpa kelaparan yang berat. Kamu tidak mampu berdiri dari tempat tidurmu untuk ke masjid. Apa yang kamu lakukan? Aku berkata: Allah dan RasulNya lebih tahu. Nabi Saw bersabda: Jagalah kehormatan dirimu.
Nabi saw bertanya lagi: Ya Abu Dzar, bagaimana pendapatmu jika kematian menjadi wabah yang menyerang setiap orang dan rumah menjadi kuburan. Apa yang akan kamu lakukan? Aku berkata: Allah dan RasulNya lebih tahu. Nabi Saw bersabda: Bersabarlah.
Nabi Saw bertanya lagi: Ya Abu Dzar, bagaimana pendapatmu jika terjadi saling membunuh di tengah-tengah masyarakat, sehingga bebatuan tenggelam dalam darah. Apa yang akan kamu lakukan? Aku berkata: Allah dan RasulNya lebih tahu. Nabi Saw bersabda, “Duduklah di rumahmu dan kunci pintunya” Aku berkata: Jika aku harus pergi? Nabi Saw berkata: Datangilah orang-orang yang kamu adalah bagian dari mereka. Aku berkata: Apakah aku perlu membawa senjata? Nabi bersabda: Jika begitu, maka kamu sama saja dengan mereka. Tetapi jika kamu takut melihat kilatan pedang, tutupkan serban kamu ke mukamu sampai dia membawa dosanya dan dosa kamu!
Kalimat terakhir adalah ucapan Habil ketika Qabil mau membunuhnya, “Jika kamu julurkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku. Aku tidak akan menggerakkan tanganku untuk membunuhmu. Sungguh, aku takut kepada Allah seru sekalian alam. Sesungguhnya aku ingin agar kamu kembali membawa dosaku dan dosamu sendiri, maka kamu akan menjadi penghuni neraka. Demikian itulah pembalasan bagi orang-orang yang zalim” (Al-Maidah 28-29)