Ustadz Jalaluddin Rakhmat
Pesan di Ulang Tahun IJABI yang ke-14
Pada tanggal 1 Juli 2014 Selasa lalu, IJABI tepat berusia 14 tahun. Ulang tahun kali ini "dibumbui" oleh hiruk pikuk politik saat masyarakat Indonesia memilih presidennya. IJABI tak bisa menghindar dari situasi itu, fitnah sesekali menyeretnya secara khusus, bahkan pengikut mazhab pencinta keluarga Nabi secara umum. Karena itulah, Ust Jalal menitipkan pesan di bawah ini [majulah-IJABI]
Pesan di Ulang Tahun IJABI yang ke-14
Pada tanggal 1 Juli 2014 Selasa lalu, IJABI tepat berusia 14 tahun. Ulang tahun kali ini "dibumbui" oleh hiruk pikuk politik saat masyarakat Indonesia memilih presidennya. IJABI tak bisa menghindar dari situasi itu, fitnah sesekali menyeretnya secara khusus, bahkan pengikut mazhab pencinta keluarga Nabi secara umum. Karena itulah, Ust Jalal menitipkan pesan di bawah ini [majulah-IJABI]
Agak terlambat aku menyambut ultah IJABI yang ke-14, pada tahun 2014. Tadinya aku menunggu sampai 14 hari setelah ultah, untuk memberikan sambutan ini. Tapi Pilpres sebentar lagi kita jelang. Tiba-tiba aku disadarkan pada situasi khusus yang dihadapi IJABI kali ini. Tiba-tiba aku disentakkan oleh kenyataan yang pedih - ada sebagian anggota badan IJABI yang patah terkulai. Tapi bukankah sepanjang sejarah IJABI, seorang demi seorang anggota IJABI berguguran. Aku tidak bergeming. Tidak ada rasa sedih dan tidak ada rasa takut. Aku tahu bahwa di samping anggota-anggota yang meninggalkanku, sebagian besar masih setia dan bahkan berkembang menumbuhkan cabang-cabang baru (dalam arti sebenarnya dan dalam arti kiasan).
Pohon IJABI sudah tegak berdiri, “akarnya menghunjam di bumi dan cabangnya menjulang ke langit”. Jadi, mengapa aku harus berduka sekarang hanya karena beberapa anggota IJABI tenggelam dalam pusaran politik yang berseberangan dengan IJABI? Mengapa aku harus menahan tangisan hanya karena mereka punya kecenderungan politik yang berbeda? Bukankah aku mengklaim diriku sebagai pemimpin yang demokratis dan pluralis; mengapa aku tersinggung ketika orang-orang yang aku cintai telah menjatuhkan pilihan politiknya ke tempat yang lain? Bukankah IJABI bersifat nonsektarian dan nonpolitis?
Walaupun Ketua Umum Tanfiziyah PP IJABI dan Ustaz Mustamin meminta aku menulis sepatah dua kata untuk memberikan sambutan dalam acara (atau tidak ada acara) ultah IJABI, aku tidak tahu apa yang akan aku tuliskan. Kepedihan hati karena “kehilangan” saudara-saudara yang aku cintai mengacau-balaukan konsentrasiku. Perlahan-lahan, time heals, bersamaan dengan menyingkirnya awan kelabu kesedihan, sebersit inspirasi (atau sebut apa saja) menyobekkan kegalauan.
Waktu itu, aku berdoa – supaya kedengaran dramatis - dalam keheningan dinihari, “Ya Allah, kepadamu kami adukan kerinduan akan sebuah negeri yang penuh kemurahan. Di situ Engkau muliakan orang yang pasrah kepadaMu dan kelompoknya; dan Engkau hinakan orang munafik dan kelompoknya. Di situ Kau jadikan kami para pendakwah yang memanggil pada ketaatan kepadaMu dan para pemimpin yang yang menyeru ke jalanMu; dan Kau anugrahkan kepada kami kemuliaan dunia dan akhirat.”
Aha, aku temukan asal-usul kepedihan itu! Aku merindukan “dawlah kariimah.” Dan kepedihan adalah bagian dari kerinduan. Aku gumamkan tanpa sengaja sebait puisi al-Bushairi:
Pohon IJABI sudah tegak berdiri, “akarnya menghunjam di bumi dan cabangnya menjulang ke langit”. Jadi, mengapa aku harus berduka sekarang hanya karena beberapa anggota IJABI tenggelam dalam pusaran politik yang berseberangan dengan IJABI? Mengapa aku harus menahan tangisan hanya karena mereka punya kecenderungan politik yang berbeda? Bukankah aku mengklaim diriku sebagai pemimpin yang demokratis dan pluralis; mengapa aku tersinggung ketika orang-orang yang aku cintai telah menjatuhkan pilihan politiknya ke tempat yang lain? Bukankah IJABI bersifat nonsektarian dan nonpolitis?
Walaupun Ketua Umum Tanfiziyah PP IJABI dan Ustaz Mustamin meminta aku menulis sepatah dua kata untuk memberikan sambutan dalam acara (atau tidak ada acara) ultah IJABI, aku tidak tahu apa yang akan aku tuliskan. Kepedihan hati karena “kehilangan” saudara-saudara yang aku cintai mengacau-balaukan konsentrasiku. Perlahan-lahan, time heals, bersamaan dengan menyingkirnya awan kelabu kesedihan, sebersit inspirasi (atau sebut apa saja) menyobekkan kegalauan.
Waktu itu, aku berdoa – supaya kedengaran dramatis - dalam keheningan dinihari, “Ya Allah, kepadamu kami adukan kerinduan akan sebuah negeri yang penuh kemurahan. Di situ Engkau muliakan orang yang pasrah kepadaMu dan kelompoknya; dan Engkau hinakan orang munafik dan kelompoknya. Di situ Kau jadikan kami para pendakwah yang memanggil pada ketaatan kepadaMu dan para pemimpin yang yang menyeru ke jalanMu; dan Kau anugrahkan kepada kami kemuliaan dunia dan akhirat.”
Aha, aku temukan asal-usul kepedihan itu! Aku merindukan “dawlah kariimah.” Dan kepedihan adalah bagian dari kerinduan. Aku gumamkan tanpa sengaja sebait puisi al-Bushairi:
Benar! Kenangan ‘kan kerinduan bangunkan aku di malam buta,
Cinta telah mengubah suka-cita menjadi derita
Aku galau karena kerinduan akan negeri yang dipenuhi kemurahan Tuhan. Perbedaanku dengan mereka bukan lagi perbedaan pilihan politik, tetapi perbedaan kerinduan. Aku merindukan sebuah negeri yang dipimpin oleh orang-orang yang memuliakan orang yang pasrah sepenuhnya kepada Tuhan, bukan negeri yang dikuasai oleh orang-orang yang memuliakan para hipokrit. Di hadapanku ada dua pilihan: menyokong kelompok kebencian atau kelompok cinta-kasih. Dan perbedaan itu tampak begitu jelas di hadapanku.
Ini bukan masalah politik dan sektarianisme. Ini masalah cinta. Menurut Imam Baqir as, bukankah agama itu hanyalah cinta (Da’aim al-Islaam, 1:71).
Cinta telah mengubah suka-cita menjadi derita
Aku galau karena kerinduan akan negeri yang dipenuhi kemurahan Tuhan. Perbedaanku dengan mereka bukan lagi perbedaan pilihan politik, tetapi perbedaan kerinduan. Aku merindukan sebuah negeri yang dipimpin oleh orang-orang yang memuliakan orang yang pasrah sepenuhnya kepada Tuhan, bukan negeri yang dikuasai oleh orang-orang yang memuliakan para hipokrit. Di hadapanku ada dua pilihan: menyokong kelompok kebencian atau kelompok cinta-kasih. Dan perbedaan itu tampak begitu jelas di hadapanku.
Ini bukan masalah politik dan sektarianisme. Ini masalah cinta. Menurut Imam Baqir as, bukankah agama itu hanyalah cinta (Da’aim al-Islaam, 1:71).
هلالدينإلاالحب
Dalam pandangan Imam Ali as, pilar utama Islam dan prinsip rencana penyempurnaannya didasarkan pada cinta kepada Allah. Dalam hal ini, ia berkata,
إنهذاالاسلامديناللهالذياصطفاهلنفسهواصطنعهعليعينهوأصفاهخياراتخلقه،
وأقامدعائمةعليمحبته
وأقامدعائمةعليمحبته
"Sesungguhnya Islam ini adalah agama yang telah Allah pilih untuk dirinya. Allah membentuknya dalam pengawasannya dan Ia telah memilih yang terbaik di antara makhlukNya dan Ia menegakkan pilar-pilarnya itu di atas cintanya."
"Pemimpin politik yang religius dan benar untuk umat Islam adalah manifestasi kecintaan umat kepada Tuhannya dan kecintaan umat pada pemimpinnya itu adalah kecintaan kepada Tuhan. Dalam hal ini, dasar asasi pemerintahan Islam berada di atas kesetiaan rakyat dan suara mereka. Pemerintahan Islam berakar pada kecintaan rakyat. Inilah sesungguhnya rahasia mengapa al-Quran dan hadis-hadis Ahlul Bait menggaris-bawahi kecintaan kepada Ahlul Bait as," tulis Muhammad Raysyahri, penulis banyak kitab hadis – seperti Mizan al-Hikmah dan al-Rasul al-A’zham. (Siyasat Namah Imam Ali, h. 26).
Mungkin tulisan Raysyahri terlalu berat untuk kita cerna. Tapi ingatkah saudara pada salah satu rukun Islam (yang dianggap sesat oleh sebagaian umat Islam)- tawallaa dan tabarra’, mencintai dan berlepas diri. Kita harus mencintai Allah, Rasul-Nya dan Ahli Baitnya. "Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya haruslah ia menjadikan Ali sebagai pemimpinnya," sabda Nabi saw di Ghadir Khum. Sambil mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib as, al-Mushthafa berdoa, "Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya, dan musuhilah orang yang memusuhinya."
Walhasil, memilih presiden kali ini bukan masalah politik semata. Ini masalah menetapkan siapa sahabat kita dan siapa musuh kita. Imam Ali berkata: “Sahabat kamu itu tiga dan musuh kamu juga tiga. (Inilah) tiga orang sahabatmu: sahabatmu, sahabat dari sahabatmu, dan musuh dari musuh kamu. (Inilah) tiga orang musuhmu: musuhmu, musuh sahabatmu dan sahabat musuhmu.”
"Pemimpin politik yang religius dan benar untuk umat Islam adalah manifestasi kecintaan umat kepada Tuhannya dan kecintaan umat pada pemimpinnya itu adalah kecintaan kepada Tuhan. Dalam hal ini, dasar asasi pemerintahan Islam berada di atas kesetiaan rakyat dan suara mereka. Pemerintahan Islam berakar pada kecintaan rakyat. Inilah sesungguhnya rahasia mengapa al-Quran dan hadis-hadis Ahlul Bait menggaris-bawahi kecintaan kepada Ahlul Bait as," tulis Muhammad Raysyahri, penulis banyak kitab hadis – seperti Mizan al-Hikmah dan al-Rasul al-A’zham. (Siyasat Namah Imam Ali, h. 26).
Mungkin tulisan Raysyahri terlalu berat untuk kita cerna. Tapi ingatkah saudara pada salah satu rukun Islam (yang dianggap sesat oleh sebagaian umat Islam)- tawallaa dan tabarra’, mencintai dan berlepas diri. Kita harus mencintai Allah, Rasul-Nya dan Ahli Baitnya. "Siapa yang menjadikan aku sebagai pemimpinnya haruslah ia menjadikan Ali sebagai pemimpinnya," sabda Nabi saw di Ghadir Khum. Sambil mengangkat tangan Ali bin Abi Thalib as, al-Mushthafa berdoa, "Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya, dan musuhilah orang yang memusuhinya."
Walhasil, memilih presiden kali ini bukan masalah politik semata. Ini masalah menetapkan siapa sahabat kita dan siapa musuh kita. Imam Ali berkata: “Sahabat kamu itu tiga dan musuh kamu juga tiga. (Inilah) tiga orang sahabatmu: sahabatmu, sahabat dari sahabatmu, dan musuh dari musuh kamu. (Inilah) tiga orang musuhmu: musuhmu, musuh sahabatmu dan sahabat musuhmu.”
ـ«أصدقاؤك ثلاثة،و أعداؤك ثلاثة،فأصدقاؤك:صديقك،و صديق صديقك،و عدو عدوكو أعداؤك :عدوك،و عدو صديقك،و صديق عدوك».
Lihatlah siapa sahabat dan musuh dari masing-masing calon. Tidak usah melihat apa misi dan visi yang bersangkutan. Tidak usah mendengar retorika dan wacana yang disampaikan. Lihat kawan-kawan mereka. Adakah di antara kawan-kawannya yang memusuhi kita? Musuhilah dia! Apakah itu politik? Ya dan tidak. Simak peristiwa yang dikisahkan Imam Khomeini pada bukunya Wilayat al-Faqih:
“Pada suatu kali, seseorang menemuiku ketika aku dan Aqa-ye Qummi (semoga Allah menjaganya), yang ditahan lagi di penjara. Ia berkata, ‘Politik itu semuanya kotor, berdusta, berbuat jahat. Mengapa urusan politik tidak tuan-tuan serahkan kepada kami saja?’ Apa yang ia katakan itu benar jika apa yang dimaksud politik itu seperti yang mereka lakukan. Politik seperti itu milik mereka semata. Tetapi politik Islam dan umat Islam, politik para Imam, yang membimbing hamba-hamba Tuhan dengan politik sangat berbeda dengan politik yang mereka omongkan.” Setelah itu, orang itu berbicara pada surat kabar, “Telah dicapai kesepakatan bahwa pemimpin agama tidak akan intervensi dalam politik.” Segera setelah saya keluar dari penjara, saya menolak pernyataan itu dari mimbar. Saya berkata, “Ia bohong. Jika Khomeini dan siapa saja yang berjanji seperti itu, ia harus dikeluarkan dari institusi agama.”
Keluarkan IJABI dari institusi agama, jika politiknya didasarkan pada dusta, fitnah, dan kejahatan lainnya. Politik IJABI adalah politik cinta, untuk mengulangi lagi apa yang sudah jelas. Dalam cinta tidak ada lagi sikap non-sektarian; karena mencintai berarti memihak. Dalam keyakinan akan kebenaran moral, seperti surat kabar Jakarta Post, kita tidak boleh independen. Editorial yang indah itu menegaskan, “We were not silent during reformation. Neither have we been shy when power is abused or civil rights trespassed.” (Kami tidak berdiam diri di masa reformasi. Kami juga tidak malu-malu menegaskan pemihakan ketika kekuasaan disalahgunakan atau saat hak-hak rakyat diinjak-injak, red.) (The Jakarta Post, July 04, 2014). Ketika terjadi perang Shiffin, Ammar bin Yasir tidak independen lagi. Ketika seseorang mendekatinya dan mempersoalkan mengapa sesama muslim berperang. Ammar berkata, “Kau lihat bendera di sebelah sana. Dahulu bendera itu dipegang oleh kelompok Abu Sufyan. Di sini aku memegang bendera Nabi saw. Dahulu kami memerangi mereka karena turunnya Al-Quran. Sekarang kami memerangi mereka karena penafsiran Al-Quran.” Ketika sesama Muslim berperang, Ammar memilih kelompok yang dipimpin oleh orang yang dicintainya. Ammar mengikuti petunjuk Rasulullah saw dalam doanya, “Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.”
Sekarang aku tidak bingung lagi untuk menentukan sikap, ketika aku membaca berita bahwa 1000 orang berkumpul di Masjid Agung Yogyakarta dan mengangkat Prabowo sebagai “komandan perang.” Muhammad Fuad dari Gerakan Pemuda Ka’bah berkata, “Ini berarti kita ingin dia (Prabowo) untuk melindungi Islam dari bahaya komunis, Syiah, dan Ahmadiyah.” (lihat linknya di sini)
Aku juga tidak bingung lagi untuk menetukan sikap, ketika kelompok garis keras bergabung dalam satu partai yang manifesto politiknya menyebutkan “"Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama". Tidak mungkin aku mendukung satu gerakan yang meletakkan pemerintah sebagai institusi yang menentukan kemurnian agama. Sesederhananya para pengikut Ahlul Bait as, ia segera tahu bahwa sejak lebih dari seribu tahun keyakinan mereka dianggap sesat dan sebagai akibatnya dipersekusi negara.
Bersamaan dengan hilangnya kegalauan, kesedihan pun pelan-pelan meninggalkanku. Imam Ali as tidak berduka, ketika dua orang yang membaiatnya meminta izin untuk melakukan umrah dalam teori tetapi untuk memilih pemimpin lain dalam praktek. “Kalian bukan mau umrah; kalian mau berkhianat. Maa turiidaan al-umrah, turiidaan al-ghadarah.” Ketika Sahl bin Hunaif mengirim surat kepada Imam, mengadukan orang-orang Madinah yang mengikuti Mu’awiyah, Imam nenulis jawaban:
Sekarang aku tahu bahwa orang-orang tertentu dari pihakmu diam-diam menyeberang ke Muawiyah. Kamu tidak perlu cemas jika bilangan orang-orang kamu berkurang dan bantuan mereka hilang. Sungguh, mereka telah mengikuti kesesatan dan kamu dibebaskan dari mereka. Mereka melarikan diri dari petunjuk dan kebenaran dan menyongsong kebutaan dan kejahiliaan. Mereka adalah para pencari dunia, mengikuti dunia, dan meloncat menuju dunia. Mereka tahu keadilan, mereka telah melihatnya, mendengarnya, dan menghargainya. Mereka sadar bahwa di sini, pada kita, semua manusia sama dalam hak-haknya. Karena itu, mereka lari menuju kepentingan dirinya dan kelompoknya. Biarkan mereka tetap jauh dan lebih jauh lagi dari rahmat Allah. Demi Allah, mereka tidak meninggalkan kezaliman dan tidak bergabung dengan keadilan. Di sini, kami hanya ingin kiranya Allah berkenan melepaskan kita dari kesusahannya dan meringankan kita dari deritanya, insya Allah. Wassalam.
Mengikuti nasehat Imam, aku tidak bakal sedih lagi. Biarkan setiap orang menentukan pilihannya. Terima kasihku kepada saudara-saudaraku tercinta, yang telah membesarkan IJABI dengan segala kemampuannya, dan terus bergabung bersamaku dengan segala resikonya. Marilah kita peringati ulang tahun IJABI yang ke-14, sambil dengan bulat menentukan pilihan kita pada pilpres tahun ’14, masih di bawah bendera wilayah 14 orang suci! Jangan lupa, politik kita adalah politik cinta, tawalla dan tabarra’.
KH DR Jalaluddin Rakhmat, M.Sc adalah Ketua Dewan Syura IJABI
“Pada suatu kali, seseorang menemuiku ketika aku dan Aqa-ye Qummi (semoga Allah menjaganya), yang ditahan lagi di penjara. Ia berkata, ‘Politik itu semuanya kotor, berdusta, berbuat jahat. Mengapa urusan politik tidak tuan-tuan serahkan kepada kami saja?’ Apa yang ia katakan itu benar jika apa yang dimaksud politik itu seperti yang mereka lakukan. Politik seperti itu milik mereka semata. Tetapi politik Islam dan umat Islam, politik para Imam, yang membimbing hamba-hamba Tuhan dengan politik sangat berbeda dengan politik yang mereka omongkan.” Setelah itu, orang itu berbicara pada surat kabar, “Telah dicapai kesepakatan bahwa pemimpin agama tidak akan intervensi dalam politik.” Segera setelah saya keluar dari penjara, saya menolak pernyataan itu dari mimbar. Saya berkata, “Ia bohong. Jika Khomeini dan siapa saja yang berjanji seperti itu, ia harus dikeluarkan dari institusi agama.”
Keluarkan IJABI dari institusi agama, jika politiknya didasarkan pada dusta, fitnah, dan kejahatan lainnya. Politik IJABI adalah politik cinta, untuk mengulangi lagi apa yang sudah jelas. Dalam cinta tidak ada lagi sikap non-sektarian; karena mencintai berarti memihak. Dalam keyakinan akan kebenaran moral, seperti surat kabar Jakarta Post, kita tidak boleh independen. Editorial yang indah itu menegaskan, “We were not silent during reformation. Neither have we been shy when power is abused or civil rights trespassed.” (Kami tidak berdiam diri di masa reformasi. Kami juga tidak malu-malu menegaskan pemihakan ketika kekuasaan disalahgunakan atau saat hak-hak rakyat diinjak-injak, red.) (The Jakarta Post, July 04, 2014). Ketika terjadi perang Shiffin, Ammar bin Yasir tidak independen lagi. Ketika seseorang mendekatinya dan mempersoalkan mengapa sesama muslim berperang. Ammar berkata, “Kau lihat bendera di sebelah sana. Dahulu bendera itu dipegang oleh kelompok Abu Sufyan. Di sini aku memegang bendera Nabi saw. Dahulu kami memerangi mereka karena turunnya Al-Quran. Sekarang kami memerangi mereka karena penafsiran Al-Quran.” Ketika sesama Muslim berperang, Ammar memilih kelompok yang dipimpin oleh orang yang dicintainya. Ammar mengikuti petunjuk Rasulullah saw dalam doanya, “Ya Allah, cintailah orang yang mencintainya dan musuhilah orang yang memusuhinya.”
Sekarang aku tidak bingung lagi untuk menentukan sikap, ketika aku membaca berita bahwa 1000 orang berkumpul di Masjid Agung Yogyakarta dan mengangkat Prabowo sebagai “komandan perang.” Muhammad Fuad dari Gerakan Pemuda Ka’bah berkata, “Ini berarti kita ingin dia (Prabowo) untuk melindungi Islam dari bahaya komunis, Syiah, dan Ahmadiyah.” (lihat linknya di sini)
Aku juga tidak bingung lagi untuk menetukan sikap, ketika kelompok garis keras bergabung dalam satu partai yang manifesto politiknya menyebutkan “"Negara juga dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui oleh negara dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama". Tidak mungkin aku mendukung satu gerakan yang meletakkan pemerintah sebagai institusi yang menentukan kemurnian agama. Sesederhananya para pengikut Ahlul Bait as, ia segera tahu bahwa sejak lebih dari seribu tahun keyakinan mereka dianggap sesat dan sebagai akibatnya dipersekusi negara.
Bersamaan dengan hilangnya kegalauan, kesedihan pun pelan-pelan meninggalkanku. Imam Ali as tidak berduka, ketika dua orang yang membaiatnya meminta izin untuk melakukan umrah dalam teori tetapi untuk memilih pemimpin lain dalam praktek. “Kalian bukan mau umrah; kalian mau berkhianat. Maa turiidaan al-umrah, turiidaan al-ghadarah.” Ketika Sahl bin Hunaif mengirim surat kepada Imam, mengadukan orang-orang Madinah yang mengikuti Mu’awiyah, Imam nenulis jawaban:
Sekarang aku tahu bahwa orang-orang tertentu dari pihakmu diam-diam menyeberang ke Muawiyah. Kamu tidak perlu cemas jika bilangan orang-orang kamu berkurang dan bantuan mereka hilang. Sungguh, mereka telah mengikuti kesesatan dan kamu dibebaskan dari mereka. Mereka melarikan diri dari petunjuk dan kebenaran dan menyongsong kebutaan dan kejahiliaan. Mereka adalah para pencari dunia, mengikuti dunia, dan meloncat menuju dunia. Mereka tahu keadilan, mereka telah melihatnya, mendengarnya, dan menghargainya. Mereka sadar bahwa di sini, pada kita, semua manusia sama dalam hak-haknya. Karena itu, mereka lari menuju kepentingan dirinya dan kelompoknya. Biarkan mereka tetap jauh dan lebih jauh lagi dari rahmat Allah. Demi Allah, mereka tidak meninggalkan kezaliman dan tidak bergabung dengan keadilan. Di sini, kami hanya ingin kiranya Allah berkenan melepaskan kita dari kesusahannya dan meringankan kita dari deritanya, insya Allah. Wassalam.
Mengikuti nasehat Imam, aku tidak bakal sedih lagi. Biarkan setiap orang menentukan pilihannya. Terima kasihku kepada saudara-saudaraku tercinta, yang telah membesarkan IJABI dengan segala kemampuannya, dan terus bergabung bersamaku dengan segala resikonya. Marilah kita peringati ulang tahun IJABI yang ke-14, sambil dengan bulat menentukan pilihan kita pada pilpres tahun ’14, masih di bawah bendera wilayah 14 orang suci! Jangan lupa, politik kita adalah politik cinta, tawalla dan tabarra’.
KH DR Jalaluddin Rakhmat, M.Sc adalah Ketua Dewan Syura IJABI